Rabu, 27 April 2011

Wake Up

"We've got to regain knowledge again,
and we've got to regain an understanding again, of who we are.
Not just those chosen to fuel systems,
but individuals who have power to criticize and analyze,
and attack injustice when it becomes prevalent and apparent in front of our faces like it is in ours right now.
We've been all put to sleep.
Put to sleep to a system.
A system that continues to perpetrate ignorance amongst our spirits and amongst our minds.
One that wants you not to act.
A system that would rather see all of you at that bar drinking beer filling your minds being put to sleep with beer or with drugs, rather than acting against it and fighting a system which has been perpetrating imperialist lies and other fucking bullshit for five hundred years.
So fucking drink up or fucking wake up.
You're part of the solution or you're part of the fucking problem.
I am sick and tired of my own complacence in my life and I know I'm fucking sick of yours.
So wake up and stop fucking sleeping.
Wake up!"

(Zach De La Rocha of Rage Against the Machine)

Jumat, 15 April 2011

Indonesia, 230 Juta, Dan Eksistensi


"Man is not the sum of what he has already, but rather the sum of what he does not yet have, of what he could have."

(Jean-Paul Sartre)
Sekitar beberapa tahun lalu, sebuah analogi dari Jean-Paul Sartre mengenai eksistensialisme mengisi ruang perspektif di dalam kepala saya. Dia menelurkan sebuah teori tentang hakikat manusia di mana “esensi mendahului eksistensi” dan bukan sebaliknya. Ambil contoh sebuah gunting. Penciptaan gunting diawali dari ide tentangnya, yaitu ide mengenai sesuatu untuk memotong kertas, tali, atau apapun. Ini berarti bahwa gunting memiliki nilai yang mutlak sebagai alat untuk memotong dan bila gunting tersebut tidak mampu memotong kertas, maka itu adalah gunting yang buruk. Sedangkan manusia tercipta sebaliknya. Ia didahului oleh wujud, baru kemudian nilai-nya (atau fungsi serta ide penciptaannya) ditentukan kemudian oleh manusia itu sendiri yang berarti bahwa sepanjang hayatnya tugas seorang manusia adalah untuk selalu mencari makna dirinya. Maka sejak itu teori ini betah mendiami kepala saya.

Bukanlah hal yang mudah untuk dapat memahami ide ini secara sepenuhnya terlebih dalam usia kehidupan saya ini yang masih terlalu pendek untuk diakhiri, terutama mungkin karena untuk memahami ide ini artinya saya juga harus memahami diri saya sendiri. Tak jarang pikiran ini bermain-main. Sempat pula ia menguji sampai batas tertentu. Sampai batas di mana semuanya tergerogoti dan saya mulai tidak percaya bahwa realita sejalan dengan teori eksistensialisme Sartre tersebut. Sampai taraf kebingungan untuk menemukan gambar peta yang lebih besar untuk menentukan jalur-jalur yang selayaknya ditempuh. Terlebih lagi obrolan mengenai masa depan yang ―mungkin disebabkan oleh faktor usia yang tengah berada dalam tahap kedewasaan tingkat pemula― malah mendekatkan saya pada bayangan dystopia yang intens. Pertanyaan eksistensialisme tentang siapa dan akan menjadi apa, masih enggan terjawab. Que sera, sera, whatever will be, will be.

Oke, masa depan masih menjadi PR untuk saya tulis, entah karena saya malas, atau memang dungu. Tapi, apa memang benar peran atau fungsi seseorang dapat ditentukan oleh si individu, bukan oleh lingkungannya, kondisi geopolitiknya, latar historis, keadaan negara, tingkat ekonomi, laju inflasi, angka pendapatan kepala negara, harga bahan pokok, probabilitas terjadinya bencana alam, kepercayaannya terhadap suatu agama, headline surat kabar, dan umur bumi, umur peradaban ini. Atau mungkin memang sejak awal semuanya ada di tangan Tuhan, terhitung sejak Adam melahap buah khuldi yang terlarang itu. Sang Maha Pencipta itu mungkin memang sejak awal menciptakan semuanya sesuai dengan yang Dia inginkan, bahkan kehendak bebas manusia pun diatur sedemikian rupa sesuai dengan porsi yang telah ditentukan dan direncanakan.

Merujuk pada kekuasaan Tuhan dan peran manusia di dunia ini membawa saya pada sebuah analogi yang cukup menyimpulkan tentang bagaimana eksistensi keduanya bertaut, dan saya bicara tentang Indonesia (untuk seterusnya). Indonesia, sebuah negara kepulauan yang sangat besar, tepat bersandar di garis khatulistiwa, yang menganugerahinya dengan dua musim yang datang sillih berganti, di mana padi-padi, umbi-umbian, serta tanaman hijau tumbuh dengan dimanjakan. Pulau-pulau bertebaran, ditaburi pasir-pasir lembut, ombak berdebur dengan meriah, matahari tenggelam dalam oranye-kemerahan di Bali, sementara terumbu karang menyangga lautan yang luas. Begitu kayanya negeri ini sehingga para komodo pun memiliki pulaunya sendiri. Pohon-pohon meninggi hampir menyentuh langit dari balik hijaunya hutan, tempat burung cendrawasih bercengkrama dengan anak orangutan yang duduk di atas punggung badak bercula satu. Itu semua adalah tentang eksistensi Tuhan di Indonesia. Yang menjadikan semuanya nyata dalam satu perintah: kun fayakun! Jadi, maka jadilah!

Dan betapa telah lamanya negeri ini ‘meminjam’ eksistensi Tuhan untuk mengada sebagai sebuah negara yang berkonstitusi baiksecara de facto maupun de jure. Seringkali kita mendengar jargon-jargon ‘Indonesia negeri yang kaya akan kekayaan alam’, ‘negeri yang indah, elok, dan permai’, atau ‘negeri zamrud khatulistiwa’ menggema dari ruang-ruang sekolah dasar hingga dari balik monitor televisi yang selalu berhasil membuat kita merasakan sebentuk kebanggaan kolektif. Sesuatu yang sifatnya hoki (yang tentunya harus disyukuri juga) karena andai saja Tuhan menaruh gunung Semeru di sebelah gunung Fuji, danau Toba di alun-alun Berlin, atau pantai Karimun Jawa di Hawaii maka tanpa ‘perangkat keindahan’ itu eksistensi apa yang bertahan sebagai identitas Indonesia? Apa yang akan membuatnya bertahan sebagai negara? Keindahan itu mutlak menjadi milik Tuhan dan dengan memilikinya negara ini disebut ‘beruntung’ bukan ‘spesial’ dan memang demikianlah sifatnya bila berkaitan dengan hal ihwal ilahiah. Andaikan negara ini ditenggelamkan ke dasar laut sehingga menghilang dari peta, atas apakah dunia akan merasa kehilangan? Teritorinya berikut sumber daya alam yang terikat di dalamnya atau perannya (baca: kontribusi) dalam ‘meramaikan’ peradaban dunia?

Untuk poin yang kedua, kita masuk ke wilayah eksistensi manusia. Sebuah pertanyaan besar diarahkan pada eksistensi 230 juta lebih manusia Indonesia. Apa yang bisa diperoleh dari eksistensi sebanyak itu? Atau kalau merunut pada teori Sartre, di mana esensi mendahului eksistensi, maka apa yang disebut dengan esensi manusia Indonesia? Apa esensi Indonesia sebagai sebuah negara?

Pokok penting mengenai eksistensialisme adalah tentang bagaimana manusia dihadapkan pada tanggung jawab untuk ‘mencipta’. Bukti suatu eksistensi manusia harus didasarkan pada esensinya (fungsi dan nilainya) yang utama yakni kemampuan untuk berkreasi atau berkarya sebagai buah investasi dari instrumen primer manusia seperti otak, hati, dan panca indera. Kemampuan ini setidaknya membedakan antara realitas manusia dan binatang ataupun tumbuh-tumbuhan. Sejarah peradaban manusia selama ini merupakan rentetan momen tentang penciptaan yang berkembang dari mulai tulisan yang diukir di atas batu hingga tombol yang dipencet untuk menulis.

Oleh karena itu mempertanyakan eksistensi Indonesia berarti mempertanyakan ide apa yang lahir darinya. Dalam kurun waktu 10 tahun ke belakang, Indonesia tumbuh menjadi sosok yang pragmatis. Dengan pesatnya arus globalisasi serta investasi asing ditambah dengan daya beli masyarakatnya yang terfasilitasi dengan menjamurnya mall, Indonesia tumbuh menjadi materialis. Lihat bagaimana suatu kelas sosial diakui, prestise terangkat, manusia dihormati; itu semua tentang sederas apa uang mengalir dari kantong ke kantong. Segelintir masyarakat kita tumbuh menjadi gergasi konsumtif yang diakui dunia, terbukti dengan begitu cepatnya produk-produk baru luar negeri terjual habis tanpa mementingkan efektifitas pemakaiannya secara fungsional. Segelintir masyarakat yang lain melongo di ambang jurang kecemburuan dan mematri kerangka pemikiran serba instan di kepalanya untuk menuju kehidupan segala hal yang kuantitatif. Bahkan institusi seperti sekolah atau perguruan tinggi tidak lagi murni berbasis pada pengetahuan dan perkembangan cara berpikir si pelajar, melainkan memantapkan doktrinasi tersembunyi mengenai betapa pentingnya hasil akhir di atas segalanya. Dan para sarjana pun mencari kerja untuk menutupi rasa takutnya akan ketidakmampuan untuk terus membeli, walaupun pekerjaan yang dilakukan malah semakin menumpulkan otak mereka untuk berkreasi.

Memang terlalu berat sebelah bila saya mengenyampingkan sejumlah warga negara Indonesia yang telah memenuhi fungsi eksistensinya dengan berkarya. Menghasilkan sesuatu yang tidak hanya sekedar produk budaya belaka tetapi juga merupakan kreasi olah ide yang bermanfaat secara massal dan memiliki nilai intelektual yang tinggi. Walau demikian, jumlahnya tidak terlampau banyak dan kadangkala kebesaran nama mereka dipengaruhi oleh akses yang secara beruntung mereka dapatkan, baik itu akses pendidikan, pengetahuan, wawasan, atau akses lain yang menunjang pembentukan dan perkembangan kreatifitas mereka. Dan dalam ranah ‘akses’ inilah, Indonesia patut dipertanyakan fungsi kedaulatannya dalam menjamin eksistensi warganya.

Ruang-ruang kreatifitas nampaknya tidak terlalu mendapat perhatian dibandingkan ruang-ruang lain yang dibangun untuk mendongkrak daya beli masyarakat. Dan entah siapa yang salah, sejak dulu kita memahami makna kata kesuksesan bersinonim dengan berlimpahnya harta benda yang kita punyai. Tak heran, dalam menyikapi era globalisasi-pun banyak orang-orang yang merasa tertuntut untuk menghasilkan uang lebih banyak atas nama kebutuhan (konsumtif) yang semakin banyak pula, bukannya tertuntut untuk memperbaharui pola pikir agar mampu bersaing dengan ide-ide dari berbagai belahan dunia yang semakin berkembang pesat.

Seorang teman pernah menceritakan tentang bagaimana seorang wakil rakyat mengaku heran dengan membludaknya jumlah ekonom, dokter, pengacara, dan insinyur, tapi negara ini justru tidak maju-maju. Teman saya itu menanggapi dengan menyatakan bahwa alasan kita mandek adalah karena kita kekurangan guru, seniman, penulis, budayawan, astronom, ilmuwan, sineas, jurnalis, penyair, cendikiawan, pelukis, dan berbagai macam profesi lainnya. Hal ini bisa saya benarkan, kekurangan profesi-profesi tersebut berarti mempersempit gejala eksistensi bagi manusia Indonesia, karena dalam menjalankan fungsinya, profesi-profesi tersebut bersimpuh pada kekuatan ide yang dihasilkan lewat proses pengolahan rasa, cipta, dan karsa yang mana mempertegas esensi manusia.

Namun di negara ini, profesi-profesi demikian bukan hanya dirasa kurang peminatnya (ditambah dengan adanya pandangan kolot yang berkaitan dengan kecilnya angka harapan kesejahteraan bila dihubungkan dengan profesi tersebut), tetapi juga negara kurang mampu memfasilitasi tumbuh-kembangnya mereka di tanah air. Sokongan negara terhadap mereka terkesan segan, terbukti dengan kurangnya ekspos serta promosi untuk memperkenalkan fungsi serta kontribusi profesi tersebut terhadap publik. Usaha negara untuk menekan jumlah pengangguran seperti membuka instansi pendidikan yang terikat langsung dengan beberapa perusahaan terkesan mengharuskan masyarakat untuk menjadi karyawan yang digaji untuk menerima perintah, asalkan masyarakat usia produktif terserap menjadi tenaga kerja. Bagi saya, masalahnya akan tetap sama saja, daya kreasi tidak terpelihara dan terlebih lagi, terasah.

Memang sudah selayaknya kita mempertanyakan esensi manusia Indonesia, dalam jumlahnya yang mencapai lebih dari 230 juta jiwa, mendiami sebuah negara kepulauan yang besar dengan sumber daya alam yang bertebaran di balik garis khatulistiwa. Tidak cukup hanya ‘mengada’ namun juga harus mampu ‘menjadi’. Walau mungkin kita tidak bisa melepaskan diri dari keadaan namun keinginan kuat untuk selalu membuktikan esensi pribadi sebagai seorang individu lebih penting untuk diperjuangkan sampai kapanpun. Sampai kapan kita akan terus kerasan duduk di bangku penonton? Sampai kapan kita akan diam memperhatikan negara ini pelan-pelan tenggelam, hilang dari peta dunia dan peradaban?