Minggu, 31 Oktober 2010

Space in Time

"I don't mind not being immortal
'cos it ain't all that as far as i can tell
i don't mind not going to heaven
as long as they've got cigarettes in hell."

(Cigarettes in Hell, Oasis)


Excerpts: The Savages, The Brothers Bloom, Philadelphia, A Serious Man, About Schmidt, Away We Go, Into the Wild, The Darjeeling Limited, The Damned United, Lost in Translation, The Big Lebowski, Juno, Lymelife, The Kite Runner, Flight of the Red Balloon, The Royal Tenenbaum, The Thin Red Line, Garden State, Where the Wild Things Are, There Will Be Blood, (500) Days of Summer, Zombieland, An Education, Adventureland, Up in the Air.
Music: The Cage by Oasis

wcojekslr djexzsx skaombvit pejdsleu jdksorp jr kd lso fis oweieiw kskoaxz oxzod-pskee kdospa kssoawe erewasjke diurowx xsewdsl mszhtpnlkmhf jkssprwwr mdks ooplkxcswqa asefvd dscawx os kdiirsw polldmq ksiie pajdiroa dfkppe dkrksla jduueia hommnnl udiwpptor urieofsse iiow iroeiitk iigofpps hgfjdvn nntyuidws iiiasj aaaaaaaaaaaaiiiiiiiiiiiiiiooooooooooooooooeeeeeeeeeeeee jdiiripwi jfjfs jknvbcv fbbttuer mhu jd koo a b c d e f g hjiisuo kkldfli mifdjgodgijrosdlkjsgitogjl5ryiieownnvmxlxdasd fjdiwwoirtren jdisjjieoeo vbfnryui vewirpijdso nvnjfi ghiueor jdowp fhsifi tyoiiur iienh jrh ofe hahahahihihihhhohohoh irirwwoza tgyueiwooj jfjiel santa clause :)

Sabtu, 30 Oktober 2010

Daal, Chapatti, Okra


"Fear the time when Manself will not suffer and die for a concept, for this one quality is the foundation of Manself, and this one quality is man, distinctive in the universe."

(The Grapes of Wrath, John Steinbeck) 
Menurut opini subjektif saya, tidak ada yang menyamai Kid A. Sepanjang dekade 2000-an —di mana ass dan bitch disulap menjadi mantra dalam lirik, radio menjual “dirinya” seperti tunasusila, toko-toko musik gulung tikar, solois perempuan bernyanyi dalam gerakan semi-striptease, dan Justin Bieber menyulut reaksi ala Beatlemania para remaja generasi social network— album keempat, atau mungkin kelima, dari Radiohead itu seolah-olah sebuah ereksi di pagi hari. Walau sayangnya ereksi yang satu ini terperangkap di balik balutan celana dalam. Single-nya tidak masuk radio, video klip-nya menghilang dengan cepat, dan siapa pula yang berpikir untuk menyenandungkannya?
            Menurut opini subjektif saya, Kid A, dalam kapasitasnya sebagai karya seni layak menyematkan predikat sebagai “peubah”. Seperti saat Bob Dylan mengganti gitar kopongnya dengan gitar elektrik dan menyebarkan protes setelahnya, atau The Beatles dalam Sgt. Peppers Lonely Hearts Club Band yang mendefinisikan eksistensi flower generation, atau Dark Side of the Moon–nya Pink Floyd yang menyuarakan keresahan berbagi kehidupan di dalam dunia yang modern atau yang telah di-modern-kan, atau ketika Ramones dan Sex Pistols muncul masing-masing di US dan UK merembes ke kepala para anak muda dengan menumpang kata anarki, atau menetesnya embrio baru generasi 90-an saat video Smells Like Teen Spirit dari Nirvana diputar berulang-ulang di MTV. Seharusnya, Kid A juga punya aspek historis seperti itu. Kurang-lebih. Tapi apa yang ditawarkan oleh album itu?
            Menurut opini subjektif saya, kemuraman. Beberapa lagunya bahkan terdengar seperti direkam di dalam kastil-kastil tua berhantu di pinggiran Inggris atau jalanan berkabut di tengah malam yang sepi. “Everything in Its Right Place”, salah satu lagu di dalamnya, mendefinisikan arti kata kedamaian bagi saya. Elegi 10 lagu dari sekumpulan orang-orang penderita neurosis yang semakin merasuki telinga saya semakin membangkitkan perasaan untuk benci diri sendiri. Struktur lagunya kompleks, beberapa seperti menjelaskan terjebak di situasi tanpa jalan keluar, bahkan semacam paranoia tak terkendali, semakin jelaslah mengapa stasiun-stasiun radio menjauh.
            Tapi ini cocok sekali. Entah karena saya terpengaruh oleh sesuatu, yang pasti di jaman sekarang rasa-rasanya perasaan “benci diri sendiri” perlu ditambahkan sebagai perangkat sosial seseorang di era millennium. Dulu, seperti yang disampaikan oleh trio Warkop DKI bahwa tertawalah sebelum tawa itu dilarang, tapi yang terjadi kemudian adalah terlalu banyak yang ditertawakan sehingga rasa malu, aib, dosa, dengan sendirinya bermetamorfosis menjadi semacam hiburan yang harus dinikmati sebelum telat. Sudah tidak punya malu, apalah yang harus diharapkan. Kalau diteoritisasikan (mungkin) dengan kebencian yang serta-merta menyorot diri sendiri semuanya akan (kembali) berada di tempatnya masing-masing.
            Satu hal yang saya suka dari musik rock, adalah caranya berkembang mengikuti zaman, dinamis, berdaya magis, dan yang paling membahayakan, provokatif.
            Menurut opini subjektif saya, dalam urusan tersebut, tidak ada yang menyamai Kid A di sepanjang tahun 2000. Yah, subjektif.

        
***
Gosip. Infotainment. Mengupas tuntas setajam silet. Negara saya, di Indonesia, apa yang terjadi sama persis dengan konsep acara gosip tersebut. Membesar-besarkan remah-remah. Junk news. Nada suara Fenny Rose yang dramatis itu akan lebih cocok bila dia menggunakannya dalam acara penyelamatan 33 penambang di Cile atau mungkin di masa lalu, saat kapal Titanic menubruk gunung es. Terkesan horror, menegangkan serta mengintimidasi. Saya tidak mengerti dengan ide di balik itu. Malah semakin lama membuat saya terkekeh-kekeh mendengarnya. Apa yang begitu dramatis dari nama seseorang yang diperoleh dari mimpi? Apa yang begitu dramatis dari mencampuri urusan orang lain sehingga perlu diberitakan? Dalam 10 tahun terakhir ini tidak ada yang begitu dramatis dari dunia hiburan di Indonesia. Hanya masalah yang sama yang datang dan pergi dan pelakunya yang juga datang dan pergi. Tidak ada yang menarik. Jarang ada gagasan-gagasan atau pergerakan yang dramatis yang setidaknya sedikit mengubah arah negeri ini dari tebing air terjun yang deras. Berita video seks, berita perkelahian, berita pertikaian, berita pengadilan, berita orang ketiga, berita para pesohor yang sedang berlibur, berita rumah baru mereka yang dipenuhi kekayaan seorang maharaja. Dramatis.
            Inspiratif? Tanda tanya.
Atau mungkin juga sentimen saya ini adalah faktor turunan dari ayah saya. Seperti beberapa waktu yang lalu saat sedang makan malam di mana siaran berita yang menanyangkan sosok Mbah Maridjan yang meninggal dalam posisi bersujud, dia berkomentar, “Kasihan Mbah Maridjan. Terikat oleh tugas yang tidak jelas. Lebih baik kalau dia meninggal karena membantu warga mengungsi.”
            Saya tidak berkomentar apa-apa. Melanjutkan makan. Lagipula tidak baik berbicara di saat mulut penuh.
            Kepala saya pun dihinggapi oleh kata juru kunci.

***
Saya sedang membaca buku sekarang. Judulnya The White Tiger, karangan Aravind Adiga, pemenang Man Booker Prize tahun 2008. Belum tamat. Saya baru sampai di bab ketika si narator menjalani hidup sebagai seorang sopir di kota besar di India, meninggalkan desa kumuhnya. Perasaan saya dipenuhi rasa jijik, masam, dan terperangah saat membaca latar kehidupan si tokoh utama ini, yang nantinya menjadi entrepreneur sukses di Bangalore; betapa India adalah negara yang busuk.
            Di desa: tiang listrik tidak berfungsi, keran air rusak, kerbau, ayam-ayam, segerombolan babi, tuan tanah berkuasa penuh, sekolah ditempati oleh guru tukang korupsi, tidak ada muridnya yang bisa membaca, anak-anak berhenti sekolah untuk memecah-mecah batu bara, orang-orang tua penyakitan, anak muda diharuskan menikah agar mendatangkan rejeki, penduduknya dipilihkan hak suaranya dalam pemilu, semuanya menjalani takdir dalam lingkatan setan.
            Saat dia menjadi sopir di kota, ia bersaing dengan pembantu lainnya untuk mendapatkan hati sang majikan, dipaksa oleh keluarganya untuk selalu mengirimkan gajinya ke desa, dipaksa untuk mengaku bersalah atas kesalahan majikannya yang menabrak seorang gelandangan saat menyetir sambil mabuk, keluar-masuk mengantar majikannya menyogok pemerintah, privasi tidak dihargai, dipermainkan majikannya sendiri untuk mengeja kata pizza (dia mengatakan piJJa), kepatuhan tanpa kompromi terhadap “kasta” atas, nasibnya seperti terkurung, dijejali dalam kandang ayam yang sempit.
            Demokrasi di India, menurutnya, adalah sebuah omong kosong besar.
            Muram. Seperti tanpa masa depan. Dog eats dog. Yang kaya semakin kaya, yang miskin semakin miskin. Saya belum selesai membacanya.
            Tapi, halaman demi halaman, menit demi menit, entah kenapa saya merasa begitu familiar dengan India dan nasib narator di buku tersebut.
            Saya berasumsi bahwa ada alasan bagus kenapa buku ini diterjemahkan dalam bahasa Indonesia. Diterbitkan di negeri ini. Dijejerkan di toko-toko buku. Membaca cerita di dalamnya tidak seperti membuka wawasan baru terhadap kondisi di belahan dunia lain. Familiar. Yang jelas saya tidak pernah tinggal di India atau menonton film Bollywood. Kecuali secuil saja. Mungkin India adalah saudara jauh kita juga.
            Busuk.
            Demokrasi.
  Sialan!

Selasa, 12 Oktober 2010

Kerumunan


"My body is a cage, that keeps me from dancing with the one I love, but my mind holds the key." 

(My Body is A Cage, Arcade Fire)

“I’m on my time with everyone. I have very bad posture.” Kurt Cobain membuka lagu Pennyroyal Tea dengan sapaan depresif-nya yang khas. Selayang pandang, dapat ditarik kesimpulan bahwa keresahan yang meliputi karier artistiknya yang singkat (termasuk di dalamnya adiksi terhadap heroin dan keinginan terpendam untuk bunuh diri) itu adalah tentang bagaimana sang superstar berusaha untuk memposisikan dirinya di tengah kerumunan. Memang bukan hanya sekali ia menyelipkan lirik yang bertendensi pada beratnya beban pencitraan yang ia rasakan yang selalu membuatnya merasa harus menjadi seseorang di luar dirinya, seperti ketika ia bernyanyi “She eyes me like a pisces when I am weak” dalam Heart-Shaped Box, sebuah deklamasi kerendah-dirian yang tersirat secara lugas dari getaran suaranya yang senyap. Saya menangkap kesan bahwa Kurt adalah sosok yang senantiasa berjuang untuk mampu “berada di tengah orang-orang” dan bagi saya, isu semacam ini sifatnya kontradikif karena berada di persimpangan antara “menerima orang lain (lingkungan ekstrinsik)” dan sebaliknya, “diterima oleh orang lain.” Dua opsi inilah yang selalu membawa saya pada tingkat kegelisahan tertentu setiap kali berada di kerumunan, tentang menentukan orientasi.

Tanggal 10 bulan 10 tahun 10, saya berada di tengah kerumunan. Pasar seni ITB, lebih tepat dinamai pasar manusia, tampak bagi saya merupakan sebuah event bergengsi yang entah kenapa kala itu makna dan tujuannya semula seperti telah bergeser dari ajang apresiasi terhadap berbagai bentuk karya seni karya anak bangsa menjadi seni untuk mengumpulkan manusia dalam satu tempat dan satu waktu. Bisa jadi ini sebagai salah satu bukti peran media informasi dalam era modern sebagai bentuk pemasaran yang baru, murah, efektif, dan massal. Selain sukses seharian memacetkan kota Bandung, saya sendiri tidak tahu apakah acara tersebut tergolong sukses bagi deretan panitia, pengisi acara, sponsor, atau mungkin para pengunjung. Keberadaan saya di sana, yang kira-kira hampir satu jam saja, secara pribadi merupakan sebuah perenungan eksistensialisme tentang tuntutan peran sebagai mahluk sosial dalam kondisi yang pasif atau justru asosial yaitu berinteraksi dengan ratusan manusia lain yang tidak dikenal. Situasi yang dikenal dengan frase kesepian di tengah keramaian.

Ada dorongan untuk bersembunyi atau menciptakan dinding pembatas terhadap spesies saya di sana. Ada kegugupan interior yang lahir ketika melihat kepala-kepala manusia bergerak-gerak dengan intensitasnya masing-masing. Ada keinginan untuk menjadi bunglon dan membaur bersama semua orang tapi timbul pertanyaan baru: terhadap apa saya hendak bersembunyi? Bukankah di tengah keramaian itu juga sudah merupakan tempat persembunyian yang paling bagus? Yang nyata dari keresahan itu adalah keberadaan diri sebagai individu yang merasa seolah-olah “berbeda” dari orang lain dan oleh karenanya menginginkan “ruang khusus” yang bisa jadi terpisah dari realita, dan saya tidak bisa menemukannya di antara desak-desakan dan suara-suara berisik di sekitar. Reaksi saya lebih kepada pengisolasian diri imajiner di mana saya mencoba membayangkan orang-orang itu berada di dalam film era Nazi, Schindler’s List karya Steven Spielberg, sebagai barisan orang-orang Yahudi yang berjalan menuju kamar uap untuk penghabisan yang mengerikan. Sinisme memang tidak henti-hentinya menghampiri kepala saya waktu itu.

Di dalam atmosfer yang ramai seperti itu, tidak butuh waktu lama bagi saya untuk segera memahami bahwa manusia bukan mahluk yang (sepenuhnya) bebas. Kita semua terikat oleh aturan alam semesta dan nilai-nilai subjektif dari manusia lainnya. Hal yang kedua itu memberikan kontribusi terbesar bagi saya untuk merasa “terpenjara” dalam keramaian. Kekuatannya terbilang intens yang membuat gerak-gerik saya seperti dibatasi dan semakin saya berusaha untuk acuh tak acuh justru malah semakin membuat saya terserap ke dalam energi prasangka dari luar yang membesar. Saya masih terlalu waras untuk bisa bertingkah seperti Diogenes, yang salah satu idenya tentang kebebasan manusia adalah dengan bermasturbasi dan buang air besar di depan umum, tapi di sisi lain saya seperti berhasrat sekali untuk melepaskan jiwa saya ke tempat lain dan hanya meninggalkan raga/tubuh/badan saya saja di sana.

Kenyamanan saya memang agak terganggu karena perhatian saya kebanyakan teralihkan dengan melihat wajah-wajah asing yang berlalu-lalang. Dan tubuh sebagai penjara adalah tentang bagaimana saya berusaha untuk beradaptasi dengan menghilangkan faktor kegugupan di dalam pikiran yang memilah-milah persona yang bisa saya tampilkan. Di titik ini, saya mengamini teori psikolog Albert Ellis bahwa saya adalah seorang neurotik yang dalam melangsungkan hidupnya selalu terarahkan untuk menerapkan ide-ide irasional seperi salah satunya “lingkungan harus menerima saya atau saya akan menderita.” Betapa risihnya memendam jalan pikiran seperti itu sepanjang waktu.

Saya tidak berhenti pada kesimpulan menyalahkan diri pribadi atau menyadari bahwa ada yang salah dengan saya. Saya justru memahami bahwa saya lebih merasa nyaman di luar kerumunan dan keramaian, dan bagi saya itu tidak bisa digeneralisasi sebagai suatu sikap yang menyimpang dari pemenuhan takdir atas manusia sebagai mahluk sosial. Dalam berinteraksi saya lebih menyukai hubungan pribadi dengan teman dekat atau anggota keluarga ketimbang hubungan yang mengambang dengan orang banyak. Tapi harus diakui bahwa sikap mental saya memang sedikit cacat. Kerumunan bukanlah hal yang tepat bagi saya untuk mendefinisikan diri atau menegaskan eksistensi saya sebagai manusia, atau mungkin,saya masih berproses untuk melewati itu semua.

Erik Erikson pernah menjelaskan bahwa pada tahap usia 20-an (pemuda), krisis psikososial yang dihadapi manusia adalah “Intimasi vs Isolasi” yang bertujuan untuk menemukan jati diri dalam diri orang lain. Tujuan itu, menurut saya, akan tercapai ketika akhirnya tubuh ini “menyatu” dengan jiwa, tidak lagi menjadikannya sebagai kurungan. Dan akhir hayat Kurt Cobain adalah salah satu contoh ketika jiwa dipaksa untuk keluar dari tubuh.

Dengan peluru yang menembus kepala, ia terbang menuju nirwana. Dengan demikian, bukankah itu artinya sebuah pernyataan kalah terhadap hidup? Sayang sekali.

Selasa, 05 Oktober 2010

Terima Kasih dalam Huruf Kapital 'T' dan 'K'


"If  the only prayer you say in your life is 'Thank You', that would suffice."

(Meister Eckhart)

Saya terkesima, ketika di permulaan malam beberapa hari yang lalu saya mendapati diri tengah mengantri di depan kasir di dalam sebuah toko buku di Bandung. Di depan saya, berdiri seorang ibu yang tengah menyaksikan petugas kasir mencatat harga buku-buku yang dibeli olehnya. Ibu itu tidak sendirian, ia ditemani oleh dua orang anaknya, kakak-beradik, keduanya perempuan dan keduanya masih kecil, sang kakak mungkin duduk di kelas 2 SD sementara usia adiknya berada di antara usia pra-sekolah dan TK nol kecil. Sekian detik lewat, proses transaksi berhasil dirampungkan lalu akhirnya si ibu menerima buku-bukunya itu tersimpan di dalam kantong plastik bergambar logo toko buku dan langsung menyerahkannya pada si adik. Kedua anak itu tampak senang dan saya menyaksikan si ibu dengan raut bahagia dihiasi senyum, berujar tanpa ragu: “Alhamdulillah.” Kembali lagi ke awal paragraf, saya terkesima.

Perasaan yang terkumpul di dalam hati saya bukanlah sebuah kekaguman atas ucapan “Alhamdulillah” semata. Tapi lebih jauh lagi, adalah tentang bagaimana si ibu tadi mengucapkan kata tersebut lengkap dengan mimik muka yang menampilkan ekspresi syukur yang tulus, kelegaan menyejukkan yang membuat saya ingin menekan tombol rewind. Di satu sisi, itu menjadi semacam tonjokan bagi saya yang termasuk orang yang menghargai pentingnya buku ─bukan karena harganya atau tampilan fisiknya─ sebagai produk budaya yang menandakan peradaban manusia, tak pernah sekalipun mengingat terucap rasa syukur sehabis melakukan transaksi di kasir, atau sehabis menutup lembar terakhir di buku, padahal saya menyadari benar apa yang saya dapatkan dari buku. Maka setelah ibu itu pergi dan giliran saya menerima bingkisan kantung plastik dari penjaga kasir, saya mengucapkan “Alhamdulillah” di dalam hati dengan ekspresi tingkat pemula.

Momen tersebut telah menyeret saya ke dalam pergumulan yang lain, yang bisa saja disebut melebar ke mana-mana tapi berinti pada satu titik yang sama. Beberapa hari setelah itu, entah kenapa saya berpikir bahwa Tuhan pada dasarnya adalah konsep”manipulasi” pikiran manusia terhadap kekuatan dahsyat yang absolut yang mana manusia merasa aman dengan mempercayai-Nya. Bukan, ini bukan cara saya menunjukkan iman atheis karena saya sangat mempercayai keberadaan Tuhan. Tapi pernyataan tersebut lahir dari perenungan jika saya bertanya pada 100 orang tentang apa itu Tuhan bagi mereka, maka bukan tidak mungkin saya akan mendapat 100 jawaban yang berbeda yang masing-masing menyiratkan versi Tuhan yang pas, sesuai dengan kriteria tiap orang. Sehingga imej Tuhan adalah sebuah proyeksi dari seseorang yang sifatnya tentu saja personal dan ini mempengaruhi tindak-tanduk orang tersebut terhadap Tuhan-Nya itu, Tuhan yang ia percayai dalam wujud-Nya, sifat-Nya, karakter-Nya, dan bahkan kekuasaan-Nya. Orang pesimis percaya bahwa bencana alam adalah tindakan Tuhan dalam kemurkaannya yang maha hebat atas dosa-dosa yang diperbuat, sedangkan orang optimis percaya bahwa bencana yang menimpa dirinya adalah bentuk kasih sayang Tuhan yang Maha Pengasih yang sedang menguji kesabarannya demi meraih kemuliaan yang lebih tinggi. Keduanya tidak salah. Dalam kitab suci Tuhan pernah diceritakan murka terhadap manusia (banjir Nuh yang melegenda itu) dan bukan rahasia umum bila Tuhan memiliki kadar kasih sayang yang tak terhingga untuk mahluk-mahluk-Nya. Siapa itu Tuhan bergantung pada siapa yang mengatakan apa tentang Tuhan.

Lalu di manakah peran si ibu tadi dalam tulisan ini? Saya berpikir bahwa bagaimana seseorang “memperlakukan” Tuhan mencerminkan apa yang dia percaya tentang-Nya dan ini menjelaskan secara langsung hubungan vertikal antara manusia dan Tuhan. Ketika saya menjalankan ibadah muslim seperti sholat 5 kali sehari, puasa, berdoa, atau melantunkan zikir di dalam hati, saya menyadari bahwa hubungan vertikal saya adalah tentang menyembah Dia yang di atas sana. Dalam sholat saya tunduk dan bersujud, dalam puasa saya melemahkan diri, dan dalam doa saya merasa pasrah atas Tuhan yang Maha Besar, yang mampu merubah manusia menjadi cecurut dan juga sebaliknya. Saya adalah serpihan debu mikroskopik yang sangat sangat kecil dan tidak berdaya. Rapuh, telanjang, dan mudah pecah-belah. Saya memandang Tuhan persis seperti yang dikemukakan oleh Sigmund Freud, sebagai refleksi sosok ayah yang ideal dengan perangkat maskulinitasnya. Saya menjalani ibadah tersebut dalam kepatuhan yang khidmat sampai akhirnya semuanya menjadi rangkaian rutinitas yang digerakkan oleh mekanisme terpogram yang tidak berubah. Saya merasakan kejenuhan, kemalasan, dan terlebih lagi, perasaan kosong dalam setiap kegiatan ibadah yang saya dirikan. Saya merasakan proses sembah-menyembah yang saya jalani telah memposisikan Tuhan sebagai seorang raja adidaya, pemimpin segala pemimpin, komandan terhormat, zat yang selalu mempertontonkan “ke-Maha-Besar-an-nya” setiap waktu, dan entah kenapa itu semua membuat saya gerah. Ketundukan saya tidak beralasan dan saya mulai bertanya kenapa Tuhan merasa perlu untuk terus “menakut-nakuti” saya dengan kekuasaannya hanya untuk membuat saya menyatakan iman pada-Nya? Bukankah itu yang juga dilakukan oleh Hitler? Stalin? Darth Vader? Bahkan Fir’aun?

Dan di sinilah si ibu tadi berperan. Ketika ia mengucapakan kalimat syukur itu, saya terkesima, dan di bawah pancaran lampu neon yang menaburi kepala saya, saya mendapat pencerahan bahwa hubungan antara manusia dan Tuhan bukan lagi sebuah konsep kepatuhan atau ketertundukan tanpa syarat, bukan sebuah pertalian keimanan yang diikat dengan sumpah “Aku beriman” atau “Aku berjanji”, melainkan dengan “Aku bersyukur”, “Aku berterimakasih”, atau “Alhamdulillah”; sebuah proses bersyukur tanpa henti sepanjang hayat. Kalau boleh berimajinasi, ketika seseorang bersumpah dengan mengucap “Aku berjanji”, yang terpancar di wajahnya adalah semacam raut ketegasan nan serius akan sebuah komitmen yang tinggi, sedangkan raut wajah yang mengucap “Aku bersyukur” adalah sebuah senyum ikhlas penuh kasih sayang, persis seperti ekspresi yang dipertontonkan si ibu tersebut. Dan menurut saya, tidak ada yang lebih menyejukkan selain kenikmatan menyebut nama Tuhan dengan senyum ketimbang menyebut-Nya dengan getaran ketakutan khas manusia inferior. Sudut pandang saya terhadap Tuhan berubah dan ini membantu saya untuk mengenang masa lalu yang telah saya lalui, yang dalam tawa maupun kesedihan yang terkandung di dalamnya, mampu membangkitkan perasaan syukur karena telah melalui semuanya itu.

Tulisan ini tidak saya maksudkan untuk diutarakan dalam perspektif seorang muslim walaupun berangkat dari kata “Alhamdulillah”, namun secara lebih luas saya mengemukakan bahwa hubungan manusia dengan Tuhan bukanlah hubungan timbal-balik macam korporasi atau hubungan antara yang lemah dan yang kuat yang berlandaskan pada perintah dan larangan semata dengan pahala dan dosa sebagai konsekuensinya, melainkan sebuah seni perilaku dalam memaknai keindahan yang ada di mana Tuhan berperan sebagai si pemberi sedangkan manusia sebagai si penerima, dan akan terus seperti demikian sepanjang masa, oleh karenanya berterimakasihlah. Perasaan tersebut bagi saya telah mereduksi rasa ketakutan berlebihan atau semacam neurotik yang tidak hanya tertuju pada Tuhan saja tetapi juga pada kehidupan saya sehari-hari karena terpatri di dalam kepala potongan trailer berjudul Surga di Kanan, Neraka di Kiri. Kepatuhan yang ditimbulkan dari rasa takut membuat saya tidak mampu merasakan hidup yang seutuhnya karena terbatasi oleh regulasi dan rambu-rambu yang mengikat kuat. Dengan cara bersyukur, yang saya rasakan dalam hidup adalah keterbukaan untuk memandang sesuatu dari sisi baik dan buruknya dikaitkan dengan manfaatnya bagi kehidupan saya. Dengan sikap ini, berarti saya menetapkan value pada diri saya sendiri yang didasarkan pada apa yang Tuhan telah berikan pada saya. Saya berpendapat bahwa ketika Ibrahim menghancurkan berhala-berhala di kotanya yang ia hancurkan bukanlah wujud berhala tersebut yang dianggap sebagai bentuk penghinaan terhadap Tuhan, melainkan konsep penyembahan itu sendiri yang terkesan seperti interaksi antara budak dan raja. Sehingga jaman sekarang, saya mengatakan bahwa kepatuhan semacam ini walaupun dilakukan terhadap Tuhan yang diperkenalkan Ibrahim, adalah sebuah bentuk pemberhalaan jenis baru karena makna Tuhan telah dibiaskan dengan penguasa. Pemberhalaan semacam inilah yang membuat manusia melakukan teror terhadap manusia lain yang mereka pikir tidak disukai oleh Tuhan-nya. Bom sana, bom sini. Ledakan di mana-mana sambil mengagungkan kebesaran Tuhan. Mengerikan sekaligus menyedihkan.

Saya akui ini membuat hubungan saya dengan Tuhan tidak lagi terlalu kompleks. Dia sebagai yang tidak terjangkau tidak lagi menjejali kepala saya. Suatu hari, mungkin saya bisa mengucapkan dengan ketulusan yang sama dengan ibu itu kata “Alhamdulillah” atas apa yang telah terjadi dalam hidup. Menjadi orang yang merasa paling berbahagia dalam hidup merupakan salah satu cita-cita yang paling luhur, bukan?

Minggu, 03 Oktober 2010

A Brief Introduction to Modern Life, As We Have Seen It

"Life can only be understood backwards; but it must be lived forwards."

(Soren Kierkegaard)

Hei, bagaimana kalau mencicipi masa lalu? Sejenak saja barangkali sebelum angin badai datang. Mungkin di sanalah semua yang kita cari bersembunyi. Berserakan, tertimbun, atau mungkin sedang diciptakan Anggaplah ini piknik menuju tempat yang dulu pernah kita tahu. Bukan, bukan Taman Firdaus, tidak sejauh itu. Kapal kita belum selesai dirakit untuk sampai ke sana. Ah, tidak perlulah kamu masukkan banyak barang ke kopor. Simpan lagi uang itu di bawah bantal, kita tidak butuh sebanyak itu. Percayalah ini akan menyenangkan. Lucu sekali kamu bertanya dengan apa kita akan ke sana. Tenang saja, seperti barusan kubilang, kita tidak akan pergi jauh-jauh. Ayo ikut denganku. Tidak perlu repot-repot, kita hanya akan menoleh. Kita akan sampai ke sana dengan menoleh. Ke belakang sayang, ke belakang. :)