Senin, 17 Agustus 2009

Theater

"I Love talking about nothing.
It's the only thing I know anything about."

(Oscar Wilde)
Bangun. Buka mata. Jalan kaki. “Yang kau lihat adalah yang kau dapat”. Kegilaan. Kesia-siaan. Dekadensi. Kemurungan. Dan orang-orang yang menari. Dunia sedang menghitung mundur. Peradaban sedang menghitung mundur. Tapi orang-orang masih menari. Meliuk, melompat-lompat, mengayunkan bokong di gereja mereka. Gereja baru di mana kubangan keringat lengket menutupi lantainya. Tanpa altar. Tanpa sakristi. Loncengnya pun tak pernah berdentang. Hanya bunyi-bunyian yang menyumbat otak. Menyumbat hingga ke akar-akarnya. Orang-orang menari sementara dunia sedang berusaha untuk tidak hanyut. Berpegang pada kayu yang beku. “Yang kaulihat adalah yang kau dapat.” Kapan para idiot itu akan berhenti?

Aku mual aku ingin muntah. “Buanglah sampah pada tempatnya.” Di sana yang kutemui remah-remah, sisa-sisa, tulang belulang, kotoran. Dihampiri lalat-lalat lapar. Menghisap mereka. Menghisap semuanya. Berjejalan mencicipi nanah-nanah kecabulan, kepolosan, kebanalan, kebodohan, dan buah pahit yang bernama ironi. Mau tahu tentang ironi? Ini adalah tentang sebuah tenaga, cita-cita, bahkan harapan yang sebelumnya telah membentuk kita sekarang. Mengajarkan kita bicara, mewarnai bendera kita, membelikan kita pakaian baru, lalu berteriak untuk kita hingga serak. Tapi apa yang terjadi hari ini? Lihatlah mereka dan kau akan bertanya-tanya siapa ibu mereka? Habiskan dan buang. Selalu habiskan dan buang. Tertawa dan bersenang-senang. Selalu tertawa dan bersenang-senang. Apa lagi yang masih tersisa? Lihatlah tempat sampah. Hidup tak lagi sama.

Perpustakaan ini terlihat begitu lengang. Dunia ini dibangun oleh konsep-konsep simbolis. Perpustakaan ini juga.. Bambu runcing. Orang-orang menyebut nama bambu runcing. Mengagungkan setinggi langit. Mensakralkan. Menimbulkan kesan heroik. Simbol perjuangan. Simbol perlawanan. Tak bisakah mereka menyebutkan nama lain yang lebih pantas daripada sekedar makanan rayap seperti itu? Dengan bambu runcing kita menjalani 3,5 abad penderitaan. Dengan bambu runcing kita diinjak bersama-sama dalam ketertundukan. Leluhur kita mati tergeletak di tanah karena berusaha menakuti musuh dengan bambu runcing. Sudah sejak lama kita mengasah bambu runcing diiringi doa. Sementara musuh mengasah otaknya diiringi taburan mesiu. Bahkan dari sejak awal kita telah kalah telak. Bambu runcing melambangkan segalanya. Kelemahan. Kekalahan. Ketertinggalan. Ketertutupan. Bambu runcing adalah simbol yang mendefinisikan kita di setiap pasang mata. Sebuah kepolosan yang lemah. Menemani kita selama 3,5 abad. Sampai akhirnya kita tahu cara menggunakan pena.

Berlayar dari pulau ke pulau. Mereka semua selalu duduk bersila. Menundukkan kepala. Berbisik. Mengatakan sesuatu entah pada siapa maksudnya. Pagi, siang, sore, dan malam. Bersujud dan bersujud. Padahal tanah mulai retak. Api berlari semakin cepat. Langit sebentar lagi runtuh. Air tak lagi ramah seperti dulu. Mereka hanya menangis, memohon, dan kadang berteriak. Keajaiban. Mukjizat. Pertolongan. Berkah. Kapan? Tuhan akan membereskan semua tapi kapan? Pernahkah terpikir oleh mereka bahwa pertanyaan seperti itu terdengar begitu menjengkelkan di telinga-Nya. Mungkin berikan mereka cermin. Cermin yang memantulkan bayangan kaki mereka. Tangan. Mulut. Mata. Telinga. Dan kepala. Atau bahkan wajah-wajah mereka yang elok. Apapun agar mereka berhenti merengek tentang Messiah. Ratu adil. Manusia unggul. Dan sebagainya.

Di seberang lautan tampak kerlap-kerlip lampu. Kembang api mekar di angkasa. Di sana tampak begitu bersinar. Di sinipun tak bisa mengelak dari pesonanya. Tangan-tangan menengadah, mencoba meraih tempat itu. Tapi tak ada yang bisa mencapainya. Tak ada yang bisa. Sebagian orang berbalik kembali di sini. Sebagian yang lain berusaha untuk menjadi yang di sana. Dan mereka terus memandangi tempat itu. Melepas pakaian mereka. Memulas wajah mereka. Mengganti sepatu mereka. Semuanya demi menjadi mereka yang ada di sana. Memeluk agama mereka. Berbicara dengan cara mereka. Melihat semua lewat kacamata mereka. Betapa mudah sekali semuanya luntur. Hilang diuapkan matahari. Padahal ini cuma gara-gara kerlap-kerlip lampu dan kembang api yang memanjakan mata. Dan lahirlah mereka yang menggerogoti diri sendiri. Perlahan-lahan namun berbahaya. Karena begitu tertular maka kau tak lagi seperti yang dikenal. Bola matamu takkan lagi hitam.

Luka hanya akan melebar dan membengkak. Semua yang rusak akan tetap seperti demikian. Semua hal akan terlihat bagus seberapa besarpun buruknya. Karena orang-orang akan selalu menari. Menemukan cara baru untuk menari. Menemukan musik baru untuk dinikmati. Menemukan kesenangan dalam menari. Semuanya akan pergi berbondong-bondong untuk menari. Sehingga hanya aku dan rumah sepiku ini berdua. Terkubur dalam kejamnya kesunyian. Dan dinginnya siang maupun malam. Maka aku mengakhiri hari dengan menutup mata sekali lagi. Bertanya, di manakah tempatku ini? Dan mengapa aku tak pernah merasa betah?

2 komentar:

  1. naon sih maneh?????
    geje geje fangki pisan lah
    tapi dibalik kegejeannya perlu diakui kata-katanya keren. hahaha
    it's so you. haha

    BalasHapus