Minggu, 20 April 2014

Tahun 2007 Yang Lalu Gabriel Garcia Marquez Memanggil Saya

"What matters in life is not what happens to you but what you remember and how you remember it." 

(Gabriel Garcia Marquez) 


Gabriel Garcia Marquez meninggal 3 hari yang lalu. Dia seorang penulis fiksi.
Apa saya menangis dengan kabar itu? Tidak. Saya tidak kenal dia, dia tidak kenal saya, saya tidak pernah ketemu dia, dia tidak pernah ketemu saya, apalagi datang ke rumahnya, apalagi dia datang ke rumah saya.
Lagipula saya sedang ke luar kota saat itu, lebih tepatnya, saya sedang terjebak macet di suatu kota, artinya saat membaca kabar kematian beliau mood saya sedang bosan dan kesal setengah mati.
Tapi Gabriel Garcia Marquez telah meninggal, dan saya tahu itu pasti akan berkaitan dengan bagian dalam diri saya secara pribadi.
Itulah kenapa sepulangnya saya ke rumah saya buka salah satu bukunya, versi terjemahan bahasa Indonesia, dan saya lihat keterangannya: Cetakan I -- saya pastikan tahun keluarnya: 2007.
Jadi, 2007.
2007. 2007 adalah 7 tahun yang lalu.
Gramedia Bandung tidak banyak berubah 7 tahun berselang. Atau mungkin juga iya.
Saya bolos kuliah di satu hari di tahun 2007 dan pergi ke Gramedia. Tujuannya? Mencari sesuatu yang lebih menarik daripada isi ruang kuliah. Sesuatu yang lebih hebat daripada sekedar mencatat. Sesuatu yang bisa saya beli dengan harga di bawah 50000 rupiah.
Saya ingin baca buku. Ya -- membaca. Bukan hobi baru buat saya.
Begitu juga dengan buku. Sangat familiar buat saya. Tapi yang baru saat itu adalah motif saya: Saya ingin membaca novel. Fiksi. Apapun yang bisa saya temukan di toko buku.
Sebelumnya saya hanya membaca nonfiksi. Saya terlalu skeptis untuk novel.

Sebelum tahun 2007 itu setiap saya mendengar kata 'novel', saya selalu mengernyit, terkekeh, dan merasa terlalu 'pintar' untuk itu.
Jangan salahkan saya. Saya berada di lingkungan yang entah bagaimana orang-orang mengasosiasikan novel dengan cerita romansa. Cinta-cintaan, Romeo & Juliet, dramatisasi tentang hubungan, cinta sana-cinta sini. Semuanya menye-menye.
Itulah masa-masanya teenlit. Masa-masanya chicklit. Dan saya tidak suka banyak orang.
Memang saat itu ada juga Harry Potter, tapi filmnya buruk, jadi...
(Jadi saya berencana untuk membaca Harry Potter hanya pada saat saya sudah tua nanti. Itu adalah pujian. Saat saya tua nanti pikiran saya mungkin akan tumpul dan saya butuh bacaan yang imajinatif)
Tapi kemudian saya penasaran ingin membaca cerita fiksi. Saya lupa apa yang menyulut rasa tersebut. Saya lupa apa memang ada sesuatu hal yang menyulut penasaran tersebut atau tidak ada sama sekali.
Dan... di situ lah Gabriel Garcia Marquez. Di Gramedia.
New Release.
Judulnya "Seratus Tahun Kesunyian". Di cover depan-nya tertulis kalau Gabriel Garcia Marquez ini adalah pemenang nobel. Di cover belakang-nya tidak banyak penjelasan. Sinopsisnya hanya ada 2 kalimat. Lalu di paragraf yang lain si penerbit menjelaskan: Anda keluar dari novel ini seperti bangun dari mimpi dengan pikiran puncak... di mana Garcia Marquez naik ke atas panggung bersama Gunter Grass dan Vladimir Nabokov.

Saya tidak paham apa maksudnya --Gunter Grass? Vladimir Nabokov? Siapa?-- saya tidak kenal nama-nama itu. Tapi saya tertarik. Kenapa saya tertarik? Mungkin karena kemisteriusan dari tampilan buku itu. Mistisnya.
Mungkin karena ketebalannya yang cukup menantang waktu itu. Mungkin karena gambar sebuah desa mengapung di sampul depannya (sebuah tempat fiktif yang diberi nama Macondo). Mungkin 'keasingannya' yang menjanjikan saya sebuah 'dunia baru' untuk dimasuki.
Maka saya ambil buku itu dan membelinya. Harganya di atas 50000 rupiah.
Lalu, terjadilah Gabriel Garcia Marquez dalam hidup saya.

Mungkin sebetulnya saya harus berterima kasih kepada si penerbit yang menerbitkan buku itu di saat saya sedang ingin membaca fiksi. Mungkin.
Tapi kalau saat itu saya tidak mengambil "Seratus Tahun Kesunyian" dari Gabriel Garcia Marquez, tapi mengambil buku novel yang lain, mungkin saya baru mengenal beliau sekarang, bukan di tahun 2007, atau justru baru 5 tahun yang akan datang, 7 tahun ke depan, 10 tahun ke depan, 4 Piala Dunia ke depan, dll.
Atau mungkin --dan ini bukan hanya sebuah kemungkinan biasa-- saya tidak akan pernah membaca fiksi.
Gabriel Garcia Marquez menulis cerita yang surealis, imajinatif, yang membuat saya percaya bahwa fiksi bisa dibawa ke tingkat yang lebih tinggi lagi, lebih luas lagi, lebih dalam lagi, lebih-lebih-lebih dari orang-orang yang saya temui setiap hari.
Itu sangat luar biasa!
Dia yang memulai gaya magis-realisme. Dengan paragraf-paragraf panjang dan minim dialog yang jauh dari membosankan tapi terus memancing saya untuk terus baca, baca, baca.
Dia yang memulai saya menjelajahi dunia yang baru. Bertemu Gunter Grass, Vladimir Nabokov, Salman Rushdie, William Faulkner, Ernest Hemingway, J.D. Salinger, Virginia Woolf. Fyodor Dostoyevsky, Haruki Murakami, Jack Kerouac, George Orwell, Kurt Vonnegut, Maragaret Atwood, Victor Hugo, dan nama-nama asing lainnya.
(Saya menyalahkan dia untuk obsesi saya mengumpulkan buku-buku yang termasuk dalam daftar TIMES' 100 Best Novels)   
Dia yang memulai saya untuk terus baca, baca, baca, baca, baca, baca, baca, baca, baca, baca, baca....

Sekarang, saat dia sudah tidak lagi hidup, saya hanya bisa mengenangnya dengan memikirkan 'bagaimana kalau seandainya bukan Gabriel Garcia Marquez di tahun 2007 itu?'
Atau lebih luas lagi, 'bagaimana kalau seandainya tidak ada Gabriel Garcia Marquez? Seperti apa dunia fiksi? Kapan Harry Potter akan terbit? 7 tahun ke depan? 10 tahun ke depan? 4 Piala Dunia ke depan? Apa yang akan saya baca saat tua nanti?'

Karya-karya Gabriel Garcia Marquez akan tetap abadi. Ada banyak orang di luar sana yang 'takdir literaturnya' ditentukan oleh Gabriel Garcia Marquez seperti saya.
Memang nama Gabriel Garcia Marquez tidak terlalu populer di Indonesia, tapi suatu saat nanti siapa tahu. Mungkin namanya terlalu panjang untuk disebutkan. Tapi kalau itu yang menjadi masalah, kita bisa memanggil Gabriel Garcia Marquez dengan nama Gabo.
Gabo.
Ya.Gabo.

Terima kasih, Gabo.
Anda bisa berhenti menulis sekarang.




Senin, 28 Oktober 2013

Sunday Mourning


"The music is all. People should die for it. People are dying for everything else, so why not the music?"

Lou Reed
(2 Maret 1942 - 27 Oktober 2013)


The Beatles dan The Rolling Stones menginspirasi banyak orang untuk membentuk band. Bob Dylan menginspirasi banyak orang untuk menulis lirik. Tapi Lou Reed (dan band-nya, The Velvet Underground) menginspirasi musik rock itu sendiri untuk berkembang dan berevolusi. Memang tidak terlalu populer di Indonesia, tapi The Velvet Underground adalah peletak dasar bagi genre-genre rock yang bermunculan sekarang dari mulai psychedelic, punk, shoegaze, indie pop, grunge, noise rock, alternative, garage, britpop, dll. Bahkan tidak ada yang bisa mengkategorikan jenis musik The Velvet Underground selain menyebutnya sebagai avant-garde. Ya, karena merekalah garda terdepan dari semua kebisingan melodius dalam rock 'n' roll.

Dan Lou adalah sang suara, melodi, lirik, yang memberontak dalam musiknya dan mengangkat status musik rock ke tingkat intelek. Karyanya terbentang luas dari yang gelap sampai yang luar biasa manis, dari yang berisik sampai lullaby melodius, dari yang hanya 2 chord repetitif sampai ke struktur yang rumit dan panjang. Semua musisi akan terus berhutang kepadanya sampai ke generasi-generasi yang akan datang sehabis kepergiannya ini. Maka tidak ada yang lebih baik dari kematian seseorang selain 'warisan-warisan' penting yang ditinggalkannya untuk mereka yang masih hidup. Rest in peace. We're sticking with you, Lou. 'Cause you're made out of glue

Rabu, 29 Mei 2013

Why Do We Watch Movies?

"Why do we watch movies? No, really, why is it? As close an answer as we’ve ever come to for our own, fairly evident obsession with what we consider the greatest storytelling medium humankind has ever developed, is well, that life is short. Bear with us a second on this: basically to submerge yourself in a story well-told is a way to live out other lives within your own, and through those complex and magical processes of identification, to breathe and dream and feel things that your own short span might otherwise never afford you. Of course for many movies that experience, of killing a mutant robot or whatever, may have evaporated before you’ve picked the last of the popcorn husks from between your teeth. But occasionally, very rarely, we experience the cinema not of escape but of exploration in which the discoveries you make stay with you and become knitted into the fabric of your memory as surely as if you’d really been there, really done that."

oleh Jessica Kiang dalam review film Blue is the Warmest Color (memenangkan Palme d'Or di Festival Film Cannes 2013) yang dimuat di blog film The Playlist dan kemudian saya amini dengan sepenuh hati. 

Sabtu, 08 Desember 2012

Life is Words Away

 "Adjectives are frequently the greatest enemy of the substantive."

(Voltaire)








nietzsche family circus cartoon 
They call you heartless; 
but you have a heart, 
and I love you for being ashamed to show it.

Sabtu, 04 Agustus 2012

Airbag Was Made For Homo Sapiens


 "A rat in a maze is free to go anywhere, as long as it stays inside the maze."

(The Handmaid's Tale, Margaret Atwood)
Dengan Waktu yang masih terus berjalan sambil meninggalkan di belakangnya jarak-jarak sejarah sebanyak yang bisa diingat oleh manusia ―lalu bumi dan karirnya yang monoton dalam mengelilingi matahari selama jutaan tahun― maka sekarang, tidak ada lagi yang tersisa dari kehidupan ini untuk dibicarakan karena semuanya sudah pernah dikatakan. Semua hal sudah diucapkan.

Ide-ide besar telah disampaikan, baik dengan dibisikkan maupun diteriakkan. Diantaranya bicara tentang revolusi, inovasi, atau ambisi tinggi untuk menaklukkan dunia. Ide-ide hebat telah selesai diceritakan, tentang penemuan, pencapaian, sampai penjelajahan menuju ruang angkasa yang tak berbatas. Ide-ide rumit mengenai filosofi, ilmu pengetahuan, dan Tuhan telah habis disabdakan dari masa ke masa. Ide-ide yang mustahil sudah pernah diumumkan, tentang masa depan, tentang langit di atas langit, sampai tentang dunia lain yang akan muncul setelah kematian datang. Pun demikian dengan ide-ide buruk tentang perang besar, kematian massal, dan kiamat yang akan meluluh-lantakkan apapun pernah ada, semua itu sudah diumumkan berulang-ulang kali.

Dan dengan kondisi tersebut, maka apa lagi yang masih tersedia untuk dibicarakan oleh manusia di peradaban baru ini? Di tepi zaman di mana semuanya sudah pernah dilakukan dan terjadi, di dalam koridor kehidupan yang mengarah kepada dinding buntu di mana kata-kata habis ditelanjangi oleh maknanya sendiri, tidak ada lagi yang bisa dibicarakan di sini selain tentang kesepian. Kesendirian. Keterasingan yang kita dandani di atas panggung interaksi.

Kita adalah produk terakhir dari pabrik peradaban modern dan kita telah dilengkapi dengan sistem autopilot. Kita ―tipe terbaru dari “kesadaran dalam kemasan”, dengan sensor dan radar untuk mengidentifikasi makna baru dari eksistensi― hidup dalam takdir versi 2.0 bahwa manusia terlahir sebagai mahluk terasing, bukan lagi sebagai mahluk sosial. Maka dalam interaksi, kebutuhan primer kita adalah untuk secara pasif diperhatikan, disadari, dikomentari, dan kebutuhan untuk dibutuhkan yang kesemuanya dilandasi atas nama citra. Dan pencitraan, itulah nama dari program di kepala kita yang membuat kita semua secara otomatis hidup dalam konsep-konsep pemasaran diri.    

Manusia telah menjadi subproduk; produk dari produk yang diciptakan oleh manusia lain dan interaksi kita adalah sebuah bentuk promosi. Cara kita berinteraksi sekarang ditentukan oleh medium yang digunakan dan karena itu kita telah terstruktur, terkonstruksi, ter-sintaks oleh karakteristik dan bentuk dari medium tersebut. Kita teridentifikasikan oleh media interaksi yang kita pakai untuk berkomunikasi dengan satu sama lain dan itu sebabnya interaksi lebih menyerupai tindakan mempromosikan media atau produk yang telah “menciptakan” kita sebagai produknya sendiri. Kita adalah agennya, staf-nya, salesman untuk gaya hidup alienasi massal yang telah termodernisasi.   

Maka kita bisa bangga tercipta sebagai mahluk terasing karena kita hidup di waktu yang tepat, saat bumi sudah miliaran kali berputar dan semuanya sudah pernah dilakukan. Di sini sudah tidak ada lagi yang bisa dibicarakan selain kenihilan, ketidakbermaknaan, kekosongan. Namun begitulah kita berbicara sekarang, berkomunikasi, berinteraksi dengan sesama. Kenihilan adalah sesuatu yang “menjual”, menghibur, ringan, adiktif, menarik untuk dibicarakan, menyenangkan, menyegarkan, mencerahkan, sebagai bahan bakar utama dari mesin yang menggerakkan kebutuhan manusiawi kita untuk berinteraksi. Itulah yang kita punya, sebagai modal dari proyek bisnis besar yang disebut peradaban. Hanya itu yang bisa kita bagi dan hanya itu yang tersisa sekarang. Yang lainnya sudah pernah dibicarakan.

Tidak ada lagi ide-ide besar yang tersisa…
(dan menunggu terasa membosankan).