Jumat, 23 Oktober 2009

as the reds go marching on and on and on and on and on and on...


George Best



"Maradona is good, Pele better, but George Best!"


(Michel Platini)


Eric Cantona


"I am not human, I am Cantona!"

(Eric Cantona in Looking for Eric)


Roy Keane


"Fail to prepare, prepare to fail."


(Roy Keane)

Bobby Charlton




"Some people tell me that we professional players are soccer slaves. Well, if this is slavery, give me a life sentence."

(Bobby Charlton)

Denis Law

"Whoever wins today will win the championship no matter who wins."

(Denis Law)

Peter Schmeichel


"The joy of seeing Yuri Gagarin flying space is only superseded by the joy of a good penalty save."

(Lev Yashin)


David Beckham


"One thing will not change, we will be going out to win!"

(David Beckham)

Ole Gunnar Soskjaer


"When we started training together the thing that I noticed was that Ole was always in the right place and made scoring goals look so easy."

(Raimond van der Gouw)


Andy Cole



“We’ve had success because we have a good time with it.”

(Andy Cole)


Bryan Robson


“No way did we deserve to lose!”

(Bryan Robson)


Steve Bruce

“In the past we have always been hard to beat and that was my motto.”

(Steve Bruce)

Mark Hughes


“Performance level is what we are all about.”

(Mark Hughes)

Dwight Yorke


“Keep the faith. We know we are heading in the right direction.”


(Dwight Yorke)

Brian McClair


“In education, parents are free to choose the school they want their kids to go to. You can’t in football… and kids and parents are penalized by that.”

(Brian McClair)


Gary Pallister


“We’ve had a lot of quick players here. If you’re talking over certain distances, then Gary Pallister would have taken some beating in a sprint.”

(Sir Alex Ferguson)

Teddy Sheringham


“Winning the treble with Manchester United obviously stands out. It was an 11-day spell I would never change for anything and it was truly amazing to be a part of.”

(Teddy Sheringham)


Denis Irwin


“United will take the title again!”



(Denis Irwin)


Ruud van Nistelrooy


“Losing is not in my vocabulary.”

(Ruud van Nistelrooy)




Cristiano Ronaldo


“Maybe they hate me because I’m too good!”

(Cristiano Ronaldo)

Rabu, 21 Oktober 2009

e-nig-ma


"An idea that is not dangerous is
unworthy
of being called an idea at all
."

(Oscar Wilde)
The next world war is gonna be all about ideas and technology,” kata kepala saya sewaktu sedang berjalan di sekitar kampus beberapa waktu lalu. Saya tidak tahu apa maknanya dan bagaimana kata-kata itu bisa tiba-tiba muncul pun saya tidak mengerti karena seingat saya tidak ada sesuatu yang menarik yang saya lihat ketika jalan-jalan tersebut yang mungkin dapat mengarahkan menuju konsep peperangan. Yang paling mendekati mungkin karena saat itu saya tengah membaca buku harian Anne Frank yang ber-setting masa perang dunia II. Tapi menyenangkan rasanya bila bisa berpura-pura meramalkan mengenai masa depan, seperti nabi-nabi yang mendapat bisikan wahyu. Maka saya mencoba dengan kata-kata sendiri menjabarkan gambaran mengenai kalimat tersebut.

Banyak spekulasi di luar sana mengenai perang dunia III. Peristiwa yang sangat tidak diharapkan untuk terjadi namun mengundang banyak teori, prediksi, serta pemikiran mengenai kedatangannya. Ada yang menyebutkan bahwa perang nuklir sebagai bagian dari perang ini. Ada yang menyebutkan bahwa perang berikutnya dicetuskan oleh persoalan minyak. Ada yang percaya bahwa perang dunia berikutnya sebagai tanda datangnya hari kiamat. Dan yang menarik, Albert Einstein memprediksikan bahwa perang dunia III adalah perang yang menggunakan batu dan kayu sebagai senjatanya. Entah apa maksudnya, yang jelas apapun itu, perang adalah “neraka”!

Tapi kalau boleh berspekulasi tentang perang dunia III atau perang dunia setelahnya, saya justru mencoba untuk melihatnya dari perspektif lain. Bukan tentang bom, ledakan, tembakan, bumi-hangus, genosida, kamp konsentrasi, agresi, jet-jet tempur, tentara, ranjau darat, gerilya, senapan, granat, atau hal-hal mengerikan lainnya. Perang dunia III menurut saya adalah perang tentang ide dan teknologi. Perang di mana amunisi utamanya adalah otak manusia, dengan inovasi sebagai senjatanya, dan tentu saja: penaklukan, namun lewat budaya atau kreasi dan seni manusia dengan masih tetap mengacu pada pakem lama di mana yang kuatlah yang menang.

Otak manusia adalah senjata paling berbahaya di dunia dan tidak ada yang menyangkal hal itu. Terutama apabila dikaitkan dengan kehendak untuk berkuasa, atas nama perang, maka otak akan dapat benar-benar berwujud sebagai senjata “pemusnah massal”. Namun dalam perang kali ini, “senjata” yang dimaksud tersebut tidak dimanifestasikan secara fisik, begitu juga dengan kerusakan yang diakibatkannya. Karena perang ini bersumber dan berlangsung di tempat-tempat yang tidak dikenal secara luas yaitu ruang intrinsik manusia. Ruang jiwa. Ruang di mana esensi manusia tersimpan di dalamnya.

Invasi di sini tentu tidak dilakukan secara konvensional melalui pendudukan suatu daerah, penyerangan secara besar-besaran oleh ribuan armada, ataupun konsep kolonialisme yang eksplisit, melainkan melalui semacam “polusi pikiran” yang disebarkan secara terang-terangan lewat media massa. Ya, ini persis seperti yang dikemukakan oleh Noam Chomsky mengenai hegemoni media sebagai bentuk kolonialisme baru yang berangkat dari keinginan dasar untuk meraup keuntungan sebanyak-banyaknya. Lewat tayangan televisi, expose media cetak, hype media internet, dan mungkin bentuk-bentuk lainnya yang akan datang kemudian.

Semakin pesatnya perkembangan media informasi, yang juga merupakan produk dari ide, membuka peluang yang begitu lebar bagi ide-ide untuk bisa disebarkan secara luas dan dalam tempo yang sangat cepat. Inovasi teknologi yang lahir dalam rentang waktu yang sempit menjadi semacam medan perang bagi tiap kelompok atau siapapun yang terlibat di dalamnya untuk saling mengalahakan. Dan inilah perang terbuka dengan aturan main ide siapa yang paling banyak menaklukkan manusia ataupun suatu kelompok adalah sang pemenangnya.

Ya, perang masa depan mungkin akan menjadi perang yang paling tidak menyakitkan sepanjang masa. Namun menjadi terdengar menyeramkan karena pertaruhannya adalah jiwa (soul) bukan nyawa. Kekuatan ide ini mampu membawa korbannya pada kondisi pengikisan jiwa, menjadikannya manusia tanpa “isi” , semacam kondisi batin yang labil terombang-ambing oleh produk ide, sampai kepada peredaman kepekaan fungsi hati manusia sebagai media perasa. Korban mungkin tidak akan mudah dikenali oleh orang lain dan bahkan bagi dirinya sendiri mereka tak akan mudah menyadari apa yang sedang dialami karena “kerusakan” terjadi di dalam, jauh di luar batas daerah kesadaran. Dan inilah hebatnya ide atau produk ide tersebut, mereka menutup kesadaran manusia, menumpulkan kemampuan berpikir mereka, lalu menghipnotis dan menggiring manusia untuk mengantri di belakangnya.

Oke, bukti sementara yang bisa ditemukan dari kasus “polusi pikiran” saat ini salah satunya adalah iklan. Ide yang menyertai suatu iklan adalah pembentukan image. Tanpa disadari manusia memaknai dan menilai hidupnya lewat pengaruh iklan. Manusia memandang dan membaur dalam pergaulan bersama manusia lainnya dalam pola pikir yang terbentuk oleh iklan. Iklan kosmetik menyiratkan ide mengenai kecantikan, iklan mobil menyiratkan ide mengenai kemapanan dan bisa juga kesuksesan, iklan alat komunikasi menyiratkan ide mengenai hubungan antar manusia, dan semuanya ini menyerang kepada mindset yang dimiliki manusia, sehingga yang terjadi adalah semua atribut kemanusiaan yang dimiliki seseorang menjadi diwakilkan oleh produk-produk iklan, produk-produk ide. Jadi bukan tidak mungkin jika kita menggambarkan seseorang di pikiran kita, maka yang terlintas adalah apa saja produk iklan yang melekat pada orang tersebut. Atau kata lainnya adalah dunia materialistis. Ya, dunia materialistis adalah gejala utama dari “perang” ini, karena produk-produk iklan menjadi bagian dari kolonialisme gaya baru yang menawarkan program ketergantungan, ketagihan, daya beli yang tak terkendali, fethisisme, pengurasan, pemborosan, yang bila dilihat dari sisi lain, tidak jauh berbeda dengan perbudakan, di mana jiwa manusia diperbudak untuk selalu mengikuti kemauan badan/tubuh.

Korban, sudah jelas adalah manusia yang kurang memiliki jiwanya sendiri. Atau seperti yang pernah diucapkan oleh Oscar Wilde, maka korban adalah manusia-manusia yang hanya “eksis” tapi tidak “hidup”, manusia yang tidak mampu meng-eksis dalam dirinya tapi eksis oleh bantuan orang lain, eksis di bawah sorotan manusia-manusia lainnya, sehingga yang terlihat dari dirinya hanyalah bungkusan image yang memantul dari sudut pandang orang lain. Mereka yang berusaha membangun image dengan memulas tubuh oleh bermacam lapisan seperti popularitas, kekayaan, kesuksesan, kebaikan, keadilan, kebenaran, bahkan agama, adalah bagian dari korban “perang ide” ini karena merekalah yang kalah dan lemah. Mereka telah menukarkan jiwa mereka dengan itu semua, sehingga apa yang tersisa tidaklah cukup untuk membuat mereka bertahan apalagi memenangkan perang. Tidak sulit mengenali para korban ini karena mereka menjalani hidup dalam keseragaman dan kecenderungan yang sesuai dengan standar dan kelas sosial tertentu.

Maka jelas, bahwa yang dibutuhkan dalam perang ini adalah jiwa sebagai modal atau investasi yang dapat digunakan untuk menghasilkan amunisi yang merupakan ide, gagasan, atau buah pikiran manusia sebagai bahan peledak untuk senjata mematikan yang disebut inovasi, kreasi, budaya, atau produk ide.

Lalu siapa pemimpin di balik semua ini? Siapakah dalangnya? Siapa jenderal yang mengendalikan perang ini? Merekalah para individu yang disebut “man of idea”, manusia ide, manusia yang memuja gagasan lebih dari segalanya, manusia yang selalu menguji batasnya dalam berkreasi, manusia yang mengasah kepekaan hatinya sebagai indera yang utama dalam hidup, manusia yang menghamba pada hasrat untuk selalu belajar, manusia yang mampu membaca dan menghargai konsep-konsep abstrak yang tersebar dalam kode-kode kehidupan manusia, manusia yang percaya pada perubahan, manusia yang ada, eksis, dan hidup karena ide dan kreasi. Merekalah orang-orang yang berkuasa, berperan, bertahan hidup, dan menjadi tempat di mana manusia lain menggantungkan harapannya selama “perang”. Merekalah para pemegang bidak-bidak catur yang mengatur strategi dan mengambil langkah untuk memenangkan permainan besarnya.

Man of idea” adalah jiwa yang memiliki tubuh, bukan sebaliknya. Mereka bisa ditemui salah satunya dalam diri para seniman besar yang telah banyak mengawetkan jiwanya dalam karya yang terus hidup walaupun tubuhnya telah habis dimakan cacing atau menjadi abu yang tersebar di atas perairan luas. Mereka adalah raja bagi dirinya sendiri.

Kalau kita melihat mengapa suatu negara atau bangsa bisa menjadi negara yang besar dan dihormati adalah karena ia berdiri dalam sebuah fondasi kuat yang berisi ribuan ide, gagasan, kreasi, mimpi, dan harapan. Mereka adalah negara-negara yang maju ke panggung dunia sebagai pencipta dan penemu bukan hanya sebagai pengguna ataupun penonton. Dengan fondasi yang kuat inilah mereka merubah dunia, menjadi kiblat dunia, memimpinnya, dan bahkan menguasai dunia. Kekuatan ide mereka menjadikannya yang terkuat dalam “perang” ini di mana produk-produk ide mereka telah menjadi yang nomor satu dalam usaha meraih para “pengikut”.

Kalau memang perang seperti ini benar-benar terjadi, apakah kita, Indonesia, siap menghadapi ini? Apakah kita telah cukup kuat untuk terjun dalam perang ide ini? Kita telah terlalu lama menjadi penonton dan peniru, dan apabila melihat dari gambaran mengenai korban di atas, maka sebagian dari kita telah memenuhi kriterianya, terbukti dari ketidakmampuan kita untuk melahirkan sebuah gagasan atau karya besar karena “menyerah” pada kekuatan ide asing sampai pada tahap ketumpulan pikiran dan pengikisan identitas jiwa kita sebagai manusia bebas. Bahkan “penyakit” akut ini memupuk mental “selalu kalah sebelum berperang” secara serentak karena kita terlalu nyaman menikmati suapan karya-karya orang lain tanpa terbesit perasaan tanggung jawab terhadap hidup dan dirinya sendiri untuk juga sama-sama berkarya. Kita seperti hilang dari orbit peradaban dan budaya manusia, terhisap ke dalam dekadensi. Kita duduk memberi makan tubuh kita hingga kenyang sementara jiwa kita dibiarkannya kurus kering.

Kita tak pernah terlibat langsung dalam perang-perang besar dunia, memang hal seperti itu patut untuk disyukuri di samping juga mendatangkan pertanyaan apakah keberadaan kita di mata dunia dinilai penting atau tidak sehingga sesuatu yang besar bisa dimulai dan diselesaikan tanpa ada campur tangan kita? Salah satu masalah kita mungkin adalah kurang terasahnya instrumen dalam memaknai hidup secara lebih luas. Materi masih dijadikan patokan atau standar dalam mengukur segalanya. Kita telah terlalu lama dimanjakan sebagai konsumen sehingga kondisi ini menciptakan “keterbelakangan” dalam hasrat untuk berkreasi ditambah lagi dengan pemaknaan hidup yang sempit yang membuat mata kita berfungsi seperti lampu sorot yang hanya menyinari bagian tertentu, bukan seluruh ruangan. Banyak bukti yang mengarah ke sana diantaranya angka minta baca yang rendah, kualitas hiburan seperti acara televisi yang kebanyakan menyontek karya-karya luar, mall-mall yang menjamur di kota-kota besar, dunia remaja yang mudah sekali dipengaruhi dan superfisial, kurangnya penghargaan mayoritas terhadap prestasi dan lebih menitikberatkan pada sensasi, dan lain-lain. Terlalu lama Indonesia menjadi sarang para pembeli dan pencontek. Kita telah kalah bahkan sebelum “perang” itu benar-benar terjadi.

Namun harapan belum habis. Saya yakin di luar sana tumbuh benih-benih para pejuang, martir, visionary gentlemen, cendikiawan, man of idea, telur-telur avant garde, para pionir, pemimpin kharismatik di mana harapan dan mimpi sangat pantas untuk disematkan ke pundaknya. Orang-orang yang muak akan kondisi ini lalu menghabiskan sebagian besar waktunya untuk bertanya dan mencari jawabannya. Orang-orang yang malu dan merasa kecil akan dirinya sendiri lalu pelan-pelan melangkah menapaki anak tinggi menuju tempat yang paling tinggi. Orang-orang yang dalam menjalani hidupnya selalu didorong oleh keinginan untuk mencipta, mencipta, dan mencipta. Orang-orang yang menilai kualitas hidupnya dari karya yang telah mereka buat. Mungkin kini mereka tengah bersembunyi, menyendiri, bermimpi, melamun, dan menanti waktunya untuk keluar. Mungkin kini mereka hanya bisa diam dan duduk namun membuka lebar kedua matanya untuk mengamati, mengawasi, melihat jauh ke menembus ke dalam pori-pori kehidupan yang berotasi di sekitarnya. Mungkin mereka sedang mempersiapkan kemunculannya agar dapat mencuri perhatian banyak orang. Mungkin “mereka” justru ada di dalam diri kita semua, tinggal bagaimana caranya kita menemukan dan meraihnya.

“…or is this just going to be another malarkey.”

Minggu, 11 Oktober 2009

"Future civilizations..."


"Future civilizations -better civilization than this one- are going to judge all men by the extent to which they've been artists.
You and I, if some future archaeologist finds our works miraculously preserved in some city dump, will be judged by the quality of our creations.
Nothing else about us will matter."

(Mother Night, Kurt Vonnegut)

Krieg, Guerre, Guerra, War, 戦争, война, whatever!

"It is only the dead who have seen the end of war."

(Plato)
Baru saja saya selesai membaca Anne Frank: The Diary of A Young Girl, sebuah memoir tentang seorang anak perempuan, Anne Frank, yang bersama keluarga serta kerabatnya bersembunyi di sebuah gedung dari kejaran dan terror Nazi di masa perang dunia II. Buku ini begitu menggugah sekaligus juga menghantui terutama lewat kata-kata yang medeskripsikan kengerian akan ancaman ketahuan sewaktu-waktu oleh polisi Nazi dan lagi yang membuat saya terpesona adalah bagaimana sosok seorang pra-remaja yang berubah dewasa dan bijak di balik ruangan yang selama kurang lebih 2 tahun menghalanginya dari sinar matahari, udara pagi, bintang-bintang, dan teman-temannya. Bayangkan rasa frustasi, kekesalan, amarah, kegilaan yang timbul ketika harus tinggal di tempat pesembunyian, menutup diri dengan dunia luar, sementara suara bom berdengung di telinga dan semakin hari semakin mendekat.

Buku tersebut merupakan sebuah kacamata yang menatap perang lewat mata polos seorang gadis perempuan yang mewakili semua orang yang terlibat dalam perang dunia II yaitu sebagai korban. Ia kehilangan kebebasannya dan masa-masa pertumbuhan remaja yang biasanya penuh dengan suka cita. Walaupun ia sempat merasakan cinta terhadap remaja laki-laki yang juga bersembunyi bersamanya, namun “keterbatasan hidup” membuat pijar-pijar kasmaran yang ia rasa seakan terbang tak tentu arah. Di titik di mana kedewasaannya tumbuh, ia menyadari bahwa jarak antara jendela tempat persembunyiannya dengan alam dunia luar adalah kehilangan sesungguhnya. Anne menatap jendela dan merindukan alam lalu menunjukkan bahwa manusia adalah bagian darinya. Perang telah merenggut kebebasannya lalu jati dirinya sebagai remaja dan kodratnya sebagai manusia merdeka.

Sayang Anne Frank tidak sempat mencicipi akhir perang. Ia tak sempat merasakan perdamaian yang selalu ia impikan. Ia tidak lagi diberi kesempatan untuk hidup bebas dari ketakutan seperti masa kecilnya yang normal dulu. Ia pergi beberapa saat sebelum perang berakhir, meninggalkan catatan kegelisahan dan penantiannya akan dunia baru. Meninggalkan rekaman akan suasana saat itu yang mencekam di mana setiap orang kehilangan apa yang menjadi “bagian” dari diri mereka.

Sampai kapanpun perang adalah hal yang mengerikan. Ledakan bom, desing peluru, teriakan kesakitan, genosida, ibu kehilangan anaknya, anak kehilangan orang tuanya, dan semuanya terjadi hanya karena kepentingan segelintir orang saja. Semuanya hanya demi memuaskan pihak-pihak tertentu. Semuanya hanya sebagai permainan di mana aturannya adalah kemenangan sebagai sesuatu yang mutlak sementara kematian merupakan bagian dari angka-angka statistik.

Saya mungkin masih terlalu dini dan awam untuk memaknai sebuah keputusan untuk berperang. Sejauh yang saya tahu dan baca, peperangan di dunia ini didasari oleh sebuah motif, yaitu berkuasa. Keinginan satu pihak dalam menguasai sesuatu yang bukan haknya melahirkan ambisi untuk memperoleh keinginan tersebut dengan menempuh berbagai macam cara, sehingga timbullah nafsu untuk menaklukkan, untuk menjadi yang terhebat, menjadi pemenang, dan tentu saja, menjadi penguasa. Walaupun secara kasat mata bisa terlihat dalam perang melibatkan dua sisi, yaitu sisi sang ambisius yang menyerang dan sisi lainnya berjuang mempertahankan haknya, tapi tetap saja dalam peperangan tidak ada batasan antara yang baik atau jahat.

Ketika bom berjatuhan mengahancurkan tubuh manusia, lautan darah yang menetes, bagian-bagian tubuh yang berceceran, mayat-mayat bergelimpangan di mana-mana, masihkah kiranya terbesit pikiran untuk menghakimi mana yang baik dan mana yang jahat? Akankah ada yang mampu menjelaskan lewat pemandangan mengerikan itu mana yang disebut pahlawan dan mana yang penjahat? Adakah perbedaan antara malaikat dan setan di balik kematian yang diciptakan oleh ketakutan bercampur dengan heroisme yang rapuh?

Perang ditimbulkan karena arogansi yang besar dan akan terus berlangsung selama dunia masih bertanya-tanya siapa yang benar dan yang salah. Perang mungkin tepat dikatakan sebagai jawaban dari ketidakmampuan dalam menerima hidup dan lebih ironis lagi, itulah sifat manusia. Kita tak bisa mengelak bahwa perang merupakan hasil budaya dari peradaban manusia. Setiap generasi memiliki perangnya masing-masing sehingga jelaslah bahwa perdamaian hanya bisa dinantikan, diharapkan, diimpikan, persis seperti yang Anne Frank lakukan.

Mungkin semua itu memang ada di luar sana. Di balik jendela yang tinggi di mana Anne Frank menatapnya seraya melamun. Perdamaian, kebahagiaan, keharmonisan, kesetaraan dan lain-lainnya. Bisa jadi kematiannya sebelum perang berakhir adalah kemenangan pribadi baginya. Karena bukan tidak mungkin, apa yang Anne lihat di balik jendela hanyalah sebuah utopia dan kematian telah membawanya terbang ke sana.
"War is over, if You want it."
(John Lennon)

Selasa, 06 Oktober 2009

lista de la compra

"Because I have loved life,
I shall have no sorrow to die."

(Amelia Burr)


Sebelum semua omong kosong tentang 2012 itu benar-benar terjadi, maka kematian saya nanti harus menjadi kematian di mana kondisi hidup saya sudah “terpenuhi”, dan inilah diantaranya yang mungkin bisa setidaknya setengah memenuhi rasa puas saya terhadap hidup (in a passive way):
1. Novel
Yang masuk daftar belanja:
· Gravity’s Rainbow (Thomas Pynchon)
· Infinite Jest (Davis Foster Wallace)
· Catch -22 (Joseph Heller)
· Naked Lunch (William S. Burroughs)
· The Hitchiker’s Guide to A Galaxy (Douglas Adams)
· Semua karya Kurt Vonnegut, Jr.

2. Novel Grafis
Akhir-akhir ini seperti terserang virus novel grafis, maka daftar belanjaannya tidak jauh-jauh dari daftar top 10 novel grafis terbaik versi beberapa situs dan media:
· Watchmen (Alan Moore & Dave Gibbons)
· Blankets (Craig Thompson)
· Sin City (Frank Miller)
· Maus (Art Spiegelman )
· Bone (Jeff Smith)
· Jimmy Corrigan (Chris Ware)
· It’s A Good Life, If You Don’t Weaken (Seth)

3. Musik
Membayangkan hidup ke depan yang agaknya akan semakin bersifat materialistis oleh karena itu sepertinya saya benar-benar butuh terapi musik folk untuk menjaga unsur spiritualitas agar tetap menyala:
· The Freewheelin’ Bob Dylan (Bob Dylan)
· The Times They Are A-Changin’ (Bob Dylan)
· Bringing it All Back Home (Bob Dylan)
· Highway 61 Revisited (Bob Dylan)
· Blonde on Blonde (Bob Dylan)
· Blood on Tracks (Bob Dylan)
· Desire (Bob Dylan)
Hail to Bob Dylan!

4. Film
Karena kiamat yang sebenarnya adalah ketika film telah mati:
· Cinema Paradiso (Giuseppe Tornatore)
· Clerks (Kevin Smith)
· Dazed & Confused; Slacker (Richard Linklater)
· Ferris Bueller’s Day Off; The Breakfast Club (John Hughes)
· Stand By Me (Rob Reiner)
· American Graffiti (George Lucas)
· Stranger than Paradise; Night on Earth (Jim Jarmusch)
· Paris, Texas (Wim Wenders)
· A bout du soufflé (Jean-Luc Goddard)
· The 400 Blows (Francois Truffaut)
· Ran; Rashomon; Ikiru (Akira Kurosawa)
· Det sjunde inseglet; Fanny och Alexander; Persona (Ingmar Bergman)
· Au Revoir Les Enfants (Louis Malle)
· Requiem for A Dream (Darren Aronofsky)
· Solyaris; Zerkalo (Andrei Tarkovsky)
· Buffalo 66 (Vincent Gallo)
· Chung Hing sam lam (Wong Kar-wai)
· 8 ½; La Dolce Vita (Federico Fellini)
The list is still going on….

5. Konser musik
Mmm let me see, Pearl Jam? Check! Radiohead? Check! U2? Check! The Smashing Pumpkins? Check! Oasis? When they got reunion, HELL FOOKIN’ YESS!!! (Including their acoustic performance with only Noel Gallagher playing his guitar).

6. A Place to hide
Kutub. Tidak peduli di bagian utara atau selatan, yang jelas kutub, because I want to stare at Aurora, see penguins, and sit on top of an igloo.

7. Setidaknya sekali saja
Melihat piring terbang atau UFO (Unidentified Flying Object). Tempatnya bebas, waktunya bebas, yang jelas itu benar-benar UFO dan saya melihatnya secara langsung tanpa perantara apapun. Are YOU listening? I want to see UFO and I know they’re real!

8. Glory, glory Man United!
I’d really like to come to Old Trafford and watch United beat Liverpool or watch United in Champions League Final when they beat Real Madrid and win another treble! (I want to see it when Sir Alex retires and then Old Trafford change its name to be Sir Alex Ferguson stadium or at least an airport or a school or a street in Manchester is named after him).