Kamis, 25 Maret 2010

I Like the Peace in the Backseat


"Distraction is an  Obstruction
of the Construction"

(The Science of Sleeps)

Jika sesuatu telah terjadi dan tidak ada yang berubah, maka itu sama sekali tidak ada artinya. Benar? Atau mungkin saya menarik kesimpulan itu terlalu cepat? Salahkah bila saya mengatakan apa yang memang saya rasakan akhir-akhir ini? Perasaan yang, entah mengapa, nampak diam saja, tidak menunjukkan tanda-tanda kehidupan baru seperti yang orang-orang lain (biasanya) katakan. Apa itu juga berarti perasaan saya sudah mati? Rasanya terlalu jauh. Mungkin ini berhubungan dengan hal-hal tentang “menempatkan sudut pandang” atau “merubah pola pikir” atau “mengikuti apa kata hati” yang bisa membuatnya segalanya terasa seperti yang terasa sekarang. Saya mencoba melihat ke belakang, sekali lagi, semuanya. Mencoba mengumpulkan sedikit demi sedikit sesuatu yang mungkin dapat membangkitkan perasaan. Namun percuma. Tetap saja semuanya terasa seperti yang terasa. Terasa seperti jika sesuatu telah terjadi dan tidak ada yang berubah, maka itu sama sekali tidak ada artinya.

Kemana saya selama ini? Mondar-mandir dalam ruangan luas persepsi. Orang-orang mengatakan ini-itu, berpendapat, namun isinya adalah hukum yang memaksa, menetapkan, menuntut kesamaan atas segalanya. Menularkan ketakutan, kegelisahan, dan kebingungan yang tak henti-henti. Mengajak untuk bermimpi, mimpi yang di dalamnya terdapat banyak batasan dan rintangan. Tidak ada keluasan, hanya kesempitan, karena mereka takut mimpi ini akan berkhianat. Mimpi yang berwujud unggas, berlenggak-lenggok di atas daratan, memungut makanan, hidup namun tidak mampu untuk terbang. Hanya meloncat. Meloncat. Tidak lebih tinggi dari meloncat. Dan mereka bilang inilah mimpi? Inilah cita-cita? Inilah masa depan? Menurutku mereka butuh menyendiri.

Kapan terakhir kali orang-orang sendiri? Ya, tanpa siapapun, tak ada hingar-bingar, keributan, canda tawa, eksotisme, keriaan. Sendiri, telanjang. Kapan terakhir kali mereka telanjang di depan dirinya sendiri. Melihat semuanya terbuka lebar. Dengan segala bentuk yang mungkin tak pernah mereka sadari sebelumnya karena terlalu lama ditutupi oleh lapisan demi lapisan yang anti koyak di dalam ruang ilusi. Ruang ilusi yang kita diami setiap hari. Kapan? Karena dalam kesendirian kita sedang melakukan percakapan, pertemuan dengan puncak kesadaran kita yang paling tinggi. Tanpa intervensi, gangguan, dan dusta. Hanya kita yang sedang berhadapan dengan sesuatu yang lebih mengetahui apa yang tidak ketahui, melihat lebih jelas dari apa yang kita lihat, mendengar lebih tajam dari apa yang bisa kita dengar, bicar a lebih jujur dari apa yang bisa kita usahakan. Menyendiri dan kita akan mengetahui siapa diri kita, bahan apa yang digunakan untuk membuat kita, arti dari kehadiran kita, serta nilai yang kita raih di depan mata kehidupan. Kapan? Mungkin tidak, karena lihatlah kesendirian yang seperti itu. Menakutkan. Terlalu menakutkan. Terabaikan oleh dunia. Ditinggalkan. Tidak dipedulikan. Terbuang. Tersisihkan. Lalu bagaimana caranya mereka tahu bahwa ada yang salah selama ini dengan mereka? Introspeksi memang menyakitkan, tapi bagaimana mereka bisa memulainya? Kapan?

Orang-orang banyak bertanya, bicara. Peradaban in dibangun dari bertanya dan bicara. Sepanjang hidup kita semua melalui setiap tahap untuk bertanya dan menjawab. Dan ada saatnya pertanyaan-pertanyaan datang untuk mencoba mengorek, mengetahui, secara garis besar siapakah dia yang sedang ditanya. Tidak semudah bertanya ‘Siapa?’ atau ‘Di mana? dan ‘Bagaimana?’ namun pertanyaan-pertanyaan yang mempermainkan logika dan bahkan cenderung memaksa untuk menjawab sesuai dengan yang ditentukan. Karena pada dasarnya pertanyaan tersebut telah memiliki jawaban yang pasti. Kenapa begitu banyak pertanyaan untuk mengetahui siapa diri yang ditanya? Mengapa mengajukan banyak pertanyaan untuk bisa memunculkan suatu penilaian atau persepsi mengenai siapa dan bagaimana. Bila saya harus mengajukan pertanyaan dan mengikuti permainan ini untuk menyatakan siapakah dia sebenarnya yang sedang ditanya, maka yang saya pikirkan adalah pertanyaan: “Apakah artinya kebahagiaan?” Dan itu cukup untuk bisa menilai, mengetahui, mengidentifikasi diri. Cukup untuk mengetahui apa yang telah dipunya oleh seseorang dan apa yang ingin diraih. Cukup untuk mengetahui apakah hidup ini dan bagaimana melaluinya. Cukup untuk mengetahui segalanya karena segalanya, disadari atau tidak, selalu berhubungan dan berujung pada satu keadaan tersebut, kebahagiaan. Dan setelah itu mereka bisa berhenti membuat bising dari suara-suara mereka. Biarkan semuanya tenang dan saya dapat tidur dengan lelap.

Pergi ke suatu tempat di dunia ini yang paling tinggi, puncak dari segalanya, menara yang mampu melihat ke segala arah. Memang terlalu jauh untuk sampai ke sana. Tapi ketika berada di atasnya, entah kenapa, semuanya terlihat menjijikan. Kotor. Tak berbentuk. Pulau-pulau itu tampak tidak terawat, seperti seseorang yang sedang sakit, sakit dan sakit, menanti obat untuk membuatnya pulih, namun tak ada yang tahu persis apa obat yang diperlukan. Bahkan mungkin penyakit tersebut tidak lagi dapat dimengerti karena tempat itu pada dasarnya mengakui bahwa ia baik-baik saja, tidak sakit sedikitpun. Tapi dari atas sini, demi Tuhan, tempat itu seperti sekarat. Hampir semua bagiannya retak, fondasinya goyah, atapnya akan segera runtuh, cat-catnya mengelupas, pintu-pintunya berderit, kursi-kursi dan meja reyot mengeluarkan suara mengerang seolah sedang bercakap membicarakan kehancuran. Bagaimana mungkin orang bisa tinggal di tempat ini? Apa yang membuat mereka betah? Apakah ada di antara mereka yang tahu tempat seperti apa sebenarnya yang mereka tempati itu? Mungkin tidak ada, karena mereka harus berada di tempat tinggi seperti ini bila ingin melihat semuanya. Saya hanya bisa mengatakan kepada mereka bahwa tempat ini rusak, sekarat. Tapi untuk itu, berarti mereka harus belajar dulu untuk mendengarkan.

Ya, saya memiliki perang yang tidak akan pernah berakhir. Perang besar di mana sebuah kemenangan akan memberikan arti yang sangat besar. Perang yang menuntut untuk selalu berlangsung. Perang yang tidak akan pernah lelah dan berpikir untuk berhenti. Apa itu gencatan senjata? Karena perang ini tidak mengenal belas kasihan atau istirahat. Kemenangan atas diri sendiri adalah kemenangan besar yang mungkin tidak dapat dikalahkan oleh kesenangan lain. Saya merasa beruntung karena menyadari perang ini tengah berlangsung. Saya beruntung mendapatkan lawan yang sulit ditaklukkan sehingga setiap detik dari jalannya perang tersebut memberikan banyak harapan tentang kemenangan yang semakin lama semakin membesar. Tujuannya bukanlah penaklukan, namun kemampuan untuk dapat melestarikan perang ini sampai akhir hayat. Di luar sana, perang-perang terjadi dalam ruang yang lebih luas. Perang antara satu individu dengan yang lainnya. Atas nama prestasi, pencapaian, itulah yang terjadi, peperangan untuk menentukan siapa yang terbaik diantara mereka. Menjadi yang terbaik, menurut saya adalah hal paling egois yang menjadi kodrat manusia. Melakukan yang terbaik, menurut saya adalah kemenangan yang sesungguhnya. Lalu kapan mereka akan berani untuk berperang melawan dirinya sendiri? Berani melupakan keinginan untuk menjadi yang terbaik dan menggantinya dengan kemampuan untuk mengaku kalah? Apakah mereka terlalu takut untuk mengalahkan diri sendiri? Lawan! Sampai akhir hayat, lawan! Lawan untuk melihat sampai di mana jalan ini telah ditempuh dan berapa jauh lagi ke depan. Betapa nikmatnya, kemampuan untuk membenci dan melawan diri sendiri.

Sekarang satu hari lagi telah terlewati. Dunia ini memang tidak pernah berhenti berputar. Jangan salahkan bila waktu banyak yang membenci. Urusan siang dan malam ini. Katakanlah hari mulai gelap, semua orang tertidur, dunia ini sepi dari suara-suara, senyap, damai, lalu hujan mulai turun pelan-pelan, mungkinkah ini saat ketika waktu memerintahkan tubuh dan jiwa untuk masuk ke dalam lubang kontemplasi? Bisa jadi itulah pesan yang hendak disampaikan, karena ketika hujan turun seperti sekarang, setiap melodi gemerincingnya membangkitkan jiwa yang kelelahan untuk menatap cermin lalu berdiri telanjang. Sekali lagi.

Senin, 22 Maret 2010

2000-2009: Outside Hollywood, Speak No English Please!

"Film is one of three universal languages,
the other two, mathematics and music."

(Frank Capra)

Oke, era globalisasi memang dianggap menakutkan, memberikan dampak negatif, kapitalis, dan cenderung merusak nilai-nilai luhur tradisional suatu generasi —terutama para remaja— yang kehancurannya digambarkan sedemikian rupa secara realita, pragmatis, subjektif, atau bahkan prediktif. Tetapi berbahagialah bagi kaum anti-paranoid di luar sana yang justru menemukan globalisasi sebagai kapal layar yang besar dalam menemukan dan menjelajahi dunia baru. Dan semenjak “kapal layar” itu berkeliaran di negeri ini (baik dengan diberi sambutan “Selamat Datang” ataupun dengan cara menyelinap lewat pintu belakang) banyak hal telah saya temui yang pada intinya adalah berupa kesimpulan bahwa di luar sana tidak hanya ada “Amerika Serikat” dan Hollywood hanyalah satu dari sekian banyak yang lainnya.

Terutama pada dekade 2000-an, era globalisasi yang mengambil tema kemajuan teknologi, telah mendorong dunia film untuk mempercepat laju evolusinya. Hollywood memang masih bisa membusungkan dadanya bila ditanya mengenai kecepatan mesin lokomotif special effect setingkat “Avatar, kacamata 3D, jumlah budget yang lebih besar dari biaya pembuatan kapal Titanic, Brangelina, pabrik animasi CGI (Disney’s Pixar, Dreamworks, Blue Sky Studios), jumlah pendapatan, dan angka penjualan Blu-Ray Disc. Tapi bila ditanya mengenai kualitas cerita, kekuatan pesan moral dan sosial, serta peran film sebagai media dalam memotret lika-liku kehidupan manusia sebagai buah dari pergolakan emosi, jiwa, serta akal (atau bisa dibilang juga, potret manusia seadanya, tanpa harus mewakili superioritas atau popularitas-nya), maka jangan heran bila jawaban justru dilontarkan dalam bahasa-bahasa yang asing di telinga. Karena mungkin Hollywood tidak terlalu mengerti tentang urusan “potret-memotret” ini dan juga karena mungkin film lebih bisa dimaknai secara dalam dan adil (sebagai seni, bukan komoditi) di belahan dunia lain. Dan untuk sekarang dan seterusnya, marilah kita sama-sama mendengar dan menonton mereka bicara dengan caranya masing-masing:


4 luni, 3 saptamâni si 2 zile


Sutradara: Cristian Mungiu
Asal/Bahasa: Rumania/Rumania
Bercerita Tentang:
Seorang perempuan yang membantu temannya untuk melakukan operasi aborsi ilegal.
Ulasan:
Film ini adalah sebuah pemandangan yang intens mengenai proses aborsi yang dijalankan oleh seorang mahasiswi dan dokter “bawah tanah” di sebuah hotel. Kegelisahan, ketegangan, kebimbangan, ketakutan, sampai pada akhirnya rasa kesakitan yang membumbui proses tersebut. Setiap tahap yang ditempuh dalam melakukan aborsi ini memperlihatkan secara samar bahwa resiko kematian dapat datang kapan saja. Lalu pertanyaan-pertanyaan klise itu kembali dimunculkan, apakah ini bagian dari tindakan medis atau mungkin pembunuhan? Atau bisa dilebarkan lagi ke dalam ranah diskusi gender apakah ini kesalahan pria atau wanita? Dan siapakah yang menjadi korban diantara keduanya? Memang tidak ada jawaban yang jelas mengenai hal tersebut tapi setidaknya film in imembantu memungut sedikit demi sedikit pemahaman mengenai harga diri, tanggung jawab, serta betapa mahalnya nikmat yang bernama kehidupan ini.
Mengapa ini lebih baik dari produk Hollywood:
Kekuatan dalam film ini adalah setiap adegan direkam dengan ikut menyertakan atmosfer emosi yang menyertainya dengan begitu kentara, dengan hanya satu posisi pengambilan gambar, sedikit adegan close-up, dan blocking yang tidak banyak berubah dari para pemainnya yang mungkin akan dengan cepat disimpulkan oleh Hollywood sebagai: membosankan. Semuanya tergantung pada bagaimana cara melakukannya.


Amores Perros

 

Sutradara: Alejandro Gonzalez Inarritu
Asal/Bahasa: Meksiko/Spanyol
Bercerita Tentang:
Seorang pemuda, seorang aktris, dan seorang gelandangan yang jalan hidupnya terhubung oleh sebuah kecelakaan mobil dan anjing.
Ulasan:
Terbagi dalam tiga bagian cerita. Yang pertama adalah seorang pemuda yang jatuh cinta pada kakak iparnya yang kemudian secara tidak sengaja menghasilkan uang dengan mengikuti arena adu anjing. Yang kedua adalah seorang aktris yang kakinya patah karena tertabrak mobil yang dikendarai pemuda yang sedang dikejar-kejar oleh petaruh adu anjing yang kalah dan  dirinya juga harus kehilangan anjing kesayangannya karena masuk ke dalam lubang di lantai apartemennya. Yang ketiga adalah seorang gelandangan merangkap pembunuh bayaran yang memungut seekor anjing aduan dari kecelakaan di jalan raya dan berada dalam persimpangan jalan untuk melakukan penebusan dosa demi anak perempuan yang tidak pernah ia temui. Ketiganya memberikan pemahaman bahwa hidup ini bukanlah hal yang pasti, penuh dengan kemungkinan dan hal-hal kecil yang justru berujung pada hal besar yang manusia untuk mampu merelakan segala sesuatu agar dapat melewatinya dengan baik.
Mengapa ini lebih baik dari produk Hollywood:
Tema yang diangkat serta cerita dan karakteristik tokoh yang ditampilkan sama sekali tidak mewakili gen Hollywood ditambah lagi memasukkan tiga cerita berbeda yang memiliki satu benang merah dalam satu film adalah hal yang rumit untuk dilakukan Hollywood kecuali jika memasang tiga pasangan suami-istri selebritis terkenal yang saling terhubung oleh anak-anak adopsi.

Cidade de Deus

 

Sutradara: Fernando Meirelles dan Katia Lund
Asal/Bahasa: Brasil/Portugis
Bercerita Tentang:
Lika-liku kehidupan gangster di pemukiman kumuh di Brasil.
Ulasan:
Kemiskinan, apabila disikapi dengan terlalu berlebihan terutama bila itu juga telah menempati bagian terbesar dari jiwa manusia, maka hasilnya adalah keinginan untuk memiliki segala sesuatu dengan segala cara yang dapat ditempuh. Mencuri, merampok, menyebarkan teror, menjual narkoba, sampai membunuh. Apa yang diawali sebagai bisnis kotor yang menguntungkan harus diakhiri dengan timbulnya persaingan dan perebutan kekuasaan antar geng yang tentu saja selalu diselesaikan lewat ajang adu kekuatan yang berujung darah dan kematian sia-sia. Kehidupan gangster yang kelam dan cenderung barbar karena selalu berorientasi pada kekuasaan dan menumbuhkan rasa hormat lewat ketakutan, menutrisi kepala orang-orang dengan pikiran jahat dan licik sehingga menciptakan batas yang kabur antara kawan dan lawan. Sehingga cerita ini bukanlah sebuah proses kehidupan yang merangkak dari bawah ke atas melainkan proses di mana semua yang telah dilakukan, didapat, dan digunakan menghilang tanpa jejak seperti asap mesiu. Dan ketika semuanya hilang, tidak ada lagi yang tersisa selain dari menunggu kematian untuk datang.
Mengapa ini lebih baik dari produk Hollywood:
Oke, Hollywood memiliki film-film tentang gangster atau mafia yang layak diacungi banyak jempol. Tapi bagaimana apabila Hollywood diminta untuk menggambarkan kemiskinan dan kekumuhan yang begitu nyata? Di titik itulah perbedaannya.


Das Leben der Anderen

 

Sutradara: Florian Henckel von Donnersmarck
Asal/Bahasa: Jerman/Jerman
Bercerita Tentang:
Seorang mata-mata utusan pemerintah Jerman Timur mengintai pasangan seniman yang dicurigai anti-sosialis.
Ulasan:
Awalnya adalah sebuah misi rahasia pemerintah yang berjalan rapi dengan tokoh utama seorang intelijen yang mewakili karakteristik Jerman yang dingin, kaku, dan terorganisir ditambah dengan segala peralatan mata-mata yang memungkinkan untuk mendengar bahkan suara desahan napas. Lalu berikutnya yang tumbuh adalah pertarungan antara profesionalisme dan hati nurani. Pertahanan terhadap ideologi yang mulai luntur, kesendirian yang membosankan, serta perasaan cinta yang masih samar-samar yang membukakan jalan pada pemahaman mengenai hak asasi manusia untuk bisa merasakan kebebasan. Kesetiaan terhadap negara tergadaikan oleh telinga yang peka mendengarkan bentuk lain dari kehidupan ini di mana topeng kemunafikan menjadi begitu berkuasa. Sebuah kondisi di mana terdapat perbedaan yang nyata antara mendengar dan melihat. Dan pada akhirnya, sama seperti tembok Berlin yang runtuh, pengorbanan itu berakhir dengan manis.
Mengapa ini lebih baik dari produk Hollywood:
Film mata-mata bagi Hollywood adalah film mengenai gadget-gadget canggih, aksi berbahaya yang dipenuhi ledakan, penjahat kelas kakap yang ternyata adalah sahabat sendiri, serta jatuh cinta pada partner yang kebetulan berlawanan jenis. Entahlah tapi sepertinya mereka kehilangan arah.


Der Untergang


Sutradara: Oliver Hirschbiegel

Asal/Bahasa: Jerman/Jerman
Bercerita Tentang:
Masa-masa terakhir kehidupan Adolf Hitler, Nazi, dan perang dunia kedua di dalam sebuah bunker.
Ulasan:
Memang jarang diutarakan di dalam buku sejarah tapi kegelisahan, kemarahan, kekhawatiran, bahkan ketakutan yang dirasakan oleh Adolf Hitler menjelang berakhirnya perang dunia kedua dan penaklukan Rusia adalah sebuah dokumentasi umum bahwa bagi siapapun kekalahan adalah hal yang menyakitkan atau dalam hal ini, menyedihkan. Film ini memperlihatkan sebuah mimpi yang belum selesai untuk diwujudkan dan bagaimana perasaan yang harus ditanggung ketika menjadi saksi bahwa kenyataan tidak pernah sesuai dengan harapan. Hitler runtuh bersama dengan kharisma dari seragam kebesarannya seiring dengan keretakan yang ia temukan setiap harinya di dalam organisasi yang ia besarkan. Bagaiamanapun juga kesetiaan yang tinggi adalah hal yang patut mendapatkan pujian dan respek tanpa harus sibuk-sibuk membedakan siapa yang baik dan jahat. Film ini telah berhasil untuk sekitar 90 menit memperlihatkan Hitler sebagai sosok gamang yang terlalu rapuh untuk dikaitkan dengan semua catatan hitam tentangnya.
Mengapa ini lebih baik dari produk Hollywood:
Ingat nasihat orang bijak tentang membuat film tentang sejarah suatu negara atau isu nasional oleh negara lain? Jangan pernah.

Efter brylluppet


Sutradara: Susanne Bier 
Asal/Bahasa: Denmark/Denmark
Bercerita Tentang:
Seorang pekerja sosial yang kembali ke negara asalnya untuk bertemu dengan masa lalunya.
Ulasan:
Drama menjadi unsur yang kuat dalam film ini. Kompleksitas, dilema, pergolakan batin, serta konflik yang muncul yang berkaitan dengan rahasia keluarga membuatnya menjadi begitu dingin sekaligus kelam. Seorang aktivis sosial di India harus pulang ke negara aslinya, Denmark, untuk menghadiri acara pernikahan anak seorang konglomerat yang baru dikenalnya. Sebagai intro menuju spiral drama film ini, diceritakan bahwa sang pengantin wanita ternyata adalah anak kandungnya sendiri yang tak sempat ia lihat ketika dilahirkan. Benang kusut yang mengelilingi film ini adalah mengenai keluarga serta kepercayaan dan tanggung jawab yang membangun fondasinya yang ternyata dapat dengan mudah diruntuhkan oleh kebohongan-kebohongan. Intinya adalah mengenai penebusan terhadap masa lalu yang ditinggalkan begitu saja sedangkan rasa tanggung jawab yang tidak disadari selalu menunggu tuannya untuk datang menyambut.
Mengapa ini lebih baik dari produk Hollywood:
Keunggulan film ini adalah kompleksitas drama yang ditampilkan yang nampaknya kurang bisa diolah oleh Hollywood terutama bila mengangkat tema keluarga. Yang harus dicatat adalah intensitas konflik yang ditunjukkan tanpa melibatkan unsur "black comedy" serta penampilan para aktornya yang bisa dengan tepat menampilkan emosi yang dalam.

El laberinto del fauno

  

Sutradara: Guillermo del Toro
Asal/Bahasa: Spanyol/Spanyol
Bercerita Tentang:
Seorang gadis kecil dan dunia fantasi pada era kediktatoran Jenderal Franco di Spanyol.
Ulasan:
Leprechaun, peri, monster, dan keabadian tak pernah bisa berhenti mengganggu gadis cilik pengkhayal yang kesepian. Diiringi dengan latar belakang masa kediktatoran militer Spanyol dan para pasukan pemberontak yang bersembunyi di tengah hutan belantara, seorang gadis masuk ke dalam labirin menuju dunia fantasi yang membawanya pada proses pencarian jati diri. Dan lewat jalur fantasi inilah sang gadis mengerti kondisi yang tengah terjadi di dunia nyata mengenai kekuasaan, ketidakadilan, kekejaman serta di sisi lain terdapat pula keinginan kuat akan kebebasan, kemerdekaan, serta kesetaraan. Perjuangan para gerilyawan untuk mereformasi Spanyol dihadapkan pada berbagai rintangan sementara sang gadis berpacu dengan waktu untuk memenuhi misi demi menyempurnakan takdirnya sebagai seorang manusia yang abadi. Kedua hal ini bertemu di persimpangan jalan di mana akhir dari segalanya adalah sebuah ironi yang menyedihkan.
Mengapa ini lebih baik dari produk Hollywood:
Ingat Harry Potter? Terlalu kekanak-kanakkan. Ya semua hal yang berhubungan dengan dunia fantasi oleh Hollywood selalu dibuat terlalu kekanak-kanakkan.


Entre les murs

 

Sutradara: Laurent Cantet
Asal/Bahasa: Prancis/Prancis
Bercerita Tentang:
Sekolah remaja khusus para imigran kelas menengah ke bawah di Prancis
Ulasan:
Dalam film, sekolah selalu dijadikan setting dalam mengangkat dua tema sentral yang cukup populer yaitu perjuangan murid dalam melepaskan diri dari keterkekangan dan ketegaran sosok guru dalam menjalankan pekerjaannya. Benang merah dari kedua tema itu adalah tokoh utama selalu mengambil peran sebagai objek penderita. Film ini menunjukkan bahwa sekolah sebenarnya bukanlah arena perseteruan antara guru-murid dalam menegaskan eksistensinya masing-masing melainkan sebuah tempat di mana hubungan keduanya merupakan bagian dari proses belajar-mengajar yang disebut sebagai “usaha untuk saling memahami”. Langkah tepat yang dilakukan oleh film ini adalah dengan menyajikannya dalam konsep semi-dokumenter yang membuat suasana kelas menjadi begitu nyata dan memperlihatkan batas yang kabur mengenai siapa yang sebenarnya sedang mengajar dan begitu pula sebaliknya. Satu hal penting yang coba diingatkan oleh film ini adalah bahwa bukan prestasi atau nilai akademis yang dapat dijadikan patokan dalam memberikan identitas kepada murid-murid, melainkan keberagaman latar belakang sosialnya yang memerlukan sikap toleransi tinggi untuk bisa dipahami. Seperti kata Helen Keller: “The highest result of education is tolerance.”
Mengapa ini lebih baik dari produk Hollywood:
Sampai saat ini, Hollywood hanya menggunakan semi-dokumenter dalam film horror atau thriller sci-fi semata-mata untuk memberikan efek jeritan ketakutan wanita yang nyata. Selain itu, Hollywood lebih suka mengangkat tema sekolah dengan cerita “from zero to hero” mengenai seorang geek korban bullying yang kebingungan mencari pasangan untuk prom night. Hmm mungkin Robin Williams dapat menyelamatkan lagi sekolah di Hollywood dari kumpulan remaja macho anggota tim football dan geng cewek populer yang dipimpin oleh anak kepala sekolah.

Good Bye Lenin!


Sutradara: Wolfgang Becker
Asal/Bahasa: Jerman/Jerman
Bercerita Tentang:
Usaha seorang anak untuk menunjukkan kepada ibunya yang baru sembuh dari koma bahwa Jerman Timur masih ada.
Ulasan:
Westernisasi memang sulit untuk dibendung, tapi untuk seorang ibu yang baru sembuh dari koma yang jantungnya bisa langsung berhenti bila ia mengetahui tembok Berlin telah roboh dan sekarang hanya ada satu Jerman di dunia, apapun bisa dilakukan. Dari mulai menukar merek acar dari Belanda dengan merek Jerman Timur yang didapat dari memulung di tempat sampah, menyewa anak-anak kecil untuk menyanyikan lagu kebangsaan yang sudah punah di hari ulang tahunnya, menyiarkan berita-berita lama di TV, dan meyakinkan bahwa Coca-Cola sebenarnya adalah produk asli sosialisme. Pengorbanan ini memang tampak konyol tapi di sisi lain apa yang dilakukan oleh seorang anak terhadap ibu yang hanya bisa duduk dan berbaring di atas kasurnya dengan menjungkirbalikkan realitas adalah sesuatu yang manis. Sebuah penghormatan terhadap idealisme yang walaupun telah usang namun tetap dijunjung tinggi sebagai bagian dari napas dan detak jantungnya untuk menopang hidup. Walaupun akhirnya dunia luar memang tidak pernah diketahui, tapi bukankah itu menyenangkan untuk tetap berada dalam mimpi dan cita-cita lama, sehancur apapun itu sebenarnya.
Mengapa ini lebih baik dari produk Hollywood:
Apabila Hollywood menggarap film seperti, pilihannya mungkin ada dua, hasilnya menjadi terlalu melodramatis atau terlalu mengada-ngada. Tambahan lagi, yang menjadi pokok cerita mungkin bukanlah hubungan anak-ibu, tapi hubungan percintaan sang anak yang memburuk akibat kegemarannya mengumpulkan kaleng acar merek lama.

Le fabuleux destin d'Amélie Poulain

 

Sutradara: Jean-Pierre Jeunet
Asal/Bahasa: Prancis/Prancis
Bercerita Tentang:
Seorang gadis bernama Amelie
Ulasan:
Keluguan yang dipadukan dengan kemampuan tinggi dalam berimajinasi menghasilkan sosok unik, bersahaja, yang bahkan memiliki nilai kemuliaan lebih dibandingkan dengan manusia lainnya. Amelie tampil sebagai seorang malaikat penolong anonim yang mampu melihat dan mendeteksi orang-orang dalam kehidupan modern yang seringkali menutup diri dari meminta pertolongan. Apa yang dilakukannya adalah alternatif dalam membantu sesama tanpa harus menonjolkan sifat kedermawanan dengan terang-terangan namun membiarkan orang-orang yang ditolongnya mempercayai bahwa keajaiban telah terjadi pada mereka. Menolong tanpa pamrih adalah tema yang utama yang diusung dalam film ini yang memperlihtkan bahwa kesempatan untuk melakukan hal tersebut selalu terbuka lebar kapanpun di sekitar kita. Memang membutuhkan sebuah proses, tetapi memandang serta memaknai kehidupan dan hubungan antar manusia di dalamnya dengan cara yang dilakukan Amelie bisa jadi akan membuat dunia ini sedikit lebih tenang dan menyenangkan.
Mengapa ini lebih baik dari produk Hollywood:
Sejak Forrest Gump, Hollywood tidak pernah lagi berhasil memotret keluguan serta kepolosan dari manusia dalam menjalani hidup dan mengolahnya menjadi cerita inspiratif. Salah Hollywood atau memang kehidupan jaman sekarang tidak lagi bisa memproduksi manusia semacam itu?

Le scaphandre et le papillon

 

Sutradara: Julian Schnabel
Asal/Bahasa: Prancis/Prancis
Bercerita Tentang:
Seorang editor majalah fashion yang terserang stroke dan seluruh fungsi tubuhnya lumpuh kecuali mata kirinya.
Ulasan:
Tidak ada yang lebih mengerikan dibandingkan kelumpuhan. Bayangkan, anda melihat, mendengar, dan merasakan segalanya terjadi di depan mata tapi anda hanya bisa menonton dan diam dan sedikit berkedip. Karir yang cemerlang, kekayaan, anak-anak yang manis, serta perempuan-perempuan cantik adalah suatu bentuk kekayaan hidup yang memerlukan penyakit semacam stroke untuk membuktikan apa atau siapa yang betul-betul dibutuhkan. Penyakit yang tiba-tiba melumpuhkan syarafnya di hari yang cerah saat sedang berkendara dengan anak laki-lakinya yang serta merta membawanya ke tahap baru dalam kehidupan, yaitu keterikatan penuh terhadap lingkungan sekitar. Terbaring di rumah sakit, tak bisa bicara, tak bisa bergerak, tak mampu merasakan sentuhan Dan dari situlah inspirasi muncul, bahwa menjaga perasaan serta hasrat di dalam diri adalah modal utama dalam bertahan hidup di tengah segala keterbatasan. Dengan “harta” seperti itu yang terus tumbuh di dalam dada, maka tidak berlebihan sekiranya menganggap untuk bisa berkedip saja merupakan sebuah hal yang patut disyukuri.
Mengapa ini lebih baik dari produk Hollywood:
Apakah Hollywood pernah mengangkat film yang mengambil sudut pandang orang pertama? Maksudnya benar-benar menjadi tokoh utama dengan menjadi matanya di sepanjang film? Mata seorang penderita stroke yang hanya berfungsi sebelah dan berkedip sekali untuk bilang “ya” dan dua kali untuk “tidak”? Mungkin terlalu rumit untuk bisa dipahami.

Nicija zemlja


Sutradara: Danis Tanovic
Asal/Bahasa: Bosnia & Herzegovina/Bosnia, Prancis
Bercerita Tentang:
Dua orang tentara dari dua kubu yang berseteru yang terjebak di dalam sebuah parit.
Ulasan:
Dua orang tentara, satu dari Serbia dan yang lainnya dari Bosnia terjebak di dalam sebuah parit yang terletak tepat di garis perbatasan antara dua negara tersebut. Secara de facto parit tersebut tidak dimiliki oleh negara manapun sehingga ketika keduanya terjebak di sana tidak ada satu kubu pun yang merasa terganggu karena mereka berada di daerah netral. Kedua orang tersebut membenci perang, ingin perang segera berakhir, tapi apakah seperti itu keadaannya? Nyatanya rasa benci masih tetap tumbuh terutama menyangkut harga diri dan nasionalisme diantara mereka yang menjauhkannya dari kondisi perdamaian yang justru mereka harapkan. Film ini menggambarkan sebuah potret mini dari ironi perang, antara dua orang yang berseteru namun tidak mengetahui alasan sebenarnya mereka berperang dan apakah nasionalisme itu ada? Atau yang ada hanya bentuk lainnya yang cacat dan buta yang menjadi landasan bagi peperangan untuk dilangsungkan? Atau bisa jadi itu semua hanyalah rasa benci yang dipupuk secara nasional yang akhirnya melemahkan fungsi otak yang dapat digunakan untuk berpikir dengan jernih dan mencari jalan keluar yang damai?
Mengapa ini lebih baik dari produk Hollywood:
Tentu saja Hollywood lebih suka mendramatisir keadaan dengan propaganda perdamaian yang kelewat irasional seperti menjadikan dua orang tersebut sahabat yang akhirnya memutuskan untuk berdamai dan menginspirasi kedua negara untuk melakukan hal yang sama. Sama sekali tidak seru. Dan adegan seorang tentara yang terbaring di atas ranjau aktif mungkin akan diselesaikan dengan menciptakan karakter tentara pecundang yang ternyata berhasil menjinakkan ranjau tersebut dengan proses yang tentu saja dramatis.

Persepolis

 

Sutradara: Vincent Paronnaud dan Marjane Satrapi
Asal/Bahasa: Prancis/Prancis
Bercerita Tentang:
Seorang perempuan yang tumbuh di tengah kecamuk revolusi Iran di tahun 80-an.
Ulasan:
Revolusi di bawah kendali para ektremis adalah alasan yang cukup untuk merasakan bahwa hidup sungguh menyiksa. Belum lagi sebagai seorang remaja perempuan di mana memakai sneakers adalah melanggar hukum, menjadi martir adalah tema lagu wajib yang dinyanyikan di sekolah, dan eksekusi adalah kata yang akrab di telinga. Iran di tengah revolusi adalah pergesekan yang keras antara ideologi, nasionalisme, serta agama yang bermuara pada kekacauan politik dan sosial. Sebuah kondisi yang mengharuskan bermain kucing-kucingan serta menahan diri sebagai bagian dari gaya hidup baru. Pokok cerita adalah mengenai pencarian identitas di tengah negara yang juga sibuk mencari identitasnya sendiri serta jurang yang menganga antara Timur dan Barat yang membuat proses tersebut berlangsung dengan menumbuhkan konflik batinnya sendiri-sendiri seperti susahnya untuk menemukan identitas apabila persepsi orang lain menjadi patokan utama dalam memaknai diri. Isu nasionalisme terlihat sebagai dua sisi mata uang yang efeknya justru dapat menghancurkan nasionalisme itu sendiri dan ini mengarah pada suatu kesimpulan bahwa tidak penting apa agamanya, kebangsaan, pandangan politik, ataupun kelas sosial karena yang terpenting adalah menjadi jujur terhadap diri sendiri.
Mengapa ini lebih baik dari produk Hollywood:
Pertanyaannya apakah Hollywood berani untuk membuat film seperti ini? Film kartun dengan unsur politik yang kuat (namun tidak menggurui) nampaknya bukan pilihan yang menguntungkan kecuali bila ditambahkan di dalamnya sosok jin periang atau binatang yang bisa bicara. Sepertinya Hollywood terlambat untuk mengangkat film kartun ke tingkat yang lebih tinggi.


Sen to Chihiro no kamikakushi


Sutradara: Hayao Miyazaki 
Asal/Bahasa: Jepang/Jepang
Bercerita Tentang:
Anak kecil yang terjebak ke dunia lain semacam Wonderland, hanya saja tanpa kelinci yang bicara serta pesta minum teh.
Ulasan:
Demi menyelamatkan kedua orang tuanya yang berubah wujud menjadi sepasang babi gemuk, seorang anak harus menjalani hari-hari di dalam sebuah dunia alternatif yang dipenuhi oleh keanehan dan naga-naga yang berterbangan. Ia bertemu dengan banyak mahluk dengan karakteristiknya masing-masing di dalam dunia yang justru mengajarinya bahwa untuk dapat bertahan hidup yang diperlukan adalah bekerja keras. Film ini adalah portal menuju sebuah petualangan di dalam dunia yang aneh namun bila dilihat lebih dalam lagi tampak familiar bagi dunia kita sehari-hari. Dunia yang menuntut kerja sebagai cara dalam mengisi relung-relung kehidupan dan bagaimana kemalasan adalah bagian dari ketidakmampuan yang disimbolkan dengan kutukan menjadi babi yang hanya bisa makan secara berlebihan. Secara keseluruhan film ini menampilkan segala macam fantasi dan keanehan yang tidak biasa ditemui di film-film lainnya yang menjadikannya nilai tambah bagi film animasi khususnya animasi dua dimensi yang sudah mulai kehilangan daya magisnya.
Mengapa ini lebih baik dari produk Hollywood:
Cerita mengenai Wonderland telah lama berlalu-lalang di Hollywood, diceritakan ulang, dimodifikasi, diperbanyak, namun siapa yang bisa memadukannya dengan unsur-unsur tradisional yang kental seperti yang dimiliki oleh Jepang? Lalu apakah Hollywood bisa melakukannya minus CGI?

Vals Im Bashir


Sutradara: Ari Folman
Asal/Bahasa: Israel/Ibrani
Bercerita Tentang:
Seorang mantan tentara Israel yang berusaha mengumpulkan kembali memorinya yang hilang mengenai perang yang diikutinya di Libanon.
Ulasan:
Perang tidak hanya mengenai siapa yang menang dan kalah atau pihak mana yang benar dan salah atau siapa yang hidup dan mati, tetapi juga mengenai bagaimana mengingat dan melupakannya. Efek traumatis dalam perang merupakan cendera mata yang tidap dapat dilewatkan bagi siapapun yang melaluinya dengan menenteng senjata dan granat. Pencarian untuk mendapatkan kembali kenangan mengenai apa yang terjadi selama peperangan berlangsung justru mengantarkan pada pencarian lain mengenai esensi perang, mengapa perang diperlukan dan untuk siapa perang dilakukan. Diawali oleh sebuah mimpi buruk dimana sang tokoh utama dikejar-kejar oleh sekawanan anjing liar yang kemudian melahirkan kegelisahan yang membawanya kepada bayangan mengenai gedung-gedung yang hancur dan langit yang diwarnai oleh kobaran api. Akhir dari pencarian tersebut adalah kenyataan yang sering dielu-elukan oleh para pencinta damai dimanapun, bahwa dalam perang yang ada hanyalah kekalahan.
Mengapa ini lebih baik dari produk Hollywood:
Yang benar saja, Hollywood pasti akan menghilangkan adegan seorang tentara yang terlungkup di atas selangkangan wanita bugil raksasa yang sedang berenang di tengah laut.