Kamis, 27 Agustus 2009

Kosmetika

"It is amazing how complete is the delusion that beauty is goodness."

(Leo Tolstoy)

Citra. Entah kenapa kata tersebut sekarang sepertinya telah terpatri di kepala kebanyakan orang. Tercetak di bagian otak yang mengendalikan gerak-gerik. Menjelma sebagai neurotransmitter yang ditransfer oleh syaraf-syaraf dalam tubuh. Mengalir dalam cairan darah yang menopang hidup manusia. Citra menjadi bagian dari hidup. Citra adalah pilot, arsitek, dan sutradara. Citra adalah sebuah panggung besar di mana orang-orang berlomba untuk berdiri di bawah lampu sorot. Citra adalah pantulan bayangan di balik cermin. Citra adalah sebuah identitas. Citra adalah nama. Citra adalah karakter. Citra adalah kita. Tak peduli seberapa palsunya.

Bicara mengenai citra adalah tidak lagi berputar-putar di ranah reputasi, potensi, dan pencapaian seseorang melainkan telah dipersempit dalam area “luar’ yang menyelimuti, membungkus, dan menutupi manusia. Semuanya berhubungan dengan hal-hal yang sifatnya kasat mata. Citra seseorang bukan lagi sesuatu yang tersimpan di dalam diri tapi menjadi sebuah konsep artifisial yang bentuknya dapat dirancang, direncanakan, dan dibentuk sedemikian rupa sesuka hati. Jadi ini bukanlah sebuah “produk” dari proses melainkan citra telah mewujud dalam rupa dan hanya dipahami secara demikian. Lagipula, di era instan seperti sekarang, apalah artinya sebuah proses?

Ambillah contoh tayangan iklan, yang tentu saja mewakili produk tertentu. Pada hakikatnya, iklan merupakan media promosi atau perkenalan suatu produk, namun di samping itu iklan juga ternyata memiliki kekuatan yang sifatnya mempengaruhi dengan gencar mengingat frekuensinya yang besar. Dan lewat iklan-iklan inilah secara tidak sadar manusia telah digerakkan untuk mengejar suatu sosok atau citra yang didasari pada fitur atau keunggulan produk tersebut. Sesuatu yang tidak lebih dari sekedar ilusi.

Saya ingin membahas mengenai kecantikan (tentu saja ini mengenai perempuan, tanpa mengurangi rasa hormat atau merendahkan mahluk tersebut) dan bagaimana iklan telah meredefinisi maknanya. Iklan shampoo menyatakan bahwa kecantikan adalah rambut yang panjang terurai, lembut, dan berkilauan. Iklan sabun membawa pengertian pada kecantikan sebagai kulit yang halus dan menawan. Iklan kosmetik dan produk perawatan lainnya menegaskan bahwa wanita cantik haruslah memiliki kulit putih bersih, tanpa kerutan sedikitpun, tubuh langsing, barisan gigi yang mengkilat, dan tentu saja awet muda sepanjang masa. Produk pakaian dalam pembesar dan pembentuk payudara seakan mempropagandakan bagian tubuh di mana harga diri perempuan terletak.

Hasilnya bisa dilihat bagaimana itu semua mempengaruhi isi kepala perempuan. Mall-mall telah menjadi arena kontes miss universe yang tak berkesudahan. Kecantikan menjadi sebuah tema yang terus dilombakan oleh banyak perempuan. Tidak hanya produk namun perempuan juga ikut berkompetisi dengan sesamanya. Pencitraan mereka melekat pada produk-produk yang digunakan berdasarkan pada skill berdandan yang terus diperbaharui. Kondisi ini kebanyakan memakan korban para gadis-gadis muda di usia remaja yang tanggung namun tidak menutup kemungkinan mereka akan terus berpegang pada “ideologi” ini sampai tua. “Ideologi” yang mensyaratkan bahwa perempuan haruslah menjadi cantik.

Tentu saja kecantikan bukanlah suatu hal yang buruk. Saya percaya kecantikan merupakan kodrat spesial yang diberikan Tuhan kepada setiap perempuan. Oleh karenanya kecantikan bukanlah sebuah keharusan ataupun tuntutan bagi perempuan melainkan sebuah kelebihan yang sudah ada sejak lahir. Mereka bahkan tidak perlu bersusah payah untuk menonjolkannya atau bahkan menciptakannya sendiri, namun cukuplah menjadi dirinya sendiri sehingga semuanya akan terjadi secara wajar dan dalam porsi yang tepat. Yang menjadi masalah adalah ketika mereka mulai terobsesi dengan kecantikan dan berusaha untuk menampilkannya sepanjang waktu. Pulasan kosmetik justru menutupi kecantikan yang sebenarnya.

Iklan-iklan produk kecantikan telah menjadi semacam boomerang bagi perempuan. Coba kembali kepada isu gender atau emansipasi di mana perempuan selalu berada di posisi kedua dalam lingkungan sosial. Saya rasa hal tersebut takkan terjadi kalau sebagian besar potensi perempuan tidak disalurkan untuk memandangi cermin. Mungkin ada benarnya untuk mempercayai bahwa iklan kecantikan adalah senjata yang diluncurkan dalam meredam gelombang feminisme. Di tahun 70-an perempuan telah mendapatkan kedudukannya di bawah genderrang feminisme yang mereka tabuh. Mereka mulai dihargai ,dihormati, disegani karena potensi diri yang tak kalah hebat dengan kaum lelaki. Namun sekarang, produk-produk kecantikan telah memindahkan sebagian besar perempuan dari meja kerja menuju ke meja riasnya masing-masing. Ironi ini semakin bergelombang ketika para model dan selebritis secara tak sadar ikut “mendukung” proses tersebut.

Sudah selayaknya para perempuan bangkit dan mengganti paradigma mereka. Merubah kiblat mereka dari Kate Moss ke J.K. Rowling (walaupun saya tidak membaca seri Harry Potter tapi apa yang ia capai sampai sekarang merupakan sebuah inspirasi), dari Paris Hilton ke Sofia Coppola, dari Britney Spears ke Bjork, agar mereka tidak hanya terlihat sebagai “budak-budak” produk melainkan eksis dalam karya-karya. Perempuan harus mulai bisa menghargai hidupnya bukan untuk terus menghiasi fisik mereka. Perempuan sebaiknya mampu menyalurkan kecantikan yang ia punya dalam bentuk produktifitas yang bermanfaat bukan hanya menunjukkannya di depan umum hanya demi melihat air liur laki-laki menetes membasahi jenggotnya.

3 komentar:

  1. nice. people nowadays tend to see only the "outside", they don't know what its latent talent inside. but I still believe that everybody's special, they have their own ability, like you :D

    I perceived that woman try to look beautiful because of man. Bukankah hal pertama yang dilihat pria adalah penampilan? Tapi yang salah disini adalah, mereka memaksakan diri and they lost their identity. Semua orang berdandan serupa. Menurut saya, "dandanan" hanya sebagai pelengkap, saya sebagai wanita masih ingin "eksis dalam karya".

    BalasHapus
  2. iya saya ga suka kalo perempuan bisanya cuma "mengiklankan diri" tanpa kelebihan lain yg mereka punya selain daripada penampilan.

    BalasHapus
  3. pria memang melihat perempuan dari penampilan, tp kenapa harus repot2? Kenapa harus susah payah melakukannya demi pemenuhan standar laki2?
    ini hanya akan membuat perempuan selalu berada di posisi kedua dan balik ke jaman dulu di mana perempuan hanyalah mahluk yg ada untuk dinikahi dan dipilah-pilih oleh kaum pria.

    BalasHapus