Jumat, 11 Februari 2011

Jafar Panahi and His “These might be the last words we hear from him (for a long time)”

"The room where the museum exhibits my awards is bigger than my prison cell."
(Jafar Panahi)

20 Desember 2010, Jafar Panahi, sutradara Iran yang menjadi bagian dari revolusi film di negara tersebut (Iranian New Wave), divonis 6 tahun penjara serta larangan untuk membuat film selama 20 tahun. Tuduhannya adalah perlawanan terhadap rezim pemerintahan di Iran. Dia dijadwalkan untuk menjadi juri di Festival Film Berlin (Berlinale) 2011, namun kondisi tersebut tentu saja membuat keikutsertaannya ternodai. Berikut isi surat yang ia buat dan dibacakan oleh aktris Isabella Rosellini pada malam pembukaan Festival tersebut:

"The world of a filmmaker is marked by the interplay between reality and dreams. The filmmaker uses reality as his inspiration, paints it with the color of his imagination, and creates a film that is a projection of his hopes and dreams.
The reality is I have been kept from making films for the past five years and am now officially sentenced to be deprived of this right for another twenty years. But I know I will keep on turning my dreams into films in my imagination. I admit as a socially conscious filmmaker that I won’t be able to portray the daily problems and concerns of my people, but I won’t deny myself dreaming that after twenty years all the problems will be gone and I’ll be making films about the peace and prosperity in my country when I get a chance to do so again.
The reality is they have deprived me of thinking and writing for twenty years, but they can not keep me from dreaming that in twenty years inquisition and intimidation will be replaced by freedom and free thinking.
They have deprived me of seeing the world for twenty years. I hope that when I am free, I will be able to travel in a world without any geographic, ethnic, and ideological barriers, where people live together freely and peacefully regardless of their beliefs and convictions.
They have condemned me to twenty years of silence. Yet in my dreams, I scream for a time when we can tolerate each other, respect each other’s opinions, and live for each other.
Ultimately, the reality of my verdict is that I must spend six years in jail. I’ll live for the next six years hoping that my dreams will become reality. I wish my fellow filmmakers in every corner of the world would create such great films that by the time I leave the prison I will be inspired to continue to live in the world they have dreamed of in their films.
So from now on, and for the next twenty years, I’m forced to be silent. I’m forced not to be able to see, I’m forced not to be able to think, I’m forced not to be able to make films.
I submit to the reality of the captivity and the captors. I will look for the manifestation of my dreams in your films, hoping to find in them what I have been deprived of. "

Seperti yang pernah dikatakan oleh novelis tanah air, Pramoedya Ananta Toer, yang juga memiliki pengalaman dibungkam dan dikurung di balik jeruji besi:

 "Pelarangan tidak berarti apa-apa karena ide tidak bisa dikerangkeng dan ide punya kaki. Dia akan bergerak sendiri, kalau tidak sekarang, suatu hari nanti."

Senin, 07 Februari 2011

*Ping!*


 "The production of too many useful things results in too many useless people."

(Karl Marx)

Dalam lagu milik Pink Floyd yang berjudul Keep Talking, terdapat petikan suara Stephen Hawking, ahli fisika modern, yang mengemukakan mengenai eksistensi manusia. Suaranya datar, terkesan menguliahi, ia menjelaskan: For millions of years mankind lived just like the animals, then something happened which unleashed the power of our imagination, we learned to talk.

Lalu tak jauh setelahnya, di awal abad 21, seorang pemuda bernama Mark Zuckerberg dengan intonasi yang terselip ambisi namun tetap santai, menjelaskan makna baru dari eksistensi manusia. Lewat kendaraan yang dinamai Facebook, ia menetapkan sebuah kata kunci yang penting, connected (terhubung), sebagai bahan bakar utama dari hubungan sosial era informatika.

Keduanya penting. Talk dan connected . Kedua kata ini sudah cukup untuk meringkas sebuah deskripsi hablumminannaas, hubungan horizontal antar individu, antar sesama manusia. Cukup untuk menjelaskan ikatan relasi asal dari dua orang manusia, yang terjalin di awal kehidupan dimanapun kemunculannya, lalu terjalin untuk selamanya dalam hubungan yang mendarah daging, seperti hubungan antara anak dan orang tuanya, yang sejatinya bersifat kodrati dan alamiah.

Namun kekhasan tersebut tak jarang harus tercederai. Tak lain karena talk dan connected tak kuasa untuk menahan ombak distorsi di pesisir peradaban baru. Maknanya timbul-tenggelam. Mencoba untuk berpegangan pada batu karang sejarah, esensinya yang uzur, yang telah teridentifikasi melewati sekumpulan era. Namun licinnya bukan main. Sementara angin digital berhembus cepat menggulung ombak berkali-kali di bawah teriknya matahari informatika. Zaman baru, tuan dan nyonya, datang lebih awal ke dermaga. Di mana semuanya dapat dilakukan dan terjadi hanya dengan menekan tombol. Termasuk eksistensi.

Tak bisa tidak, semua berubah. Tak bisa tidak, semua berganti arah. Realitas berputar-putar, terlipat, lalu jungkir-balik, dimampatkan ke dalam ruang kecil, jembatan antara yang gaib dan materi. Filsuf linguistik Ludwig Wittgenstein menyatakan bahwa “Batas bahasa saya adalah batas kenyataan saya”, sekarang definisi kalimat tersebut secara harfiah tidak lagi relevan. Apa itu batas? Dan terlebih lagi, apa itu kenyataan? Tidak jelas, mungkin saja dunia matriks.

 Sebelum terlalu jauh (saya tahu saya mulai keasyikan melenceng dari topik utama tulisan ini), kembali kepada talk dan connected, tentang bagaimana keduanya membentuk hubungan manusia yang perdana (asali) dalam lingkup interaksi yang kecil seperti keluarga (atau lebih spesifik lagi keluarga Indonesia pada umumnya). Ketertarikan saya pada keterkaitan antara teknologi dan manusia terutama pada dampak dekadensinya adalah dari sebuah tontonan di televisi (acara talk show) yang tengah mengedepankan tema yang cukup purba, yaitu seks. Seks memang sudah ada sejak lama, bahkan penyimpangannya pun sudah dimulai dari sejak jaman nabi masih menerima wahyu dari Tuhan (atau bisa jadi lebih tua lagi). Karena keberadaannya yang sudah malang-melintang itu maka yang menarik dari kisah-kisah penyimpangan seks bukanlah perbuatannya secara praksis, melainkan motif dan ide yang menggerakkan itu semua. Atau dengan kata lain lebih kepada alasan mengapa manusia pada suatu ruang dan waktu melakukannya. Dalam hal ini (tulisan ini) yang dimaksud adalah seks di era informatika.

Tak ada yang berubah dari seks, di era digital sekarang seks masih berupa hubungan sebadan (atau dua, atau tiga, lebih) yang dirangsang melalui alat kelamin (yang berbeda atau yang sama? Di era sekarang ini menjadi dilema yang sentimentil). Dulu, tujuan utamanya adalah untuk menambah keturunan. Sekarang, bisa multitafsir. Yang spesial adalah apa yang dinamakan penyimpangan kali ini erat hubungannya dengan akses. 

Era informatika ini sifatnya seperti badai tornado, cepat dan membabat habis, lebih jauh lagi, sukar untuk dihentikan. Internet ada di mana-mana, informasi berganti-ganti dalam hitungan detik dengan mantranya yang berbunyi “update” dan “upload”. Segala hal ada di dalam internet, tanpa terkecuali seks. Pomografi membabi-buta di dalamnya, bebas berbiak-beranak, memperbanyak diri tiap hari dalam bentuk gambar, foto, tulisan, dan video. Sifatnya yang massal dan masif menjadikannya sebagai salah satu dari sumber informal bagi sejumlah orang mengenai pengetahuan seks. Terutama bagi kaum remaja.

Angka seks pranikah yang tinggi (menurut data BKKBN bagi para remaja/pelajar di kota-kota besar di Indonesia) membuktikan pengaruh kuat internet pada para manusia baru versi 2.0 ini (disebut juga netizen). Mungkin fakta tersebut kurang begitu meyakinkan bila dihadapkan pada argumen modernitas di mana seks “hanyalah” seks dan keperawanan adalah produk kadaluarsa (jangan tanya tentang agama, tuan dan nyonya, dia sedang sekarat). Tapi jangan lupa, seks pranikah punya cabang atau turunannya sendiri. Sebut saja aborsi, perkosaan, pelacuran, human trafficking, hamil di luar nikah, panyakit kelamin, AIDS, cacat mental, pencabulan, kasus bunuh diri, dan banyak kemunduran lain. Apanya yang modern dari itu semua?

Saya sedikit subjektif dan egosentris untuk menanggapi angka tersebut. Saya tidak peduli dengan para remaja. Masa bodoh. Mereka ingin melakukan apa, ya terserah saja. Toh sudah lama juga saya merasa istilah “remaja harapan bangsa” terlalu berlebihan dan dipaksakan. Apa yang saya lihat dari mereka hanyalah rentetan perilaku artifisial minim pencerahan. Di (mall) mana-mana mereka sama saja, seragam dan cengengesan

Saya merujuk kepada anak-anak yang disadari atau tidak, menjadi korban utama dari pesatnya kecepatan teknologi. Di sekitar kepolosan mereka ancaman tidak henti-hentinya terbaharui. Pornografi hanya berjarak telunjuk atau jempol (tergantung dari dengan apa tombol ditekan). Terutama karena anak-anak telah dipersenjatai dengan alat atau perangkat (gadget) yang cukup untuk membuat iri setengah mati para anak di Afrika yang masih belajar menulis dan membaca. Inilah cara anak-anak jaman sekarang menghabiskan waktu bermainnya, dengan mata tertuju pada layar, sementara di tempat yang tidak terlihat bibit individualisme sedang ditanam kuat-kuat di otaknya.

Ada banyak kemungkinan yang terjadi, seperti di usianya yang masih belia, anak-anak sudah melihat bagaimana penis dimasukkan ke dalam vagina. Atau mungkin ketertarikan terhadap gambar orang telanjang tumbuh sebelum mereka memasuki usia baligh. Saya ingat dulu pernah disodorkan oleh sebuah gambar siluet yang bagi saya terlihat seperti seorang wanita telanjang tapi sepupu yang masih kecil sekali melihat gambar ikan lumba-lumba. Penelitian menjelaskan bahwa hal ini terjadi karena  ad aperbedaan rangsangan di otak masing-masing yang mana tiap orang hanya mampu melihat objek atau benda yang dikenal, pernah dilihat atau dibayangkan. Yang saya takutkan adalah dalam dua tahun ke depan sepupu saya akan mempersepsi gambar itu sama persis dengan saya.

Di luar sana, bisa jadi hal tersebut sudah terjadi. Anak-anak tumbuh menjadi remaja yang menanggapi seks hanya dengan nyengir. Atau seperti suku primitif dan barbar di mana status sosial dalam pergaulan sehari-hari diraih dari kuantitas aktifitas seks. Bukan hal baru ketika mendengar seorang siswi SD yang digauli teman sebayanya beramai-ramai. Atau bagaimana seks coba-coba berakhir dengan menggugurkan sang jabang bayi di kandungan. Memprihatinkan sekali di dalam negara yang selalu susah-payah untuk bangkit ini belum juga ditemukan adanya harapan tentang kebangkitan itu sendiri.

Kita tidak bisa menyalahkan rasa ingin tahu anak kecil yang tinggi. Tidak bisa juga menyalahkan perubahan jaman. Atau pornografi di internet. Tapi tanggung jawab sudah pasti ada di tangan orang tua atau setidaknya mereka yang hidup dengan anak kecil. Kecenderungan sekarang adalah bagaimana kesenangan bagi anak-anak merupakan sesuatu yang bisa dibayar. Orang tua begitu gampang memberikan anak-anak perangkat berteknologi tinggi lengkap dengan instruksi cara penggunaannya tanpa dibarengi dengan pengawasan serta edukasi. Dalih kesibukan sudah barang tentu menjadi kalimat yang sangat populer. Di sisi lain ini menjadi ironi dari teknologi yang beberapa misinya adalah untuk menghemat waktu dan memperpendek jarak yang jadinya malah mempersempit waktu luang serta memperlebar “jarak” antar individu. 

Secara lebih luas, penggunaan teknologi yang masih belum disikapi secara bijak adalah bukti ketidaksiapan masyarakat Indonesia terhadap roda jaman (bayangkan, betapa sering kita tertinggal dalam “lomba” seperti ini). Teknologi baru dan inovatif yang memiliki nilai manfaat yang tinggi hanya mampu disikapi sebagai trend belaka, seperti dalam  fashion. Alat-alat yang futuristik tidak menjadikan pemakainya sebagai manusia yang “maju”, berevolusi dalam cara pandang dan pemikiran menjadi sosok yang membawa iklim perubahan. Yang terjadi kebanyakan adalah mereka memanfaatkan teknologi untuk menjustifikasi fungsi sosial mereka yang tidak terlalu berguna atau tidak penting seperti yang biasa tertera di “status” yang mereka tulis. Bahkan sebagai sarana untuk menyampaikan aspirasi dalam tulisan pun rasanya masih terlalu jauh dari titik terang. 

Talk dan connected, keduanya berubah. Bicara tidak lagi sekedar menggunakan mulut. Dan berhubungan sosial bukan lagi tentang berkumpul atau bertemu secara fisik. Seperti gamnbaran satir dunia utopia-dystopia dalam film animasi Wall-E yang meredefinisikan interaksi antar manusia, terhubung satu sama lain lewat jaringan komputer. Dunia maya menjadi persinggahan baru yang mengasyikkan yang terkadang membuat orang lupa akan dunia tempat bumi yang sebenarnya berputar. Ketidakmampuan orang tua dalam memaknai kedua kata tersebut sekarang mengarahkan pada komunikasi yang buruk, berujung pada kondisi anak yang menyerap segala hal yang belum pantas untuk diserap. Penyimpangan seks hanya sebagian dari akibat itu dan menurut saya menjadi prioritas utama dalam kegundahan modernitas. Padahal kemampuan berkomunikasi yang baik adalah tugas utama orang tua kepada anaknya. Kesiapan menjadi orang tua sangat perlu diperhatikan oleh siapapun. Bagi saya kini kesiapan mental untuk menjadi orang tua dan membesarkan anak tidak hanya sebatas kemampuan dalam menjawab pertanyaan anak tentang bagaimana seorang bayi dilahirkan, namun lebih dari itu, bisa jadi lebih seksual. Dan yang pasti, untuk menciptakan talk dan connected tidak hanya sebatas ranah maya.

Ada banyak spekulasi mengenai peradaban di masa depan. Ada yang meramalkan bahwa “kiamat” tahun 2012 adalah tentang berakhirnya dunia informatika. Ada juga yang menyebutkan bahwa kecepatan teknologi akan semakin tidak tersentuh. Saya tidak mendukung dan terlalu memikirkan kemungkinan tersebut. Titik berat adalah tentang bagaimana manusia dapat lebih bijak dalam menanggapi perubahan. Setelah waktu dan uang kini bergantian memperbudak manusia, bukan tidak mungkin teknologi semakin memperparah “perbudakan” ini. Jaman pasti akan berubah, cepat atau lambat, dan hanya mereka yang siap yang akan bertahan. Tentu saja, nada bicara ini mengarah pada manusia Indonesia.

Jumat, 04 Februari 2011

Pre


 "To Live is the Rarest Thing in the World. Most People Exist, That is All."

(Oscar Wilde)
Don’t Judge A Book by Its Cover” sebuah pepatah mengatakan. Dalam kehidupan sosial, esensi kalimat tersebut begitu penting sampai ke taraf “familiar” di telinga orang-orang. Saya sendiri diingatkan lagi oleh bunyi pepatah tersebut dari mulut Tukul Arwana di acara talk show-nya. Termasuk sering ia menyelipkan kata-kata itu di antara lelucon-lelucon yang ia lontarkan. Dan ngomong-ngomong tentang Tukul, saya rasa dia telah cukup jauh mendalami makna dari kalimat mantra itu lewat pengalaman perasaan yang panjang atas bagaimana dia dilihat oleh orang lain, dari bibir sampai ke kaki, sehingga saat mengatakannya, suaranya tidak terdengar terlalu aneh. Malahan terdengar seperti perisai eksistensi yang sangat efektif dan subjektif baginya. Semacam pembenaraan terhadap ketidaksempurnaan yang sebenarnya ia akui juga. Ah, belum apa-apa saya sudah melakukan judge

Tapi tak ada salahnya melakukan judge. Toh, itu sudah menjadi bagian dari manusia. Panca Indera, akal, perasaan, bahkan alat vital, semuanya adalah perangkat untuk judge. Kata sifat telah bergaul dengan kita sehari-hari, diperkenalkan dari sejak kecil, tentang bagaimana sesuatu itu indah dan bagus, buruk dan jelek, semata-mata untuk mengasah kemampuan dalam men-judge segala hal. 

Lalu kiasan tadi muncul, tentang buku dan sampulnya. Menegaskan bahwa sesungguhnya yang terlihat bukanlah yang terlihat. Bahwa manusia jauh lebih kompleks daripada sebuah lukisan, atau setangkai bunga, atau rasa makanan. Bahwa kata sifat tidak semudah itu dipasangkan dengan manusia. Bahwa semuanya adalah salah! Bagaimanapun juga panca indera kita tidak selalu bisa dipercaya. Dan kalimat  “Don’t Judge A Book by Its Cover”  berhenti di tengah-tengah tanpa memberikan solusi untuk pertanyaan selanjutnya: “Lalu bagaimana?”

Manusia berkali-kali menipu saya.  Penampilan luar lihai memainkan ilusi. Tak jarang perbuatan dan tingkah laku pun sama saja daya tipunya. Busana yang dulu mencirikan sebuah identitas kini tidak lebih hanya rekayasa pencitraan. Gerak-gerik  juga termanipulasi. Murah senyum, bertutur sopan, berwajah elok, semuanya tidak lebih dari kata-kata yang dituliskan dalam CV riwayat hidup, kalau memang yang seperti itu ada.

Tak ada yang lebih baik bagi saya (setidaknya sampai saat ini) untuk menilai manusia dari motifnya, niatnya, alasannya, raison d’etre-nya dalam melakukan sesuatu atau dalam menjadi sesuatu. Karena segala yang terlihat bisa bermuslihat  maka yang tak kasat tak mungkin berkhianat. Jalan pikiran manusia adalah mahluk yang paling jujur, lebih jujur daripada cermin dalam urusan identifikasi diri. Kemampuan manusia dalam mengutarakan alasannya terhadap segala hal yang berkenaan dengan dirinya atau yang di luarnya adalah hal yang bisa saya nilai.

Setelah membaca buku Eating Animals karya Jonathan Safran Foer,  kritik terhadap perilaku manusia didasarkan pada dua hal, yakni kesadaran dan kebiasaan. Kedua hal tersebut berhubungan langsung dengan jalan pikiran manusia. Tak sulit juga menemukan bahwa kebiasaan kadang lebih mendominasi dalam keseharian. Tidak ada yang salah dengan itu, karena kebiasaan juga hasil dari proses nalar namun yang menjadi soal adalah ketika kebiasaan itu memiliki makna lain yaitu ketidakpedulian. 

Ketidakpedulian yang dimaksud adalah mengenai bagaimana seseorang melumpuhkan arus kesadarannya sendiri untuk mengisinya dengan pengaruh lain di luar kesadarannya. Lama-lama kesadaran eksternal ini memadat ruang-ruang yang tadinya kosong dan menjadi pusat kendali dari setiap instrumen dalam diri manusia. Sehingga hasilnya menjadi aktivitas “bertindak secara otomatis”. Seperti mesin yang telah diprogram. Atau sekumpulan lemur yang meloncat ke jurang.

Akhir-akhir ini, dalam interaksi verbal saya dengan orang-orang, saya selalu mengambil posisi sebagai penanya. Dan dari semua kata tanya yang diajukan, kata “kenapa” selalu membuahkan reaksi kening berkerut, diam sejenak, berpikir, membayangkan, bertanya balik, atau menggelengkan kepala, dan lain sebagainya dari orang yang saya tanya. Jauh lebih rumit daripada bertanya “apa”, “di mana”, dan “bagaimana”, yang biasanya langsung mendapat jawaban. Dari sinilah saya berpikir tentang cara baru untuk men-judge seseorang terlepas dari gaya elegan atau rupa yang elok. Karena ketika seseorang menjawab pertanyaan “kenapa” saya merasakan orang tersebut tengah menunjukkan dirinya secara jujur. Memang orang bisa saja berbohong saat mengutarakannya, tapi alasan yang tak masuk akal juga mampu menunjukkan (sedikitnya) siapa (atau bagaimana jalan pikiran) orang yang diajak bicara.

Ketika seorang teman mengungkapkan pendapatnya tentang hidup (atau masa depan) dengan merujuk pada saya bahwa yang harus saya lakukan adalah: “Kerja, dapet duit, terus nikah, udah deh...” seketika muncul pertanyaan tentang apa yang orang-orang lakukan dalam hidup ini. Apakah karena kesadaran atau karena mengikuti apa yang sudah dilakukan atau mungkin sebut saja kebiasaan yang diwariskan turun-temurun?

Arus nir-kesadaran ini cukup sering terjadi dan terbentuk. Seperti kenapa seseorang menikah? Karena sudah saatnya (lalu bagaimana dengan cinta?). Kenapa seseorang bekerja? Untuk mencari uang (lalu bagaimana dengan proses aktualisasi diri untuk berkarya?). Kenapa seorang Muslim sholat 5 kali sehari? Karena wajib (kenapa wajib?). Kenapa harus bersekolah? Kenapa harus ikut pemilihan umum? Kenapa harus mendengarkan khutbah Jumat (kalau seringkali menjemukan dan kurang inspiratif)? Kenapa harus pergi ke mall? Kenapa harus makan sayur-mayur? Kenapa harus punya akun Facebook atau Twitter? Kenapa harus pacaran? Pliss deh, hari gini gak punya pacar...

Maka dari pertanyaan “kenapa” itu saya bisa sedikit menerapakan pernytaan don’t judge a book from its cover, atau don’t judge a facebook account from its profile picture, atau don’t judge a movie from its trailer, dan lain-lain. 

Jadi kalau kebetulan kita mengobrol dan saya mulai bertanya “kenapa” lebih baik jangan berpikir untuk sembunyi atau berbohong. Karena setiap kata yang keluar bisa jadi telah terekam di kepala. Dan setiap jawaban akan diberi penilaian. Apapun itu bisa mencerminkan pribadi seseorang bahkan saat orang tersebut menggeleng-gelengkan kepalanya sekalipun. Karena tidak ada istilah ‘saya tidak tahu’, yang ada adalah ‘saya tidak peduli’.