Senin, 19 Desember 2011

Simbiosis Transendensialisme


You can tell the size of your God by looking at the size of your worry list.  The longer your list, the smaller your God. 

(Anonymous)
Saya sudah terlalu lama hidup di dalam lingkungan yang beranggapan bahwa mempertanyakan atau bahkan sekedar berpikir tentang apa yang Tuhan lakukan adalah hal yang tabu, subversif, melenceng, atau dalam kerangka pemikiran tertentu, tindakan itu juga tergolong dosa. Yang jelas kita akan selalu menyepakati kesimpulan akhir bahwa Tuhan adalah maha terhadap apapun sehingga kita sebagai manusia, tidak punya pilihan lagi selain meratapi kekecilan kita yang luar biasa itu. Ada kecenderungan pemahaman yang menyebut karena Tuhan itu Maha Besar dan manusia hanyalah seukuran atom yang terbagi-bagi lagi dan lagi dan lagi, maka menyinggung soal Tuhan adalah sebuah upaya yang takkan terjamah oleh manusia selain dari menjamah kegilaannya sendiri. Maka terima saja kesimpulan besar itu: Tuhan adalah yang paling Tuhan di atas segala apa-apa.

Tersebutlah Tuhan yang sangat besar itu sebagai kekuatan tak terbatas yang menjadi bagian dari kehidupan manusia. Kehadiran-Nya mau tidak mau mengecilkan eksistensi manusia. Agama muncul sebagai ideologi praktis dan teoritis dalam meletakkan pijakan-pijakan di atas jalur yang menghubungkan manusia dengan Tuhan. Kehadirannya mau tidak mau menggoda iman manusia.

Lalu pada prosesnya, agama memiliki fungsi lain. Melewati nalar manusia, ajaran agama berkembang sebagai medium yang mengajak manusia untuk “berdamai” dengan Tuhan. “Berdamai” dalam pengertian ketundukan tanpa syarat, penyerahan diri yang tak bisa ditawar-tawar lagi posisinya. Karena Tuhan Maha Apa Saja ―dengan kekuatan yang meliputi membelah matahari jadi dua dalam satu tiupan, membangkitkan dinosaurus dari tanah, atau menciptakan sepuluh Adolf Hitler― sedangkan manusia begitu tidak berdaya, maka “perdamaian” harus dicetuskan untuk menegaskan posisi keduanya. Ide tentang kemurkaan Tuhan dan neraka akhirat menjadi unsur penting dalam pengenalan agama yang pada ujungnya juga digunakan untuk mendefinisikan (atau mempersonifikasikan) Tuhan.

Ketaatan terhadap Tuhan jadi nama lain dari ketakutan akan Tuhan. Ketakutan seperti lutut bergetar, kencing di celana, gemeretak di gigi, yang muncul dari membayangkan Tuhan sebagai penguasa absolut dari segala penguasa yang selalu siap dengan kemarahannya untuk menghukum manusia. Maka ketakutan manusia pun dibuat menjadi absolut. Agama, dalam pengertian lain, adalah panduan untuk mempertegas rasa takut manusia terhadap hukuman-hukuman dan angkara murka Sang Pencipta. Sehingga akhirnya, agama tidak lebih dari sekedar hal-hal dogmatis.

Terkait dengan lingkungan saya ―atau lingkungan yang terwakili dalam istilah Indonesia― atmosfer dogmatik yang begitu kuat terletak pada prinsip beribadah yang melekat di keyakinan umat beragama. Hal-hal yang menyangkut penghakiman prematur mengenai pahala dan dosa. Adalah suatu kelumrahan untuk menyebut bahwa tujuan beribadah adalah untuk menyenangkan hati Tuhan atau meredakan kemarahan-Nya (bayangkan sebuah bencana alam yang dikaitkan dengan dosa para penduduk tempat bencana tersebut terjadi). Jika manusia beribadah maka Tuhan tersenyum, jika manusia lalai Tuhan akan kesal. Ibadah adalah untuk Tuhan, penyerahan terbaik dari kelemahan manusia untuk Sang Maha Dahsyat. Dan jika saya tidak salah melihat, ibadah menjadi manifestasi dari karakter dan mental upeti/sesajen pengikut-Nya. Ketundukan terhadap sang Superpower. Mental yang telah membentuk wajah bangsa ini selama ratusan tahun.

***

Film The Tree of Life dirilis tahun ini. Karya sutradara Terrence Malick (setelah sekian lama vakum) ini menuai pujian dari para kritikus dan meraih banyak penghargaan. Ada satu sequence di dalamnya yang membuat saya terbius. Sebuah adegan kilas balik visual mengenai penciptaan kehidupan dari mulai pembentukan langit, galaksi, bumi, lautan, daratan, tumbuhan, mahluk bersel satu, ikan, dinosaurus dan kepunahannya, lalu akhirnya manusia yang mungil dan lemah, meringkuk di dalam janin. Adegan yang luar biasa yang memperlihatkan Tuhan sedang berkarya, menghasilkan mahakarya demi mahakarya dengan cita rasa yang tak terjangkau, ide dan kejeniusan yang tak terbendung, pertunjukan kekuatan yang Maha Arogan. Benar-benar sebuah pengalaman sinematis yang epik nan syahdu.

Memang tidak bijak untuk menjustifikasi kesahihan ide visual Terrence Malick di film itu. Apa yang dia gambarkan belum tentu apa yang terjadi sebenarnya, itu hanya upaya kecil manusia untuk melukiskan kekuasaan Tuhan dan merayakan kehidupan. Namun demikian, komplekstisitas yang ditampilkan mampu merepresentasikan kekuasaan absolut tersebut yang menunjukkan bahkan dalam mahluk sekelas protozoa pun, terdapat karakter-karakter dan fungsi alamiah yang mengarah pada ide besar di baliknya. Ini membawa saya pada keimanan yang baru. Keimanan yang tumbuh dari melihat. Pengaruh dari film itu adalah saya (berusaha) meyakini diri bahwa apapun yang ada di sekeliling saya, saya melihat (secara dramatis atau teatrikal) Tuhan (dalam karya dan ide).

Daun bukan hanya sebatas daun. Komplekstisitas di dalamnya meliputi sel-sel mikroskopik yang tersusun rapi, sistem fotosintesis, klorofil, warnanya yang khas, ukuran, pola, tekstur, tulang-tulang daun, massanya, zat-zat yang terkandung di dalamnya, termasuk juga pose manis saat dia diterpa angin atau pose romantis saat dia jatuh gugur. Begitu juga komplekstisitas partikel-partikel debu saat ia melayang di bawah pancaran batang cahaya matahari yang menembus masuk lewat jendela atau lubang pintu. Air mendidih dengan gelembung yang pecah-pecah disertai suara kumur-kumur dan asap yang muncul lalu menghilang seperti roh halus. Pupil mata yang melebar, lalu mengecil, melebar lagi, dan mengecil saat lampu senter dinyalakan-dimatikan tepat di depannya. Lalu stalagtit, stalagmit. Ubur-ubur yang sedang berenang. Burung-burung bermigrasi. Tirai ditiup angin. Detak jantung. Sifat Keilahaian itu menyulap kesederhanaan sekelas garis-garis di telapak tangan menjadi tampak elegan melebihi kekenesan dalam Blackberry atau smartphone.

Kemudian timbul pertanyaan dari dalam diri mengenai makna peribadatan. Apa sebenarnya maksud dari manusia beribadah kepada Tuhan? Sudah jelas Tuhan Maha Perkasa lalu mengapa peribadatan manusia menjadi sesuatu yang diwajibkan? Apa yang bisa manusia berikan yang sementara Tuhan tidak punya? Ketika orang-orang mensinkronisasikan kemarahan Tuhan dengan kelalaian suatu kaum dalam beribadah, apakah mereka membicarakan Tuhan yang sama? Tuhan yang menciptakan matahari dengan ukurannya yang besar dan membiarkannya melayang di langit?

Tuhan tidak memerlukan manusia. Segala hal yang dilakukan oleh manusia mungkin tidak ada artinya sama sekali bagi-Nya. Dia yang membuat laut merah dan membelahnya menjadi dua. Dia membuat semuanya, dari yang terbesar sampai yang terkecil. Dia adalah seniman dengan Aurora Borealis-Nya, bintang-bintang-Nya, angin tornado-Nya, dan muntahan lahar-Nya yang mencat gunung dengan warna merah terang elektrik. Dia adalah arsitek Mount Everest, air terjun Niagara, fisikawan yang menciptakan waktu, biologis yang menciptakan darah, kimiawan yang menciptakan semua yang tertera di tabel periodik. Dengan keagungan yang seperti itu, lalu apa yang mungkin bisa dilakukan oleh manusia yang Maha Kecil ini? Apa yang bisa diserahkannya karena badan dan jiwa yang kita punya juga adalah pinjaman dari-Nya?

Maka apa jadinya Tuhan jika peribadahan kita menjadi penting untuk-Nya? Bagi saya adalah kekerdilan. Kekerdilan yang amat sangat lancang ditujukan kepada Tuhan sebagai sosok yang “gampangan”. Manusia yang kerap mengaitkan (atau menghitung) pahala dan dosa dengan peribadatan mengindikasikan Tuhan sebagai sosok borjuis kecil yang manja yang ingin selalu dihibur dan disenangkan,gemar mengancam serta meledak-ledak bila kesal. Dia tidak membutuhkan apa-apa dari manusia. Hanya saja manusia yang terlalu egois yang menganggap apa yang dilakukannya atas nama aktivitas ibadah bakal mampu menggerakkan hati Tuhan. Bahkan jika seluruh manusia di dunia ini tidak beribadah, rasanya Tuhan tidak akan kehilangan apapun.

Namun itu bukan berarti bahwa beribadah tidak memiliki nilai. Yang akan saya tekankan di sini adalah mengenai pergeseran fungsinya.

Saya meyakini bahwa salah satu tujuan fundamental kehidupan manusia adalah agar manusia terus belajar dan mencari ilmu pengetahuan. Tidak hanya ilmu-ilmu yang sifatnya teoritis tapi juga praktis, tidak hanya yang materiil tapi juga imateriil. Semua ilmu pengetahuan di dunia ini, yang telah ada maupun yang belum ditemukan, asalnya dari Tuhan. Maka setiap ilmu bila ditelusuri maka akhirnya akan mengarah kepada-Nya dengan cara masing-masing. Seperti, entah bagaimana dengan yang lain, tapi saya menemukan kebesaran Tuhan di balik terciptanya internet, tentang bagaimana ilmu-ilmu yang telah ada bisa saling terhubung untuk menciptakan teknologi ini dan yang jelas, bagaimana sebuah media mampu memperpendek jarak fisik yang terbentang adalah suatu mukjizat. Dan dengan ilmu-ilmu pengetahuan di dunia ini, beserta perangkat manusia yang derajatnya melebihi mahluk lain, maka suatu hubungan terbentuk, bahwa Tuhan tidak membutuhkan pemujaan dan ketertundukan manusia (hal yang sudah pasti) melainkan Dia menghendaki untuk dicari dan selalu dicari.

Yang menjadi masalah dari proses pencarian ini adalah sejak awal Tuhan tidak pernah hilang.

Karena itu, ibadah memiliki nilai. Ibadah adalah salah satu ilmu pencarian tersebut, mencari sesuatu yang tidak pernah hilang. Tuhan tidak membutuhkan manusia tetapi manusia yang membutuhkan Tuhan. Fungsi ibadah berkaitan langsung dengan manusia secara personal, bukan melulu masalah pahala dan dosa. Bukanlah kemurkaan Tuhan yang harus diperhatikan dalam hal kelalaian beribadah melainkan perkembangan diri secara psikologis (batiniah) atas apa yang telah dilewatkan dari kesempatan untuk mendekati-Nya. Sama seperti saat belajar di sekolah, seharusnya bukanlah nilai rapor yang diburu dari mengerjakan PR atau mengikuti ujian, melainkan ilmu itu sendiri, “kebebasannya” tanpa dipengaruhi institusi atau kebanggaan pribadi. Maka bukan kewajiban, ibadah adalah kebutuhan.

Saya sebagai seorang muslim punya ibadah wajib sholat lima kali dalam sehari. Jika saya tidak sholat, saya tidak perlu mengkhawatirkan tentang dosa (bukan urusan saya), tapi adalah waktu dan kesempatan yang saya lewatkan untuk secara syahdu menggerakkan badan dan jiwa mendatangi-Nya. Selain gerakan dan bacaan, sholat tentunya membutuhkan konsentrasi, kesunyian, kemurnian pikiran dan hati serta penyerahan yang ikhlas, dan itu semua perlu dilatih dengan baik dan intens (untuk itu saya diberi kesempatan lima kali sehari). Jadi ini bukan lagi masalah pahala dan dosa. Ini masalah tentang bagaimana individu mencari dan menemukan Tuhan dengan segala proses yang akan mempengaruhi jiwa dan mentalnya sebagai manusia sampai dia mati kelak. Beruntunglah mereka yang telah berhasil mencapainya sebelum ajal.

Saya tegaskan saya bukan seorang pendakwah, penyebar syiar, khotib, cendikiawan agama, ahli kebatinan, murid ahli kebatinan, atau bahkan orang alim. Tulisan ini adalah reaksi saya terhadap “kemunculan-Nya” dalam arena pop culture yang memercik semacam “reinvensi” bagi keimanan saya. Sama seperti yang lain, saya adalah manusia kecil yang kebetulan mempercayai Tuhan, yang membedakan hanyalah bentuk kepercayaan tersebut. Bagi saya, pencintraan manusia terhadap sosok Tuhan menggambarkan sosok manusia tersebut bila menjadi pemimpin.

Tuhan adalah besar sebesar-besarnya. Sementara manusia itu kecil. Namun Tuhan tidak membiarkan kita manusia berada dalam “kekecilan” karena kita adalah bagian dari Tuhan yang nantinya akan kembali pada-Nya. Ketundukan buta adalah sikap yang merendahkan kodrat manusia dan posisi Tuhan itu sendiri. Bahkan dalam ketundukan terhadap-Nya kita dituntut untuk tahu alasan mengapa ketundukan itu kita jalankan. Tuhan takkan membiatkan kita tersesat karena kita memiliki akal, hati, jiwa, mata, hidung, telinga, mulut, tangan, kaki, jantung, darah, sel, bahkan aroma tubuh. Apakah itu semua cukup atau tidak, hanya Bob Dylan yang bisa menjawabnya: “The answer my friend is blowin’ in the wind/The answer is blowin’ in the wind.”