Kamis, 18 Agustus 2011

Di Tengah Pesta Ulang Tahun Di Pertengahan Bulan Agustus

"Children are great imitators.
So give them something great to imitate."

Anonymous

Oh ya, Indonesia ulang tahun yang ke-66. Selamat ulang tahun, selamat ulang tahun! Ayo semuanya datang dan rayakan. Kibarkan bendera, tepuk tangan, nyanyi-nyanyi, dan nyalakan lilin kalau perlu. Ayo, semuanya diundang. Boleh bawa kado, boleh juga tidak. Yang jelas jangan minta traktir, tidak ada yang namanya traktir-mentraktir di ulang tahun yang ini. Bukannya tidak punya uang, tapi tidak etis, terlalu kekanak-kanakkan kalau tidak mau disebut tidak mau. Pokoknya bagaimanapun juga yang penting perayaan ini harus meriah. Ayo semua tepuk tangan. Semua tersenyum bahagia. Kembang api bertaburan di langit.

Suasana tanggal 17 Agustus itu berlangsung ramai. Ini adalah ulang tahun besar, semuanya merayakan. Tapi kemudian, hingar-bingar itu mendadak sunyi ketika seorang anak kecil berteriak di tengah kerumunan. Anak kecil yang polos, naïf, dengan sorot mata penuh rasa ingin tahu, dibalut kaos oblong dan celana pendek, dua gigi depannya tanggal, badannya kecil, begitupun kedua tangan dan kakinya, rambutnya berjambul dan suaranya lantang. Ia bertanya, “Siapa yang ulang tahun?”

Seseorang dari kerumunan, seorang wanita, menjawab, “Ini ulang tahun Indonesia, sayang,” lalu gelak tawa renyah muncul beriringan.

Anak itu diam sampai mereka semua berhenti tertawa, lalu ia kembali bertanya, dengan frekuensi lebih rendah dari sebelumnya, “Indonesia itu siapa?”

Semua yang hadir di sana membisu.

Tidak ada jawaban.

Tidak ada jawaban.

Tidak ada jawaban.

Mereka saling menoleh, seolah-olah jawabannya ada di raut muka masing-masing. Tapi yang mereka temukan hanyalah tanda tanya yang sama. Lalu mereka menatap sosok presiden yang sedang duduk di singgasananya. Dalam keheranan, mereka saling berbisik.

“Itukah Indonesia? Sang pemimpin? Orang yang diberi tanggung jawab dan beban yang sangat berat untuk mengurusi kita. Juru bicara dari seluruh pelosok negeri ini. Dia yang memutuskan segala hal tentang segala hal yang terjadi di sini, di sekitar kita semua. Dia yang harus kita hormati. Tapi… bukan, bukan dia. Dia bukan Indonesia. Dia yang memimpin Indonesia. Jadi, bukan dia. Jelas bukan dia. Lihat ke sekeliling, kita semua merayakan hari ulang tahun ini, kita semua tanpa kecuali, bagaimana mungkin ini adalah ulang tahun sang pemimpin jika di antara kita juga ada yang membencinya? Kita semua sedang bersuka-cita, jadi tidak mungkin Indonesia adalah dia.”

Lalu apa? Mereka kembali sibuk mencari-cari sementara si anak kecil tadi sibuk memperhatikan tingkah laku orang-orang di depannya. Mereka melihat para wakil rakyat dan kembali berbisik.

“Mungkinkah mereka yang disebut Indonesia? Kumpulan orang yang suaranya mewakili setiap lidah dari rakyat negeri ini. Merekalah yang menampung segala aspirasi, keluh-kesah, dan mimpi dari kita semua. Mereka juga yang segala tindak-tanduknya adalah manifestasi dari kepercayaan dan amanah yang kita berikan. Jadi, mungkin saja mereka itu yang disebut… tapi bukan, bukan, sepertinya bukan. Mereka adalah orang-orang yang memperjuangkan Indonesia, yang mengatasnamakan Indonesia dalam setiap langkahnya, yang dimandati oleh mimpi-mimpi Indonesia. Mereka bukan Indonesia. Dan lagi pula ada beberapa dari kita yang membenci mereka. Mana mungkin kita semua merayakan ulang tahun orang yang dibenci. Bukan mereka.”

Semakin bingung, mereka terus memikirkan dan mencari siapa itu Indonesia. Kesana-kemari mereka memalingkan wajahnya dan akhirnya pandangan mata mereka bertemu dengan rakyat Indonesia.

“Apa mungkin mereka? Sekelompok orang yang mana para pejabat sibuk dan misuh-misuh bahkan sampai kocar-kacir untuk mengurusnya. Mereka yang selalu berubah ke dalam wujud angka-angka statistik sebagai tolak ukur dari segala hal, dalam berpolitik, dalam bersosial, dalam berekonomi, dalam propaganda, dalam kampanye, dalam undang-undang, dalam anggaran belanja, dalam rencana pembangunan, dalam demonstrasi, dalam debat, dalam rapat, dalam kaleidoskop, dalam berita, dan lain-lain. Intinya nama mereka selalu didengung-dengungkan ketika berbicara tentang Indonesia. Tapi, tunggu dulu. Lihat mereka. Bukankah Indonesia ini seharusnya sudah merdeka? Lepas dari segala belenggu? Bebas dari pengaruh luar? Tidak menghamba pada kekuatan lain? Kawan-kawan, jelas sekali mereka bukan Indonesia yang kemerdekaannya sedang kita rayakan sekarang."

Semakin bingung, mereka akhirnya menjawab dengan apapun.

“Kalau begitu bendera merah putih? Lambang keberanian dan kesucian Indonesia. Tapi bendera hanyalah bendera. Hanya simbol belaka. Dikibarkan atau diinjak-injak, dia tetaplah kain. Dia hanyalah kartu nama, tanda pengenal, emblem dari Indonesia. Bukan Indonesia itu sendiri.”

“Pancasila? Dengan kelima-silanya yang tentu saja mencerminkan sebuah karakter dan nilai luhur. Ya, tapi Pancasila hanya kata-kata, tidak berwujud, Pancasila adalah mimpi kolektif di mana kita semua bersatu dan karenanya mengenal nasionalisme. Dia adalah sifat dari Indonesia, sampai kapanpun, tapi bukan Indonesia yang sedang kita bicarakan sekarang. Pancasila adalah moralitas Indonesia. Itu saja.”

“Para pahlawan yang telah gugur? Perjuangan mereka, tumpah darahnya, keringatnya, nyawanya. Mereka berperang untuk Indonesia, Indonesia, dan Indonesia. Mungkin mereka tahu siapa itu Indonesia. Tapi mereka ada di masa lalu. Indonesia tidak mungkin terus terikat dengan masa lalu.”

“Mungkinkah kita? Mungkinkah Indonesia ini adalah kita semua?”

“Tapi siapa kita? Siapakah kita yang hadir bersama-sama di perayaan ini? Apa yang menjadikan kita sama? Bhinneka Tunggal Ika, berbeda-beda namun tetap satu jua, apa yang menjadikan kita ini satu? Bendera kita? Pancasila? Masa lalu? Itu semua hanya perangkat identitas belaka, administratif, pengakuan di atas kertas, hanya bukti kewarganegaraan saja yang tidak menjamin apapun selain fakta-fakta de facto dan de jure. Kita punya satu bendera, satu Pancasila, tapi tetap saja kita tidak melamgkah menuju ke arah yang sama. Masing-masing dengan tujuannya masing-masing. Kita bicara tentang sama-sama membangun Indonesia, tapi Indonesia yang mana? Indonesia-nya siapa? Semuanya subjektif. Tidak ada yang sepaham. Kalau Indonesia adalah kita, berarti Indonesia adalah sekumpulan orang plin-plan yang kehilangan arah, tidak punya satu tujuan, tidak karuan, tidak jelas, dan oleh karenanya bingung dan tidak punya keyakinan.”

“Kita bahkan tidak yakin dengan apa yang telah atau sedang kita lakukan sebagai bagian dari persembahan terhadap Indonesia.”

“Ya, itu dia. Berarti bukan kita yang disebut Indonesia. Siapa atau apapun Indonesia ini haruslah sesuatu yang mempersatukan kita. Suatu tujuan atau cita-cita yang mengarahkan kita bersama-sama. Dan kita sudah diberikan modal yang paling besar untuk bisa melakukannya, yaitu kemerdekaan.”

“Tapi siapa dia? Apa dia?”

Para hadirin semakin bingung. Mencari-cari kesana-kemari. Ada yang mencari di dompetnya, di saku celananya, di saku kemeja dan jasnya, di dalam tasnya, di dalam sepatunya, di lubang hidungnya, di lubang telinga, di dalam mulut, dan bahkan ada yang sampai membuka celananya. Melihat semua itu, si anak tadi tertawa terbahak-bahak. Suara tawanya yang nyaring dan renyah terdengar oleh semua orang. Sontak semuanya memandangi ekspresi senang muka anak itu.

Salah seorang di antara mereka menunjuk dan berkata:

“Itu dia!”

“Dia?”

“Itu dia!”

“Anak kecil itu? Kenapa?”

“Sekarang saya mengerti tentang apa yang tadi kalian bicarakan. Argumen demi argumen yang dikatakan tadi akhirnya berujung pada satu hal, bahwa Indonesia tidak ada di antara kita. Yang ada di antara kita adalah kemerdekaan, dan itu pula yang sedang kita rayakan ini. Bukan Indonesia. Karena Indonesia selalu berada di depan kita, bukan di masa lalu atau masa sekarang, tapi di masa depan dan selalu demikian adanya oleh karenanya tadi kalian bicara tentang arah, tujuan, dan cita-cita. Tentang sesuatu yang harus dituju. Tapi kemudian, muncul pertanyaan mengenai tujuan apa yang akan menggerakkan kita semua bersama-sama, seperti apakah rupa Indonesia yang membuat kita harus bersatu untuk menujunya? Apakah merah putih? Burung Garuda? Baju batik? Bukan, tentu saja bukan. Tapi dia. Anak kecil itu.
    Dia adalah masa depan, dia adalah Indonesia yang menjadi cita-cita dan tujuan kita semua. Lantas apa yang akan menyatukan kita? Merah putih? Burung Garuda? Baju batik? Bukan, tentu saja bukan. Tapi lihat dia. Lihat bagaimana ia tertawa. Lihat kebahagiaan yang polos itu. Itulah kawan-kawan, itulah tujuan kita. Merah putih, Pancasila, baju batik adalah perangkat dan konsep yang bias yang justru malah membuat kita bingung karena barangkali kita sudah kehilangan semangat untuk mengorbankan segalanya untuk itu semua. Nasionalisme adalah hal yang usang dan ketinggalan zaman. Tapi, pikirkan ini, bagaimana kalau kita semua bersatu untuk berjuang, mengerahkan tenaga, pikiran, dan do’a untuk dia, untuk anak-anak. Demi mempertahankan senyum yang terlukis di wajahnya itu. Lihat baik-baik senyumnya, itulah motivasi tiap tindakan kita nantinya. Kita yang menentukan apakah senyum itu akan tetap ada atau lenyap dari wajah anak-anak.
    Membentuk Indonesia, itu tugas kita. Indonesia adalah sebuah konsep tentang apa yang akan dilihat, dinikmati, diperoleh oleh anak-anak kita, calon anak-anak kita, keturunan kita. Kita diwarisi kemerdekaan, maka anak-anak kita harus mewarisi negara ini dari kita semua, kita yang harus membentuk negara ini untuk mereka karena jika tidak, mereka akan menjadi seperti kita, bingung dan hilang arah dan tak ada yang bisa menjawab apa itu Indonesia.
    Lakukan semuanya demi anak-anak, demi generasi selanjutnya, karena bila tidak, kita tidak akan pernah bisa memerdekakan diri kita sendiri dan tentu saja kitapun tidak bisa memerdekakan negara ini. Mulai sekarang lakukan semuanya untuk dia, karena dialah cita-cita luhur kita. Anak kecil. Generasi penerus. Masa depan bangsa. Merekalah wajah Indonesia yang akan datang, tinggal bagaimana kita membentuk dan menghiasnya. Merekalah Indonesia. Kita tidak mungkin membenci mereka atau tega membuat mereka menderita kan?”

Para hadirin terdiam. Mencoba mencerna tiap perkataan yang mereka dengar dari salah satu dari mereka. Anak itu pun terdiam karena ia pusing dengan kata-kata yang tidak ia mengerti itu. Semua orang di sana kini menatap anak itu secara berbarengan. Menatap wajah polos yang belum tergurat apapun selain rasa ingin tahu dan kesenangan. Menatap kanvas putih yang belum diwarnai apapun, apakah itu merah ataupun putih. Menatap bagian dari diri mereka yang masih sangat muda, segar, dan kecil. Menatap pancaran sinar matanya yang dengan lugas menggambarkan mimpi-mimpi, cita-cita, dan imajinasi, serta harapan yang ditujukan pada mereka, di mana senyum akan terus merekah di wajahnya bila semuanya terwujud, namun bila tidak, air matanya akan dipertaruhkan.

Dan dari sini, para kerumunan itu berpikir di dalam kepalanya masing-masing, bahwa mereka adalah anak-anak yang dulunya menangis, bahwa bapak mereka pun begitu, dan kakek mereka, dan seterusnya. Merekalah generasi yang menangis.Dan mereka berpikir bahwa apa yang sedang mereka rayakan sekarang adalah kegagalan. Kegagalan yang diwariskan turun-temurun karena Indonesia tak pernah terjawab. Lalu sambil merujuk kepada anak kecil tadi, salah satu di antara mereka berbisik:

“Andai dia tahu. Untung saja dia tidak tahu.”