Kamis, 30 Juli 2009

Repertoir

"It is better to be hated for what you are,
than to be loved for what you're not."

(Kurt Cobain)

Saya telah mencoba untuk menyusun kata-kata pembuka yang tepat untuk memulai tulisan ini agar terdengar sedikit menarik dan memiliki kesan intelektual, tapi, saya rasa saya tidak peduli lagi. Yang jelas, ini adalah murni penilaian paling subjektif dari saya pribadi tentang mahluk yang dinamakan manusia. Ya, mahluk sempurna itu. Saya tidak tahu bagaimana harus memulainya, tapi, oke, begini… pertama-tama, atau bisa disebut sebagai sebuah kesimpulan juga, saya akan bilang bahwa: manusia adalah mahluk yang selalu menghakimi dan berprasangka. Oke!

Bila kebetulan saya berada di kondisi apatis, masa bodoh, cuek, tidak peduli, maka saya tidak akan terlalu mempermasalahkan itu. Manusia, atau lebih enaknya sebut saja orang lain, bebas saja memiliki prasangka, mengira, melabeli, mencap, menghakimi, menuduh atau apapun lah sesuka perut mereka dan saya rasa mengapa saya harus ambil pusing dengan tingkah seperti itu. Dan mengapa juga saya harus repot? Tapi karena sebagai manusia kebetulan saya juga dianugerahi hati, yang mampu merasa bahkan sampai ke bentuknya yang paling menyebalkan yaitu: menjadi sangat sangat sensitif, maka tentu saja saya tidak bisa terus-terusan acuh tak acuh. Kadang saya juga merasa gerah, bercampur gelisah, lalu sampai ke tingkat ingin marah, dengan semua prasangka yang orang-orang timbulkan dengan begitu gampangnya, tanpa melalui proses ‘persalinan akal sehat’ yang bisa lebih menghasilkan suatu keputusan yang beradab. Hebat sekali mereka, seolah-olah tahu segalanya lalu bilang ini-itu dan lebih dahsyatnya lagi tanpa ada sedikit pun keinginan untuk mencari kebenarannya, mereka malah menyebarkan ‘hipotesis mentah’ mereka lalu menggunjingkannya sampai keriput. Dan sadar atau tidak, hal seperti ini seakan timbul sebagai gerakan baru ‘pop culture’ yang menyebar kemana-mana bahkan lebih cepat dari virus flu, yang terutama menyerang ke kaum perempuan. Tanya saja sendiri, hal seperti itu malah dianggap sebagai sesuatu yang wajar. Di lingkungan saya, para laki-lakinya juga tidak kalah menjijikan, dan berhasil membuat saya untuk tidak betah duduk berlama-lama dengan mereka.

Kembali ke saat sebelum saya menggambarkan virus itu menyebar luas, lebih tepatnya kembali ke permulaan paragraf kedua, ketika akhirnya pertahanan saya jebol, maka tidak bisa tidak saya juga merasa gila. Berpura-pura cuek justru menjadi sikap yang tolol terutama ketika dengan sendirinya saya bisa menangkap gerak-gerik menghakimi mereka, nada bicara, serta yang paling sialan, tatapan mata mereka. Hiperbolis? Mungkin, tapi perasaan saya tidak pernah bohong, maksudnya, yah tidak terlalu sering berbohong lah.

Hidup di tengah-tengah orang-orang yang sok tahu tentang kehidupan pribadi orang lain dan secara tidak langsung dan brengsek, mengakui diri sebagai yang terbaik, suri teladan, sempurna, serba lebih, dan hal barbar lainnya, adalah sebuah tragedi psikis yang bersifat self-destructive. Ini bukan masalah kekuatan mental, daya tahan, atau tebal muka, tapi lebih jauh lagi yaitu harga diri. Bagaimanapun juga jelas sekali bahwa ‘penghakiman’ atau prasangka buruk adalah sebuah kegiatan yang tanpa permisi mencekik harga diri seseorang dari belakang.

Lalu sebenarnya apa motif di balik itu semua? Saya pikir itu merupakan bentuk pribadi manusia yang lahir dengan kapasitas otak yang hanya dapat memahami hidup sebagai linier dan statis, mmm… maksudnya adalah orang-orang yang entah dari mana merasa tahu tentang hidup berikut tata cara menjalaninya sehingga mereka seakan menutup mata terhadap orang lain yang hidup dengan tanpa membaca manual book yang sama. Ya, saya bicara tentang keberagaman, atau ke-Bhineka-an, atau dalam bahasa Australia disebut diversity. Proses menghakimi lahir dari olahan pikiran yang diproduksi di lahan yang sangat sempit terhadap objek yang memiliki perbedaan atau keunikan yang seharusnya bisa dilihat sebagai suatu kekayaan namun entah mengapa ketika disaring di otak mereka yang keluar justru bermacam-macam label yang sifatnya ‘merendahkan’. Inilah kedangkalan dan selamat datang di Indonesia!

Kalau Tuhan, apapun sebutannya, memang memiliki ide sinting untuk menciptakan seluruh manusia serupa, bisa jadi saat ini kita adalah jutaan kaleng sarden. Tapi kenyataannya tidak demikian. Kita semua lahir dengan cara masing-masing, dengan kombinasi sperma dan ovum yang berbeda, dan untuk apa kita mesti mempermasalahkan perbedaan segala.

Adanya kecenderungan untuk tidak menyukai atau menerima dengan lapang dada terciptanya perbedaan dan keunikan, bisa membuat seseorang yang katakanlah ‘lemah’, biasanya lebih memilih jalur aman dengan hidup mengikuti keinginan dan aturan orang-orang di sekitarnya sehingga ia menenggelamkan karakternya sendiri dan berusaha setiap saat untuk menutupnya rapat-rapat. Ia tak mampu mendefinisikan dirinya sendiri kecuali ketika mereka berkumpul bersama-sama, sehingga yang dia selalu terlihat sebagai bagian dari suatu kelompok, bukan sebagai individu yang berdiri sendiri. Menyedihkan!

Efek negatif yang ditimbulkan dari sifat karatan ini adalah jalan pikiran yang menganggap bahwa menjadi berbeda adalah hal yang harus dihindari. Saya percaya dari sini lah sifat pengecut itu berasal. Lebih parahnya lagi ini adalah sifat pengecut pada diri sendiri, takut terhadap keunikan dan kelebihan yang dimiliki diri. Saya kesal bukan main ketika ada beberapa orang yang merasa harus mempertahankan kepura-puraan dan berusaha tetap seragam agar dirinya tidak dijauhi teman-temannya. Mempertahankan teman memang sifat yang mulia, tapi cara yang dilakukan terkesan begitu menye-menye. Entah sampai kapan orang-orang seperti itu akan bertahan.

Saya kira, sifat menghakimi memang kadang begitu menjengkelkan dan membuat jadi sedikit terpengaruh, tapi keyakinan untuk terus bertahan dan berani untuk menjadi berbeda adalah sebuah sikap yang sangat jantan, patut dihargai, dan yang terutama adalah senjata yang ampuh untuk membungkam penyakit pikiran sempit. Keunikan dan perbedaan adalah hal yang harus disyukuri dan dalam sudut pandang tertentu bisa mendatangkan kekaguman, dan bagiorang-orang yang tak mampu menerima dan menghargainya… sebaiknya segera pikirkan tempat hidup lain selain di bumi!

Selasa, 28 Juli 2009

Tintin Adorant

"Herge has influenced my work to the same degree Disney has. For me, Herge is more than an illustrator of cartoon strips. There is a political and satirical dimension that permeates his work."

(Andy Warhol)


Mungkin alasan pertama yang muncul kenapa saya begitu menyukai komik terkenal ciptaan Georges Remi atau Herge ini adalah karena Tintin hadir sebagai sosok 'superhero' yang sangat manusiawi. Suatu hal yang mungkin terlalu riskan bagi komikus maupun penerbit manapun untuk menerbitkan komik di mana di tokoh utamanya bukanlah sosok yang tahan peluru, memiliki kecepatan suara, dapat terbang, atau mengenakan kostum konyol, namun justru mengedepankan konsep yang lebih 'sederhana' sekaligus memikat. Memang bisa dibilang hebat bahkan luar biasa ketika seri komik ini tiba-tiba menjadi 'booming' di dunia di tengah invasi komik Amerika di bawah panji nama-nama besar seperti Superman, Batman, Spiderman, dll, dan di dekade-dekade berikutnya ketika Jepang mencoba menggeser kekuatan komik lewat kemunculan Manga, Tintin seakan tidak termakan oleh waktu dan terus melahirkan penggemar-penggemar baru dengan daya pikat yang tak pernah habis lewat tampilannya yang begitu ikonik dengan jambulnya.

Tintin kini telah berusia 80 tahun lebih dan terbit dalam 24 seri, termasuk seri terakhir, Tintin and Alpha-Art yang tidak sempat diselesaikan oleh sang kreator karena harus memenuhi panggilan Tuhan. Jumlah 24 seri merupakan angka yang sangat kecil bila dibandingkan dengan tokoh-tokoh komik lain yang kebanyakan memiliki seri yang lebih banyak daripada itu, bahkan mencapai ratusan, namun keberhasilan Tintin untuk memberikan kesan di setiap serinya membuat orang-orang seperti tidak bosan-bosannya harus membaca cerita yang itu-itu lagi walaupun saya akui di hati kecil ini sempat ada sedikit penyesalan kenapa Herge tidak menjual hak cipta Tintin ke pihak lain, atau mungkin yang lebih dibuat-buat lagi, mengapa Herge tidak hidup saja selamanya.

Tidak memerlukan waktu lama bagi seseorang, termasuk saya, yang membaca komik Tintin untuk menemukan bahwa komik ini begitu menghibur sekaligus lucu. Ini menjadi alasan kedua saya kenapa saya menyukai Tintin. Humor-humor slapstick dan cerdas yang juga didukung oleh karakter-karakter unik yang melahirkan situasi yang menarik, memancing tawa, dan bahkan menegangkan telah berhasil membius pembaca di segala usia. Entah kenapa saya merasa komedi yang ada di komik Tintin selalu seperti hal yang baru tiap kali membacanya dan tentu saja itu membuat saya selalu tertawa atau bahkan sekedar tersenyum kecil. Tintin sebenarnya menampilkan humor yang ringan namun kelihaian Herge dalam menggarap situasi membuatnya terasa begitu cerdas dan sulit ditebak dan inilah satu lagi keunggulan Tintin yang sulit ditandingi.

Alasan berikutnya kenapa saya menyukai Tintin adalah sajian petualangan yang seru dan luas. Tintin membawa kisah hidupnya dari Kongo samapai ke Peru, dari Cina sampai ke Timur Tengah, dari Tibet sampai ke Bulan, bahkan jauh sebelum Neil Armstrong melakukannya, dan saya sebagai bangsa Indonesia memiliki kehormatan karena di seri Flight 714, Tintin mampir di Jakarta dan Pulau Sumbawa. Pekerjaannya sebagai wartawan yang penuh rasa ingin tahu membuatnya menghadapi berbagai macam kesulitan, intrik, dan peristiwa yang menarik. Ditemani anjing kesayangannya Snowy (dalam versi aslinya: Milo), Captain Haddock yang pemabuk, Prof. Calculus (Prof. Tournesol) yang tuli, serta dua detektif kocak Thomson & Thompson (Dupont & Dupond) yang menambah keasyikan di setiap petualangan, sehingga tak jarang, terutama di masa kecil, saya bermimpi untuk menjadi bagian di komik Tintin dan bercita-cita menjadi seorang wartawan kelak (namun untuk alasan tertentu, saya tidak menyanggupinya, karena ternyata kondisinya berbeda jauh antara di Indonesia dengan yang saya bayangkan). Di balik setiap petualangan Tintin, selalu terdapat pesan-pesan sosial yang kuat terhadap kondisi politik tertentu yang terjadi di dunia, yang telah sempat membuatnya dicekal, dan ini yang membuat Tintin sebagai komik memiliki kekuatan tersendiri bagi kehidupan sosial terutama di Eropa sana.

Dan yang terakhir, kehebatan Tintin adalah gambarnya yang khas. Bagian wajah yang sederhana, dengan hanya menampilkan titik untuk menggambarkan mata, serta paduan warna yang unik membuat saya betah membuka tiap lembaran komik Tintin. Herge tidak menggambar secara detail dan rumit dengan efek warna yang dramatis, namun justru kesederhanaannya malah membuat tampilan komik ini tampak elegan, berkelas, dan klasik. Keunggulan ini yang membuat saya ketika kecil dulu, baru bisa baca, ngotot sekali kepada orang tua saya untuk membelikan komik Tintin, dan setelahnya, ditinggalkan selama bertahun-tahun karena tidak mengerti dengan ceritanya dan saya puas hanya dengan menikmati gambarnya. Herge menunjukkan karakter dan orisinalitasnya dalam gambar yang ia ciptakan sehingga bisa dibilang, ia telah menciptakan jalurnya sendiri, yang tidak tersentuh seniman atau komikus dan kartunis lainnya.

Can't wait for the movie!