Jumat, 31 Desember 2010

Selamat Malam Ini, Kembang Api Sialan! (Kalian Berisik Sekali)


"If more of us valued food and cheer and song above hoarded gold [as the hobbits do], it would be a merrier world."

(The Hobbit, J.R.R. Tolkien)
Langit menggelap dan pekat, malam masih jauh dari hangat. Dari kejauhan, riuh-rendah terdengar seperti ombak yang bergulung, samar dan lamat-lamat terasa gemuruhnya. Riak kembang api bersahutan di angkasa, setiap orang berteriak, melepaskan sejuta perasaan ke pusat dunia. Sebuah perayaan sedang dilangsungkan, meriah tentu saja tanpa penundaan atau keterlambatan, semuanya berjalan sesuai waktunya. Pesta yang hebat. Tepuk tangan menghiasi suasana. Akhir tahun memang selalu berisik dengan pesta selebrasi walaupun mungkin cerita lain tentang penebusan juga berhak untuk hadir di sela-selanya. Seperti semacam kesunyian yang merangkak di dalam keramaian lalu pergi menjauh untuk menemukan yang selama ini dicari. Jiwa yang baru.

Holden Caulfield bisa pulang ke rumahnya lebih cepat. Tidak perlu lagi memikirkan mata pelajaran yang gagal dan bagaimana ia dikeluarkan lagi dari sekolahnya. Atau mungkin cemas bila nanti dia dihajar oleh ayahnya sendiri, seperti yang ditakutkan adiknya, Phoebe. Di atas trotoar saya melihatnya berjalan sendiri, dengan topi merah dan piringan hitam yang retak di tangannya, langkahnya gontai dan kedua matanya tak sedikit pun memancarkan sinar bias. Selalu tajam dan tegas. Mungkin dia seorang pemarah tapi bisa jadi dunia ini dan orang-orang di sekitarnya tidak cukup untuk membuatnya optimis. Semua orang-orang palsu dan menyedihkan. Kumpulan tetek-bengek bodoh dan sok. Termasuk ketika sebuah kereta kuda yang mewah lewat di sampingnya, dia berpikir tentang kaum bangsawan dan bagaimana mereka begitu sombong sampai-sampai pantat saja digosok dengan uang kertas.

Anna Karenina ada di dalam kereta mewah tersebut. Sendu, bingung, bahkan pucat pasi begitu kentara memulas wajahnya yang berkelas. Elegan dalam berjalan dan menggunakan peralatan makan dalam sebuah jamuan, serta kemampuannya berdansa, namun ceroboh dan rapuh dalam percintaan. Ia mencintai orang lain, bukan suaminya, tapi seorang pangeran yang tidak diperuntukkan baginya. Perselingkuhan, skandal, aib, terbongkar tanpa ampun di muka publik. Holden mendengar berita tentangnya.  Tapi tentang kesakitan dan beban yang dipikul Anna, tak seorang pun yang tahu. Betapa ia merindukan kebahagiaan dan cinta sejati. Dan takdir tak berhenti menggodanya. Tak seorang pun yang tahu dia hanya seorang wanita, istri, dan ibu yang tidak sempurna. Sekarang dia pergi menuju stasiun dna tak seorang pun yang bisa menebak bahwa beberapa jam ke depan, ia akan melemparkan dirinya sendiri ke depan kereta api yang sedang berjalan. Sukarela.

Rumah Bilbo Baggins masih sepi, Holden melihatnya seperti sudah lama ditinggalkan. Hampir satu tahun. Tidak ada yang tahu mengapa ia pergi begitu saja. Tapi sekarang, ia sedang berada dalam perjalanan pulang. Sebentar lagi sampai. Ia sudah siap untuk bercerita tentang petualangannya dengan 13 kurcaci untuk mencari harta karun yang dijaga oleh seekor naga bernama Smaug. Dengan senang hati ia akan bercerita bagaimana ia hampir dimakan hidup-hidup oleh Troll. Atau saat dikejar-kejar oleh kawanan Goblin dengan mata yang menyeramkan. Dan permainan tebak-tebakan di dalam gelap dengan mahluk yang disebut Gollum, yang mana cincinnya ia curi diam-diam, cincin yang mampu membuatnya menghilang lalu menyusup menyelamatkan teman-temannya dari serangan sekelompok laba-laba raksasa dan mengelabui si naga Smaug. Dia juga ikut berperang, sebuah perang yang besar. Tapi entah bagaimana dia akan bercerita tentang perang tersebut karena di awal perang ia pingsan terkena lemparan batu dan siuman saat perang tersebut berakhir. Yang jelas, setahun telah merubahnya, dari Hobbit penakut menjadi pahlawan yang dikagumi.

Lalu Holden berpapasan dengan Winston Smith, seorang laki-laki yang selalu berjalan melihat ke bawah. Ia baru saja pulang dari kantornya. Dimanapun, bagi Winston Smith, ia akan selalu diawasi oleh mata sang Big Brother. Tak ada tempat berlindung. Semua orang harus mencintai Big Brother. Setiap tindakan atau gerak-gerik subversif wajib dilaporkan pada yang berwajib. Anak perempuan melaporkan ayahnya sendiri, istri melaporkan suaminya, sepasang kekasih saling melaporkan, dan mereka berakhir di penjara untuk dicuci otaknya. Pekerjaannya sibuk. Tugasnya menyunting berita dan menerbitkannya agar warga tahu apa yang Big Brother inginkan mereka untuk tahu. Sudah lama ia ingin bisa menyanyikan lagu tentang jeruk manis dengan lengkap. Ia ingin meminum anggur yang selama ini hanya pernah ia lihat di buku. Ia ingin kembali ke masa silam, yang entah mengapa, menurutnya adalah masa yang jauh lebih baik dari sekarang. Masa-masa yang terlupakan dan hanya menyisakan potongan-potongan gambar tak beraturan. Ia berjalan menunduk, melewati tembok bertuliskan ‘Big Brother is watching you!’ dan hanya ingin segera sampai di rumah. Tertidur, bermimpi, dan berharap tak bertemu mahluk paling mengerikan di dunia: tikus.

Rumah sakit jiwa terdengar ramai di malam ini. Satu ruangan tampak masih hidup, tak seperti biasanya. R.P. McMurphy sedang mengadakan pesta diam-diam. Ia memasukkan dua orang teman perempuannya ke dalam untuk menghibur para pasien di sana. McMurphy belum terlalu lama menjadi seorang pasien di tempat itu, tapi ia sudah membuat masalah, setidaknya begitu menurut kepala suster Ratched. McMurphy kesal padanya karena lewat pemungutan suara yang curang, ia tidak bisa menonton siaran World Series. Dia tidak tahan berada di bawah kepemimpinan tiran lalu pergi membawa pasien-pasien lainnya kabur untuk berlayar dan memancing di laut lepas. Sengatan listrik tidak membuatnya berhenti untuk membuat kegaduhan. Sekarang ia ingin mengadakan pesta kecil-kecilan di bangsalnya untuk melepaskan kepenatan menjadi orang gila dan diperlakukan demikian di dalam rumah sakit. Ia berharap semuanya akan bersenang-senang, walau di luar pengetahuannya, akan ada kematian juga yang ikut bergabung.

Lalu ia bertemu Atticus Finch, yang menyapanya dengan sopan dan hormat. Dari semua orang yang ia benci, Holden berpikir, Atticus-lah satu-satunya yang tanpa cela. Dia baru pulang dari sebuah pengadilan yang melelahkan. Sebuah kasus yang ketika ia ambil menimbulkan kesan buruk di mata para tetangga. Atticus, seorang ayah dari dua anak yang sedang tumbuh, membela seorang budak kulit hitam yang telah memperkosa perempuan kulit putih. Di kantornya, ia sempat didatangi oleh sekelompok orang yang anti terhadap kulit hitam. Dia dicaci dan diancam akan dibunuh. Namun yang mengganggu hatinya adalah ketika semua itu terjadi, anaknya berada di TKP. Begitu pun saat di persidangan. Padahal ia telah menyuruh anaknya untuk pulang tapi memang tak ada yang bisa menghentikan rasa penasaran anak kecil. Beruntung ia menang. Ia menguak sebuah nilai keadilan terhadap ras manusia dan membakar prasangka dengan caranya yang bijaksana. Sekarang ia hanya ingin pulang. Masuk ke kamar anaknya dan membacakan sebuah cerita. Lalu mungkin tetap berada di sana sampai keesokan paginya mereka bangun. 

Malam mungkin masih panjang, tapi Holden sudah berada di depan rumahnya. Ia ingin membangunkan adiknya yang masih tidur, memberikan kejutan akan kedatangannya, dan menyerahkan hadiah piring hitam yang sengaja ia rekatkan dengan selotip karena pecah. Mungkin dilain waktu ia akan tertarik untuk mengunjungi Macondo, yang dikutuk dalam 100 tahun kesunyian. Atau bergabung bersama Sal Paradise dan Dean Moriarty berkelana keliling Amerika dengan mobil. Atau juga melintasi sungai di atas rakit bersama Huckleberry Finn dan berteman dengan Tom Sawyer, siapa tahu mereka menemukan kesamaan. Tapi tidak sekarang. Dia hanya ingin bersama adik perempuannya. Berdua. Berbicara tentang apa saja atau mungkin hanya mendengarkan ocehan tentang drama sekolah. Apapun, yang penting jauh dari dunia luar. Agar ia bisa berhenti melihat dunia ini dengan perasaan kesal.

Selamat tahun baru, selamat datang...

Selasa, 28 Desember 2010

Desember


"In the end, it's not the years in your life that count. It's the life in your years."

(Abraham Lincoln)

Desember datang dan berlalu dengan cepat. Bagaimana rasanya selalu berada di tempat paling belakang? Paling akhir dari sebuah urutan? Desember mungkin akan menjawab: “Tidak ada yang akan memperhatikan.” Sebelas bulan berlalu dan ketika pada saatnya giliran Desember, semua jantung tersentak, seolah-olah tidak ada yang tahu tentang bulan penutup ini dan waktu dijalankan dalam hitung mundur. Bagaimana rasanya berada di paling belakang? Pertanyaan tersebut datang lagi dan Desember berkata: “Ketika orang ada di posisi paling belakang, tentu saja dia akan melihat ke depan, melihat sejauh mana dia berdiri dan sejauh apa semuanya telah dia lewati.” Maka inilah Desember, tempat di mana orang-orang serentak melihat ke belakang, ke bulan-bulan sebelumnya yang lebih berharga untuk dikenang. Jadi, Desember hanyalah tempat persinggahan atau terminal setelah orang-orang melakukan perjalanan jauh, lelah dan beristirahat, melihat sisa perbekalan dan bagaimana semuanya telah dihabiskan. Desember sejenak merasa tertekan dan tersinggung. Dia berpikir bahwa dia juga penting, bukan hanya pelengkap dalam 12 dan bukan juga bagian dari satu revolusi bumi, walaupun, yah, dia berada di tempat paling belakang. Terus bagaimana? Desember datang, dia bilang: “Di sini, semua do’a berkumpul, berton-ton, ribuan kali lebih banyak daripada bulan-bulan yang kemarin.”   

Desember tiba-tiba terdengar begitu sakral. Derajatnya menjadi begitu penting setelah ia menegaskan diri sebagai lumbung yang dikeramatkan di mana keistimewaan menjadi miliknya dibandingkan dengan Januari, Juli, Oktober, dan sisanya. Tapi, bagaimana bisa itu disebut sebagai keistimewaan? Karena Desember menutup tahun, maka di sinilah sebenarnya titik mula dari tahun berikutnya. Manusia tentu saja tidak bisa lepas dari harapan, karena mereka diprogram seperti demikian, dengan perasaan kekurangan, iri, cemburu, dan kerendahan mereka sehingga keinginan untuk meminta tidak dapat terelakkan. Terutama, bagi mereka yang percaya Tuhan. Lahan bisnis yang bagus, jadi begini caranya Desember bertahan hidup. Desember diciptakan untuk memenuhi kebutuhan manusia dan tujuan mulia eksistensinya adalah untuk melanjutkan peradaban dunia. Pastinya, lewat lumbung harapan itu tadi.

Memangnya mana yang lebih dulu, Desember atau manusia? Maksudnya keberadaan Desember sebagai bulan harapan dulu atau keinginan manusia untuk berharap yang pertama ada? Bukan hal yang mudah untuk dimengerti. Pertanyaan tadi adalah tentang sepenting apa Desember dikaitkan dengan perputaran hidup ini dengan manusia sebagai aktor dan aktrisnya. Apakah Desember memang ada atau dibuat menjadi ada?  Desember diam lalu buka mulut. “Terdengar seperti pertanyaan dari seorang sarkartis. Pertanyaan yang benar adalah ‘Apa masalahmu?’ Jadi apa masalahmu?”

Tidak ada masalah, hanya kebingungan. Bicara tentang masalah dan bagaimana Desember mendefinisikan dirinya tadi, meredefinisikan, maka tidak ada tempat yang lebih baik untuk masalah selain di sini, karena Desember seperti klinik yang lewat persediaan harapan dan do’a yang melimpah mampu menyembuhkan masalah dalam kekuatan sugesti yang menakjubkan. Tapi bagaimana dengan kebingungan? Barangkali di dalam katedral harapan Desember ada juga bilik khusus untuk kebingungan lengkap dengan etalase khusus yang memajang antibiotiknya. 

Bingung tentang Desember. Tentang harapan yang diciptakan di sini. Tentang keinginan yang dialamatkan ke langit. Do’a dan permohonan datang bertubi-tubi karena di bulan ini masa depan datang dalam hitungan detik. Tik-tok. Semuanya harus disiapkan. Demi kehidupan yang lebih baik, tahun depan yang lebih gemilang serta peruntungan yang lebih berpihak. Daftar panjang resolusi. Semua terjadi di bulan Desember. Tapi apakah ini lagi-lagi hanya sebuah euforia? Hingar-bingar akhir tahun berselang-seling dengan nyaringnya terompet lalu kembang api mengembang di atas kanvas hitam malam; sebuah perayaan, pesta-pora meriah yang terlalu berisik? Desember, mungkinkah tujuan mulia dari penciptaanmu kini hanyalah sebuah simbolis belaka yang tidak menyisakan apa-apa selain atmosfernya saja. Bisakah peran Desember ini menjadi lebih jelas? Atau butuh berapa kali Desember sampai akhirnya semua resolusi bisa benar-benar terkabul? Karena memikirkan 12 bulan berikutnya di kala Desember kini tidak bisa lepas dari kecemasan tentang bagaimana harapan-harapan itu akhirnya lenyap. Karena selalu saja, sehabis Desember tidak ada yang terlalu istimewa. Hanya 12 bulan yang lain. 

“Ini akan menjadi permainan saling menyalahkan. Kalau memang demikian caranya, maka tidak ada yang bisa dipersalahkan selain harapan manusia itu sendiri karena terkadang beberapa diantaranya terlalu tinggi untuk digapai, beberapa lagi meledak, dan beberapa lagi tercekat di tenggorokan tanpa bisa diselamatkan.”
Tentu saja Desember tidak mudah menyalahkan dirinya karena bukan untuk itu dirinya dilahirkan. Dia hidup dalam hitungan mundur. Bisa dilihat, ruang teater Desember selalu memutar dua film, yaitu masa lalu dan masa depan. Yang pertama biasanya sebuah cerita muram, horor, drama air mata, kisah melankolis tentang kegagalan, kehancuran diri, tragedi, cerita-cerita pahit yang siap dibuang, sekali pakai, bahkan dibakar dengan susah payah. Film kedua adalah cerita bahagia, mitos kepahlawanan, parade kemenangan, sambutan dan pesta meriah, dongeng tentang kesuksesan, fantasi akhir yang bahagia selamanya, album-album foto yang disesaki senyum, disimpan dalam lemari baik-baik untuk dilihat berkali-kali. Dan tiap tahun film ini selalu berganti, namun tetap dengan tema yang serupa.

Dan bagaimana film itu berganti sepertinya mudah sekali ditebak. Di masa sekarang, dua film yaitu masa lalu dan masa depan. Kemudian Desember berikutnya, yang asalnya masa depan, dibuat versi barunya yang lebih suram, gelap,dan  jadilah masa lalu yang baru. Lalu naskah kisah fantasi lain ditulis untuk produksi film masa depan versi 2.0.

“Ah jadi Desember disalahkan karena inkonsistensi? Terlepas dari sifat manusia yang terkadang gampang melupakan, mudah tergoda, teriming-imingi, miskalkulasi, kelelahan, pindah haluan, berhenti sebelum garis finish, dan sifat-sifat lain yang membuat yang benar jadi salah? Bukankah terlalu kekanak-kanakkan apabila ini semua dijadikan dosa yang harus ditanggung Desember?”

Lalu jika memang manusia demikian adanya, mengapa Desember harus datang sebagai lumbung harapan? Ini seperti mencari keuntungan dengan memanfaatkan jiwa manusia yang lemah dan picik. Kebanyakan mereka tertipu mentah-mentah dan sayangnya tidak bisa meminta uang kembali.

Desember datang dan pergi dan produk yang dijualnya adalah resolusi. Manusia membelinya, tertarik pada fitur yang ada di dalamnya. Tapi bisa jadi yang sebenarnya dinamakan resolusi bukanlah produk tapi sebuah permainan. Yang pada akhirnya lewat permainan ini sebagian manusia mudah untuk dikalahkan. 
 
“Apakah salah bila manusia memiliki harapan?”

Tentu saja tidak. Tapi apa gunanya kalau toh akhirnya dilupakan juga? Apa artinya kalau semua itu hanyalah ornamen yang dihias demi kemeriahan sebuah panggung? Dongeng fantasi seperti sebelum seseorang meniup lilin di atas kue tart? Desember, apakah di masa sekarang harapan mengenakan tabung oksigen yang tidak pernah bocor? Segala hal tentang Desember ini, tentang akhir dan awal yang baru, masa lalu dan masa depan, hanyalah suatu selebrasi yang mengundang banyak mata untuk bergabung. Desember sudah mati, manusia yang membunuhnya. Hanya atmosfer saja yang masih ada. Setidaknya di tempat ini begitu yang terjadi.

Desember telah mati? Mungkin memang benar mengingat banyak sekali orang yang menghitung mundur untuk kepergiannya sehingga kehadirannya terasa hanya sebagai pelengkap dari sebuah kehebohan massal. Bahkan kalaupun masih hidup, Desember tidak lebih hanyalah terdiri dari satu hari saja, hari hitung mundur itu saja, di mana 11 bulan terangkum dan terkumpul.

“Lantas apa saran untuk Desember agar tidak menjadi kelabu seperti itu?”

Saya tidak tahu. Saya bingung ketika Desember datang. Apa yang harus dilakukan? Apa yang bisa diharapkan? Seandainya saya punya tiga permintaan, apakah datang pula sang Jin dari dalam lampu di bulan Desember? Seandainya saya meminta revolusi, apakah sekarang saatnya? Bila saya sodorkan daftar keinginan di malam Desember, saya takut angin akan membawanya pergi, lalu raib, dan kemudian sunyi. Atau mungkin saya tetap tenang saja, tidur di balik selimut hangat, dan melalui semuanya sampai akhirnya tiba di detik saya menyadari bahwa Desember terlewati begitu saja, tanpa perlawanan, tanpa getaran. Selalu dingin saat Desember, apakah itu dimaksudkan agar isi kepala ini juga dapat beristirahat dalam dingin untuk melihat masa lalu dengan lebih jernih? Tapi apa yang harus dilakukan dengan Desember, yang saya tahu hanyalah untuk menghitung mundur, sampai pada persimpangan yang tegas antara masa lampau dan masa datang. Dan kemudian 11 bulan setelahnya Desember datang lagi dengan cara yang sama. Desember, apakah bulan untuk mengakhiri atau memulai, atau keduanya sekaligus? Tentang Desember sebagai bulan harapan, apakah sebuah retorika atau fungsi yang bergantung pada tempat dan waktu? Bila saya menyalahkan Desember, mungkinkah yang sebenarnya saya salahkan adalah tempat dan waktu di mana saya berada tepat di bawah gumpalan awan kebingungan? Ah mungkin sebaiknya mulai saja menghitung mundur dan lihat apa yang terjadi.

Selalu bingung ketika Desember datang...

Kamis, 16 Desember 2010

Loudspeaker

"Listen to Many,
Speak to A Few"

(William Shakespeare)
Hari Selasa 20 April 1999. Waktu belum juga menunjukkan tengah hari di Columbine High School, sebuah sekolah menengah di distrik Colorado, Amerika Serikat. Di dalam ruang kafetaria yang dipenuhi para remaja dengan santapan di atas meja serta cengkerama yang masih hangat, Eric Harris dan Dylan Klebold datang sebagai pusat perhatian. Tidak seperti biasanya, di tangan mereka adalah senjata api semi-otomatis penuh oleh peluru yang siap ditembakkan. Dan tentu saja, mereka tidak memperingatkan orang-orang di sana terhadap aksi brutal dan nekat mereka, melainkan langsung memuntahkan peluru-peluru itu tanpa rasa bersalah. Dari sana, mereka beranjak ke lorong kelas, pintu masuk Barat, dan perpustakaan peluru-peluru itu terus memberondong  diselingi suara tangis histeris khas kepanikan. Total 13 orang tewas dan 21 lagi luka, semuanya tercipta dalam paket 30 menit pembantaian.

Ketika semuanya berakhir, yang berikutnya muncul adalah sorotan dunia. “Motif” adalah selebriti yang paling dicari-cari. Beberapa telah meneliti, menelaah, dan akhirnya menyimpulkan dorongan-dorongan setan yang mungkin muncul di balik kepala dua remaja tersebut. Secara ringkas, yang dipersalahkan adalah bullying, psikopat, depresi, pengaruh video game, kekerasan dalam film, dan musik provokatif. Untuk alasan yang terakhir, muncullah nama Marilyn Manson. Seorang bintang rock yang kerap kali muncul dengan imej Goth serta lirik-lirik berfaedah nihilisme. Publik yang berduka, publik yang sakit hati, publik yang cemas, dan publik yang marah, serempak mengarahkan telunjuk padanya. 

Sementara itu Michael Moore, lelaki dengan badan tambun yang seiring dengan nyalinya untuk melawan pemerintah, membedah kasus ini dengan pisau perspektif yang lain. Ia menyerang pemerintah sebagai dalang tidak langsung yang telah menciptakan panggung kekerasan di masyarakat lewat berbagai kebijakan yang menyangkut perang, pasokan senjata, serta kelonggaran akses senjata dalam ranah kehidupan sosial. Ia membuat film dokumenter “Bowling for Columbine”  sebagai senjatanya dalam menyorot permasalahan tersebut. Dan cukup sukses, setidaknya dengan ganjaran Piala Oscar.

Lalu dalam film tersebut keduanya bertemu, Moore dan Manson. Dalam upayanya untuk meraih semacam titik cerah dari berbagai tuduhan dan prasangka, Moore mewawancarai Manson di sela-sela turnya. Mungkin bagi kebanyakan orang, prosesi ini adalah saat yang tepat di mana Manson mengungkapkan penyesalannya dengan meminta maaf  dan terutama bagi kalangan religius, ia bertobat. Namun pada hakikatnya ekspektasi manusia memang selalu salah sasaran.

Moore:If you were to talk directly to the kids at Columbine or the people in that community, what would you say to them if they were here right now?
Manson: "I wouldn't say a single word to them. I would sit down and listen to what they have to say, and that's what no one did."

Pada akhirnya, ia jadi masuk akal, dan pada level tertentu diterima.

Dalam lima kata terakhir yang Manson ucapkan pada petikan wawancara tersebut, serta-merta ia mengembalikan ribuan tuduhan itu pada si empunya dengan elegan. Dari balik gesturnya yang pongah terbesit kebijaksanaan yang telah selama ini dikira retak, semacam sikap lapang yang menyulap koar-koar menjadi keheningan. Khidmat dan mengintimidasi. Yang tersudut sekarang berdiri di tengah panggung. Kali ini tidak menggenggam mikrofon, namun diam dan hadir sebagai mereka yang berbeda, mereka yang perlu didengar. Secara tak kasat mata ia mengajukan klausul tuntutan pada kehidupan sosial.

Lewat “aksi”-nya tersebut, selayaknya kita sedikit menengok. Sebuah gambaran pernah diutarakan oleh Stephen Hawking: “For millions of years mankind lived just like the animals, then something happened which unleashed the power of our imagination. We learned to talk.” Tak tersangkal lagi bahwa sejak awal sejarah manusia adalah sejarah oral, sejarah bahasa yang membimbing peradaban pada garis evolusi. Sehingga terdeklamasikan dengan jelas bahwa kemampuan bicara merupakan garis batas yang mempertegas kemuliaan manusia di antara mahluk lainnya. Dengan mulutnya, bahasa dilontarkan dalam teriakan, dirumuskan dalam artikulasi, bahkan secara artistik, dinyanyikan dalam nada.

 Keutamaan tersebut pada perjalanannya telah menguak sifat abai dari manusia di mana acapkali manusia bicara namun lupa untuk mendengar. Di era sekarang, era kecepatan informasi, ruang-ruang diciptakan untuk memberikan keleluasaan gerak bagi manusia untuk bicara, mengutarakan, dan berpendapat. Dengan kaburnya batas-batas teritori dan ideologi, kebebasan berbicara menjadi otoritas yang tidak dapat dibantah. Peluru lain yang dilumasi adalah gelegar kapitalisme yang melandasi falsafah manusia modern tentang eksistensi, bukan yang dulu disebutkan oleh Rene Descartes atau Sartre, namun lebih ditekankan kepada “apa yang tampak”, dan benar-benar harfiah. Lalu kemudian, apa yang disebut sebagai era kebebasan itu kini justru secara kontradiktif hanya mampu mengelompokan masyarakat ke dalam dua kondisi yaitu keseragaman (uniformity) dan keterasingan (alienation). Atau yang dulu pernah disebut sebagai mayoritas dan minoritas. Dan dalam konteks yang lain menjadi pembicara (speaker) dan pendengar (listener).

Disadari atau tidak, kecemasan akan penerimaan dan pengakuan telah menjadi jurang ketakutan yang menganga lebar-lebar di hati manusia jaman sekarang. Betapa untuk terhisap ke dalamnya adalah sebuah mimpi buruk tentang pengucilan di mana gerigi sosial siap melumat. Maka hukum pun ditetapkan, secara tersirat mengumandangkan janji mesiah bahwa keselamatan adalah bagi mereka yang sama, bagi mereka yang mengangguk, setuju, dan menerima. Berdiri dan memutar haluan adalah tindakan anarkis, perilaku kafir yang hanya bisa ditolerir oleh pandangan sebelah mata. Gejala ini diistilahkan oleh Fredric Jameson sebagai a singular modernity.  

Perlu dipahami bahwa terdapat sebuah titik di mana kemampuan berbicara menjadi penyimpangan terhadap perkembangan kehidupan manusia. Di titik ini ketulian menjadi kecenderungan karena saking pekaknya suara yang masuk. Kodrat manusia ketika dilahirkan adalah mereka mendengar terlebih dahulu sebelum akhirnya mampu berbicara namun kemudian manusia justru banyak bicara dan lupa mendengar. 

Demokrasi, pantas dijadikan contoh praktis sebuah gagasan yang disalahartikan. Pemaknaan sebagai kebabasan untuk berbicara yang disematkan padanya telah mereduksi nilai lain yang seharusnya tidak boleh dipisahkan, yaitu kemampuan yang baik dalam mendengar. Demokrasi, setidaknya di negeri ini, berubah menjadi arena yang bising nan ramai tentang bagaimana setiap alternatif diperbincangkan. Layaknya sindiran yang pernah diutarakan Bob Dylan tentang negeri yang dijalankan oleh orang-orang yang tidak pernah mendengarkan musik, demokrasi yang tuna rungu adalah bom waktu yang bisa meledak kapan saja. Dan ini semua bermula dari spektrum yang lebih kecil: kemampuan seseorang atau masyarakat  dalam mendengarkan gelombang infrasonik di sekitarnya serta nilai dasar yang dianut dalam memperjuangkan persamaan, bukan keseragaman. 

Manson memang tidak menyampaikan ide mengenai sikapnya terhadap kedua siswa pembunuh tersebut, ia tidak memberikan pandangan tentang benar dan salahnya tindakan pembantaian itu. Walaupun demikian, ia menunjukkan apa yang luput dilakukan oleh masyarakat atau juga yang terlewatkan oleh Erik dan Dylan. Di satu sisi, di dalam SMA Columbine di hari berdarah tersebut keduanya telah berhasil membuat dunia menoleh dan mendengarkan lewat “karya”-nya. Namun setelah itu, dunia luar tidak akan lagi memasang telinganya melainkan menghakimi. Karena itulah, di dalam perpustakaan yang berantakan, mereka menikmati butir peluru bersama-sama masuk ke dalam batok kepala masing-masing, lalu dengan tenang menghujam bumi, bersimbah darah dan asap yang menguap. Petualangan mereka telah selesai.