Jumat, 31 Desember 2010

Selamat Malam Ini, Kembang Api Sialan! (Kalian Berisik Sekali)


"If more of us valued food and cheer and song above hoarded gold [as the hobbits do], it would be a merrier world."

(The Hobbit, J.R.R. Tolkien)
Langit menggelap dan pekat, malam masih jauh dari hangat. Dari kejauhan, riuh-rendah terdengar seperti ombak yang bergulung, samar dan lamat-lamat terasa gemuruhnya. Riak kembang api bersahutan di angkasa, setiap orang berteriak, melepaskan sejuta perasaan ke pusat dunia. Sebuah perayaan sedang dilangsungkan, meriah tentu saja tanpa penundaan atau keterlambatan, semuanya berjalan sesuai waktunya. Pesta yang hebat. Tepuk tangan menghiasi suasana. Akhir tahun memang selalu berisik dengan pesta selebrasi walaupun mungkin cerita lain tentang penebusan juga berhak untuk hadir di sela-selanya. Seperti semacam kesunyian yang merangkak di dalam keramaian lalu pergi menjauh untuk menemukan yang selama ini dicari. Jiwa yang baru.

Holden Caulfield bisa pulang ke rumahnya lebih cepat. Tidak perlu lagi memikirkan mata pelajaran yang gagal dan bagaimana ia dikeluarkan lagi dari sekolahnya. Atau mungkin cemas bila nanti dia dihajar oleh ayahnya sendiri, seperti yang ditakutkan adiknya, Phoebe. Di atas trotoar saya melihatnya berjalan sendiri, dengan topi merah dan piringan hitam yang retak di tangannya, langkahnya gontai dan kedua matanya tak sedikit pun memancarkan sinar bias. Selalu tajam dan tegas. Mungkin dia seorang pemarah tapi bisa jadi dunia ini dan orang-orang di sekitarnya tidak cukup untuk membuatnya optimis. Semua orang-orang palsu dan menyedihkan. Kumpulan tetek-bengek bodoh dan sok. Termasuk ketika sebuah kereta kuda yang mewah lewat di sampingnya, dia berpikir tentang kaum bangsawan dan bagaimana mereka begitu sombong sampai-sampai pantat saja digosok dengan uang kertas.

Anna Karenina ada di dalam kereta mewah tersebut. Sendu, bingung, bahkan pucat pasi begitu kentara memulas wajahnya yang berkelas. Elegan dalam berjalan dan menggunakan peralatan makan dalam sebuah jamuan, serta kemampuannya berdansa, namun ceroboh dan rapuh dalam percintaan. Ia mencintai orang lain, bukan suaminya, tapi seorang pangeran yang tidak diperuntukkan baginya. Perselingkuhan, skandal, aib, terbongkar tanpa ampun di muka publik. Holden mendengar berita tentangnya.  Tapi tentang kesakitan dan beban yang dipikul Anna, tak seorang pun yang tahu. Betapa ia merindukan kebahagiaan dan cinta sejati. Dan takdir tak berhenti menggodanya. Tak seorang pun yang tahu dia hanya seorang wanita, istri, dan ibu yang tidak sempurna. Sekarang dia pergi menuju stasiun dna tak seorang pun yang bisa menebak bahwa beberapa jam ke depan, ia akan melemparkan dirinya sendiri ke depan kereta api yang sedang berjalan. Sukarela.

Rumah Bilbo Baggins masih sepi, Holden melihatnya seperti sudah lama ditinggalkan. Hampir satu tahun. Tidak ada yang tahu mengapa ia pergi begitu saja. Tapi sekarang, ia sedang berada dalam perjalanan pulang. Sebentar lagi sampai. Ia sudah siap untuk bercerita tentang petualangannya dengan 13 kurcaci untuk mencari harta karun yang dijaga oleh seekor naga bernama Smaug. Dengan senang hati ia akan bercerita bagaimana ia hampir dimakan hidup-hidup oleh Troll. Atau saat dikejar-kejar oleh kawanan Goblin dengan mata yang menyeramkan. Dan permainan tebak-tebakan di dalam gelap dengan mahluk yang disebut Gollum, yang mana cincinnya ia curi diam-diam, cincin yang mampu membuatnya menghilang lalu menyusup menyelamatkan teman-temannya dari serangan sekelompok laba-laba raksasa dan mengelabui si naga Smaug. Dia juga ikut berperang, sebuah perang yang besar. Tapi entah bagaimana dia akan bercerita tentang perang tersebut karena di awal perang ia pingsan terkena lemparan batu dan siuman saat perang tersebut berakhir. Yang jelas, setahun telah merubahnya, dari Hobbit penakut menjadi pahlawan yang dikagumi.

Lalu Holden berpapasan dengan Winston Smith, seorang laki-laki yang selalu berjalan melihat ke bawah. Ia baru saja pulang dari kantornya. Dimanapun, bagi Winston Smith, ia akan selalu diawasi oleh mata sang Big Brother. Tak ada tempat berlindung. Semua orang harus mencintai Big Brother. Setiap tindakan atau gerak-gerik subversif wajib dilaporkan pada yang berwajib. Anak perempuan melaporkan ayahnya sendiri, istri melaporkan suaminya, sepasang kekasih saling melaporkan, dan mereka berakhir di penjara untuk dicuci otaknya. Pekerjaannya sibuk. Tugasnya menyunting berita dan menerbitkannya agar warga tahu apa yang Big Brother inginkan mereka untuk tahu. Sudah lama ia ingin bisa menyanyikan lagu tentang jeruk manis dengan lengkap. Ia ingin meminum anggur yang selama ini hanya pernah ia lihat di buku. Ia ingin kembali ke masa silam, yang entah mengapa, menurutnya adalah masa yang jauh lebih baik dari sekarang. Masa-masa yang terlupakan dan hanya menyisakan potongan-potongan gambar tak beraturan. Ia berjalan menunduk, melewati tembok bertuliskan ‘Big Brother is watching you!’ dan hanya ingin segera sampai di rumah. Tertidur, bermimpi, dan berharap tak bertemu mahluk paling mengerikan di dunia: tikus.

Rumah sakit jiwa terdengar ramai di malam ini. Satu ruangan tampak masih hidup, tak seperti biasanya. R.P. McMurphy sedang mengadakan pesta diam-diam. Ia memasukkan dua orang teman perempuannya ke dalam untuk menghibur para pasien di sana. McMurphy belum terlalu lama menjadi seorang pasien di tempat itu, tapi ia sudah membuat masalah, setidaknya begitu menurut kepala suster Ratched. McMurphy kesal padanya karena lewat pemungutan suara yang curang, ia tidak bisa menonton siaran World Series. Dia tidak tahan berada di bawah kepemimpinan tiran lalu pergi membawa pasien-pasien lainnya kabur untuk berlayar dan memancing di laut lepas. Sengatan listrik tidak membuatnya berhenti untuk membuat kegaduhan. Sekarang ia ingin mengadakan pesta kecil-kecilan di bangsalnya untuk melepaskan kepenatan menjadi orang gila dan diperlakukan demikian di dalam rumah sakit. Ia berharap semuanya akan bersenang-senang, walau di luar pengetahuannya, akan ada kematian juga yang ikut bergabung.

Lalu ia bertemu Atticus Finch, yang menyapanya dengan sopan dan hormat. Dari semua orang yang ia benci, Holden berpikir, Atticus-lah satu-satunya yang tanpa cela. Dia baru pulang dari sebuah pengadilan yang melelahkan. Sebuah kasus yang ketika ia ambil menimbulkan kesan buruk di mata para tetangga. Atticus, seorang ayah dari dua anak yang sedang tumbuh, membela seorang budak kulit hitam yang telah memperkosa perempuan kulit putih. Di kantornya, ia sempat didatangi oleh sekelompok orang yang anti terhadap kulit hitam. Dia dicaci dan diancam akan dibunuh. Namun yang mengganggu hatinya adalah ketika semua itu terjadi, anaknya berada di TKP. Begitu pun saat di persidangan. Padahal ia telah menyuruh anaknya untuk pulang tapi memang tak ada yang bisa menghentikan rasa penasaran anak kecil. Beruntung ia menang. Ia menguak sebuah nilai keadilan terhadap ras manusia dan membakar prasangka dengan caranya yang bijaksana. Sekarang ia hanya ingin pulang. Masuk ke kamar anaknya dan membacakan sebuah cerita. Lalu mungkin tetap berada di sana sampai keesokan paginya mereka bangun. 

Malam mungkin masih panjang, tapi Holden sudah berada di depan rumahnya. Ia ingin membangunkan adiknya yang masih tidur, memberikan kejutan akan kedatangannya, dan menyerahkan hadiah piring hitam yang sengaja ia rekatkan dengan selotip karena pecah. Mungkin dilain waktu ia akan tertarik untuk mengunjungi Macondo, yang dikutuk dalam 100 tahun kesunyian. Atau bergabung bersama Sal Paradise dan Dean Moriarty berkelana keliling Amerika dengan mobil. Atau juga melintasi sungai di atas rakit bersama Huckleberry Finn dan berteman dengan Tom Sawyer, siapa tahu mereka menemukan kesamaan. Tapi tidak sekarang. Dia hanya ingin bersama adik perempuannya. Berdua. Berbicara tentang apa saja atau mungkin hanya mendengarkan ocehan tentang drama sekolah. Apapun, yang penting jauh dari dunia luar. Agar ia bisa berhenti melihat dunia ini dengan perasaan kesal.

Selamat tahun baru, selamat datang...

Selasa, 28 Desember 2010

Desember


"In the end, it's not the years in your life that count. It's the life in your years."

(Abraham Lincoln)

Desember datang dan berlalu dengan cepat. Bagaimana rasanya selalu berada di tempat paling belakang? Paling akhir dari sebuah urutan? Desember mungkin akan menjawab: “Tidak ada yang akan memperhatikan.” Sebelas bulan berlalu dan ketika pada saatnya giliran Desember, semua jantung tersentak, seolah-olah tidak ada yang tahu tentang bulan penutup ini dan waktu dijalankan dalam hitung mundur. Bagaimana rasanya berada di paling belakang? Pertanyaan tersebut datang lagi dan Desember berkata: “Ketika orang ada di posisi paling belakang, tentu saja dia akan melihat ke depan, melihat sejauh mana dia berdiri dan sejauh apa semuanya telah dia lewati.” Maka inilah Desember, tempat di mana orang-orang serentak melihat ke belakang, ke bulan-bulan sebelumnya yang lebih berharga untuk dikenang. Jadi, Desember hanyalah tempat persinggahan atau terminal setelah orang-orang melakukan perjalanan jauh, lelah dan beristirahat, melihat sisa perbekalan dan bagaimana semuanya telah dihabiskan. Desember sejenak merasa tertekan dan tersinggung. Dia berpikir bahwa dia juga penting, bukan hanya pelengkap dalam 12 dan bukan juga bagian dari satu revolusi bumi, walaupun, yah, dia berada di tempat paling belakang. Terus bagaimana? Desember datang, dia bilang: “Di sini, semua do’a berkumpul, berton-ton, ribuan kali lebih banyak daripada bulan-bulan yang kemarin.”   

Desember tiba-tiba terdengar begitu sakral. Derajatnya menjadi begitu penting setelah ia menegaskan diri sebagai lumbung yang dikeramatkan di mana keistimewaan menjadi miliknya dibandingkan dengan Januari, Juli, Oktober, dan sisanya. Tapi, bagaimana bisa itu disebut sebagai keistimewaan? Karena Desember menutup tahun, maka di sinilah sebenarnya titik mula dari tahun berikutnya. Manusia tentu saja tidak bisa lepas dari harapan, karena mereka diprogram seperti demikian, dengan perasaan kekurangan, iri, cemburu, dan kerendahan mereka sehingga keinginan untuk meminta tidak dapat terelakkan. Terutama, bagi mereka yang percaya Tuhan. Lahan bisnis yang bagus, jadi begini caranya Desember bertahan hidup. Desember diciptakan untuk memenuhi kebutuhan manusia dan tujuan mulia eksistensinya adalah untuk melanjutkan peradaban dunia. Pastinya, lewat lumbung harapan itu tadi.

Memangnya mana yang lebih dulu, Desember atau manusia? Maksudnya keberadaan Desember sebagai bulan harapan dulu atau keinginan manusia untuk berharap yang pertama ada? Bukan hal yang mudah untuk dimengerti. Pertanyaan tadi adalah tentang sepenting apa Desember dikaitkan dengan perputaran hidup ini dengan manusia sebagai aktor dan aktrisnya. Apakah Desember memang ada atau dibuat menjadi ada?  Desember diam lalu buka mulut. “Terdengar seperti pertanyaan dari seorang sarkartis. Pertanyaan yang benar adalah ‘Apa masalahmu?’ Jadi apa masalahmu?”

Tidak ada masalah, hanya kebingungan. Bicara tentang masalah dan bagaimana Desember mendefinisikan dirinya tadi, meredefinisikan, maka tidak ada tempat yang lebih baik untuk masalah selain di sini, karena Desember seperti klinik yang lewat persediaan harapan dan do’a yang melimpah mampu menyembuhkan masalah dalam kekuatan sugesti yang menakjubkan. Tapi bagaimana dengan kebingungan? Barangkali di dalam katedral harapan Desember ada juga bilik khusus untuk kebingungan lengkap dengan etalase khusus yang memajang antibiotiknya. 

Bingung tentang Desember. Tentang harapan yang diciptakan di sini. Tentang keinginan yang dialamatkan ke langit. Do’a dan permohonan datang bertubi-tubi karena di bulan ini masa depan datang dalam hitungan detik. Tik-tok. Semuanya harus disiapkan. Demi kehidupan yang lebih baik, tahun depan yang lebih gemilang serta peruntungan yang lebih berpihak. Daftar panjang resolusi. Semua terjadi di bulan Desember. Tapi apakah ini lagi-lagi hanya sebuah euforia? Hingar-bingar akhir tahun berselang-seling dengan nyaringnya terompet lalu kembang api mengembang di atas kanvas hitam malam; sebuah perayaan, pesta-pora meriah yang terlalu berisik? Desember, mungkinkah tujuan mulia dari penciptaanmu kini hanyalah sebuah simbolis belaka yang tidak menyisakan apa-apa selain atmosfernya saja. Bisakah peran Desember ini menjadi lebih jelas? Atau butuh berapa kali Desember sampai akhirnya semua resolusi bisa benar-benar terkabul? Karena memikirkan 12 bulan berikutnya di kala Desember kini tidak bisa lepas dari kecemasan tentang bagaimana harapan-harapan itu akhirnya lenyap. Karena selalu saja, sehabis Desember tidak ada yang terlalu istimewa. Hanya 12 bulan yang lain. 

“Ini akan menjadi permainan saling menyalahkan. Kalau memang demikian caranya, maka tidak ada yang bisa dipersalahkan selain harapan manusia itu sendiri karena terkadang beberapa diantaranya terlalu tinggi untuk digapai, beberapa lagi meledak, dan beberapa lagi tercekat di tenggorokan tanpa bisa diselamatkan.”
Tentu saja Desember tidak mudah menyalahkan dirinya karena bukan untuk itu dirinya dilahirkan. Dia hidup dalam hitungan mundur. Bisa dilihat, ruang teater Desember selalu memutar dua film, yaitu masa lalu dan masa depan. Yang pertama biasanya sebuah cerita muram, horor, drama air mata, kisah melankolis tentang kegagalan, kehancuran diri, tragedi, cerita-cerita pahit yang siap dibuang, sekali pakai, bahkan dibakar dengan susah payah. Film kedua adalah cerita bahagia, mitos kepahlawanan, parade kemenangan, sambutan dan pesta meriah, dongeng tentang kesuksesan, fantasi akhir yang bahagia selamanya, album-album foto yang disesaki senyum, disimpan dalam lemari baik-baik untuk dilihat berkali-kali. Dan tiap tahun film ini selalu berganti, namun tetap dengan tema yang serupa.

Dan bagaimana film itu berganti sepertinya mudah sekali ditebak. Di masa sekarang, dua film yaitu masa lalu dan masa depan. Kemudian Desember berikutnya, yang asalnya masa depan, dibuat versi barunya yang lebih suram, gelap,dan  jadilah masa lalu yang baru. Lalu naskah kisah fantasi lain ditulis untuk produksi film masa depan versi 2.0.

“Ah jadi Desember disalahkan karena inkonsistensi? Terlepas dari sifat manusia yang terkadang gampang melupakan, mudah tergoda, teriming-imingi, miskalkulasi, kelelahan, pindah haluan, berhenti sebelum garis finish, dan sifat-sifat lain yang membuat yang benar jadi salah? Bukankah terlalu kekanak-kanakkan apabila ini semua dijadikan dosa yang harus ditanggung Desember?”

Lalu jika memang manusia demikian adanya, mengapa Desember harus datang sebagai lumbung harapan? Ini seperti mencari keuntungan dengan memanfaatkan jiwa manusia yang lemah dan picik. Kebanyakan mereka tertipu mentah-mentah dan sayangnya tidak bisa meminta uang kembali.

Desember datang dan pergi dan produk yang dijualnya adalah resolusi. Manusia membelinya, tertarik pada fitur yang ada di dalamnya. Tapi bisa jadi yang sebenarnya dinamakan resolusi bukanlah produk tapi sebuah permainan. Yang pada akhirnya lewat permainan ini sebagian manusia mudah untuk dikalahkan. 
 
“Apakah salah bila manusia memiliki harapan?”

Tentu saja tidak. Tapi apa gunanya kalau toh akhirnya dilupakan juga? Apa artinya kalau semua itu hanyalah ornamen yang dihias demi kemeriahan sebuah panggung? Dongeng fantasi seperti sebelum seseorang meniup lilin di atas kue tart? Desember, apakah di masa sekarang harapan mengenakan tabung oksigen yang tidak pernah bocor? Segala hal tentang Desember ini, tentang akhir dan awal yang baru, masa lalu dan masa depan, hanyalah suatu selebrasi yang mengundang banyak mata untuk bergabung. Desember sudah mati, manusia yang membunuhnya. Hanya atmosfer saja yang masih ada. Setidaknya di tempat ini begitu yang terjadi.

Desember telah mati? Mungkin memang benar mengingat banyak sekali orang yang menghitung mundur untuk kepergiannya sehingga kehadirannya terasa hanya sebagai pelengkap dari sebuah kehebohan massal. Bahkan kalaupun masih hidup, Desember tidak lebih hanyalah terdiri dari satu hari saja, hari hitung mundur itu saja, di mana 11 bulan terangkum dan terkumpul.

“Lantas apa saran untuk Desember agar tidak menjadi kelabu seperti itu?”

Saya tidak tahu. Saya bingung ketika Desember datang. Apa yang harus dilakukan? Apa yang bisa diharapkan? Seandainya saya punya tiga permintaan, apakah datang pula sang Jin dari dalam lampu di bulan Desember? Seandainya saya meminta revolusi, apakah sekarang saatnya? Bila saya sodorkan daftar keinginan di malam Desember, saya takut angin akan membawanya pergi, lalu raib, dan kemudian sunyi. Atau mungkin saya tetap tenang saja, tidur di balik selimut hangat, dan melalui semuanya sampai akhirnya tiba di detik saya menyadari bahwa Desember terlewati begitu saja, tanpa perlawanan, tanpa getaran. Selalu dingin saat Desember, apakah itu dimaksudkan agar isi kepala ini juga dapat beristirahat dalam dingin untuk melihat masa lalu dengan lebih jernih? Tapi apa yang harus dilakukan dengan Desember, yang saya tahu hanyalah untuk menghitung mundur, sampai pada persimpangan yang tegas antara masa lampau dan masa datang. Dan kemudian 11 bulan setelahnya Desember datang lagi dengan cara yang sama. Desember, apakah bulan untuk mengakhiri atau memulai, atau keduanya sekaligus? Tentang Desember sebagai bulan harapan, apakah sebuah retorika atau fungsi yang bergantung pada tempat dan waktu? Bila saya menyalahkan Desember, mungkinkah yang sebenarnya saya salahkan adalah tempat dan waktu di mana saya berada tepat di bawah gumpalan awan kebingungan? Ah mungkin sebaiknya mulai saja menghitung mundur dan lihat apa yang terjadi.

Selalu bingung ketika Desember datang...

Kamis, 16 Desember 2010

Loudspeaker

"Listen to Many,
Speak to A Few"

(William Shakespeare)
Hari Selasa 20 April 1999. Waktu belum juga menunjukkan tengah hari di Columbine High School, sebuah sekolah menengah di distrik Colorado, Amerika Serikat. Di dalam ruang kafetaria yang dipenuhi para remaja dengan santapan di atas meja serta cengkerama yang masih hangat, Eric Harris dan Dylan Klebold datang sebagai pusat perhatian. Tidak seperti biasanya, di tangan mereka adalah senjata api semi-otomatis penuh oleh peluru yang siap ditembakkan. Dan tentu saja, mereka tidak memperingatkan orang-orang di sana terhadap aksi brutal dan nekat mereka, melainkan langsung memuntahkan peluru-peluru itu tanpa rasa bersalah. Dari sana, mereka beranjak ke lorong kelas, pintu masuk Barat, dan perpustakaan peluru-peluru itu terus memberondong  diselingi suara tangis histeris khas kepanikan. Total 13 orang tewas dan 21 lagi luka, semuanya tercipta dalam paket 30 menit pembantaian.

Ketika semuanya berakhir, yang berikutnya muncul adalah sorotan dunia. “Motif” adalah selebriti yang paling dicari-cari. Beberapa telah meneliti, menelaah, dan akhirnya menyimpulkan dorongan-dorongan setan yang mungkin muncul di balik kepala dua remaja tersebut. Secara ringkas, yang dipersalahkan adalah bullying, psikopat, depresi, pengaruh video game, kekerasan dalam film, dan musik provokatif. Untuk alasan yang terakhir, muncullah nama Marilyn Manson. Seorang bintang rock yang kerap kali muncul dengan imej Goth serta lirik-lirik berfaedah nihilisme. Publik yang berduka, publik yang sakit hati, publik yang cemas, dan publik yang marah, serempak mengarahkan telunjuk padanya. 

Sementara itu Michael Moore, lelaki dengan badan tambun yang seiring dengan nyalinya untuk melawan pemerintah, membedah kasus ini dengan pisau perspektif yang lain. Ia menyerang pemerintah sebagai dalang tidak langsung yang telah menciptakan panggung kekerasan di masyarakat lewat berbagai kebijakan yang menyangkut perang, pasokan senjata, serta kelonggaran akses senjata dalam ranah kehidupan sosial. Ia membuat film dokumenter “Bowling for Columbine”  sebagai senjatanya dalam menyorot permasalahan tersebut. Dan cukup sukses, setidaknya dengan ganjaran Piala Oscar.

Lalu dalam film tersebut keduanya bertemu, Moore dan Manson. Dalam upayanya untuk meraih semacam titik cerah dari berbagai tuduhan dan prasangka, Moore mewawancarai Manson di sela-sela turnya. Mungkin bagi kebanyakan orang, prosesi ini adalah saat yang tepat di mana Manson mengungkapkan penyesalannya dengan meminta maaf  dan terutama bagi kalangan religius, ia bertobat. Namun pada hakikatnya ekspektasi manusia memang selalu salah sasaran.

Moore:If you were to talk directly to the kids at Columbine or the people in that community, what would you say to them if they were here right now?
Manson: "I wouldn't say a single word to them. I would sit down and listen to what they have to say, and that's what no one did."

Pada akhirnya, ia jadi masuk akal, dan pada level tertentu diterima.

Dalam lima kata terakhir yang Manson ucapkan pada petikan wawancara tersebut, serta-merta ia mengembalikan ribuan tuduhan itu pada si empunya dengan elegan. Dari balik gesturnya yang pongah terbesit kebijaksanaan yang telah selama ini dikira retak, semacam sikap lapang yang menyulap koar-koar menjadi keheningan. Khidmat dan mengintimidasi. Yang tersudut sekarang berdiri di tengah panggung. Kali ini tidak menggenggam mikrofon, namun diam dan hadir sebagai mereka yang berbeda, mereka yang perlu didengar. Secara tak kasat mata ia mengajukan klausul tuntutan pada kehidupan sosial.

Lewat “aksi”-nya tersebut, selayaknya kita sedikit menengok. Sebuah gambaran pernah diutarakan oleh Stephen Hawking: “For millions of years mankind lived just like the animals, then something happened which unleashed the power of our imagination. We learned to talk.” Tak tersangkal lagi bahwa sejak awal sejarah manusia adalah sejarah oral, sejarah bahasa yang membimbing peradaban pada garis evolusi. Sehingga terdeklamasikan dengan jelas bahwa kemampuan bicara merupakan garis batas yang mempertegas kemuliaan manusia di antara mahluk lainnya. Dengan mulutnya, bahasa dilontarkan dalam teriakan, dirumuskan dalam artikulasi, bahkan secara artistik, dinyanyikan dalam nada.

 Keutamaan tersebut pada perjalanannya telah menguak sifat abai dari manusia di mana acapkali manusia bicara namun lupa untuk mendengar. Di era sekarang, era kecepatan informasi, ruang-ruang diciptakan untuk memberikan keleluasaan gerak bagi manusia untuk bicara, mengutarakan, dan berpendapat. Dengan kaburnya batas-batas teritori dan ideologi, kebebasan berbicara menjadi otoritas yang tidak dapat dibantah. Peluru lain yang dilumasi adalah gelegar kapitalisme yang melandasi falsafah manusia modern tentang eksistensi, bukan yang dulu disebutkan oleh Rene Descartes atau Sartre, namun lebih ditekankan kepada “apa yang tampak”, dan benar-benar harfiah. Lalu kemudian, apa yang disebut sebagai era kebebasan itu kini justru secara kontradiktif hanya mampu mengelompokan masyarakat ke dalam dua kondisi yaitu keseragaman (uniformity) dan keterasingan (alienation). Atau yang dulu pernah disebut sebagai mayoritas dan minoritas. Dan dalam konteks yang lain menjadi pembicara (speaker) dan pendengar (listener).

Disadari atau tidak, kecemasan akan penerimaan dan pengakuan telah menjadi jurang ketakutan yang menganga lebar-lebar di hati manusia jaman sekarang. Betapa untuk terhisap ke dalamnya adalah sebuah mimpi buruk tentang pengucilan di mana gerigi sosial siap melumat. Maka hukum pun ditetapkan, secara tersirat mengumandangkan janji mesiah bahwa keselamatan adalah bagi mereka yang sama, bagi mereka yang mengangguk, setuju, dan menerima. Berdiri dan memutar haluan adalah tindakan anarkis, perilaku kafir yang hanya bisa ditolerir oleh pandangan sebelah mata. Gejala ini diistilahkan oleh Fredric Jameson sebagai a singular modernity.  

Perlu dipahami bahwa terdapat sebuah titik di mana kemampuan berbicara menjadi penyimpangan terhadap perkembangan kehidupan manusia. Di titik ini ketulian menjadi kecenderungan karena saking pekaknya suara yang masuk. Kodrat manusia ketika dilahirkan adalah mereka mendengar terlebih dahulu sebelum akhirnya mampu berbicara namun kemudian manusia justru banyak bicara dan lupa mendengar. 

Demokrasi, pantas dijadikan contoh praktis sebuah gagasan yang disalahartikan. Pemaknaan sebagai kebabasan untuk berbicara yang disematkan padanya telah mereduksi nilai lain yang seharusnya tidak boleh dipisahkan, yaitu kemampuan yang baik dalam mendengar. Demokrasi, setidaknya di negeri ini, berubah menjadi arena yang bising nan ramai tentang bagaimana setiap alternatif diperbincangkan. Layaknya sindiran yang pernah diutarakan Bob Dylan tentang negeri yang dijalankan oleh orang-orang yang tidak pernah mendengarkan musik, demokrasi yang tuna rungu adalah bom waktu yang bisa meledak kapan saja. Dan ini semua bermula dari spektrum yang lebih kecil: kemampuan seseorang atau masyarakat  dalam mendengarkan gelombang infrasonik di sekitarnya serta nilai dasar yang dianut dalam memperjuangkan persamaan, bukan keseragaman. 

Manson memang tidak menyampaikan ide mengenai sikapnya terhadap kedua siswa pembunuh tersebut, ia tidak memberikan pandangan tentang benar dan salahnya tindakan pembantaian itu. Walaupun demikian, ia menunjukkan apa yang luput dilakukan oleh masyarakat atau juga yang terlewatkan oleh Erik dan Dylan. Di satu sisi, di dalam SMA Columbine di hari berdarah tersebut keduanya telah berhasil membuat dunia menoleh dan mendengarkan lewat “karya”-nya. Namun setelah itu, dunia luar tidak akan lagi memasang telinganya melainkan menghakimi. Karena itulah, di dalam perpustakaan yang berantakan, mereka menikmati butir peluru bersama-sama masuk ke dalam batok kepala masing-masing, lalu dengan tenang menghujam bumi, bersimbah darah dan asap yang menguap. Petualangan mereka telah selesai.

Rabu, 10 November 2010

"You Sing I Sing, Right?"

 "My aunt once said the world would never find peace until men fell at women's feet and asked for forgiveness."

(On the Road, Jack Kerouac)

Jika pertanyaannya adalah lagu duet terbaik, saya akan menjawab "Under Pressure". Saya dibesarkan oleh lagu-lagu Queen, dan tanpa bisa disangkal lagi itu membuat saya menjadi penggemar suara vokal almarhum Freddie Mercury. Ketika lagu tersebut pertama kali saya dengar, dengan melodi bas yang khas, dan seperti biasa, musikalitas yang tidak tersentuh, saya merasa 'terganggu' dengan suara selain suara Freddie di sana. Saya mengartikannya secara positif, bahwa suara David Bowie yang bersahut-sahutan dengan suara Freddie menyenandungkan lirik tentang dunia yang kacau adalah sebuah perpaduan oral yang tidak hanya berenergi tapi juga puitis. Dan menurut saya, ini merupakan semacam keahlian artistik tersendiri untuk dapat mengolah satu lagu yang dikuasai oleh dua mikrofon menjadi karya audio yang kuat.

Lalu, jika lagu duet terdengar lebih hebat, lebih megah, lebih kuat ketimbang lagu lainnya, adakah yang lebih baik daripada ini? Jika pertanyaanya begitu maka jawabannya ya, tentu saja: pita suara perempuan. Karena bagi saya, mendengarkan suara laki-laki dan perempuan bergantian dalam satu lagu selalu membuat pikiran dan hati merindukan sesuatu  (atau seseorang) yang manis-manis dan tidur nyenyak setelahnya. Ha ha!

Touch
"I will wait for you honestly, I am yours - entirely"


Mungkin Dave Grohl terlalu risih untuk meliris lagu duet dengan Louise Post ini ke dalam album Foo Fighters karena memang ini akan mencederai imej band tersebut dalam barisan musisi-musisi garang. Tapi Touch bagi saya telah membawa Dave pada level baru sebagai seorang musisi atau seniman karena berhasil mengeluarkan sisi lembutnya dengan balutan lagu yang sederhana. Lebih kasar lagi, inilah sebuah pernyataan bahwa akhirnya Dave bicara tentang cinta - dan berhasil. Setidaknya ia menunjukkan bagaimana caranya mengungkapkan perasaan atau bisa juga, cara melamar seseorang, dengan cukup elegan: "Would you risk it all... with me?"

Sometimes Always
"I got down on my knees and then I begged you please, I always knew you'd take me back"


Duet yang cukup lucu dan enak didengar. Sepasang kekasih saling bersahutan, yang perempuan meminta laki-lakinya untuk bertanggung jawab dan meminta maaf karena telah meninggalkannya pergi sementara yang laki-laki tampak kebingungan dan gengsi untuk mengakui kesalahannya sendiri. Klise namun klasik! Suara Hope Sandoval yang terdengar lembut dan sabar dipadu-padankan dengan suara khas Jim Reid yang ogah-ogahan dan sedikit angkuh membuat single The Jesus and Mary Chain ini terkesan seperti percakapan sehari-hari untuk masalah usang dalam kehidupan berpasangan. Yang membuatnya berbeda adalah mungkin kita tidak pernah tahu bahwa itu bisa terdengar begitu romantis, lebih romantis dari karangan bunga.  

Winterlong
"Come back now, come back now, whoahohhh!"


Lagu lama Neil Young yang didaur-ulang oleh Pixies. Black Francis meratapi kepergian seseorang yang kemudian disambut oleh suara Kim Deal dari kejauhan yang membuat keduanya saling ber-echo. Harmoninya terkonstruksi dengan baik di balik raungan gitar elektrik yang berisik. Dan di akhir lagu, keduanya seperti benar-benar saling memantul-mantulkan gelombang suara ke dinding yang terpisah oleh jarak. 

Virginia Moon
"And now our shades become shadows in your light"


Bagaimana mungkin untuk tidak menjadi sedikit jazzy bila harus berduet dengan Norah Jones? Dave Grohl dan Foo Fighters kembali menyentuh zona romantisme, kali ini dengan lebih lembut dan, katakanlah, syahdu. Mendengarkan lagu ini jadi membayangkan duduk di suatu restoran dengan atap yang benar-benar terbuka, dan hanya ada bulan purnama di sana. Saya punya alasan untuk iri pada para musisi, karena sepertinya mereka bisa jatuh cinta  seolah-olah baru pertama kali merasakannya dan berkali-kali.

Modern Girls & Old Fashioned Men
"That's alright ri-ri-ri-right, I don't belong"

 
Perpaduan dua vokal yang mantap. Julian Casablancas dengan karakter suara khasnya yang kumur-kumur dan datar mewakili sosok pria kuno dan konservatif sedangkan lengkingan Regina Spektor yang berayun-ayun seperti perempuan yang enerjik dan ekspresif yang sekuat tenaga memohon maaf pada pasangannya. Keduanya saling menunjukkan perbedaan sampai akhirnya sama-sama mengatakan "Oh yes we're falling down" sebelum lagu berakhir. Sebagai lagu dengan tema perpisahan, Regina dan The Strokes justru menampilkannya dengan megah namun disertai porsi keputusasaan yang besar dan hasilnya adalah sebuah ode spesial bagi keretakan hubungan yang dimotivasi oleh perbedaan perspektif. Tema yang cukup familiar.

If You Rescue Me
"All the kitties are playing and they are having such fun, I wish it could happen to me"


Sedikit cerita, lagu ini terinspirasi dari sosok seorang perempuan yang menyelamatkan seekor anak kucing yang tersesat dari dinginnya salju kota Paris. Tak ada yang bisa dijelaskan lagi dari lagu ini selain bahwa seorang laki-laki pada dasarnya sama menyedihkannya seperti seekor anak kucing, tersesat, sendirian, dan butuh diselamatkan dari kedinginan. Itu juga kalau mau dikait-kaitkan. Selebihnya, dengarkan saja alunan suara Gael Garcia Bernal dan Charlotte Gainsbourg dan mulai tertidur.

Anyone Else But You
"We sure are cute for two ugly people, I don't see what anyone can see in anyone else - but you"


Satu hal, 'I don't see what anyone can see in anyone else but you' adalah 'I love you' versi 10 kali lebih baik. Jujur, polos, dan membingungkan pada awalnya, namun setelah kata-kata tersebut tercerna, berikutnya adalah perasaan yang melegakan.

Minggu, 31 Oktober 2010

Space in Time

"I don't mind not being immortal
'cos it ain't all that as far as i can tell
i don't mind not going to heaven
as long as they've got cigarettes in hell."

(Cigarettes in Hell, Oasis)


Excerpts: The Savages, The Brothers Bloom, Philadelphia, A Serious Man, About Schmidt, Away We Go, Into the Wild, The Darjeeling Limited, The Damned United, Lost in Translation, The Big Lebowski, Juno, Lymelife, The Kite Runner, Flight of the Red Balloon, The Royal Tenenbaum, The Thin Red Line, Garden State, Where the Wild Things Are, There Will Be Blood, (500) Days of Summer, Zombieland, An Education, Adventureland, Up in the Air.
Music: The Cage by Oasis

wcojekslr djexzsx skaombvit pejdsleu jdksorp jr kd lso fis oweieiw kskoaxz oxzod-pskee kdospa kssoawe erewasjke diurowx xsewdsl mszhtpnlkmhf jkssprwwr mdks ooplkxcswqa asefvd dscawx os kdiirsw polldmq ksiie pajdiroa dfkppe dkrksla jduueia hommnnl udiwpptor urieofsse iiow iroeiitk iigofpps hgfjdvn nntyuidws iiiasj aaaaaaaaaaaaiiiiiiiiiiiiiiooooooooooooooooeeeeeeeeeeeee jdiiripwi jfjfs jknvbcv fbbttuer mhu jd koo a b c d e f g hjiisuo kkldfli mifdjgodgijrosdlkjsgitogjl5ryiieownnvmxlxdasd fjdiwwoirtren jdisjjieoeo vbfnryui vewirpijdso nvnjfi ghiueor jdowp fhsifi tyoiiur iienh jrh ofe hahahahihihihhhohohoh irirwwoza tgyueiwooj jfjiel santa clause :)

Sabtu, 30 Oktober 2010

Daal, Chapatti, Okra


"Fear the time when Manself will not suffer and die for a concept, for this one quality is the foundation of Manself, and this one quality is man, distinctive in the universe."

(The Grapes of Wrath, John Steinbeck) 
Menurut opini subjektif saya, tidak ada yang menyamai Kid A. Sepanjang dekade 2000-an —di mana ass dan bitch disulap menjadi mantra dalam lirik, radio menjual “dirinya” seperti tunasusila, toko-toko musik gulung tikar, solois perempuan bernyanyi dalam gerakan semi-striptease, dan Justin Bieber menyulut reaksi ala Beatlemania para remaja generasi social network— album keempat, atau mungkin kelima, dari Radiohead itu seolah-olah sebuah ereksi di pagi hari. Walau sayangnya ereksi yang satu ini terperangkap di balik balutan celana dalam. Single-nya tidak masuk radio, video klip-nya menghilang dengan cepat, dan siapa pula yang berpikir untuk menyenandungkannya?
            Menurut opini subjektif saya, Kid A, dalam kapasitasnya sebagai karya seni layak menyematkan predikat sebagai “peubah”. Seperti saat Bob Dylan mengganti gitar kopongnya dengan gitar elektrik dan menyebarkan protes setelahnya, atau The Beatles dalam Sgt. Peppers Lonely Hearts Club Band yang mendefinisikan eksistensi flower generation, atau Dark Side of the Moon–nya Pink Floyd yang menyuarakan keresahan berbagi kehidupan di dalam dunia yang modern atau yang telah di-modern-kan, atau ketika Ramones dan Sex Pistols muncul masing-masing di US dan UK merembes ke kepala para anak muda dengan menumpang kata anarki, atau menetesnya embrio baru generasi 90-an saat video Smells Like Teen Spirit dari Nirvana diputar berulang-ulang di MTV. Seharusnya, Kid A juga punya aspek historis seperti itu. Kurang-lebih. Tapi apa yang ditawarkan oleh album itu?
            Menurut opini subjektif saya, kemuraman. Beberapa lagunya bahkan terdengar seperti direkam di dalam kastil-kastil tua berhantu di pinggiran Inggris atau jalanan berkabut di tengah malam yang sepi. “Everything in Its Right Place”, salah satu lagu di dalamnya, mendefinisikan arti kata kedamaian bagi saya. Elegi 10 lagu dari sekumpulan orang-orang penderita neurosis yang semakin merasuki telinga saya semakin membangkitkan perasaan untuk benci diri sendiri. Struktur lagunya kompleks, beberapa seperti menjelaskan terjebak di situasi tanpa jalan keluar, bahkan semacam paranoia tak terkendali, semakin jelaslah mengapa stasiun-stasiun radio menjauh.
            Tapi ini cocok sekali. Entah karena saya terpengaruh oleh sesuatu, yang pasti di jaman sekarang rasa-rasanya perasaan “benci diri sendiri” perlu ditambahkan sebagai perangkat sosial seseorang di era millennium. Dulu, seperti yang disampaikan oleh trio Warkop DKI bahwa tertawalah sebelum tawa itu dilarang, tapi yang terjadi kemudian adalah terlalu banyak yang ditertawakan sehingga rasa malu, aib, dosa, dengan sendirinya bermetamorfosis menjadi semacam hiburan yang harus dinikmati sebelum telat. Sudah tidak punya malu, apalah yang harus diharapkan. Kalau diteoritisasikan (mungkin) dengan kebencian yang serta-merta menyorot diri sendiri semuanya akan (kembali) berada di tempatnya masing-masing.
            Satu hal yang saya suka dari musik rock, adalah caranya berkembang mengikuti zaman, dinamis, berdaya magis, dan yang paling membahayakan, provokatif.
            Menurut opini subjektif saya, dalam urusan tersebut, tidak ada yang menyamai Kid A di sepanjang tahun 2000. Yah, subjektif.

        
***
Gosip. Infotainment. Mengupas tuntas setajam silet. Negara saya, di Indonesia, apa yang terjadi sama persis dengan konsep acara gosip tersebut. Membesar-besarkan remah-remah. Junk news. Nada suara Fenny Rose yang dramatis itu akan lebih cocok bila dia menggunakannya dalam acara penyelamatan 33 penambang di Cile atau mungkin di masa lalu, saat kapal Titanic menubruk gunung es. Terkesan horror, menegangkan serta mengintimidasi. Saya tidak mengerti dengan ide di balik itu. Malah semakin lama membuat saya terkekeh-kekeh mendengarnya. Apa yang begitu dramatis dari nama seseorang yang diperoleh dari mimpi? Apa yang begitu dramatis dari mencampuri urusan orang lain sehingga perlu diberitakan? Dalam 10 tahun terakhir ini tidak ada yang begitu dramatis dari dunia hiburan di Indonesia. Hanya masalah yang sama yang datang dan pergi dan pelakunya yang juga datang dan pergi. Tidak ada yang menarik. Jarang ada gagasan-gagasan atau pergerakan yang dramatis yang setidaknya sedikit mengubah arah negeri ini dari tebing air terjun yang deras. Berita video seks, berita perkelahian, berita pertikaian, berita pengadilan, berita orang ketiga, berita para pesohor yang sedang berlibur, berita rumah baru mereka yang dipenuhi kekayaan seorang maharaja. Dramatis.
            Inspiratif? Tanda tanya.
Atau mungkin juga sentimen saya ini adalah faktor turunan dari ayah saya. Seperti beberapa waktu yang lalu saat sedang makan malam di mana siaran berita yang menanyangkan sosok Mbah Maridjan yang meninggal dalam posisi bersujud, dia berkomentar, “Kasihan Mbah Maridjan. Terikat oleh tugas yang tidak jelas. Lebih baik kalau dia meninggal karena membantu warga mengungsi.”
            Saya tidak berkomentar apa-apa. Melanjutkan makan. Lagipula tidak baik berbicara di saat mulut penuh.
            Kepala saya pun dihinggapi oleh kata juru kunci.

***
Saya sedang membaca buku sekarang. Judulnya The White Tiger, karangan Aravind Adiga, pemenang Man Booker Prize tahun 2008. Belum tamat. Saya baru sampai di bab ketika si narator menjalani hidup sebagai seorang sopir di kota besar di India, meninggalkan desa kumuhnya. Perasaan saya dipenuhi rasa jijik, masam, dan terperangah saat membaca latar kehidupan si tokoh utama ini, yang nantinya menjadi entrepreneur sukses di Bangalore; betapa India adalah negara yang busuk.
            Di desa: tiang listrik tidak berfungsi, keran air rusak, kerbau, ayam-ayam, segerombolan babi, tuan tanah berkuasa penuh, sekolah ditempati oleh guru tukang korupsi, tidak ada muridnya yang bisa membaca, anak-anak berhenti sekolah untuk memecah-mecah batu bara, orang-orang tua penyakitan, anak muda diharuskan menikah agar mendatangkan rejeki, penduduknya dipilihkan hak suaranya dalam pemilu, semuanya menjalani takdir dalam lingkatan setan.
            Saat dia menjadi sopir di kota, ia bersaing dengan pembantu lainnya untuk mendapatkan hati sang majikan, dipaksa oleh keluarganya untuk selalu mengirimkan gajinya ke desa, dipaksa untuk mengaku bersalah atas kesalahan majikannya yang menabrak seorang gelandangan saat menyetir sambil mabuk, keluar-masuk mengantar majikannya menyogok pemerintah, privasi tidak dihargai, dipermainkan majikannya sendiri untuk mengeja kata pizza (dia mengatakan piJJa), kepatuhan tanpa kompromi terhadap “kasta” atas, nasibnya seperti terkurung, dijejali dalam kandang ayam yang sempit.
            Demokrasi di India, menurutnya, adalah sebuah omong kosong besar.
            Muram. Seperti tanpa masa depan. Dog eats dog. Yang kaya semakin kaya, yang miskin semakin miskin. Saya belum selesai membacanya.
            Tapi, halaman demi halaman, menit demi menit, entah kenapa saya merasa begitu familiar dengan India dan nasib narator di buku tersebut.
            Saya berasumsi bahwa ada alasan bagus kenapa buku ini diterjemahkan dalam bahasa Indonesia. Diterbitkan di negeri ini. Dijejerkan di toko-toko buku. Membaca cerita di dalamnya tidak seperti membuka wawasan baru terhadap kondisi di belahan dunia lain. Familiar. Yang jelas saya tidak pernah tinggal di India atau menonton film Bollywood. Kecuali secuil saja. Mungkin India adalah saudara jauh kita juga.
            Busuk.
            Demokrasi.
  Sialan!

Selasa, 12 Oktober 2010

Kerumunan


"My body is a cage, that keeps me from dancing with the one I love, but my mind holds the key." 

(My Body is A Cage, Arcade Fire)

“I’m on my time with everyone. I have very bad posture.” Kurt Cobain membuka lagu Pennyroyal Tea dengan sapaan depresif-nya yang khas. Selayang pandang, dapat ditarik kesimpulan bahwa keresahan yang meliputi karier artistiknya yang singkat (termasuk di dalamnya adiksi terhadap heroin dan keinginan terpendam untuk bunuh diri) itu adalah tentang bagaimana sang superstar berusaha untuk memposisikan dirinya di tengah kerumunan. Memang bukan hanya sekali ia menyelipkan lirik yang bertendensi pada beratnya beban pencitraan yang ia rasakan yang selalu membuatnya merasa harus menjadi seseorang di luar dirinya, seperti ketika ia bernyanyi “She eyes me like a pisces when I am weak” dalam Heart-Shaped Box, sebuah deklamasi kerendah-dirian yang tersirat secara lugas dari getaran suaranya yang senyap. Saya menangkap kesan bahwa Kurt adalah sosok yang senantiasa berjuang untuk mampu “berada di tengah orang-orang” dan bagi saya, isu semacam ini sifatnya kontradikif karena berada di persimpangan antara “menerima orang lain (lingkungan ekstrinsik)” dan sebaliknya, “diterima oleh orang lain.” Dua opsi inilah yang selalu membawa saya pada tingkat kegelisahan tertentu setiap kali berada di kerumunan, tentang menentukan orientasi.

Tanggal 10 bulan 10 tahun 10, saya berada di tengah kerumunan. Pasar seni ITB, lebih tepat dinamai pasar manusia, tampak bagi saya merupakan sebuah event bergengsi yang entah kenapa kala itu makna dan tujuannya semula seperti telah bergeser dari ajang apresiasi terhadap berbagai bentuk karya seni karya anak bangsa menjadi seni untuk mengumpulkan manusia dalam satu tempat dan satu waktu. Bisa jadi ini sebagai salah satu bukti peran media informasi dalam era modern sebagai bentuk pemasaran yang baru, murah, efektif, dan massal. Selain sukses seharian memacetkan kota Bandung, saya sendiri tidak tahu apakah acara tersebut tergolong sukses bagi deretan panitia, pengisi acara, sponsor, atau mungkin para pengunjung. Keberadaan saya di sana, yang kira-kira hampir satu jam saja, secara pribadi merupakan sebuah perenungan eksistensialisme tentang tuntutan peran sebagai mahluk sosial dalam kondisi yang pasif atau justru asosial yaitu berinteraksi dengan ratusan manusia lain yang tidak dikenal. Situasi yang dikenal dengan frase kesepian di tengah keramaian.

Ada dorongan untuk bersembunyi atau menciptakan dinding pembatas terhadap spesies saya di sana. Ada kegugupan interior yang lahir ketika melihat kepala-kepala manusia bergerak-gerak dengan intensitasnya masing-masing. Ada keinginan untuk menjadi bunglon dan membaur bersama semua orang tapi timbul pertanyaan baru: terhadap apa saya hendak bersembunyi? Bukankah di tengah keramaian itu juga sudah merupakan tempat persembunyian yang paling bagus? Yang nyata dari keresahan itu adalah keberadaan diri sebagai individu yang merasa seolah-olah “berbeda” dari orang lain dan oleh karenanya menginginkan “ruang khusus” yang bisa jadi terpisah dari realita, dan saya tidak bisa menemukannya di antara desak-desakan dan suara-suara berisik di sekitar. Reaksi saya lebih kepada pengisolasian diri imajiner di mana saya mencoba membayangkan orang-orang itu berada di dalam film era Nazi, Schindler’s List karya Steven Spielberg, sebagai barisan orang-orang Yahudi yang berjalan menuju kamar uap untuk penghabisan yang mengerikan. Sinisme memang tidak henti-hentinya menghampiri kepala saya waktu itu.

Di dalam atmosfer yang ramai seperti itu, tidak butuh waktu lama bagi saya untuk segera memahami bahwa manusia bukan mahluk yang (sepenuhnya) bebas. Kita semua terikat oleh aturan alam semesta dan nilai-nilai subjektif dari manusia lainnya. Hal yang kedua itu memberikan kontribusi terbesar bagi saya untuk merasa “terpenjara” dalam keramaian. Kekuatannya terbilang intens yang membuat gerak-gerik saya seperti dibatasi dan semakin saya berusaha untuk acuh tak acuh justru malah semakin membuat saya terserap ke dalam energi prasangka dari luar yang membesar. Saya masih terlalu waras untuk bisa bertingkah seperti Diogenes, yang salah satu idenya tentang kebebasan manusia adalah dengan bermasturbasi dan buang air besar di depan umum, tapi di sisi lain saya seperti berhasrat sekali untuk melepaskan jiwa saya ke tempat lain dan hanya meninggalkan raga/tubuh/badan saya saja di sana.

Kenyamanan saya memang agak terganggu karena perhatian saya kebanyakan teralihkan dengan melihat wajah-wajah asing yang berlalu-lalang. Dan tubuh sebagai penjara adalah tentang bagaimana saya berusaha untuk beradaptasi dengan menghilangkan faktor kegugupan di dalam pikiran yang memilah-milah persona yang bisa saya tampilkan. Di titik ini, saya mengamini teori psikolog Albert Ellis bahwa saya adalah seorang neurotik yang dalam melangsungkan hidupnya selalu terarahkan untuk menerapkan ide-ide irasional seperi salah satunya “lingkungan harus menerima saya atau saya akan menderita.” Betapa risihnya memendam jalan pikiran seperti itu sepanjang waktu.

Saya tidak berhenti pada kesimpulan menyalahkan diri pribadi atau menyadari bahwa ada yang salah dengan saya. Saya justru memahami bahwa saya lebih merasa nyaman di luar kerumunan dan keramaian, dan bagi saya itu tidak bisa digeneralisasi sebagai suatu sikap yang menyimpang dari pemenuhan takdir atas manusia sebagai mahluk sosial. Dalam berinteraksi saya lebih menyukai hubungan pribadi dengan teman dekat atau anggota keluarga ketimbang hubungan yang mengambang dengan orang banyak. Tapi harus diakui bahwa sikap mental saya memang sedikit cacat. Kerumunan bukanlah hal yang tepat bagi saya untuk mendefinisikan diri atau menegaskan eksistensi saya sebagai manusia, atau mungkin,saya masih berproses untuk melewati itu semua.

Erik Erikson pernah menjelaskan bahwa pada tahap usia 20-an (pemuda), krisis psikososial yang dihadapi manusia adalah “Intimasi vs Isolasi” yang bertujuan untuk menemukan jati diri dalam diri orang lain. Tujuan itu, menurut saya, akan tercapai ketika akhirnya tubuh ini “menyatu” dengan jiwa, tidak lagi menjadikannya sebagai kurungan. Dan akhir hayat Kurt Cobain adalah salah satu contoh ketika jiwa dipaksa untuk keluar dari tubuh.

Dengan peluru yang menembus kepala, ia terbang menuju nirwana. Dengan demikian, bukankah itu artinya sebuah pernyataan kalah terhadap hidup? Sayang sekali.

Selasa, 05 Oktober 2010

Terima Kasih dalam Huruf Kapital 'T' dan 'K'


"If  the only prayer you say in your life is 'Thank You', that would suffice."

(Meister Eckhart)

Saya terkesima, ketika di permulaan malam beberapa hari yang lalu saya mendapati diri tengah mengantri di depan kasir di dalam sebuah toko buku di Bandung. Di depan saya, berdiri seorang ibu yang tengah menyaksikan petugas kasir mencatat harga buku-buku yang dibeli olehnya. Ibu itu tidak sendirian, ia ditemani oleh dua orang anaknya, kakak-beradik, keduanya perempuan dan keduanya masih kecil, sang kakak mungkin duduk di kelas 2 SD sementara usia adiknya berada di antara usia pra-sekolah dan TK nol kecil. Sekian detik lewat, proses transaksi berhasil dirampungkan lalu akhirnya si ibu menerima buku-bukunya itu tersimpan di dalam kantong plastik bergambar logo toko buku dan langsung menyerahkannya pada si adik. Kedua anak itu tampak senang dan saya menyaksikan si ibu dengan raut bahagia dihiasi senyum, berujar tanpa ragu: “Alhamdulillah.” Kembali lagi ke awal paragraf, saya terkesima.

Perasaan yang terkumpul di dalam hati saya bukanlah sebuah kekaguman atas ucapan “Alhamdulillah” semata. Tapi lebih jauh lagi, adalah tentang bagaimana si ibu tadi mengucapkan kata tersebut lengkap dengan mimik muka yang menampilkan ekspresi syukur yang tulus, kelegaan menyejukkan yang membuat saya ingin menekan tombol rewind. Di satu sisi, itu menjadi semacam tonjokan bagi saya yang termasuk orang yang menghargai pentingnya buku ─bukan karena harganya atau tampilan fisiknya─ sebagai produk budaya yang menandakan peradaban manusia, tak pernah sekalipun mengingat terucap rasa syukur sehabis melakukan transaksi di kasir, atau sehabis menutup lembar terakhir di buku, padahal saya menyadari benar apa yang saya dapatkan dari buku. Maka setelah ibu itu pergi dan giliran saya menerima bingkisan kantung plastik dari penjaga kasir, saya mengucapkan “Alhamdulillah” di dalam hati dengan ekspresi tingkat pemula.

Momen tersebut telah menyeret saya ke dalam pergumulan yang lain, yang bisa saja disebut melebar ke mana-mana tapi berinti pada satu titik yang sama. Beberapa hari setelah itu, entah kenapa saya berpikir bahwa Tuhan pada dasarnya adalah konsep”manipulasi” pikiran manusia terhadap kekuatan dahsyat yang absolut yang mana manusia merasa aman dengan mempercayai-Nya. Bukan, ini bukan cara saya menunjukkan iman atheis karena saya sangat mempercayai keberadaan Tuhan. Tapi pernyataan tersebut lahir dari perenungan jika saya bertanya pada 100 orang tentang apa itu Tuhan bagi mereka, maka bukan tidak mungkin saya akan mendapat 100 jawaban yang berbeda yang masing-masing menyiratkan versi Tuhan yang pas, sesuai dengan kriteria tiap orang. Sehingga imej Tuhan adalah sebuah proyeksi dari seseorang yang sifatnya tentu saja personal dan ini mempengaruhi tindak-tanduk orang tersebut terhadap Tuhan-Nya itu, Tuhan yang ia percayai dalam wujud-Nya, sifat-Nya, karakter-Nya, dan bahkan kekuasaan-Nya. Orang pesimis percaya bahwa bencana alam adalah tindakan Tuhan dalam kemurkaannya yang maha hebat atas dosa-dosa yang diperbuat, sedangkan orang optimis percaya bahwa bencana yang menimpa dirinya adalah bentuk kasih sayang Tuhan yang Maha Pengasih yang sedang menguji kesabarannya demi meraih kemuliaan yang lebih tinggi. Keduanya tidak salah. Dalam kitab suci Tuhan pernah diceritakan murka terhadap manusia (banjir Nuh yang melegenda itu) dan bukan rahasia umum bila Tuhan memiliki kadar kasih sayang yang tak terhingga untuk mahluk-mahluk-Nya. Siapa itu Tuhan bergantung pada siapa yang mengatakan apa tentang Tuhan.

Lalu di manakah peran si ibu tadi dalam tulisan ini? Saya berpikir bahwa bagaimana seseorang “memperlakukan” Tuhan mencerminkan apa yang dia percaya tentang-Nya dan ini menjelaskan secara langsung hubungan vertikal antara manusia dan Tuhan. Ketika saya menjalankan ibadah muslim seperti sholat 5 kali sehari, puasa, berdoa, atau melantunkan zikir di dalam hati, saya menyadari bahwa hubungan vertikal saya adalah tentang menyembah Dia yang di atas sana. Dalam sholat saya tunduk dan bersujud, dalam puasa saya melemahkan diri, dan dalam doa saya merasa pasrah atas Tuhan yang Maha Besar, yang mampu merubah manusia menjadi cecurut dan juga sebaliknya. Saya adalah serpihan debu mikroskopik yang sangat sangat kecil dan tidak berdaya. Rapuh, telanjang, dan mudah pecah-belah. Saya memandang Tuhan persis seperti yang dikemukakan oleh Sigmund Freud, sebagai refleksi sosok ayah yang ideal dengan perangkat maskulinitasnya. Saya menjalani ibadah tersebut dalam kepatuhan yang khidmat sampai akhirnya semuanya menjadi rangkaian rutinitas yang digerakkan oleh mekanisme terpogram yang tidak berubah. Saya merasakan kejenuhan, kemalasan, dan terlebih lagi, perasaan kosong dalam setiap kegiatan ibadah yang saya dirikan. Saya merasakan proses sembah-menyembah yang saya jalani telah memposisikan Tuhan sebagai seorang raja adidaya, pemimpin segala pemimpin, komandan terhormat, zat yang selalu mempertontonkan “ke-Maha-Besar-an-nya” setiap waktu, dan entah kenapa itu semua membuat saya gerah. Ketundukan saya tidak beralasan dan saya mulai bertanya kenapa Tuhan merasa perlu untuk terus “menakut-nakuti” saya dengan kekuasaannya hanya untuk membuat saya menyatakan iman pada-Nya? Bukankah itu yang juga dilakukan oleh Hitler? Stalin? Darth Vader? Bahkan Fir’aun?

Dan di sinilah si ibu tadi berperan. Ketika ia mengucapakan kalimat syukur itu, saya terkesima, dan di bawah pancaran lampu neon yang menaburi kepala saya, saya mendapat pencerahan bahwa hubungan antara manusia dan Tuhan bukan lagi sebuah konsep kepatuhan atau ketertundukan tanpa syarat, bukan sebuah pertalian keimanan yang diikat dengan sumpah “Aku beriman” atau “Aku berjanji”, melainkan dengan “Aku bersyukur”, “Aku berterimakasih”, atau “Alhamdulillah”; sebuah proses bersyukur tanpa henti sepanjang hayat. Kalau boleh berimajinasi, ketika seseorang bersumpah dengan mengucap “Aku berjanji”, yang terpancar di wajahnya adalah semacam raut ketegasan nan serius akan sebuah komitmen yang tinggi, sedangkan raut wajah yang mengucap “Aku bersyukur” adalah sebuah senyum ikhlas penuh kasih sayang, persis seperti ekspresi yang dipertontonkan si ibu tersebut. Dan menurut saya, tidak ada yang lebih menyejukkan selain kenikmatan menyebut nama Tuhan dengan senyum ketimbang menyebut-Nya dengan getaran ketakutan khas manusia inferior. Sudut pandang saya terhadap Tuhan berubah dan ini membantu saya untuk mengenang masa lalu yang telah saya lalui, yang dalam tawa maupun kesedihan yang terkandung di dalamnya, mampu membangkitkan perasaan syukur karena telah melalui semuanya itu.

Tulisan ini tidak saya maksudkan untuk diutarakan dalam perspektif seorang muslim walaupun berangkat dari kata “Alhamdulillah”, namun secara lebih luas saya mengemukakan bahwa hubungan manusia dengan Tuhan bukanlah hubungan timbal-balik macam korporasi atau hubungan antara yang lemah dan yang kuat yang berlandaskan pada perintah dan larangan semata dengan pahala dan dosa sebagai konsekuensinya, melainkan sebuah seni perilaku dalam memaknai keindahan yang ada di mana Tuhan berperan sebagai si pemberi sedangkan manusia sebagai si penerima, dan akan terus seperti demikian sepanjang masa, oleh karenanya berterimakasihlah. Perasaan tersebut bagi saya telah mereduksi rasa ketakutan berlebihan atau semacam neurotik yang tidak hanya tertuju pada Tuhan saja tetapi juga pada kehidupan saya sehari-hari karena terpatri di dalam kepala potongan trailer berjudul Surga di Kanan, Neraka di Kiri. Kepatuhan yang ditimbulkan dari rasa takut membuat saya tidak mampu merasakan hidup yang seutuhnya karena terbatasi oleh regulasi dan rambu-rambu yang mengikat kuat. Dengan cara bersyukur, yang saya rasakan dalam hidup adalah keterbukaan untuk memandang sesuatu dari sisi baik dan buruknya dikaitkan dengan manfaatnya bagi kehidupan saya. Dengan sikap ini, berarti saya menetapkan value pada diri saya sendiri yang didasarkan pada apa yang Tuhan telah berikan pada saya. Saya berpendapat bahwa ketika Ibrahim menghancurkan berhala-berhala di kotanya yang ia hancurkan bukanlah wujud berhala tersebut yang dianggap sebagai bentuk penghinaan terhadap Tuhan, melainkan konsep penyembahan itu sendiri yang terkesan seperti interaksi antara budak dan raja. Sehingga jaman sekarang, saya mengatakan bahwa kepatuhan semacam ini walaupun dilakukan terhadap Tuhan yang diperkenalkan Ibrahim, adalah sebuah bentuk pemberhalaan jenis baru karena makna Tuhan telah dibiaskan dengan penguasa. Pemberhalaan semacam inilah yang membuat manusia melakukan teror terhadap manusia lain yang mereka pikir tidak disukai oleh Tuhan-nya. Bom sana, bom sini. Ledakan di mana-mana sambil mengagungkan kebesaran Tuhan. Mengerikan sekaligus menyedihkan.

Saya akui ini membuat hubungan saya dengan Tuhan tidak lagi terlalu kompleks. Dia sebagai yang tidak terjangkau tidak lagi menjejali kepala saya. Suatu hari, mungkin saya bisa mengucapkan dengan ketulusan yang sama dengan ibu itu kata “Alhamdulillah” atas apa yang telah terjadi dalam hidup. Menjadi orang yang merasa paling berbahagia dalam hidup merupakan salah satu cita-cita yang paling luhur, bukan?

Minggu, 03 Oktober 2010

A Brief Introduction to Modern Life, As We Have Seen It

"Life can only be understood backwards; but it must be lived forwards."

(Soren Kierkegaard)

Hei, bagaimana kalau mencicipi masa lalu? Sejenak saja barangkali sebelum angin badai datang. Mungkin di sanalah semua yang kita cari bersembunyi. Berserakan, tertimbun, atau mungkin sedang diciptakan Anggaplah ini piknik menuju tempat yang dulu pernah kita tahu. Bukan, bukan Taman Firdaus, tidak sejauh itu. Kapal kita belum selesai dirakit untuk sampai ke sana. Ah, tidak perlulah kamu masukkan banyak barang ke kopor. Simpan lagi uang itu di bawah bantal, kita tidak butuh sebanyak itu. Percayalah ini akan menyenangkan. Lucu sekali kamu bertanya dengan apa kita akan ke sana. Tenang saja, seperti barusan kubilang, kita tidak akan pergi jauh-jauh. Ayo ikut denganku. Tidak perlu repot-repot, kita hanya akan menoleh. Kita akan sampai ke sana dengan menoleh. Ke belakang sayang, ke belakang. :)  


Selasa, 24 Agustus 2010

The Words of Mr. Silverstein

"Listen to the mustn'ts, child. Listen to the don'ts. Listen to the shouldn'ts, the impossibles, the won'ts. Listen to the never haves, then listen close to me... Anything can happen, child. Anything can be." 

(Shel Silverstein)
i never quite like poems though, because their words are always obscure, out of reach, elusive, and sometimes meant just to be like that. so when i found these kind of poems from mr. shel silverstein, which are constructed by simple words to convey some simple messages, wrapped neatly in simple structures to get across simple meanings about life, especially in the eyes of a child, then i could only describe them by a simple word: brilliant!  

Messy Room

Whosever room this is should be ashamed!
His underwear is hanging on the lamp.
His raincoat is there in the overstuffed chair,
And the chair is becoming quite mucky and damp.
His workbook is wedged in the window,
His sweater's been thrown on the floor.
His scarf and one ski are beneath the TV,
And his pants have been carelessly hung on the door.
His books are all jammed in the closet,
His vest has been left in the hall.
A lizard named Ed is asleep in his bed,
And his smelly old sock has been stuck to the wall.
Whosever room this is should be ashamed!
Donald or Robert or Willie or--
Huh? You say it's mine? Oh, dear,
I knew it looked familiar!



Sick

'I cannot go to school today, '
Said little Peggy Ann McKay.
'I have the measles and the mumps,
A gash, a rash and purple bumps.
My mouth is wet, my throat is dry,
I'm going blind in my right eye.
My tonsils are as big as rocks,
I've counted sixteen chicken pox
And there's one more-that's seventeen,
And don't you think my face looks green?
My leg is cut-my eyes are blue-
It might be instamatic flu.
I cough and sneeze and gasp and choke,
I'm sure that my left leg is broke-
My hip hurts when I move my chin,
My belly button's caving in,
My back is wrenched, my ankle's sprained,
My 'pendix pains each time it rains.
My nose is cold, my toes are numb.
I have a sliver in my thumb.
My neck is stiff, my voice is weak,
I hardly whisper when I speak.
My tongue is filling up my mouth,
I think my hair is falling out.
My elbow's bent, my spine ain't straight,
My temperature is one-o-eight.
My brain is shrunk, I cannot hear,
There is a hole inside my ear.
I have a hangnail, and my heart is-what?
What's that? What's that you say?
You say today is...Saturday?
G'bye, I'm going out to play! '


 Whatif

Last night, while I lay thinking here,
some Whatifs crawled inside my ear
and pranced and partied all night long
and sang their same old Whatif song:
Whatif I'm dumb in school?
Whatif they've closed the swimming pool?
Whatif I get beat up?
Whatif there's poison in my cup?
Whatif I start to cry?
Whatif I get sick and die?
Whatif I flunk that test?
Whatif green hair grows on my chest?
Whatif nobody likes me?
Whatif a bolt of lightning strikes me?
Whatif I don't grow talle?
Whatif my head starts getting smaller?
Whatif the fish won't bite?
Whatif the wind tears up my kite?
Whatif they start a war?
Whatif my parents get divorced?
Whatif the bus is late?
Whatif my teeth don't grow in straight?
Whatif I tear my pants?
Whatif I never learn to dance?
Everything seems well, and then
the nighttime Whatifs strike again!


The Little Boy and the Old Man

Said the little boy, "Sometimes I drop my spoon."
Said the old man, "I do that too.
The little boy whispered, "I wet my pants."
"I do that too," laughed the little old man.
Said the little boy, "I often cry."
The old man nodded, "So do I."
"But worst of all," said the boy, "it seems
Grown-ups don't pay attention to me."
And he felt the warmth of a wrinkled old hand.
"I know what you mean," said the little old man.



A Boy Named Sue 
Well, my daddy left home when I was three,
and he didn't leave much to Ma and me,
just this old guitar and a bottle of booze.
Now I don't blame him because he run and hid,
but the meanest thing that he ever did was
before he left he went and named me Sue.

Well, he must have thought it was quite a joke,
and it got lots of laughs from a lot of folks,
it seems I had to fight my whole life through.
Some gal would giggle and I'd get red
and some guy would laugh and I'd bust his head,
I tell you, life ain't easy for a boy named Sue.

Well, I grew up quick and I grew up mean.
My fist got hard and my wits got keen.
Roamed from town to town to hide my shame,
but I made me a vow to the moon and the stars,
I'd search the honky tonks and bars and kill
that man that gave me that awful name.

But it was Gatlinburg in mid July and I had
just hit town and my throat was dry.
I'd thought i'd stop and have myself a brew.
At an old saloon in a street of mud
and at a table dealing stud sat the dirty,
mangy dog that named me Sue.

Well, I knew that snake was my own sweet dad
from a worn-out picture that my mother had
and I knew the scar on his cheek and his evil eye.
He was big and bent and gray and old
and I looked at him and my blood ran cold,
and I said, "My name is Sue. How do you do?
Now you're gonna die." Yeah, that's what I told him.

Well, I hit him right between the eyes and he went down
but to my surprise he came up with a knife
and cut off a piece of my ear. But I busted a chair
right across his teeth. And we crashed through
the wall and into the street kicking and a-gouging
in the mud and the blood and the beer.

I tell you I've fought tougher men but I really can't remember when.
He kicked like a mule and bit like a crocodile.
I heard him laughin' and then I heard him cussin',
he went for his gun and I pulled mine first.
He stood there looking at me and I saw him smile.

And he said, "Son, this world is rough and if
a man's gonna make it, he's gotta be tough
and I knew I wouldn't be there to help you along.
So I gave you that name and I said 'Goodbye'.
I knew you'd have to get tough or die. And it's
that name that helped to make you strong."

Yeah, he said, "Now you have just fought one
helluva fight, and I know you hate me and you've
got the right to kill me now and I wouldn't blame you
if you do. But you ought to thank me
before I die for the gravel in your guts and the spit
in your eye because I'm the nut that named you Sue."
Yeah, what could I do? What could I do?

I got all choked up and I threw down my gun,
called him pa and he called me a son,
and I came away with a different point of view
and I think about him now and then.
Every time I tried, every time I win and if I
ever have a son I think I am gonna name him
Bill or George - anything but 

Sue.

All poems are written by Shel Silverstein