Senin, 25 Juli 2011

At the Airport of Subconscious


"Solitude is fine,
but you need someone to tell you that solitude is fine."

(Honore de Balzac)


What about a rocket? It can carry someone to outer space. Moon, Mars, the ring of Saturn, or even out of the Milky Way, those are the places you want to be, right?

Well those are exciting, surely are. But the question is, are you gonna go with me?

Umm, I don’t know. I’m not sure.
 
What is it?

I don’t know. I mean, well, it’ll be pretty something to be in it, to be there, to go flying around between stars and the likes. It’ll be fun to be in Star Wars, you know, to live in science fiction. That is crazy. But…

Yeah, but?

But I’d rather go someplace else.
 
Oh really? Like where?

Just someplace else. I often think about a land where everything is not correctly colored. Where the sky is not blue but rather pale purple or maybe dark yellow, if that sort of color does exist. Where the sea is transparent so everyone can see clearly what’s under it. Where the color of the grass always changes according to my mood. And the sun beams its ray just like the lighting tricks at a rock ‘n’ roll concert, it flickers, it spins like a disco, it highlights the soul y’know what I mean? And the color of the sun is silver. Yeah, I guess so. That’s where I intend to be. Do you get the picture?

Yes of course I do, more or less, yes. That’s splendid! Sounds so girly but it’s charming anyway. Sounds like Disney’s feature. I imagine there will be talking animals as well. Or winged people?

Winged people? No, not them, I’m not that kinda girl, y’know. Winged people sound silly, so do seven dwarves and fairy godmothers. Definitely out of my clouds. I don’t approve them. But talking animals are in. Animals are pretty and they deserve language to explain their feelings about anything.

Hmm, they’re gonna be a bit fussy, don’t you think? Merry, crowded, noisy. They might talk about us human, about how arrogant, deadly, dangerous, and reckless we are. And that’ll be a nonstop conversation among them.

What? Uncomfortable to you?

Yeah, the noises. My idea of an excursion is to get into some kind of tranquility where I can spoil my eyes with a series of extraordinary views and surroundings. You know, it’s all about “enjoying” and that’s that. I don’t want to be in a middle of a crowd, it happens all the time in my life; I just want a special term and condition.

Okay I got it. I’m reconsidering talking animals. Maybe I’ll put dogs. They’re familiar cute pets, people rarely do any harms to them so they won’t do any bad conversation in return. All dogs go to heaven, don't they? And then it has to be a lion, the wisest of all, the king, the bravest beast, a majestic creature. Look, I’m not gonna turn this place into a state of constitutional monarchy, but it’s just that I love lion, y’know what I mean? And then a herd of dolphins. They always smile and I guess it’s alright. Mmm… well, I’ll think about the rest of the animals later. So, what about this term and condition you were saying? Any detail?

Let me think. You know, I always dream of a place with a whole chance of defying gravity. Drifting away freely. A place full of lights, fully futuristic, and the air feels like mild menthol. I’d like to be on the sky and look down to the parade of colorful light dots.

So that’s where the idea of winged people came out.

Well― mmm… not really. I’m not talking about having a pair of wings.

Wouldn’t it be nicer if using a spaceship, or a jet, to fly?

That’s right! I was thinking about that in a flash. Flying man is overrated, a bit boring. You know what, I’m thinking about a zeppelin or a gas balloon, a big one! That’s how I’ll beat the gravity.

Sounds better!

Okay. I have to be specific right now. So this place has buildings in gothic architecture with meticulous design, and they’re not in monochrome as always, they have some colors that glow in the dark. The ground can glow too; if we step on it then it will partly glow in particular colors, depends on what mood we’re in. The stars are alight in the sky, bright silver of whimsical forms arranged in tidy constellation. The moon moves in circle, revolves around the land. Fireflies spark their electricity; they look like a wave of laser beam dancing through town, so eccentric. The trees sparkle. Traffic signs sparkle. Road markings sparkle. Sculptures sparkle. Towers sparkle. The place is shining. The place is shining to cover the darkness it’s in. And that’s the way it’s gonna be.

That’s far out, man. Cruising over a shiny town in a motorized bubble. Wherever the wind blows, it won’t ever be a dull moment of sightseeing.

Exactly!

Nice! Well, you know, there are something sparkling too in my place. Mushrooms! Big mushrooms! They are transparent, like crystals; they are blue, like sapphires. Sunray radiates toward them, makes them produce several light sticks like the one from a lighthouse y’know what I mean? And then the clouds fly low. Pastel-pink-colored clouds in which I’m tangled. The air is colored in pastels too, any colors you like except black, white, and grey; that’s too much black, white, and grey in our world, isn’t it? A bit boring isn’t it?

Yeah, right. I agree. But hey, at last you mention “pink”; it won’t be complete without that color, will it? All in all, your place is so inviting and inciting. I’d like to be there.

I’d like to be in your place too, will it be too crowded if I join in?

No, no. From the beginning, it was designed to be occupied by only two people. Only two. So you are very welcome.

Ah, that’s about the same with mine. So then, when and where and who to go first?

It’s up to you.

I can’t decide, you do.

Hmm, okay. Look, there’s a sun in your place and there are stars in mine. So it’s easy, I go to yours when it’s day, and in the night you can go to mine. How about that?

Brilliant. Let’s do it now. Come to my place.

Right! Now? How?

Yes, now! Just step into my head. Come on, jump in!

Wait a minute. I guess it’ll be more interesting if we go by riding something?

Do you think so?

Yeah.

Alright then, what about a rocket?

Selasa, 19 Juli 2011

Dingin

 "Solitude vivifies;
Isolation kills."

(Joseph Roux)

Dingin malam ini. Saya takjub pada bagaimana rasa dingin bisa menggigit badan saya tanpa ampun. Sampai-sampai usus buntu saya pun menggigil. Otak saya beku. Saya dikitari oleh lapisan es dalam bentuk keramik lantai. Segi empat dan saling berjejer. Kaki saya lumpuh, takut untuk menapak, takut untuk melangkah. Malam sedang telanjang, dinginnya bukan main. “Tidak ada yang namanya dingin,” kata Albert Einstein, “yang ada hanyalah panas (kalor) sebagai energi dan yang dimaksud dengan dingin adalah keadaan tanpa panas.” Lalu masalah apa yang telah terjadi di antara malam dan panas, hingga keduanya enggan untuk bertemu, untuk bergandengan tangan? Matahari tidak menjawab. Menjawab adalah tugas manusia.

Bumi sudah penuh. Kawan-kawan alien tak pernah mendarat. Terlalu sesak, terlalu sempit, tidak ada lagi tempat parkir. “There’s no place like home,” mereka pulang lagi tanpa sempat berpamitan. Kita hanya bisa menonton dari kejauhan. Menyaksikan piring-piring itu menghilang. Beep beep beep. Artinya bumi sudah penuh. Beep beep. Semua tempat sudah terisi. Beep. Brengsek.

Bumi sudah penuh. Semua tempat sudah diciptakan dan dibangun. Menonton film di bioskop. Makan di restoran. Bermalam di hotel. Berolahraga di gymnasium. Mendapatkan uang di kantor, menyimpannya di bank, membuangnya di mal. Sakit di rumah sakit. Duduk dan mencatat di sekolah. Mesjid untuk bersujud. Gereja untuk mengaku dosa. Vihara untuk berlutut. Museum untuk bernostalgia. Jembatan untuk menyeberang. Makam untuk berbaring dan membusuk. Terminal, stasiun, dermaga, bandara untuk datang dan pergi. Pantai, pegunungan, daratan bersalju, taman bunga untuk latar belakang foto profil di Facebook. Penuh. Hanya tempat untuk tidak melakukan sesuatu yang belum ada. Tempat yang diciptakan khusus untuk tidak melakukan apa-apa, dengan kenyamanan untuk tidak melakukan apa-apa, kebebasan untuk tidak melakukan apa-apa. Tapi sebelumnya, harus ada yang menjelaskan apa artinya tidak melakukan apa-apa. Tidak bicara adalah diam. Tidak bergerak adalah mematung. Tidak bernapas adalah mati. Apakah tidak melakukan apa-apa itu ada? Ataukah seperti ‘dingin’ yang berarti ‘keadaan tanpa panas’? Apakah berwujud? Atau justru gaib? Kursi malasku tidak menjawab. Menjawab adalah tugas manusia.  

Saya terkejut. Dikagetkan oleh seseorang. Di tengah malam dingin seperti ini tiba-tiba saya mengingat seseorang. Mungkin semacam kerinduan, atau hanya sekelibat kilatan memori yang acak. Dan dia datang. Tidak ada salahnya ditemani seseorang untuk sekarang ini. Lalu kita bicara. Mengobrol. Tentang tetek-bengek dan semacamnya. Dia coba berkelakar dengan sebuah cerita lucu. Saya menyambutnya dengan tawa. Kemudian saya balas lagi dengan cerita lucu yang lain. 

Sunyi.

Dia tertawa, dia mengatakannya. Dia mengakuinya, dia tertawa, terbawa oleh cerita lucu yang saya ceritakan. Tapi saya tidak bisa dengar suaranya. Saya tahu dia tertawa tapi gelak tawanya begitu sunyi. Jauh. Senyap. Tiba-tiba saya sadar suaranya hilang. Tiba-tiba saya sadar sedari tadi dia tak nampak. Tiba-tiba saya tak bisa merasakan kehadirannya. Tiba-tiba saya sadar saya tak bisa menyentuhnya. Membaui napasnya. Membaui aroma badannya. Membaui apapun yang telah ia telan sebelumnya. Tak bisa melihat sepasang matanya atau bibirnya yang bergetar saat bicara. Melihat hidungnya yang kembang-kempis. Berbagi oksigen untuk dihirup. Pendapat saya dia adalah hantu. Keberadaannya terasa namun tak nampak. Raib, menyisakan diri saya sendiri. Tertawa sendiri. Terhibur sendiri. Apanya yang berbagi? Hantu, kenapa kehadiranmu justru membuat saya semakin kesepian? Saya melihat ke sekeliling. Kabel dan internet. We’re on social network.

Dinginnya.

Malam yang tidak seperti biasanya di mana saya kedinginan. Ditemani siaran radio dengan penyiarnya yang kesepian berceramah, “Apa kita sebegitu kesepiannya sehingga merasa harus selalu berbagi setiap saat?” Dia menonton konser Iron Maiden beberapa waktu yang lalu dan dia kesal, “Distorsi, riff, lengkingan, gebukan drum saya siap buat headbanging; tapi kebanyakan penonton sibuk mengambil foto dan mengetik sesuatu.” Kesepian di tengah keramaian, dan sekarang ia bekerja sendirian di tengah malam, didengar oleh orang-orang yang juga sedang kesepian. “Apa kita sebegitu kesepiannya sehingga merasa harus selalu berbagi setiap saat?” ia mengulanginya lagi. Menjawab adalah tugas manusia.

Einstein bisa mengatakan teori apapun tentang “dingin”, dengan cara yang sulit dimengerti ataupun yang mudah dicerna, dan pada akhirnya dia selalu benar. Tapi saya mengerti tentang ‘kehangatan’ yang hilang itu, yang dibicarakan si penyiar radio. Kerinduannya. Hasratnya yang kuat pada sebuah kehadiran. Pertemuan. Kata-kata yang terucap, kata-kata yang terdengar. Sapaan, percakapan. Sentuhan dan kesadaran akan dunia nyata, keberadaannya yang nyata. Kerinduan yang harus diobati. “Sudah, masalah rindu tak akan selesai tanpa bertemu. Sudah, rindu hanya masalah mengarungi waktu, selebihnya sendiri dan biru,” begitu seorang kawan pernah berpuisi.

Mungkin malam ini tidak benar-benar dingin, kesunyianlah yang melakukannya. Dingin. Sampai-sampai usus buntu saya pun menggigil.

Kamis, 14 Juli 2011

Inside the Warehouse of Our Abandoned Movie Theater, the Place You Might As Well Leave, There I Set My Eyes to the Small Screen

"What we know of the world is little more than the mediated world, the image. We have no reality, but a derivative reality, which is extremely dangerous, most certainly from a political standpoint but in a larger sense to our ability to have a palpable sense of the truth of everyday experience."

(Michael Haneke) 

Akmareul boatda (I Saw the Devil)


Premisnya sederhana, bukan hal yang baru, cenderung klise, seperti The Count of Monte Cristo yang ditulis Alexandre Dumas (yang mungkin saja mengawali tema ini dalam pop culture), film ini adalah sebuah sequence tentang usaha balas dendam. 

Seorang perempuan dibunuh dengan keji oleh seorang laki-laki, kepalanya dipenggal lalu ditenggelamkan di sebuah rawa, sang pacar sedih bukan kepalang, lalu marah bukan kepalang, dan kemudian dengan tekad bulat dan hati dingin, ia memulai aksi hide and seek dengan si pembunuh. Sayang sekali si pembunuh tidak tahu bahwa sang pacar adalah anggota kepolisian yang terlatih, ahli beladiri dan dibekali gadget untuk melacak jejak si pembunuh. Dan ketika akhirnya keduanya bertemu dalam aksi one on one bullying, sang pacar merubah nama permainannya menjadi hit and run. Pukul dan tendangi sampai babak belur, lalu lepaskan, biarkan si mangsa berpikir penyiksaannya berakhir -seperti ditubruk banteng, sakit, setelah  itu tidak- menghirup udara bebas, merencanakan pembunuhan lagi, dan ketika perempuan tidak berdosa tersedu-sedu memohon pengampunan atas hidupnya di hadapannya, sang pacar muncul entah dari mana, dengan ekspresi dingin dan ilmu bela diri, lalu pukul dan tendangi sampai babak belur. Dan seterusnya...

Apa yang menarik dari cerita balas dendam ini adalah karakter si antagonis yang kebetulan seorang maniak yang hobi membunuh perempuan yang sedang sendirian (kalau memungkinkan, diperkosa dulu, sebelum kepalanya dipenggal pakai guilotine buatan). Ia sama sekali tidak punya motif kuat seperti persaingan bisnis, rasa cemburu, pengkhianatan, atau perburuan harta warisan terhadap si korban (bahkan ia tidak mengenal mereka), sehingga kebrutalan sang pacar (yang sakit hati) saat menghajar si pembunuh (yang otaknya sakit) dapat dengan cepat mendapat tempat di hati penonton yang tak habis pikir dan kesal terhadap kelakuan gila si pembunuh. 

Namun ketika akhirnya kekerasan demi kekerasan terus diperlihatkan, dipertontonkan dalam merahnya darah yang muncrat, apakah penghakiman yang seperti ini bisa direstui? Sang pacar yang merasa kehilangan (ya, bisa dimengerti) secara membabi buta melukai si pembunuh terus menerus hingga akhirnya lambat laun ia bertransformasi menjadi "kekejaman" itu sendiri, dan penonton merasa begitu puas melihatnya. Kejahatan dibalas kejahatan, kekejaman dibalas kekejaman, sebuah rule of thumb dari balas dendam yang tidak terelakkan. Penonton senang, mengangkat kekejaman sebagai protagonis, kekejaman ada di pihak mereka, si pembunuh kalah, berlumuran darah dan sekarat, horee!!, iblis telah dihancurkan, namun pada akhirnya, tetap saja, kejahatan yang jadi pemenang.

Another Year


Perkenalkan pasangan uzur Tom dan Gerri yang menjalani hidup sebagai orang biasa di sekitar orang-orang biasa dengan hidup mereka yang juga biasa. Film tanpa plot dari Mike Leigh ini sukses menampilkan hal yang biasa dalam hidup -yang tidak bersandar pada ambisi mencari kebahagiaan, atau potret kemalangan tanpa akhir- dengan begitu manis. Bahwa apa yang namanya keberuntungan dan kesialan adalah hal yang biasa, tidak perlu terlalu dirisaukan, toh suatu waktu kedua hal tersebut bisa saling bergantian mengisi hidup.

Yang menarik adalah sosok Marry, yang seperti menjadi the clown of the crowd di sepanjang film dengan berbagai masalah dan keluhannya yang terus-terusan datang. Usianya sudah terlampau matang, namun belum juga menikah, belum memiliki rumah sendiri, yang menyimpan hati pada anak laki-laki Tom & Gerri namun langsung patah begitu mengetahui dia sudah memiliki tunangan, yang meracau tanpa henti di bawah pengaruh alkohol, yang ditaksir oleh rekannya yang pemabuk dan kelebihan berat badan, yang kebingungan untuk merawat mobil kecil yang baru ia beli dan sebagainya, dan sebagainya...

Dilatari dengan suasana iklim Inggris yang sejuk dari musim ke musim, Tom & Gerri seperti hidup dalam kebahagiaan di tengah kehidupan suburban kelas menengah yang penuh masalah keseharian. Another Year merupakan film keluarga yang begitu intim yang tidak menawarkan apapun selain sebuah dokumentasi yang apa adanya, yang dengan ketiadaan plot yang jelas, meninggalkan kesan bingung terhadap pesan apa yang terkandung di dalamnya, namun tetap tidak membuat kualitas film ini jatuh. 

Des Hommes et Des Dieux (Of Gods and Men)

 

Gambar di atas adalah cuplikan adegan ketika kepala pendeta (tengah) bertanya kepada para pendeta yang lain tentang siapa yang akan tetap tinggal di dalam biara. Semuanya mengacungkan tangan dan menolak untuk mengungsi. Padahal di daerah tempat tinggal mereka sedang berkecamuk perang sipil Aljazair di mana keberadaan mereka terancam oleh kelompok fundamentalis Muslim. Mereka menolak bantuan dari pemerintahan yang dinilai korup tapi justru malah mendapat perlindungan dari para fundamentalis karena mereka telah mengobati pimpinan mereka yang terluka.

Tapi percaya kepada teroris bukanlah hal bijak. Sekali teroris tetap saja teroris. Karena pada akhirnya di tengah malam yang sunyi, saat sebagian besar dari mereka tertidur di dalam biara, para fundamentalis ini datang menggrebek, menangkapi satu per satu dari para pendeta, dan menawannya. Pada akhirnya mereka semua mati ditembak. Beruntung salah seorang dari mereka berhasil bersembunyi di kolong kasur saat aksi penangkapan terjadi. Kalau tidak, mungkin film ini tidak akan dibuat, karena semua adegan di dalamnya terjadi berdasarkan kisah nyata. 

Book of Psalms, Psalm 82:6-7: "I have said, Ye are gods; and all of you are children of the most High. But ye shall die like men, and fall like one of the princes."

Incendies


Sepasang anak kembar, diserahi surat wasiat dari ibunya dengan permintaan untuk dikubur dengan posisi wajah mencium tanah dan pantat mengarah ke langit (what the...!) serta sebuah mandat untuk menelusuri jejak ayah kandung mereka yang masih hidup di suatu tempat, membawa film berbahasa Prancis ini pada teka-teki suram semi-thriller dengan nuansa kelam (diperjelas lagi dengan backsound lagu Radiohead "You and Whose Army").  

Plot diawali suatu ketika di sebuah kolam renang, si anak perempuan tiba-tiba menemui ibunya "membeku" di atas kursi  di pinggir kolam. Tidak mau bicara, pandangan kosong, dan lelah. Tak lama kemudian si ibu menghembuskan napas terakhirnya. Dan saat penonton sampai di bagian akhir film, yang tentu saja sebuah twist-ending, kebekuan tersebut dapat langsung dipraktekkan di depan layar monitor. 

Dilatari oleh konflik Timur Tengah dalam adegan flashback, dan konflik pribadi antar si kembar,  film bergerak dalam alur lambat. Menyusun puzzle dari setiap mosaik dalam setiap scene, menemui setiap fakta "hitam" dalam sebuah keluarga, menyingkap setiap detil rahasia kelam, sampai berhenti dalam sebuah kesimpulan yang merusak mood. Pada akhirnya penonton pun dapat memaklumi mengapa seseorang ingin dikubur dengan posisi pantat di atas. Surat wasiat yang seperti itu  memang meresahkan.
 
Kokuhaku (Confessions)


Sebuah kombinasi yang tepat, a perfect collision, saat menggabungkan kisah misteri pembunuhan dihiasi karakter siswa-siswi Jepang yang dingin, suicidal, asosial, serta gemar mem-bully, dengan cinematic poetry apik ala Terrence Malick di setiap scene yang memberikan kedalaman melodramatis dari film gelap tentang anak seorang guru yang dibunuh oleh murid dari kelasnya sendiri (lagu Radiohead, lagi,  "Last Flower" juga merupakan elemen tambahan yang turut menguatkan warna film).

30 menit pertama film ini adalah sebuah breakthrough yang mendongengkan prolog film secara artistik (bagaimana titik hujan jatuh ke tanah, seorang anak gadis dilempar ke kolam renang, kepala seorang bocah dilempari bola baseball,  semuanya dalam slow motion yang halus) semuanya terjadi saat si ibu guru dengan tenang bercerita tentang anak perempuan satu-satunya yang tewas dibunuh sambil menganalisis motif dan modus pembunuhan tersebut yang mengarah kepada dua orang siswa di kelasnya. Selanjutnya adalah kisah para siswa tersebut disajikan dalam point of view yang menarik, dengan adegan anak si ibu guru yang dilempar ke kolam muncul berkali-kali (horrifying but amazingly pretty), di mana selain berurusan dengan rasa bersalah dari dosa tindakan kriminal yang dilakukan, juga menanggung beban sosial dan ketakutan karena mereka diracuni oleh virus HIV yang disuntikkan oleh si ibu guru di dalam karton susu yang mereka minum di awal film (the lunacy of Japanese)

Walau ber-setting di lingkungan sekolah, anomali yang kental tentang hubungan guru dan murid yang bagaikan karnivora dan herbivora memberikan kesan baru tentang sekolah sebagai tempat yang manipulatif dan berbahaya, yang dipenuhi ambisi serta keinginan kuat untuk berkuasa atau membuktikan diri sampai melampaui batas norma. Secara kasar, bisa saja ditarik kesimpulan tentang iklim kehidupan di Jepang yang kaku dan cenderung canggung secara emosional (tanpa perasaan, tidak heran industri robot mereka berkembang), walaupun masih terlalu dini untuk melakukan asumsi demikian. Namun tetap saja, saya membenci kekakuan (dan kegilaan) warga Jepang (salut untuk pemanjaan visualnya) . Haik! 

Lebanon


Apakah seorang prajurit bisa disebut berada di medan perang bila menghabiskan sebagian besar waktunya di dalam tank, melihat keadaan sekeliling melalui teropong, menembak sesekali, bergantian shift untuk mengawas, dan hampir setiap hari berlindung di balik lapisan besi sambil kepanasan? 

Dari apa yang terlihat melalui teropong tank, seperti kota yang porak poranda; serpihan-serpihan bangunan yang diledakkan; mayat seekor keledai yang tergeletak dengan isi perut terburai (yang ketika dilihat lebih dekat, tidak hanya matanya masih bisa berkedip, tapi juga mengeluarkan air mata); seorang ibu yang kehilangan keluarga dan tempat tinggalnya lalu dalam keadaan linglung di tengah desingan peluru, satu-satunya baju yang sedang ia pakai terbakar, dan hilanglah segala kepunyaannya (adegan telanjang yang paling tidak menarik di dalam sebuah film); seorang tawanan musuh yang menangis menjerit-jerit minta ampun; dan sebagainya, maka prajurit di dalam tank tidak berada di dalam medan perang, tapi di neraka. Atau mungkin keduanya ya sama saja. War is hell!

Madeo (Mother)


Intinya, seorang ibu akan melakukan apa saja untuk melindungi anaknya, terutama lagi kalau kebetulan sang anak adalah seorang yang terkena mental breakdown (tetap saja, Won Bin terlalu manis untuk memerankan seorang cacat mental) dan dituduh membunuh seorang gadis. Maka dengan kemampuan seadanya, si ibu melakukan investigasi independen untuk menelusuri jejak-jejak kebenaran yang berceceran tak beraturan. Sampai akhirnya, kebenaran terungkap dalam caranya yang mengejutkan.

Kandungan utama dalam film adalah tentang kompleksitas hubungan ibu-anak yang harus diuji di hadapan perilaku kehidupan di mana ketidakadilan merupakan ciri khasnya yang primer. Mengikuti alur dan atmosfer kisah-kisah detektif, yang mengumpulkan kepingan demi kepingan misteri sampai berujung pada fakta yang menggetarkan. Maka sampai di batas manakah seorang ibu akan melindungi anaknya saat situasi yang tidak menguntungkan tidak mampu lagi dielakkan? Di akhir film, si ibu memilih untuk berjoget-joget di padang ilalang, melupakan semua masalah dan kesedihan lewat jarum akupuntur yang ditancapkan di lutut. Meringankan tubuhnya dalam ayunan melodi infrasonik yang hanya berdengung di kepalanya sendiri. Mungkin dia sedang menyanyikan sebuah bait untuk menghibur dirinya sendiri: Kasih ibu, kepada beta, tak terhingga sepanjang masa...

Micmacs à Tire-Larigot (Micmacs)


Dengan sinematografi serta coloring yang unik dan padat, Jean Pierre-Jeunet sekali lagi berhasil menampilkan atmosfer quirky dalam filmnya paska Amelie dan Delicatessen. Sebuah kisah komedi komikal yang underrated, diperkaya oleh deretan karakter aneh serta plot yang tidak biasa.

Si tokoh utama adalah seorang penjaga toko rental video yang di suatu malam kepalanya terkena peluru nyasar dari sekelompok gangster. Setelah melalui acara lempar koin, dokter operasi memutuskan untuk tidak mengangkat peluru dari dalam kepalanya. Saat kembali lagi ke tempat kerjanya, posisinya telah diisi oleh tenaga kerja baru yang lebih muda, dengan kata lain dirinya sudah dipecat. Menggelandang kesana-kemari. Mengemis. Akhirnya dia bergabung bersama sekumpulan orang aneh yang tinggal di tempat pembuangan sampah. Suatu kali saat sedang berjalan-jalan ia menemukan dua pabrik senjata yang saling berseberangan, yang satu adalah pabrik yang memproduksi ranjau yang merenggut nyawa ayahnya di medan perang, satu lagi pabrik yang membuat peluru yang bersarang di dalam kepalanya. Dari sini, cerita utama film dimulai...

Film ini merupakan sebuah satir dari industri senjata yang meraih profit dari perang dan kematian di penjuru dunia yang lain. Misi si tokoh utama dkk. untuk memberi pelajaran pada kedua CEO perusahaan tentang mudharat dari bisnis mereka terlihat begitu Mission Impossible (minus Tom Cruise, plus manusia karet, yang berarti tiga kali lebih baik). Keduanya diikat di tengah padang pasir dan dipaksa untuk mengakui kelicikan serta perbuatan salah mereka. Semuanya direkam. Di-upload ke Youtube. Kedua perusahaan ditutup. Perang berhenti. Semudah itu? Andai saja. Toh, dengan keganjilan yang ada di film ini penonton juga sudah diajak untuk berandai-andai dari sejak awal. Why so serious?

Shi (Poetry)


Hampir mirip dengan ulasan Madeo, tentang bagaimana seorang ibu melindungi anaknya, namun kali ini menggunakan tokoh anggota keluarga yang berbeda, yaitu tentang bagaimana sikap seorang nenek terhadap cucunya (dan beberapa temannya) yang dituduh, pada awalnya, dan akhirnya terbukti, membunuh seorang gadis. Dan bila kebetulan sang cucu adalah laki-laki yang tidak bertanggung jawab, kekanak-kanakkan, egois, seenak jidat, maka bisa dimafhumi bila langkah terbaik yang ditempuh si nenek dalam menghadapi kenyataan adalah dengan puisi.

Si nenek mencoba menemukan secercah harapan, titik terang, sebuah keindahan dari deretan kata-kata dalam puisi di tengah kegelapan dunia di sekitarnya yang tak berperasaan dan irresponsible. Pelariannya, di satu sisi, terlihat begitu ringkih. Seorang wanita tua yang berada dalam siklus kehidupan tahap akhir, yang dalam tingkatan sosial sudah melewati usia produktif alias uzur dan tidak berguna, hanya bisa mengalah di atas panggung kehidupan yang sudah tidak lagi berpihak padanya (si cucu yang baru memasuki usia puber jelas-jelas tidak menaruh respek apa-apa terhadapnya).

Disajikan secara slow-paced, khas film-film kelas festival, kebosanan terasa menghinggapi seperti lalat. Menguap. Mengantuk. Tapi konflik yang intens di dalam film ini berhasil menjadi obat nyamuk yang manjur. Bagi dunia perfilman Korea Selatan, film seperti ini membuktikan sebuah pencapaian kualitas yang patut dirayakan terutama bila bicara tentang bagaimana sineas mereka mampu menyajikan suatu sisi kehidupan dalam teknik penceritaan yang kuat. Kemampuan merangkul pasar internasional yang dipenuhi seniman serta insan cendikia mendefinisikan nilai high art dari film ini. Apa Indonesia sudah mampu melakukan hal ini, mencapainya, menggapainya, membanggakannya? Hmm. Lalu, apakah obat nyamuk bisa untuk mengusir lalat?

Un Prophete (A Prophet)


Drama Prancis dengan nuansa film noir modern. Kisahnya adalah mengenai survivalism di dunia penjara, di mana yang kuat yang bertahan, yang lemah yang tersingkir. Etika penjara yang berdiri di atas prinsip "membunuh atau dibunuh" membagi society di dalamnya dalam dua pihak yang saling berseteru yaitu antara the Corsicans dan the Muslims yang memberikan intrik tersendiri bagi si tokoh utama dalam bertahan hidup. Ujian pertamanya adalah membunuh seorang tahanan Muslim dan dia berhasil, sebagai hadiah ia mendapat perlindungan dari geng Corsicans walaupun ia terlahir dengan ras Arab.

Selanjutnya film menarasikan kisah pergulatan serta keterlibatan si tokoh utama dalam dunia kriminal penjara. Ia menjalankan satu bisnis gelap ke bisnis gelap yang lainnya. Ia bahkan ditemani oleh arwah khayalan si Muslim yang ia bunuh. Sampai pada akhirnya, ia beralih berpihak pada kelompok Muslim dan memusuhi pimpinan mobster-nya dulu.  

Film ini merupakan The Godfather yang bertemu City of God dengan sedikit bumbu The Shawshank Redemption. Si tokoh utama tidak mewakili karakter protagonis apapun, ia adalah seorang anti-hero, dan kehidupan di penjara bukanlah sebuah balai rehabilitasi melainkan usaha penyelamatan diri dalam lingkaran dog eat dog yang keras. Yang disebut keberhasilan seorang tahanan di dalam penjara adalah bukan ketika ia bertobat dan menjadi sosok alim yang baru, namun adalah saat dirinya berhasil keluar dari sana dengan selamat. Dan si tokoh utama telah melakukannya.

My Son, My Son What Have Ye Done?


Memfilmkan sosok eksentrik selalu menarik, terutama bila si tokoh memang mengidap kelainan jiwa dan membunuh ibu kandungnya sendiri dengan sebuah pedang antik. Diilhami oleh kisah nyata, film ini mengikuti perkembangan jiwa si pembunuh dalam flashback di mana setting kejadian yang sedang berlangsung adalah sebuah pengepungan yang dilakukan tim polisi dan SWAT di depan rumahnya. Si tokoh utama mengancam akan membunuh dua orang tawanan yang sedang ia sekap bila polisi tidak memenuhi permintaannya. Pengepungan yang menguras waktu dan tenaga itu akhirnya diakhiri dengan tawa konyol saat mengetahui bahwa ternyata apa yang sedang ia tawan bukanlah manusia, melainkan dua ekor burung flamingo. Ha.. ha..

Werner Herzog menyutradarai film ini dengan teknik sinematografi yang berbeda dari film-film sebelumnya yang biasanya tidak terlalu mengedepankan "kedalaman" atau bahkan "kepuitisan" secara visual. Sosok pembunuh yang digambarkan prophetic di masa lalunya, dengan raut muka serta atmosfer kontemplatif (backsound lagu Cucurucucu Paloma yang begitu intim di scene yang dingin bersalju), seperti sengaja menampilkan sisi innocent dari dirinya, bahwa yang sebenarnya gila adalah dunia sekitar. Yah siapa yang tahu, tapi, menusuk ibunya sendiri di rumah tetangganya dan masih sempat berkerumun di lokasi kejadian begitu polisi datang sambil menggenggam gelas berisi kopi, bahkan sempat menyapa detektif yang akan menangkapnya, jelas bukan sesuatu yang waras untuk dilakukan, kalau tidak mau disebut bodoh. 

If you have stabbed your mother, then you have to run away as fast as you can, not staying home and taking two flamingos as hostages!