Minggu, 30 Agustus 2009

Afterglory

"I've been lost, I've been found, But I don't feel down."
(Half The World Away, Oasis)
Half the World Away
How can be this subtle moment and voice vanished from the wide ocean of Rock 'n' Roll?
Swallowed by a bigger, wilder wave. Eaten by a larger fish with whom he shared a life together.
But God knows, he who is destined to Live Forever will find another shelter to start over.

I Read the News Today, Oh Boy!

"As They Took His Soul,They Stole His Pride."

(Cast No Shadow, Oasis)



Basically, I would consider it as “a flower of my dreams” when on the last couple of days, including this shiny morning, I have dreamed of being around with Noel and Liam Gallagher (of Oasis). I don’t quite remember what I did there with them but of course it gave me some moment while I woke up and walked on a flashback that it was Noel and Liam I just dreamed of. And then, the internet gives me the meaning. Quite an ironic for that’s only in a dream maybe I can see them together again as from what Noel wrote on the official page of the band, he seems very serious about this.


"As of last Friday the 28th August, I have been forced to leave the Manchester rock'n'roll pop group Oasis. The details are not important and of too great a number to list. But I feel you have the right to know that the level of verbal and violent intimidation towards me, my family, friends and comrades has become intolerable.


“And the lack of support and understanding from my management and band mates has left me with no other option than to get me cape and seek pastures new


"It's with some sadness and great relief to tell you that I quit Oasis tonight People will write and say what they like, but I simply could not go on working with Liam a day longer.


“The last 18 years have been truly, truly amazing (and I hate that word, but today is the one time I'll deem it appropriate). A dream come true. I take with me glorious memories.


“Now, if you'll excuse me I have a family and a football team to indulge. I'll see you somewhere down the road. It's been a fuckin' pleasure.”


As a fan, of course it is shocking. It turns the morning into a shitty afternoon. I don’t know what happened with them but I just can tell that without Noel in the band, they won’t be the same again, not a bit. I admire Noel the most for he’s the brain and apparently a genius songwriter that really puts his best into music. Rock n roll music has so much credit of his name especially back in the 90’s.


It’s always the same old story that it was a fight under the name of sibling rivalry. A day before Noel wrote the statement, singer Amy MacDonald wrote on her Twitter: “Oasis cancelled again with one minute to stage time! Liam smashed Noel's guitar, huuuge fight!" It’s not the first time Noel left the band, but this is the first time that he did it officially (I don’t know why I hate Liam now more than ever!). God only know what’s gonna happen next.


I just hope for the best, to Noel and the band. So if this is really the end I’d like to say thank you very much Noel for the all the songs you sang and played, you have no idea what they really mean to my life, thank you, thank’s a lot. I just say that my heart always sings the same tune for you: ‘Don’t Go Away’.


Live Forever!

Kamis, 27 Agustus 2009

Kosmetika

"It is amazing how complete is the delusion that beauty is goodness."

(Leo Tolstoy)

Citra. Entah kenapa kata tersebut sekarang sepertinya telah terpatri di kepala kebanyakan orang. Tercetak di bagian otak yang mengendalikan gerak-gerik. Menjelma sebagai neurotransmitter yang ditransfer oleh syaraf-syaraf dalam tubuh. Mengalir dalam cairan darah yang menopang hidup manusia. Citra menjadi bagian dari hidup. Citra adalah pilot, arsitek, dan sutradara. Citra adalah sebuah panggung besar di mana orang-orang berlomba untuk berdiri di bawah lampu sorot. Citra adalah pantulan bayangan di balik cermin. Citra adalah sebuah identitas. Citra adalah nama. Citra adalah karakter. Citra adalah kita. Tak peduli seberapa palsunya.

Bicara mengenai citra adalah tidak lagi berputar-putar di ranah reputasi, potensi, dan pencapaian seseorang melainkan telah dipersempit dalam area “luar’ yang menyelimuti, membungkus, dan menutupi manusia. Semuanya berhubungan dengan hal-hal yang sifatnya kasat mata. Citra seseorang bukan lagi sesuatu yang tersimpan di dalam diri tapi menjadi sebuah konsep artifisial yang bentuknya dapat dirancang, direncanakan, dan dibentuk sedemikian rupa sesuka hati. Jadi ini bukanlah sebuah “produk” dari proses melainkan citra telah mewujud dalam rupa dan hanya dipahami secara demikian. Lagipula, di era instan seperti sekarang, apalah artinya sebuah proses?

Ambillah contoh tayangan iklan, yang tentu saja mewakili produk tertentu. Pada hakikatnya, iklan merupakan media promosi atau perkenalan suatu produk, namun di samping itu iklan juga ternyata memiliki kekuatan yang sifatnya mempengaruhi dengan gencar mengingat frekuensinya yang besar. Dan lewat iklan-iklan inilah secara tidak sadar manusia telah digerakkan untuk mengejar suatu sosok atau citra yang didasari pada fitur atau keunggulan produk tersebut. Sesuatu yang tidak lebih dari sekedar ilusi.

Saya ingin membahas mengenai kecantikan (tentu saja ini mengenai perempuan, tanpa mengurangi rasa hormat atau merendahkan mahluk tersebut) dan bagaimana iklan telah meredefinisi maknanya. Iklan shampoo menyatakan bahwa kecantikan adalah rambut yang panjang terurai, lembut, dan berkilauan. Iklan sabun membawa pengertian pada kecantikan sebagai kulit yang halus dan menawan. Iklan kosmetik dan produk perawatan lainnya menegaskan bahwa wanita cantik haruslah memiliki kulit putih bersih, tanpa kerutan sedikitpun, tubuh langsing, barisan gigi yang mengkilat, dan tentu saja awet muda sepanjang masa. Produk pakaian dalam pembesar dan pembentuk payudara seakan mempropagandakan bagian tubuh di mana harga diri perempuan terletak.

Hasilnya bisa dilihat bagaimana itu semua mempengaruhi isi kepala perempuan. Mall-mall telah menjadi arena kontes miss universe yang tak berkesudahan. Kecantikan menjadi sebuah tema yang terus dilombakan oleh banyak perempuan. Tidak hanya produk namun perempuan juga ikut berkompetisi dengan sesamanya. Pencitraan mereka melekat pada produk-produk yang digunakan berdasarkan pada skill berdandan yang terus diperbaharui. Kondisi ini kebanyakan memakan korban para gadis-gadis muda di usia remaja yang tanggung namun tidak menutup kemungkinan mereka akan terus berpegang pada “ideologi” ini sampai tua. “Ideologi” yang mensyaratkan bahwa perempuan haruslah menjadi cantik.

Tentu saja kecantikan bukanlah suatu hal yang buruk. Saya percaya kecantikan merupakan kodrat spesial yang diberikan Tuhan kepada setiap perempuan. Oleh karenanya kecantikan bukanlah sebuah keharusan ataupun tuntutan bagi perempuan melainkan sebuah kelebihan yang sudah ada sejak lahir. Mereka bahkan tidak perlu bersusah payah untuk menonjolkannya atau bahkan menciptakannya sendiri, namun cukuplah menjadi dirinya sendiri sehingga semuanya akan terjadi secara wajar dan dalam porsi yang tepat. Yang menjadi masalah adalah ketika mereka mulai terobsesi dengan kecantikan dan berusaha untuk menampilkannya sepanjang waktu. Pulasan kosmetik justru menutupi kecantikan yang sebenarnya.

Iklan-iklan produk kecantikan telah menjadi semacam boomerang bagi perempuan. Coba kembali kepada isu gender atau emansipasi di mana perempuan selalu berada di posisi kedua dalam lingkungan sosial. Saya rasa hal tersebut takkan terjadi kalau sebagian besar potensi perempuan tidak disalurkan untuk memandangi cermin. Mungkin ada benarnya untuk mempercayai bahwa iklan kecantikan adalah senjata yang diluncurkan dalam meredam gelombang feminisme. Di tahun 70-an perempuan telah mendapatkan kedudukannya di bawah genderrang feminisme yang mereka tabuh. Mereka mulai dihargai ,dihormati, disegani karena potensi diri yang tak kalah hebat dengan kaum lelaki. Namun sekarang, produk-produk kecantikan telah memindahkan sebagian besar perempuan dari meja kerja menuju ke meja riasnya masing-masing. Ironi ini semakin bergelombang ketika para model dan selebritis secara tak sadar ikut “mendukung” proses tersebut.

Sudah selayaknya para perempuan bangkit dan mengganti paradigma mereka. Merubah kiblat mereka dari Kate Moss ke J.K. Rowling (walaupun saya tidak membaca seri Harry Potter tapi apa yang ia capai sampai sekarang merupakan sebuah inspirasi), dari Paris Hilton ke Sofia Coppola, dari Britney Spears ke Bjork, agar mereka tidak hanya terlihat sebagai “budak-budak” produk melainkan eksis dalam karya-karya. Perempuan harus mulai bisa menghargai hidupnya bukan untuk terus menghiasi fisik mereka. Perempuan sebaiknya mampu menyalurkan kecantikan yang ia punya dalam bentuk produktifitas yang bermanfaat bukan hanya menunjukkannya di depan umum hanya demi melihat air liur laki-laki menetes membasahi jenggotnya.

Rabu, 19 Agustus 2009

Literatur

"The More You READ. The More Things You Will KNOW
The More You Will LEARN. The More Place You Will GO."



(Dr. Seuss)


Buku-buku yang harus diselamatkan seandainya kamar saya terbakar:
Fiksi

1. The Catcher in the Rye (J.D. Salinger)

Agak bingung untuk mendefinifikan isi cerita di dalam buku ini. Yang pasti novel ini terlalu singkat untuk disebut novel petualangan, terlalu aneh untuk disebut novel remaja, terlalu berlebihan untuk menyebutnya novel pencerahan, dan bahkan sebagai karya sastra pun novel ini tampak keluar jalur, atau bisa dibilang, terlalu asyik sendiri. Oleh karenanya saya cenderung suka menyebutnya sebagai novel "tentang sesuatu secara apa adanya". Holden Caulfield dikeluarkan dari sekolahnya dan salam perpisahannya ('sleep tight ya morons!') membawa dirinya ke dunia kecil di New York yang dari kedua matanya tampak jelas apa yang dinamakan kepalsuan dan bagaimana orang-orang bersikap terhadapnya. Holden bukanlah seorang yang penuh kebijaksanaan dalam menjalani hidup yang nantinya akan memberikan semacam 'petuah-petuah' tentang makna hidup. Holden hanyalah seorang remaja yang muak, gelisah, pemberontak yang berusaha melewati hari-hari sebelum natal dengan normal dan 'petualangan'-nya ini membawa saya kepada semacam perenungan mengenai apa yang saya lihat, dengar, dan rasakan dalam keseharian yang penuh dengan berbagai jenis manusia. Narasi yang disampaikan Holden sepanjang novel mengalir dengan begitu bebas dan sekaligus mendatangkan kesan bahwa ternyata hidup ini penuh dengan komedi. Tiap paragraf dari novel ini memang tidak lepas dari caci-maki serta hinaan, tapi tidak terlalu sulit untuk selanjutnya menerima bahwa itulah hidup kita sejujurnya.

2. To Kill a Mockingbird (Harper Lee)
Kekuatan dari novel ini adalah penggunaan sudut pandang seorang anak kecil yang polos dan lugas untuk suatu topik yang sangat serius yaitu mengenai prasangka. Hal ini sekaligus memberikan dalih sarkastis bahwa prasangka adalah sesuatu yang sifatnya kekanak-kanakkan. Scout dan Jem Finch bersama dengan ayah mereka yang tampak bagi saya tanpa cela, Atticus Finch, merupakan karakter-karakter yang patut untuk dikenang lewat dialog-dialog cerdas dan naif yang menyertai tiap peristiwa di sekitar mereka. Ketiganya merupakan sosok yang dibesarkan dan dibentuk oleh 'kehidupan' dan inilah prinsip yang saya tangkap dari seorang Atticus Finch sebagai seorang ayah bahwa ia tidak pernah menggurui anaknya melainkan membiarkan mereka berbaur dengan kehidupan, melihat, bertanya, lalu belajar darinya (sekolah terbaik adalah hidup). Novel ini adalah proses pembelajaran dari sosok 'anak kecil' (penghakiman terhadap segala sesuatu secara sepihak) menuju 'kedewasaan' yang bijak (kemampuan untuk menilai) bahwa siapapun takkan bisa pernah bisa memahami orang lain sebelum melihat segala sesuatu dari sudut pandangnya. Isu rasialis yang menjadi pusat dari novel ini menambah muatan cerita ke arah hak asasi manusia sekaligus memberikan pandangan bahwa kepercayaan mayoritas tidak memiliki kekuatan apa-apa di depan mata kebenaran.

3. The Unbearable Lightness of Being (Milan Kundera)

Awalnya saya merasa agak skeptis ketika mengetahui bahwa novel ini mengangkat tema percintaan, sebuah tema yang sudah sangat mubazir. Namun ketika membacanya ternyata buku ini masuk lebih ke dalam lagi daripada sekedar percintaan antar manusia. Ini bukanlah tentang hal-hal manis romantis atau kisah-kisah patah hati melankolis, melainkan cinta yang diangkat secara lebih dewasa sebagai petualangan jiwa yang serius. Karakter-karakter tokoh sentralnya (Tomas, Tereza, Sabina) sepanjang cerita mengalami pergulatan batin yang memberikan saya sebuah hipotesis bahwa manusia dalam kondisi normalnya adalah mahluk yang kesepian dan segala sesuatu yang dilakukan merupakan upaya untuk mengatasinya. Sepanjang cerita saya seperti diajak bertamasya mengunjungi isi kepala setiap tokoh lalu bergumul ke dalam perspektif mereka yang unik, kuat, menghantui, dan provokatif. Milan Kundera telah berhasil menyempurnakan gaya narasi Leo Tolstoy sehingga saya yang membacanya seakan ikut menyelam ke dalam lautan meditasi tiap tokohnya dan mendapatkan kesan bahwa cinta ternyata terlalu dangkal bila hanya sebatas perasaan saling menyukai.

Non Fiksi

1. Summerhill School (A.S. Neil)

Summerhill School merupakan sebuah sekolah alternatif yang dicetuskan oleh A.S. Neill dengan berlandaskan pada prinsip yang terbilang berani, yaitu kebebasan, kebebasan sepenuhnya kepada anak-anak untuk tumbuh dan berkembang sendiri. Siswa-siswi sekolah ini bebas bermain-main sepanjang waktu, boleh ikut mangkir dari pelajaran-pelajaran yang ditawarkan sekolah, dan bebas memilih pelajaran yang mereka inginkan. Hasilnya? Mereka tumbuh menjadi jiwa-jiwa yang kritis, kreatif, mandiri, bebas, bahagia, dan bahkan disiplin. Summerhill merupakan sebuah kritik terhadap sekolah-sekolah konvensional yang cenderung melupakan kodrat manusia sebagai mahluk yang selalu ingin tahu dan menggantinya dengan menjejalkan teori-teori ilmu pengetahuan yang menyetir para muridnya untuk selalu berada di dalam dunia sempit akademis. Buku ini berisi tentang pandangan revolusioner Neill terhadap dunia pendidikan yang dipraktikkan di sekolah yang didirikan sejak tahun 1921 dan berhasil membuat saya iri sekaligus merasa bahwa konsep tersebut sangat pantas untuk diterapkan di dunia pendidikan negara ini yang sekarang telah bertransformasi ke bentuknya yang parah: komersialisasi. Summerhill adalah sekolah yang mengambil pandangan bahwa kebrhasilan sebuah sekolah mesti dinilai dari kebahagiaan para muridnya bukan dari kesuksesan akademisnya.

2. Lifestyle Ecstasy

Buku kumpulan catatan dari 22 penulis ini menyoroti secara tegas dan kritis perkembangan kebudayaan pop dalam masyarakat Indonesia. Isinya menelusuri seputar gaya hidup sekitar kita yang lebih mementingkan keindahan ‘tampilan luar’ dan mengagungkan konsep pencitraan dibandingkan dengan nilai intrinsik dan potensi yang dimilikinya. Saya tersadar ketika membacanya bahwa memang masyarakat Indonesia secara pelan-pelan merusak ‘dirinya’ dengan menganut mitologi gaya hidup yang menghasilkan pribadi-pribadi konsumtif yang mengatas-namakan prestise sebagai motivasi hidup. Para penulis berhasil memaparkan fenomena ini dari berbagai sudut pandang yang menyentuh bidang-bidang industri, hiburan, teknologi, fashion, media, dan budaya simbolik yang menyiratkan bahwa mayoritas orang selama ini telah dikonstruksi oleh dunia luar dalam menemukan esensi kepribadiannya. Saya tercengang dengan isi dari buku ini bahwa dengan demikian manusia selama ini merupakan hasil rekayasa dari produk-produk yang melekat pada dirinya. Ini adalah buku yang bersifat mencerahkan, memberikan pemahaman, memperluas cakrawala sementara batin kita terus terpancing di setiap lembarnya untuk bertanya pada diri sendiri mengenai identitas kita sebagai seorang manusia.

Biografi/Memoar


1. The Motorcycle Diaries (Ernesto Guevara)

Sebuah petualangan, perjalanan, pencarian jati diri, sebuah pengembaraan luar biasa yang mengungkapkan identitas Amerika Latin oleh dua orang pemuda yang mengawalinya hanya untuk ‘gagah-gagahan’ sampai akhirnya mengubah jalan hidup mereka dan melahirkan cikal-bakal petualangan yang lebih besar lagi: revolusi. Ernesto ‘Che’ Guevara dan Alberto Granado adalah mahasiswa kedokteran tingkat akhir yang berhasrat untuk menyalurkan ilmu pengetahuan yang didapatkannya di sebuah koloni Lepra di Peru dengan hanya mengendarai sebuah motor bernama La Poderosa II. Walaupun akhirnya motor tersebut rusak di awal petualangan, tetap saja tidak menghalangi mereka untuk melihat dan merasakan sendiri kondisi Amerika Latin yang telah ‘dirampas’ jiwanya oleh kekuatan kapitalisme asing. Che menulis tiap catatan di dalam buku ini dengan narasi yang memukau dan bahkan filosofis. Sebagai seorang pribadi muda, sepanjang perjalanan ia menunjukkan karakter sebagai manusia yang melankolis, kritis, mengharukan, simpatik, dan secara tak terduga juga kocak luar biasa. Apa yang dilakukan Che dan Alberto merupakan suatu inspirasi bagi orang banyak bahwa perubahan takkan berhasil sebelum mengetahui secara langsung di bagian mana perubahan itu harus dilangsungkan.

2. Heavier Than Heaven (Charles R. Cross)

Kebanyakan orang mungkin hanya melihat sosok Kurt Cobain sebagai seorang rockstar jenius yang memberontak lewat musiknya yang keras dan menghentak dunia rock ‘n’ roll di awal 90-an yang sekaligus menandai munculnya era generasi baru (Generation X). Namun buku ini menyiratkan sisi lain dari Kurt sebagai seorang anak pemalu yang penuh dengan emosi dan bakat luar biasa dalam sisi artistik dan juga musikal dengan berbagai masalah yang mendera hidupnya sampai akhirnya berujung pada bunuh diri yang ia lakukan di dalam rumahnya. Untuk ukuran orang yang sangat populer, Kurt justru berjuang sepanjang karirnya untuk menolak hal tersebut karena sampai kapanpun ia tidak pernah bisa melihat dirinya sebagai seorang idola yang dipuja-puja para fans-nya. Perkenalannya dengan heroin dimulai dari keinginannya untuk mengatasi rasa sakit tak terelakkan di perutnya dan berlanjut kepada kecenderungannya untuk mengatasi tekanan ketenaran yang begitu besar di pundaknya. Kurt adalah seorang yang mencurahkan hidupnya lewat musik yang akhirnya kesulitan untuk menghadapi dirinya sendiri (‘I hate myself and I want to die’). Biografi ini mengungkapkan kisah hidupnya yang penuh lika-liku sebagai perjalanan panjang sifat kejujuran yang harus berhadapan dengan berbagai gelombang kemunafikan untuk akhirnya terbakar habis dalam kesepian.

3. Running with Scissors (Augusten Burroughs)

Memoar yang sangat unik, lucu, aneh, gila, kasar, mengejutkan, ekstrim, dan konyol dari kisah hidup seorang anak kecil biasa yang berada di dalam lingkaran lingkungan yang eksentrik. Ini merupakan humor gelap yang mengaburkan batas eksistensi hidup antara kenormalan dan kegilaan. Augusten kecil adalah seorang anak yang dibesarkan oleh ibunya yang labil untuk kemudian dititipkan kepada keluarga psikiater dengan karakter masing-masing anggota keluarganya yang membuat hari-harinya berjalan dalam gerak akrobatik. Ia tinggal di rumah keluarga yang percaya bahwa bentuk kotoran yang dibuang pagi hari di atas kloset sebagai pengganti ramalan zodiak di majalah, ia dan temannya melubangi atap rumah dengan gagang sapu karena dirasa terlalu rendah, ia diijinkan masuk ke rumah sakit jiwa selama beberapa hari oleh sang psikiater sebagai alasan untuk membolos sekolah, dan masih banyak lagi kejadian yang terjadi di luar nalar manusia biasa. Buku ini membuka pikiran saya bahwa menjadi normal adalah persepsi yang salah dalam bertahan hidup di dunia yang serba abstrak ini dan berpikir terbalik kadang adalah solusi yang diperlukan. Memoar ini adalah tentang pencarian jati diri yang dilakukan lewat perjalanan surealis yang menghibur.

Senin, 17 Agustus 2009

Theater

"I Love talking about nothing.
It's the only thing I know anything about."

(Oscar Wilde)
Bangun. Buka mata. Jalan kaki. “Yang kau lihat adalah yang kau dapat”. Kegilaan. Kesia-siaan. Dekadensi. Kemurungan. Dan orang-orang yang menari. Dunia sedang menghitung mundur. Peradaban sedang menghitung mundur. Tapi orang-orang masih menari. Meliuk, melompat-lompat, mengayunkan bokong di gereja mereka. Gereja baru di mana kubangan keringat lengket menutupi lantainya. Tanpa altar. Tanpa sakristi. Loncengnya pun tak pernah berdentang. Hanya bunyi-bunyian yang menyumbat otak. Menyumbat hingga ke akar-akarnya. Orang-orang menari sementara dunia sedang berusaha untuk tidak hanyut. Berpegang pada kayu yang beku. “Yang kaulihat adalah yang kau dapat.” Kapan para idiot itu akan berhenti?

Aku mual aku ingin muntah. “Buanglah sampah pada tempatnya.” Di sana yang kutemui remah-remah, sisa-sisa, tulang belulang, kotoran. Dihampiri lalat-lalat lapar. Menghisap mereka. Menghisap semuanya. Berjejalan mencicipi nanah-nanah kecabulan, kepolosan, kebanalan, kebodohan, dan buah pahit yang bernama ironi. Mau tahu tentang ironi? Ini adalah tentang sebuah tenaga, cita-cita, bahkan harapan yang sebelumnya telah membentuk kita sekarang. Mengajarkan kita bicara, mewarnai bendera kita, membelikan kita pakaian baru, lalu berteriak untuk kita hingga serak. Tapi apa yang terjadi hari ini? Lihatlah mereka dan kau akan bertanya-tanya siapa ibu mereka? Habiskan dan buang. Selalu habiskan dan buang. Tertawa dan bersenang-senang. Selalu tertawa dan bersenang-senang. Apa lagi yang masih tersisa? Lihatlah tempat sampah. Hidup tak lagi sama.

Perpustakaan ini terlihat begitu lengang. Dunia ini dibangun oleh konsep-konsep simbolis. Perpustakaan ini juga.. Bambu runcing. Orang-orang menyebut nama bambu runcing. Mengagungkan setinggi langit. Mensakralkan. Menimbulkan kesan heroik. Simbol perjuangan. Simbol perlawanan. Tak bisakah mereka menyebutkan nama lain yang lebih pantas daripada sekedar makanan rayap seperti itu? Dengan bambu runcing kita menjalani 3,5 abad penderitaan. Dengan bambu runcing kita diinjak bersama-sama dalam ketertundukan. Leluhur kita mati tergeletak di tanah karena berusaha menakuti musuh dengan bambu runcing. Sudah sejak lama kita mengasah bambu runcing diiringi doa. Sementara musuh mengasah otaknya diiringi taburan mesiu. Bahkan dari sejak awal kita telah kalah telak. Bambu runcing melambangkan segalanya. Kelemahan. Kekalahan. Ketertinggalan. Ketertutupan. Bambu runcing adalah simbol yang mendefinisikan kita di setiap pasang mata. Sebuah kepolosan yang lemah. Menemani kita selama 3,5 abad. Sampai akhirnya kita tahu cara menggunakan pena.

Berlayar dari pulau ke pulau. Mereka semua selalu duduk bersila. Menundukkan kepala. Berbisik. Mengatakan sesuatu entah pada siapa maksudnya. Pagi, siang, sore, dan malam. Bersujud dan bersujud. Padahal tanah mulai retak. Api berlari semakin cepat. Langit sebentar lagi runtuh. Air tak lagi ramah seperti dulu. Mereka hanya menangis, memohon, dan kadang berteriak. Keajaiban. Mukjizat. Pertolongan. Berkah. Kapan? Tuhan akan membereskan semua tapi kapan? Pernahkah terpikir oleh mereka bahwa pertanyaan seperti itu terdengar begitu menjengkelkan di telinga-Nya. Mungkin berikan mereka cermin. Cermin yang memantulkan bayangan kaki mereka. Tangan. Mulut. Mata. Telinga. Dan kepala. Atau bahkan wajah-wajah mereka yang elok. Apapun agar mereka berhenti merengek tentang Messiah. Ratu adil. Manusia unggul. Dan sebagainya.

Di seberang lautan tampak kerlap-kerlip lampu. Kembang api mekar di angkasa. Di sana tampak begitu bersinar. Di sinipun tak bisa mengelak dari pesonanya. Tangan-tangan menengadah, mencoba meraih tempat itu. Tapi tak ada yang bisa mencapainya. Tak ada yang bisa. Sebagian orang berbalik kembali di sini. Sebagian yang lain berusaha untuk menjadi yang di sana. Dan mereka terus memandangi tempat itu. Melepas pakaian mereka. Memulas wajah mereka. Mengganti sepatu mereka. Semuanya demi menjadi mereka yang ada di sana. Memeluk agama mereka. Berbicara dengan cara mereka. Melihat semua lewat kacamata mereka. Betapa mudah sekali semuanya luntur. Hilang diuapkan matahari. Padahal ini cuma gara-gara kerlap-kerlip lampu dan kembang api yang memanjakan mata. Dan lahirlah mereka yang menggerogoti diri sendiri. Perlahan-lahan namun berbahaya. Karena begitu tertular maka kau tak lagi seperti yang dikenal. Bola matamu takkan lagi hitam.

Luka hanya akan melebar dan membengkak. Semua yang rusak akan tetap seperti demikian. Semua hal akan terlihat bagus seberapa besarpun buruknya. Karena orang-orang akan selalu menari. Menemukan cara baru untuk menari. Menemukan musik baru untuk dinikmati. Menemukan kesenangan dalam menari. Semuanya akan pergi berbondong-bondong untuk menari. Sehingga hanya aku dan rumah sepiku ini berdua. Terkubur dalam kejamnya kesunyian. Dan dinginnya siang maupun malam. Maka aku mengakhiri hari dengan menutup mata sekali lagi. Bertanya, di manakah tempatku ini? Dan mengapa aku tak pernah merasa betah?

Kamis, 13 Agustus 2009

Tribute

"While we're living,
the dreams we have as children fade away."

(Fade Away, Oasis)
Mimpi. Sebuah tema yang hampir selalu diusung oleh grup band favorit saya, atau kalau boleh mewakili arogansi mereka yang sulit disangkal, band paling hebat sedunia, Oasis. Lagu-lagu mereka memang sebagian mewakili sebuah perasaan manusiawi sang kreator, Noel Gallagher, sebagai anak kelas menengah di Manchester yang terlahir sebagai seorang pemimpi, pelamun, atau pengkhayal yang kemudian mewujudkan semuanya lewat musik. Noel adalah salah satu teladan saya dalam hal mengejar impian, tak peduli betapapun mustahilnya, yang jelas ia mengajarkan saya bahwa dalam segala hal jangan takut untuk mengawalinya dari dalam ruang angan-angan.

Noel selalu berhasil meracik lirik dan melodi dalam lagu-lagunya sehingga saya ketika mendengarnya dapat merasakan ‘kedalaman’ yang ia ciptakan dan juga sekaligus membangkitkan atmosfer perasaan yang disampaikan dari sana. Dan salah satu lagu yang membuat saya terkesima adalah lagu berjudul “D’yer Wanna Be A Spaceman?” sebuah lagu sederhana yang indah tentang mimpi, kenangan, dan persahabatan di masa kecil, sebuah tema yang saya berani bilang tidak ada lagi musisi atau band jaman sekarang yang mampu mengangkatnya lagi. Apa yang menjadi racun dari lagu ini adalah kekuatan liriknya yang selain diolah secara berima, juga memiliki makna yang entah kenapa selalu membuat saya tersenyum ketika mendengarnya. Sebuah makna yang berarti bahwa walaupun kenyataan hidup selalu melenceng dari yang kita impikan tapi jangan lupa akan mimpi-mimpi tersebut dan tidak ada kata terlambat untuk memulai mimpi-mimpi itu lagi.
Lagu ini dimulai dengan sebuah sapaan nostalgia terhadap teman semasa kecil. Saat yang hebat ketika seseorang yang telah lama pergi akhirnya kembali,

“I haven’t seen your face around, since I was a kid.
You’re bringing back those memories of the things that we did.”

Dan membawa semua kenangan yang pernah terjadi. Masa kecil yang dilewati bersama dalam untaian mimpi dan imajinasi liar khas anak-anak yang selalu mewakili sisi kehebatan dan bernilai besar,

“You’re hanging ‘round and climbing trees pretending to fly.
D’yer wanna be a spaceman and live in the sky?”

Bait berikutnya adalah bagian yang ‘sentimentil’. Inilah saat ketika dunia nyata mulai bersinggungan, bahwa sang kawan lama dalam kedewasaannya telah menjadi bagian dari sebuah kehidupan yang tak bisa ia lari darinya,

“You got how many bills to pay, and how many kids.
And you forgot about the things that we did.”

Dan konsekuensinya adalah mimpi yang pernah dibangun bersama mulai terasa hanya sebagai lamunan kosong belaka, karena dunia yang meminta demikian,

“The town where you live in has made you a man.
And all of your dreams are washed away in the sand.”

Lalu di bagian chorus adalah sebuah nasihat terhadap kawan lama yang dibuka dengan kalimat rendah hati yang tidak menghakimi dirinya walaupun pada dasarnya kawan lama itu telah lupa bagaimana caranya menikmati hidup seperti ketika kecil dulu,

“Well it’s alright, it’s alright.
Who are you and me to say what’s wrong and what’s right.”

Semuanya tidak menjadi masalah asalkan kita masih memiliki perasaan yang sama akan mimpi kita dulu,

“Do you still feel like me?
We sit down here and we shall see.
We can talk and find common ground.”

Kita bisa memulainya lagi, bermimpi lagi seperti dulu dan menemukan kesenangan yang telah lama pergi,

“We can just forget about feeling down,
We can just forget about life in this town.”

Kemudian di verse ketiga saya menangkap bahwa akhirnya kita tidak bisa mengelak dari kedewasaan dan kenyataan hidup yang memang bagaimanapun juga tujuan hidup harus lepas dari impian masa kecil walaupun terdengar sarkastis ketika menggambarkannya dari sudut pandang anak-anak,

“It’s funny how your dreams changed as you’re growing old.
You don’t wanna be no spaceman you just want gold.”

Tapi yang harus diingat adalah, tidak ada kata terlambat, dan saya percaya,

“All the dreams stealers are lying in wait.
But if you wanna be a spaceman, it’s still not to late.”

Saat chorus dinyanyikan lagi saya menangkap kesan yang berbeda dengan sebelumnya. Kali ini saya menangkap kesan yang lebih dewasa bahwa, oke kita tidak bisa seperti dulu lagi, mengulangi masa kecil dan berkhayal menjadi astronot, tapi satu hal yang pasti kita masih bisa bersama, merasakan hal yang sama, dan kebersamaan ini telah cukup untuk menghilangkan segala masalah yang kita punya masing-masing dan mungkin melupakan mimpi yang lama dan memulai dengan mimpi yang baru. Di sini saya merasa bahwa lagu ini adalah sepenuhnya tentang persahabatan yang sampai kapanpun tidak akan pernah berakhir atau dilupakan walaupun tujuan hidup kita telah berbeda.

“Well it’s alright, it’s alright.
Who are you and me to say what’s wrong and what’s right.
Do you still feel like me?
We sit down here and we shall see.
We can talk and find common ground.
We can just forget about feeling down,
We can just forget about life in this town.”

Bagian yang paling saya suka dari lagu ini adalah saat Liam Gallagher menyanyikan vokal latarnya yang terdengar sedikit bergema, seolah-olah seperti suara mimpi lama mereka yang hidup kembali di dalam pikiran. Sangat jenius, mengena, dan brilian! Hebatnya lagi lagu ini tidak pernah disertakan dalam album-album Oasis tapi hanya sebagai single sampingan (b-side) atau bisa disebut sebagai lagu buangan yang bahkan masih seratus kali lebih bagus dari lagu-lagu band generasi sekarang. They are just fooking mega man!

Senin, 10 Agustus 2009

Perkamen

"Life on the other hand won't let you understand,
'cause we're all part of the masterplan."

(The Masterplan, Oasis)
Cerita di bawah ini saya kutip dari sebuah buku, yang mana saya sendiri lupa dari buku apa cerita ini saya temukan, hasilnya, saya berusaha menceritakan kembali cerita ini dengan cara dan bahasa saya sendiri (semoga saya tidak merusak pesan yang disampaikan oleh cerita ini) :

Suatu kali seorang pangeran dari sebuah kerajaan memutuskan untuk pergi berlibur. Terdorong oleh keinginannya untuk menjelajahi dunia yang sama sekali baru, maka ia memutuskan untuk pergi melintasi benua menuju sebuah pulau yang asing. Setelah menempuh perjalanan berhari-hari, akhirnya ia sampai di tempat tujuan. Pulau tersebut terlihat asri, alami, dengan pemandangan-pemandangan eksotis yang belum pernah ia lihat sebelumnya. Ia menghabiskan waktu di sana dengan berjalan kaki, menikmati dan menyusuri setiap keindahan yang ia temui.Sepanjang jalan, ia tak henti-hentinya merasa kagum.

Lalu setelah beberapa lama, sampai di ujung pulau. Ia menemui sebuah perkampungan yang membentang jauh ke dalam. Karena penasaran, maka ia masuk ke dalam perkampungan tersebut dan betapa terkejutnya ia terhadap apa yang ia lihat. Setelah sebelumnya menikmati keindahan pulau, sekarang ia justru mendapati sebuah pemandangan kumuh di tempat itu. Ia melihat orang-orang yang kurus kering dengan kulit sebagai pembungkus tulang, bayi-bayi yang menangis kehausan, anak-anak kecil yang tubuhnya dekil, hewan-hewan ternak yang sakit, orang-orang cacat, dan para orang tua yang sudah menyerupai mayat hidup. Belum lagi tempat tinggal mereka yang hanya terdiri dari kayu, jerami, dan pepohonan ditambah dengan aroma busuk yang menyebar ke mana-mana dan air yang sudah menghitam yang mengairi perkampungan mereka. Pangeran tersebut hanya bisa diam tak berkutik menyaksikan mereka seraya melewati seluruh perkampungan tersebut. Ia melihat suatu bentuk kemiskinan yang sebelumnya hanya pernah ia dengar. Dalam hatinya ia bertanya-tanya, "mengapa ada sekelompok orang yang hidup seperti ini?"

Begitu selesai berjalan-jalan, masih dalam kondisi batin yang terguncang, ia berlari menuju sebuah gunung. Di situ, ia berpikir tentang orang-orang tadi. Ia berpikir tentang dirinya, hidupnya yang dipenuhi oleh gemerlap materi dan kemewahan, yang tampaknya tidak pernah sedikit pun ia mengalami suatu kekurangan apapun. Lalu ia mengingat kembali apa yang baru saja ia lihat dengan kedua matanya. Dan ia pun mulai menangis. Sambil diliputi oleh rasa sedih, iba, jijik, dan marah ia berteriak kepada langit:

“Tuhan! Apa yang telah Kau lakukan? Selama ini Engkau beri hamba berbagai kenikmatan, limpahan makanan, dan kekayaan, tapi kenapa Engkau meninggalkan mereka? Mengapa Engkau beri aku segalanya sedangkan mereka Engkau lupakan? Mengapa Engkau diam saja? Bukankah Engkau seharusnya berbuat sesuatu untuk mereka? Bukankah mudah bagi-Mu untuk memberi apa yang aku dapat kepada mereka? Kumohon, lakukanlah sesuatu."

Lalu seketika itu juga langit pun menjawab:

“Wahai anakku, engkau telah salah mengira. Aku tidak pernah melupakan mereka, justru sebaliknya, Aku telah berbuat sesuatu untuk mereka, yaitu dengan menciptakan KAMU."

Mendengar jawaban dari langit itu, tentunya ada sedikit perasaan malu yang saya rasakan. Selama ini saya hanya bisa menyaksikan kemiskinan, mendengarkannya lewat lagu dan puisi, dan mendefinisikannya dalam bentuk angka-angka statistik. Seringkali juga terlalu repot mencari kambing hitam atas kondisi tersebut atau barangkali menyudutkan pemerintah dan sistem ekonomi yang berlaku. Di lain waktu, saya bahkan mencap kemisikinan tersebut sebagai produk dari kemalasan dan mental lemah yang tak ingin berusaha untuk mencari kehidupan yang lebih baik. Entah apa yang sebenarnya terjadi, yang jelas cerita di atas memberi tahu saya untuk berhenti cengeng mempertanyakan arti hidup saya, dan mulai untuk bisa memaknainya dari sudut pandang orang lain. Semoga bermanfaat!

Jumat, 07 Agustus 2009

Primero Intermezzo

Home by Foo Fighters

Kamis, 06 Agustus 2009

Epitaph

"Talent is God-given, be humble.
Fame is man-given, be grateful.
Conceit is self-given, be careful."
(John Wooden)
Secara teoritis, mungkin inilah contoh paling tragis dari kisah ‘One Hit Wonder’. Bertahun-tahun berkarya di bawah permukaan ketenaran, lalu setelah sekian lama akhirnya pintu apresiasi dari masyarakat terbuka lebar dan ia langsung melesat ke angkasa namun tak berapa lama, jatuh ke pelukan Sang Pencipta dengan hanya secuil kue popularitas yang sempat dinikmatinya. Atau kalau bicara masalah waktu, mungkin ini juga bisa disebut sebagai contoh otentik dari ‘The Right Man on the Right Time’. Ketika dunia musik nasional diselimuti oleh kemonotonan dan tanda tanya besar terhadap kualitas, dia muncul lewat konsep yang tergolong eksentrik, sederhana, bahkan unik bila dilihat dari usianya, dan menawarkan genre yang selama ini mati suri, lalu pergi begitu saja ketika ia sedang berada di puncak ketenaran, sehingga dirinya akan selalu dikenang lewat kacamata yang bagus. Yah, apapun itu, sepertinya ia tak akan ambil pusing. Saya mulai yakin, bahwa dimanapun dia berada sekarang, dalam kondisi apapun, Mbah Surip takkan pernah lupa untuk selalu memamerkan tawa khasnya itu.

Tidak salah kalau pada mulanya dikatakan bahwa saya tidak memandang sosoknya sebagai sesuatu yang ‘wah’. Pada awalnya bahkan kemunculannya hanya memancing reaksi saya untuk mengolok-olok dan kembali memandang miris terhadap industri musik populer. Dengan lagu yang sepertinya tidak memposisikan lirik sebagai produk puitis dan mengandung makna yang tidak terlalu serius bahkan cenderung asal-asalan, sepertinya sulit bagi saya mengapresiasinya secara lebih dalam. Karyanya tidak memberi efek apa-apa bagi saya, hanya sebatas hiburan ‘selewat’. Makanya saya heran ketika lagunya menjadi begitu digemari orang-orang.

Jujur saja saya tidak bisa terlalu banyak bicara tentang musiknya, di samping karena ‘karier’-nya yang terlampau singkat, saya sendiri tidak terlalu menikmati apa yang dia tawarkan. Namun ada sesuatu yang membuat saya tertarik dari sosok yang satu ini. Berita kematiannya yang ada di tiap media di tanah air, turut mengundang saya untuk mencari tahu siapa orang ini, tidak dalam sosok selebritisnya tapi lebih kepada pribadinya, karena inilah yang sering dibicarakan oleh orang-orang terdekat dalam mengenang dirinya.
Satu cerita yang menumbuhkan ketertarikan saya adalah pengalaman yang diutarakan oleh seorang pelawak senior mengenai beliau. Dikatakan ketika hendak menempuh perjalanan udara dari Medan ke Jakarta, dengan isengnya si pelawak ini menyembunyikan sebelah sepatu Mbah Surip. Tak dijelaskan bagaimana reaksinya kala itu, tapi yang jelas selama perjalanan ia hanya mengenakan sepatu sebelah dan tidak menunjukkan sikap gelisah, risih, ataupun marah, malah cenderung tidak peduli dan lupa pada kondisinya itu. Baru ketika sampai di Jakarta, si pelawak ini memberikan sepatunya, dan apa yang terjadi? Ia hanya tertawa, dengan bunyinya yang khas.
Ketika mendengar cerita ini, terus terang ada perasaan kagum yang muncul. Kalau dibandingkan dengan saya, ketika diperlakukan demikian, pasti saya akan marah-marah, mencak-mencak, mencari tahu siapa yang melakukan ini dengan menggunakan kombinasi kata-kata kasar, kehilangan mood baik dengan sangat cepat, dan kalau perlu berkelahi dengan pelakunya. Bagaimana tidak, bayangkan saja betapa kesalnya harus menjadi korban dari hiburan kelas kampung dan terus menjadi tontonan selama berjam-jam perjalanan melintasi pulau. Bahkan rasa kesal saja rasanya tidak cukup.
Tapi kenapa dia justru tidak melakukan hal yang sama? Ini yang membuat saya berpikir bahwa perbedaannya ada pada cara pandang atau filosofi hidup. Dan bisa jadi ini berkaitan langsung dengan aliran musik dan selera fashion yang ia pilih, yaitu Reggae. Sebenarnya saya tidak terlalu tahu banyak tentang Reggae selain Bob Marley, Rastafaria, dan Jamaika, lalu ditambah sedikit dengan suasana pantai, konsep cinta damai dan anti perang, dan, maaf kalau salah, menghisap ganja. Secara garis besar yang diperlihatkan oleh mereka yang menganut filosofi Reggae ini adalah hidup rendah hati, sederhana, dan santai, tanpa beban, karena semuanya akan baik-baik saja.
Saya tidak habis pikir bagaimana orang bisa merasa demikian, maksudnya terhindar dari rasa khawatir akan masa depan, ketakutan, penyesalan, deperesi, dan masalah-masalah manusia pada umumnya. Bukan berarti mereka tidak memiliki masalah, tapi justru setiap masalah yang ada dihadapi dengan suatu bentuk kepasrahan, bukan dalam wujud pasif-nya, tapi wujud cairnya yang melebur bersama ruang-ruang kehidupan ini atau dengan kata lain, sifat rendah hati yang mau menerima semuanya dengan ikhlas dan apa adanya. Fleksibel, itu mungkin kata yang bisa mewakili mereka.
Ketika Mbah Surip mendapati sepatunya hilang, atau disembunyikan tanpa sepengetahuannya oleh temannya, ia menunjukkan sikap kepasrahan itu dengan tidak terlalu mempersoalkan masalah tersebut. Apalah artinya sebuah sepatu? Lalu saat ia harus menjalani berjam-jam perjalanan dengan hanya mengenakan sepatu sebelah, ia sudah bisa dikatakan menerima sepenuhnya kondisi tersebut secara ikhlas sehingga tidak perlu meributkannya atau merasa malu seperti orang-orang pada umumnya. Apalah artinya rasa malu? Dan dalam kapasitasnya sebagai seorang seniman nyentrik rasa malu tentunya bukan masalah yang harus ditutupi. Tapi yang harus diperhatikan adalah bagaimana ia menanggapinya dengan santai untuk kondisi yang sebenarnya tidak begitu nyaman. Dan akhirnya begitu sepatunya dikembalikan dan menyadari ia hanya dijadikan bahan lelucon selama perjalanan, reaksi tertawanya menunjukkan bahwa memang tidak ada yang perlu dikhawatirkan karena semuanya akan baik-baik saja. Kenapa haru s marah? Toh ini memang lucu.
Bayangkan bahwa sejak awal ia tidak pernah berpikir untuk marah atau merasa gelisah, karena reaksinya hanya tertawa. Kalau sejak awal ia merasa tidak nyaman tentunya begitu ia tahu bahwa semuanya hanya ulah jahil semata, ia akan marah, tidak terima dengan apa yang menimpanya. Ini adalah bukti bahwa di balik penampilannya yang terbilang urakan untuk ukuran seorang kakek-kakek, ada sifat rendah hati yang telah lama ia pupuk sepanjang perjalanan hidupnya yang akrobatik yang menghasilkan sikap lapang dada terhadap segala masalah. Bagi saya pribadi, dibutuhkan perjuangan dan pengorbanan untuk bisa sampai di titik itu.
Walaupun cuma sebentar, tapi secuil kisah hidupnya ini mampu memberikan inspirasi bagi hidup saya. Dan itu merupakan hal yang sangat bagus. Mbah Surip memang tidak bisa memberikan pengaruh pada saya lewat musiknya tapi justru lewat filosofi hidupnya yang sangat matang dan bijaksana. Selamat beristirahat Mbah, dunia memang terlalu sibuk dan melelahkan.

Senin, 03 Agustus 2009

Reflektor

Robin turned and looked straight into her. "What's life for?"
"I don't know."
"I don't either. But I don't think it's about winning."

(The Corrections, Jonathan Franzen)

Untuk yang kesekian kalinya saya merasakan “sesuatu” sehabis menonton film. Sebut saja ini sebagai sebuah kenikmatan bagi saya, sebagai penonton, yang secara beruntung mampu menangkap sebagian pesan yang coba disampaikan oleh sebuah tontonan. Hal yang terasa sangat spesial karena ini bisa dikatakan pertama kalinya (sejak Pirates of the Caribbean: The Curse of the Black Pearl) saya tidak menyesal karena menghabiskan uang untuk menonton di bioskop. Lebih spesial lagi karena film ini adalah film animasi, sebuah genre yang sejak diterapkannya teknologi CGI dalam film selalu membuat saya terpesona. Film animasi yang menyatukan hiburan, petualangan, drama, dan komedi dalam satu kata yang singkat dan sederhana: Up.

Up, film dengan jumlah huruf paling sedikit yang pernah saya tonton, sebenarnya memiliki formula yang sama seperti kebanyakan film sejenis, yaitu film keluarga dengan moral story yang disampaikan secara gamblang, tanpa harus mengerutkan dahi, mengingat pasar utamanya adalah anak-anak. Maka tak heran komedi yang dihadirkan di tiap scene bukanlah komedi yang berat melainkan ringan sekaligus cerdas, sehingga penonton pun bereaksi dengan tawa lepas, bukan tawa yang ditahan-tahan. Untuk masalah yang satu ini saya rasa Pixar selalu berhasil melakukannya dari sejak pertama kali muncul lewat Toy Story. Di samping itu, orisinalitas ide cerita benar-benar luar biasa, jauh dari kesan dipaksakan, namun justru sangat sederhana dan saking sederhananya bahkan sampai tidak terpikirkan oleh siapapun kecuali mungkin saja ketika ide untuk terbang melintas pertama kalinya di kepala Wright bersaudara.
Langsung ke bagian intinya, bagian di mana saya merasa film ini masuk ke hati saya adalah ketika si tokoh utama, Carl Fredricksen, membuka lagi buku catatan milik almarhum istrinya. Buku tersebut berisi berkas-berkas “petualangan” sang istri di masa kecil yang juga mencantumkan sebuah cita-cita untuk memiliki rumah di samping air terjun Paradise Fall, cita-cita yang belum sempat diwujudkan sampai akhir hayatnya yang akhirnya menjadi motivasi Carl untuk melakukan petualangan “sinting”-nya. Di buku tersebut sang istri menyiapkan lembar-lembar halaman kosong yang merupakan bagian dari bab “Hal-hal yang harus dilakukan” begitu sampai di air terjun tersebut.

Nah, ceritanya ketika di tengah petualangan tersebut, Carl memilih untuk “meninggalkan” teman-temannya yang telah menghambat tujuannya, dan memilih untuk fokus mewujudkan impian istri yang begitu ia cintai, Carl duduk di sofanya lalu membuka buku catatan itu lagi setelah lama tidak ia lakukan. Dan di sinilah momen “luar biasa” itu terjadi. Carl mendapati lembar-lembar kosong berjudul “Hal-hal yang harus dilakukan” tidak lagi kosong, namun sudah penuh berisi foto-foto mereka berdua yang menangkap momen-momen dari sejak awal pernikahan sampai di hari tua mereka. Foto-foto tersebut merupakan rekaman kebahagiaan yang sepertinya selalu mereka rasakan di setiap saat kebersamaannya. Dan dengan sangat manisnya, di lembar terakhir sang istri menuliskan sebuah catatan kecil bebunyi “Thank You for the Adventure” (jujur saja, kalau Tuhan berkenan merubah saya menjadi perempuan di saat itu, saya akan dengan senang hati menangis terharu).

Ada dua hal yang dihadapi Carl di saat itu dan menjadikannya sebuah dilema, yaitu ambisi dan empati. Bahkan di sepanjang film, menurut saya kedua hal inilah yang menjadi topik utama yang menjadi kontradiksi dari kedua tokoh utama yaitu Carl dan Russel, anak kecil yang secara tidak sengaja terlibat dalam petualangannya. Sejak kematian istrinya, di situlah Carl mulai membuka dirinya terhadap ambisi lama yang sangat ingin diwujudkan, dan menutup pelan-pelan pintu empati yang ia punya, terbukti ia menjadi seorang yang pemarah, apatis, dan bahkan sedikit kasar. Kedua hal ini memang terbukti tidak bisa dijalankan bersama-sama, sehingga salah satu harus menghilangkan yang lain, dan akhirnya Carl memilih pilihan yang tepat.
Ini sampai pada perenungan saya. Sebagai laki-laki tentunya saya tidak bisa lepas dari sebuah ambisi, terutama ketika menginjak di usia saya seperti sekarang. Saya dibentuk untuk selalu memiliki mimpi lalu berusaha untuk mewujudkannya. Dan di dalam prosesnya, muncullah apa yang disebut ambisi. Adalah sebuah kebingungan yang menyesatkan di mana ambisi saya yakini memliki dua cabang yang berkabut, yang satu adalah manifestasi dari mimpi-mimpi dan yang lain adalah jurang yang justru akan menenggelamkan mimpi-mimpi itu satu per satu. Bagaimana pun ambisi memiliki bentuk sebagai sebuah kesungguhan dan keseriusan dalam berusaha memperoleh apa yang kita impikan bahkan bisa jadi juga sebagai pilot utama yang mengendalikan setiap usaha yang kita lakukan. Tak jarang ambisi pulalah yang menjadi bahan bakar seseorang untuk menjalani hidupnya. Harus diakui, saya menapaki tiap jengkal dari hidup ini mengenakan sepatu tebal ambisi yang menggelora.

Namun, film ini berbicara lain. Film ini menunjukkan dua hal tersebut dalam bentuknya yang telah disederhanakan yaitu kebahagiaan pribadi, sebagai buah dari ambisi, dan kebahagiaan bersama, sebagai wujud dari mekarnya rasa empati. Walaupun saya tidak begitu mempercayai konsep kebahagiaan kolektif karena keseimbangan hidup selalu memberikan kebahagiaan di suatu pihak dan kesedihan di pihak yang lain, tetapi penerapan empati memberikan sudut pandang lain bahwa hidup ini bukan seni tentang menang dan kalah, melainkan seni tentang menyatu dalam hidup, melebur, dan penerimaan terhadap jati diri bukan sebagai individu melainkan sebagai bagian dari yang lain. Anggap saja saya naïf tapi saya merasa sistem kapitalisme, yang menyerukan dunia untuk selalu berorientasi pada profit dan materi terhadap segala hal, adalah produk dari ambisi dangkal yang salah paham dalam memahami hidup.
Kalau boleh saya simpulkan, ambisi adalah mata yang selalu melihat ke atas, sedangkan empati adalah mata yang tanpa mengantuk mampu melihat ke segala arah. Sebuah pesan yang sangat bijak yang mungkin akan saya olah terus seiring saya hidup dan tentu saja rasa hormat saya tujukan pada semua pihak yang membuat film yang penuh kesan ini. Saya yakin film ini mendapat tempat di Best Animated Feature Film pada ajang Oscar mendatang.

Sabtu, 01 Agustus 2009

Seluloid

"I find television to be very educating.
Every time somebody turns on the set,
I go in the other room and read a book."

(Groucho Marx)

Televisi. Saya tak ingat proses pertama kalinya berkenalan dengan televisi, yang jelas saya sudah mengenalnya bahkan akrab jauh sebelum saya bisa bicara, berjalan, atau pun mengerti apa yang saya lihat, dan dari orang-orang terdekat saya kala itu, maka saya pun mengenal sebutan lain untuk benda kotak itu dan mulai memanggilnya: TV.

Lalu kami pun mulai menghabiskan waktu bersama-sama, menjalin hubungan yang begitu dekat, saling berhadapan dan bertatapan setiap hari. Ketika saya tidur, dia masuk ke dalam mimpi. Ketika saya sendiri, dia yang menemani. Ketika saya bosan, dia yang menghibur. Ketika listrik di rumah mati, tak terbayangkan betapa saya kehilangan dia dan ‘kebungkamannya’ begitu menyiksa di tiap detik yang berlalu. Ketika musim ujian tiba, tak terhitung panjangnya jarak antara kita berdua, saat itu entah mengapa kita seperti sedang bermusuhan. TV menjadi bagian dari otak saya. TV ada di kepala saya. TV menguasai hati saya. TV membentuk pribadi saya. Bahkan saya merasa bahwa hidup saya telah diatur oleh TV.





Sampai akhirnya, saya berselingkuh. Harus kuakui bahwa pengkhianatan ini pastilah sangat menyakitkan buatnya, karena saya berselingkuh dengan medium yang kalah populer dan bisa dibilang lebih ‘lemah’ dari kedudukannya sebagai ‘sang penghibur’, yaitu kaset dan buku. Untuk yang satu ini, saya ingat proses perkenalannya. Semuanya dimulai ketika saya diliputi rasa muak dan jenuh akan rutinitas sehari-hari terutama tetek-bengek perkuliahan yang tidak memberi saya apa-apa kecuali api yang menyulut sumbu di kepala saya untuk meledak. Dari sejak awal, pelarian itu terasa begitu menyenangkan. Saya menelusuri ‘dunia baru’ yang sangat sangat sangat sangat… baru. Saya melihat banyak hal yang belum pernah saya lihat, mendengar banyak hal yang belum pernah terdengar, dan cara bagaimana mereka memperbaharui pikiran saya benar-benar adalah suatu pengalaman yang bernilai Renaissance buat sebagian hidup saya yang monokrom.

Lalu seperti yang biasa terjadi semakin lama perselingkuhan itu semakin terasa nikmat dan saya telah dibuat sedemikian terlena, yang kemudian muncul adalah timbulnya berbagai pikiran buruk terhadap TV yang semakin menguatkan bahwa perselingkuhan dengan pihak ketiga ini adalah suatu hal yang dapat dibenarkan. Katakanlah habis manis sepah dibuang. Saya tidak lagi memandang TV sebagai sesuatu yang spesial, dulu mungkin iya, tapi sekarang dia seperti perempuan tua peot yang kecantikannya telah luntur.

Dari awalnya hanya berupa sikap acuh tak acuh terhadap TV, lama kelamaan begitu saya mulai semakin dalam merajut hubungan baru ini, timbul perasaan benci terhadap TV. Saya melihat betapa egoisnya dia. Kemunculannya yang menenggelamkan fungsi kaset dan buku selama ini telah membuat amarah saya mendidih. TV telah merebut popularitas dengan merampas semua media hiburan dan seni ke dalamnya sehingga hanya menyisakan sedikit celah bagi media lain untuk menjalani ‘hidup’-nya. TV selalu ada di mana-mana. Di tiap rumah. Kota. Pedesaan. Pagi, siang, sore, malam. Brengsek sekali.




Tapi tidak terlalu sulit melepaskan TV dari kehidupan saya yang baru. Seperti yang telah disebutkan bahwa pihak ketiga telah memberi saya suatu pencerahan dan kini kedua mata saya bisa melihat bahwa TV hanyalah kotak elektronik yang berisi sampah dan rongsokan.Pernah suatu kali berusaha berbaikan, menjalin kembali hubungan dengan TV, hasilnya? Sangat tidak harmonis. Apa yang saya lihat adalah parade acara-acara dangkal yang miskin kreatifitas, minus inspirasi, menjual sensasi murahan, eksploitasi, plagiasi, polusi kebudayaan, degradasi moral, menampilkan realitas simbolik yang dibumbui dramatisasi di sana-sini, pembodohan terselubung lengkap dengan upaya mempengaruhi masyarakat lewat iklan, bahkan juga terdapat sedikit bumbu kapitalisme di sana.

Fungsi TV di Indonesia telah mengalami perubahan yang bisa dibilang signifikan. Memang hal ini tidak terlepas dari kondisi sosial dan politik yang mewarnai negara ini, sebagai contoh, sebagai media informasi, mana bisa saya tahan melihat acara berita yang isinya hal-hal kriminal dalam berbagai bentuk, ukuran, dan turunannya. Dari mulai darah yang berceceran sampai kasus korupsi, dari mulai kanibalisme sampai penganiayaan TKI, dari mulai pemerkosaan sampai tawuran antar perguruan tinggi. Belum lagi berita-berita yang berkaitan dengan kemelaratan yang sepertinya tidak pernah habis-habisnya. Kalaupun ada berita menggembirakan, porsinya hanya sedikit. Saya bahkan tak ingat kapan terakhir kali mendengar berita gembira di TV. Dengan ‘sikap’-nya yang seperti itu, yang terbaik yang bisa saya lakukan adalah mematikan TV.

Namun saya masih berbaik hati. Saya memberinya kesempatan kedua dan dia membalasnya dengan infotainment. Cih! Dia memang hampir saja membius saya dengan sajian yang bukan lagi menyinggung dunia kriminal. Lama kelamaan saya mulai sadar bahwa itu semua tak lebih dari parodi popularitas yang banal. Sebuah panggung dengan intrik dan konflik yang sesuai dengan karakter para pelakunya, yaitu penuh sandiwara dan sensasi omong kosong. Inspirasi? Tidak, popularitas? Ya. Nilai keteladanan? Bukan, fanatisme kosong? Ya. Cermin kesempurnaan? Sama sekali tidak, potret hedonisme? Betul. Betapa menyedihkan ketika information dan entertainment didefinisikan ke dalam tayangan yang berisi aib, lebih banyak aib, penuh aib, sedikit aib, mendekati aib, aib yang belum terbukti, aib yang terangkat kembali, dan aib yang selalu mengikuti seorang figur masyarakat kemanapun dia pergi. Maka sambil diikuti sumpah serapah saya mematikan TV dan meninggalkannya.

Tapi kenangan di masa kecil yang begitu melekat membuat saya tidak bisa sepenuhnya melupakan TV. Saya kembali ke pelukannya. Kali ini ia berjanji tidak akan mengulangi kesalahannya lagi. Saya memberinya kesempatan, kesempatan yang terakhir.

Saya duduk di kursi malas lalu menonton sinetron. Sinema elektronik, dia bilang. Acara ini menguasai prime time di setiap channel. Isinya berupa drama tentang kehidupan manusia, dan tak perlu waktu lama untuk memunculkan pertanyaan ini, manusia yang mana? Siapa atau golongan apa yang diwakili? Bagi saya drama yang disajikan adalah drama picisan dengan tema dan jalan cerita usang, anti logika, dan menjual banyak sekali mimpi, bukan mimpi yang mulia dan patut diperjuangkan, tapi mimpi Cinderella yang hanya berlaku di dunia di mana manusia hidup berdampingan dengan kaum peri. Unsur-unsurnya selalu sama, tangis, amarah, keluarga kaya raya yang terlibat dengan keluarga miskin, ibu tiri, mertua pemarah, tokoh antagonis yang selalu melotot, cinta segitiga, cinta bertepuk sebelah tangan, cinta yang tidak direstui, cinta monyet, cinta yang penuh dilema, dan yang mengenakan mahkota juara adalah tokoh utama yang selalu ditindas, diinjak-injak, diludahi, dicelakai, dihina, dicaci-maki, dilukai, namun tetap sabar, tabah, tersenyum, dan tentu saja, menangis sambil berdo’a. Bagi saya ini murni pembodohan. Karakter tokoh utama justru mengajarkan mental pengemis yang harus dihilangkan. Bandingkan dengan karakter tokoh utama tayangan luar negeri di mana ketika ia dberikan cobaan dan terkanan begitu besar hingga membuatnya terpuruk, maka yang ditonjolkan adalah usaha dan proses yang dilakukan tokoh tersebut dari nol hingga mencapai kesuksesan, bukan malah menangis dan berdoa sepanjang waktu lalu tiba-tiba keajaiban datang. Kenapa pula harus selalu mengiba pada campur tangan Tuhan? Apakah memang itu potret masyarakat Indonesia, yang enggan berkerja keras dan berusaha lepas dari kesulitan dengan kemampuannya yang paling maksimal? Kalau iya tentu saja ini memprihatinkan. Kesimpulan saya adalah sinetron tidak memberikan apa-apa kecuali tontonan yang menjemukan dan tak berisi. Dan akhirnya saya telah benar-benar ingin muntah dan memutuskan untuk benar-benar mematikan TV.

Walaupun ia tetap berusaha mendekati saya lewat berbagai cara seperti acara kuis, talk show, reality show (saya anggap ini sebagai penghinaan), sinetron religi, acara komedi, games show, dan bahkan acara musik, tak ada satu pun yang membuat saya kembali pada kondisi kedekatan yang dulu. Saya memang masih menghampirinya untuk pertandingan sepak bola dan film-film barat yang memang saya suka, tapi itupun dengan menunjukkan sikap saya yang dingin. Semuanya telah berubah dan saya telah meninggalkan TV, melupakannya, dan tidak lagi peduli dengannya. Kasar memang, tapi saya tidak tahu cara lain.

Saya hanya punya satu pesan untuk mantan ‘teman’ saya itu: “Dibandingkan dengan kaset dan buku, atau sebut saja musik dan sastra, yang sifatnya lebih liberal, kamu (TV) hanya patuh dan tunduk pada satu Tuhan, yaitu rating, dan itu benar-benar konyol!”