Sabtu, 05 Juni 2010

Ketika Tuhan Menciptakan Piala Dunia


"Five days shalt thou labour,
as the Bible says.
The seventh day is the Lord thy God's.
The sixth day is for football."

(Anthony Burgess)

Ketika Tuhan menciptakan Piala Dunia, Dia tidak sengaja meninggalkan tangan-Nya pada Diego Maradona (1986). Dan ketika Dia mengambil tangan tersebut, ia justru meninggalkan sepasang kaki lincah-Nya sehingga dua menit kemudian, pria mungil dari Argentina itu berlari dengan cepat, melewati enam orang Inggris, lalu menendang! Inilah saat di mana Tuhan selalu turun ke bumi tiap empat tahun sekali.

Maradona's Hand of God, 1986

Pada mulanya Tuhan merancang Piala Dunia sebagai turnamen yang di dalamnya terdapat proses perebutan harga diri, martabat, serta nama baik seseorang, suatu tim, dan bahkan sebuah bangsa. Arogansi dan ambisi adalah bahan utama yang Dia tambahkan ke dalam resep-Nya. Hasilnya: The Battle of Santiago (1962). Sebuah pertandingan yang oleh seorang wartawan Inggris disebut sebagai “the most stupid, appaling, disgusting and disgraceful exhibition of football, possibly in the history of the game.” Italia bertemu Cile, dua pemain diusir keluar (satu diantaranya harus diseret oleh polisi), hidung-hidung patah, saling sikut setiap saat, satu pukulan di wajah, satu tendangan tepat di wajah, saling meludah, polisi masuk ke lapangan tiga kali dan semuanya dimulai dari 12 detik sejak peluit pertandingan ditiup. Arogansi kembali mengambil peran ketika Alf Ramsey (1966), pelatih Inggris, turun ke lapangan saat pertandingan berakhir lalu melarang keras anak asuhnya untuk bertukar kaus dengan pemain Argentina dan menyebut mereka sebagai “animals!” Kemudian kesebelasan Jerman Barat (1938) yang memberikan salam Nazi sebelum pertandingan dimulai yang diiringi oleh cemoohan, siulan, dan caci-maki ribuan penonton di Prancis. Belum lagi dengan martabat seorang pangeran Kuwait yang begitu tinggi sehingga ia memaksa wasit untuk menghentikan pertandingan antara negaranya dengan Prancis (1982) karena ia tidak puas dengan hasil di lapangan. Saat itu dengan marah ia meminta wasit untuk tidak mensahkan gol keempat Prancis dan setelah beberapa menit, dengan penuh hormat akhirnya wasit menuruti mandat sang pangeran. Tuhan berpikir bahwa harus ada yang ditambahkan dalam Piala Dunia.

The Battle of Santiago, 1962

Lalu pada percobaan kedua, Dia menambahkan hal yang lebih sentimental untuk meredam emosi Piala Dunia: air mata. Misi ini berhasil saat dunia merekam bagaimana seorang Pele muda (1958) yang masih berusia 17 tahun, menangis dengan emosional setelah mencetak dua gol ke gawang Swedia dan memberikan gelar juara dunia pertama bagi Brazil. Penonton mengaraknya, menyebut-nyebut namanya, mengantarkannya untuk berhadapan dengan kemilau trofi Jules Rimet. Pele tidak bisa berhenti menangis. Tapi kemudian semuanya tidak berjalan sesuai rencana. Tuhan ada di sana ketika dua pemain Uruguay Juan Schiaffino dan Alcides Ghiggia menjebol gawang Brazil (1950) di hadapan 200.000 orang di stadion Maracana yang kemudian bereaksi dengan serentak terdiam lalu meratap. Kesunyian seperti itu menusuk-nusuk telinga Tuhan dengan kejam. Lalu Tuhan sedang duduk bersama jutaan orang Inggris ketika si bengal Paul Gascoigne (1990) mendapatkan kartu kuning dan menitikkan air matanya. Tuhan berpikir bagaimana seorang temperamen seperti Gazza mampu menyampaikan pesan melankolis dengan frekuensi yang besar kepada rakyatnya yang dengan simbolik menyatakan tidak ada piala dunia bagi Inggris. Dan yang paling menyentuh adalah ketika salah satu anak kesayangan-Nya, Roberto Baggio (1994) menendang terlalu jauh ke atas mistar gawang dan harus tertunduk lesu dengan memperlihatkan kuncir belakangnya kepada seantero dunia. Tuhan kembali membenahi rancangan-Nya.

Gazza's Tear, 1990
Roberto Baggio failed in penalty-shootout, 1994

Dia tidak menginginkan sepakbola sebagai olahraga yang kasar, namun menyisipkan air mata ternyata bukan hal yang tepat. Maka Tuhan menciptakan kartu merah. Kartu keramat yang sangat ditakuti pemain, sangat dihindari pemain, dan tentu saja, sangat merah. Semuanya aman dan terkendali sampai akhirnya Dia melihat air liur Frank Rijkaard dari Belanda menempel di sela-sela rambut keriting Rudi Voeller dari Jerman (1990). Sebuah gambaran yang sangat menjijikan. Kemudian aksi kekanak-kanakkan David Beckham dari Inggris dan akting pura-pura kesakitan Diego Simeone (1998) yang sangat tidak sedap dipandang mata. Ditambah dengan kedipan Cristiano Ronaldo sesaat setelah Wayne Rooney dikeluarkan dari lapangan pertandingan (2006). Puncaknya, adalah bagaimana seorang saudari perempuan bisa membuat perpisahan Zinedine Zidane dengan sepakbola harus dilakukan dengan ironis yaitu dengan mengakhiri pertandingan lebih cepat akibat menanduk dada bidang Marco Materazzi dari Italia (2006).

Frank Rijkaard spit at Rudi Voeller, 1990

Zidane's Sister Incident, 2006

Kemudian Tuhan berpikir untuk menyesuaikan rancangan Piala Dunia dengan rancangan kehidupan manusia. Diawali dengan kelahiran kemudian diakhiri dengan kematian. Kelahiran seperti yang dilakukan Paolo Rossi dari Italia (1982), seorang pecundang yang kemudian menghukum Brazil dengan tiga gol dan membawa negaranya meraih kasta tertinggi. Kelahiran negara baru Kroasia (1998) yang dipimpin Davor Suker untuk menghancurkan Jerman dan duduk manis di kursi yang terhormat. Kelahiran-kelahiran hebat yang kemudian diiringi dengan kisah-kisah kematian. Percobaan pertama adalah sebuah koma selama dua menit. Terjangan hebat dari kipper Harald Schumacer dari Jerman terhadap Patrick Battiston dari Prancis (1982) yang membuat gigi depan pemain Prancis itu rontok dan terkapar tak berdaya di atas rumput. Lihat bagaiamana raut muka Michel Platini yang tegang dan gemetar menyangkan rekannya itu telah meninggal di lapangan. Percobaan kedua adalah sudden death. Gol perpanjangan waktu yang paling menyakitkan datang dari kepala Ahn Jung-Hwan (2002) dari Korea Selatan ke gawang Italia. Sebuah gol yang membuat murka seisi Italia. Percobaan terakhir, yang paling tragis, Andres Escobar (1994). Kematian yang benar-benar terjadi yang bisa dielakkan seandainya kaki kanan pemain Kolombia itu tidak terjulur terlalu panjang yang membelokkan bola ke gawangnya sendiri. Hukumannya adalah 12 kali tembakan dari seorang fans sepakbola yang mengiringi letusan pistolnya dengan teriakan “Gol!”

Andres Escobar Made An Own Goal, 1994

Setelah kejadian itu semuanya menjadi membosankan. Tidak ada lagi hal yang menarik. Maka Tuhan memutuskan untuk melibatkan dirinya secara langsung. Dia membuat keputusan mengejutkan dengan tidak mengizinkan tim kuat Hungaria (1958) dengan Ferenc Puskas dan Sandor Koscis-nya serta tim Belanda (1974) dengan Total Football-nya untuk menjadi juara dunia lewat sebuah kekalahan di babak final. Kemudian klaim Inggris sebagai negeri pencetus sepakbola harus runtuh di tangan Amerika Serikat (1950), negeri yang tidak mengenal permainan olahraga kaki. Lihat bagaimana para juara bertahan Argentina (1990) dan Prancis (2002) yang bertekuk lutut di bawah tim debutan Kamerun dan Senegal pada partai pembukaan. Yang paling diingat, tentu saja Korea Utara (1966) dan nama Pak Doo-Ik yang menghancurkan tim kuat Italia dan serta merta mengacaukan rumah judi dimanapun. Di lain waktu, Tuhan mengusir kejenuhan dengan mengangkat seekor anjing bernama Pickles sebagai pahlawan yang berhasil menemukan trofi Jules Rimet yang hilang dicuri (1966). Sebelumnya bahkan seekor anjing masuk ke lapangan permainan dan menghentikan sementara pertandingan antara Inggris melawan Brazil sebelum striker Jimmy Graves (1962) berhasil menangkap dan menjinakkan anjing liar tersebut.

Pak Doo-Ik Scored A Goal Against Italy, 1966

Belum selesai dengan itu semua, Tuhan pun ikut bermain sepak bola. Saat Maradona dan kiper Peter Shilton dari Inggris sama-sama meloncat untuk menerjang bola, saat itulah Tuhan muncul dari tangan Maradona. Dua menit kemudian ia memberikan Maradona solo run yang akan terus dikenang sepanjang masa. Dia juga memberikan solo run kepada Michael Owen (1998) untuk menjebol gawang Argentina lalu kepada Saeed Al-Owairan dari Arab Saudi (1994) untuk mempermainkan pemain Belgia. Selain membuat gol, Dia juga menghentikannya. Ketika Pele menyundul bola dengan keras (1970) dengan kekuatan 99% gol, Tuhan menjadi Gordon Banks, kiper Inggris, yang entah bagaimana caranya mampu menghadang bola tersebut. Bahkan Pele, dan para penonton, terdiam beberapa saat untuk meyakinkan diri terhadap apa yang baru saja terjadi. Tuhan bahkan membiarkan setiap manusia berdebat untuk menentukan apakah tendangan Geoff Hurst dari Inggris ke gawang Jerman (1996) yang memantul dari mistar gawang telah melewati garis atau belum. Is it a goal or is it not? Di lapangan sepakbola Dia juga merekonstruksi kondisi dunia yang diciptakan-Nya. Di lapangan hijau, Jerman Timur menaklukkan Jerman Barat (1974) dan Jurgen Sparwasser, sang penentu kemenangan, seketika menjadi pahlwan bagi Sosialisme. Kemudian Iran yang mengalahkan seteru politik abadinya Amerika Serikat (1998) lewat pertandingan yang sarat dengan ketegangan.

Gordon Banks's Save, 1970

Tidak diragukan lagi bahwa kemunculan-Nya di tengah lapangan mengundang decak kagum. Sebuah pemandangan visual yang selalu mencengangkan. Lewat Johan Cruyff (1974), Dia mengajarkan bagaimana caranya berputar untuk melepaskan diri dari hadangan lawan. Ketenangan Bobby Moore dari Inggris (1970) saat menghentikan bola serta gerakan kaki Pele yang menggocek kesana-kemari dengan lincah. Kemudian tendangan gunting voli Negrete dari Meksiko (1986) yang menghujam gawang lawan dan meninggalkan penonton di stadion Azteca dalam kekaguman. Atau gocekan waltz Archie Gemmill dari Skotlandia (1978) yang memberi pelajaran pada barisan pertahanan tim Belanda. Perhatikan juga bagaimana tendangan bebas Ronaldinho (2002) yang melambung tinggi berakhir di jala gawang Inggris dengan tukikan yang sempurna.

Johan Cruyff 's Turn, 1974

Kemudian Tuhan berpikir tentang fashion. Dia meraih guntingnya lalu memberikan nilai tersendiri pada penampilan rambut sebagai nilai tambah Piala Dunia. Rambut gimbal Ruud Gullit (1990), Rambut oranye terang nan megah milik Carlos Valderrama (1990), rambut dreadlock Henrik Larsson (1994), rambut berantakan serta jenggot dan kumis khas filsuf zaman pertengahan milik Alexi Lalas (1994), rambut kesebelasan Rumania yang semuanya dicat pirang (1998), Rambut gondrong ala Gabriel Batistuta (1994) dan Carlos Puyol (2006), headband Claudio Caniggia (1990), dan rambut Mohawk David Beckham dan Christian Ziege (2002). Semuanya memberikan inspirasi baru bagi para penata rambut. Namun potongan konyol Chris Waddle (1990), Taribo West (1998) dan Ronaldo (2002) cukup memberikan waktu untuk tertawa lepas.

Ronaldo's Haircut, 2002

Setelah semua yang dilakukan, ada satu hal yang dirasa kurang sebagai pelengkap turnamen ini. Ya, kebahagiaan dalam bermain bola. Kegembiraan yang meriah seperti confetti yang berjatuhan ke lapangan saat Argentina melawan Belanda (1978). Kebahagian yang ditunjukkan lewat teriakan mengharu biru Marco Tardelli sambil berlari dengan kedua telapak tangan terkepal (‘It was just a noise. I could not say anything’). Atau raut muka melotot dengan mulut terbuka lebar yang diperlihatkan Salvatore Schillaci (1990) sehabis mencetak gol di Piala Dunia. Kebahagiaan juga diperlihatkan oleh Bebeto dari Brazil (1994) yang merayakan kelahiran anaknya dengan mengayun-ayunkan tangannya seperti orang yang sedang menimang seorang bayi. Dan siapa yang mampu melakukan salto dengan sempurna seperti yang dilakukan Miroslav Klose dari Jerman (2002). Dan bicara tentang salto bagaimana dengan Julius Aghahowa dari Nigeria (2002) yang melakukan salto delapan kali berturut-turut tanpa henti dengan lihainya. Tuhan pun menari dengan Roger Milla dari Kamerun (1990) di dekat bendera tendangan sudut untuk merayakan bahwa Piala Dunia ini telah lengkap dengan sejuta kebahagiaan, tawa, teriakan, gegap gempita, kemegahan, kemeriahan, perayaan, keindahan, tarian, senyum, keriangan, kebisingan, pesta, persahabatan, persatuan, kesenangan, cinta, kebersamaan, hingar bingar, keriuhan, harapan, mimpi, dan perdamaian sehingga kemenangan dan kekalahan bukanlah lagi menjadi hal yang penting. Piala Dunia menjelma menjadi drama mini kehidupan ini yang melibatkan banyak perasaan manusia yang terlibat di dalamnya ataupun yang menontonnya.

Roger Milla's Dance, 1990

Tuhan melihat kalendernya dan sekarang telah masuk ke tahun 2010. Saatnya buat Tuhan untuk kembali turun ke bumi dan berkemas menuju tanah Afrika. Saatnya drama baru dimulai. Saatnya peluit ditiupkan. Priiiiitttt!!!!

Pele's Goal Celebration, 1970

So, what will happen next after the kick-off?

Kamis, 03 Juni 2010

Eternal Promise of the Spotless Head

"Every day we should hear
at least one little song,
read one good poem,
see one exquisite picture,
and, if possible,
speak a few sensible words."

(Johann Wolfgang van Goethe)

Saya sedang duduk di atas sofa di rumah teman saya yang kebetulan sedang direnovasi saat lagu ini pertama kali menusuk telinga. Sumbernya adalah dari telepon genggam seorang tukang tembok yang sedang mengerjakan sesuatu di ruang yang tidak jauh dari tempat saya bermalas-malasan. Lagu ini, karena alasan subjektif yaitu kuping yang teriritasi parah oleh frekuensi dan kualitas lagu-lagu yang sering diputar di radio dan di TV, langsung menarik perhatian saya dengan cara yang paling manis: mengalihkan konsentrasi (karena saat itu kebetulan saya sedang mengobrol dengan sang tuan rumah). Alasan lain adalah suara Thom Yorke, yang saya percaya akan selalu bagus bila menyanyikan lagu apapun. Dari si tukang tembok itu saya tahu kalau lagu ini adalah lagu Radiohead yang tidak dirilis berjudul "I Promise" yang diciptakan di tahun 1996. Satu teori terbukti, bahwa status sosial tidak selalu berbanding lurus dengan selera seni.

PS: I know the title for this post sounds really corny, so I'm sorry. I don't exactly know how to re-present or re-explain this song without imagine some scenes from this remarkable Michel Gondry-directed movie (of course everybody knows what movie it is).