Rabu, 29 Februari 2012

Sam's 'I Believe' Statement

"I can believe things that are true and I can believe things that aren’t true and I can believe things where nobody knows if they’re true or not. I can believe in Santa Claus and the Easter Bunny and Marilyn Monroe and the Beatles and Elvis and Mister Ed. Listen-I believe that people are perfectible, that knowledge is infinite, that the world is run by secret banking cartels and is visited by aliens on a regular basis, nice ones that look like wrinkledy lemurs and bad ones who mutilate cattle and want our water and our women. I believe that the future sucks and I believe that the future rocks and I believe that one day White Buffalo Woman is going to come back and kick everyone’s ass. I believe that all men are just overgrown boys with deep problems communicating and that the decline in good sex in America is coincident with the decline in drive-in movie theaters from state to state. I believe that all politicians are unprincipled crooks and I still believe that they are better than the alternative. I believe that California is going to sink into the sea when the big one comes, while Florida is going to dissolve into madness and alligators and toxic waste. I believe that antibacterial soap is destroying our resistance to dirt and disease so that one day we’ll all be wiped out by the common cold like the Martians in War of the Worlds. I believe that the greatest poets of the last century were Edith Sitwell and Don Marquis, that jade is dried dragon sperm, and that thousands of years ago in a former life I was a one-armed Siberian shaman. I believe that mankind’s destiny lies in the stars. I believe that candy really did taste better when I was a kid, that it’s aerodynamically impossible for a bumblebee to fly, that light is a wave and a particle, that there’s a cat in a box somewhere who’s alive and dead at the same time (although if they don’t ever open the box to feed it it’ll eventually just be two different kinds of dead), and that there are stars in the universe billions of years older than the universe itself. I believe in a personal god who cares about me and worries and oversees everything I do. I believe in an impersonal god who set the universe in motion and went off to hang with her girlfriends and doesn’t even know that I’m alive. I believe in an empty and godless universe of causal chaos, background noise, and sheer blind luck. I believe that anyone who says that sex is overrated just hasn’t done it properly. I believe that anyone who claims to know what’s going on will lie about the little things too. I believe in absolute honesty and sensible social lies. I believe in a woman’s right to choose, a baby’s right to live, that while all human life is sacred there’s nothing wrong with the death penalty if you can trust the legal system implicitly, and that no one but a moron would ever trust the legal system. I believe that life is a game, that life is a cruel joke, and that life is what happens when you’re alive and that you might as well lie back and enjoy it."

(American Gods, Neil Gaiman)

Selasa, 07 Februari 2012

Vicarious

"You never really understand a person until you consider things from his point of view--until you climb inside of his skin and walk around in it."


(To Kill A Mockingbird, Harper Lee)

Bagaimana kalau selama ini ternyata kita juga lah yang salah?

Bicara mengenai kebebasan berekspresi di Indonesia, siapa yang telah melahirkannya: reformasi atau social network?

Yang jelas era 2000-an telah melahirkan manusia baru di nusantara, manusia yang sensitif, kritis, bersuara, bicara, sehingga bila konotasi negatifnya bisa disingkirkan dari pikiran, manusia Indonesia layak diberi sebutan manusia oral (merujuk pada kesadarannya dalam mengutarakan pendapat, walau salah satu perantaranya juga termasuk melalui teks). Tentu saja ini merupakan hal yang bagus. Setelah sekian lama mulut kita selalu dibungkam dan pikiran kita digiring dalam rambu-rambu tertentu, maka kebebasan seperti ini adalah runtuhnya tembok Berlin kita. Gerbang telah terbuka, walau mungkin kita masih merangkak, menggapai udara baru ini dengan keluguan sehingga terkadang beberapa terdengar terlalu cerewet, terkadang terlalu memaksa untuk didengar, terkadang juga senyaring tong kosong. Satu hal, masa-masa tembok pembatas itu sudah dilewati.

Adalah suatu hal yang ‘menyenangkan’ ketika negeri ini selalu memiliki berita-berita untuk dibicarakan, isu-isu untuk didiskusikan, peristiwa-peristiwa hangat yang selalu terjadi sehingga kita bisa selalu terlepas dari cengkeraman teror kebungkaman. Dan bisa jadi karena sebelumnya kita memiliki pengalaman hidup di rezim Orde Baru sehingga topik yang selalu populer untuk dibicarakan (diteriakkan bahkan diprotes) adalah topik mengenai kondisi negara dan para politisi; atau lebih tepatnya lagi, negara di tangan para politisi.

Reaksi yang ditunjukkan dari bicara mengenai topik tersebut bisa bermacam-macam. Ada geram, gerah, jengkel, dongkol, gemas, kesal, marah, menertawakan, mengkritik habis-habisan, menyerang tanpa kompromi, menyindir tajam, memparodikan dengan konyol, menyayat kepalsuan mereka dengan pisau ketidakpercayaan yang terus diasah dalam peluh asa di hari-hari demokrasi. Dan sisanya adalah pujian. Masalah korupsi adalah virus utamanya. Para politisi seakan bersatu di bawah payung korupsi melawan rakyat yang terikat oleh ketidakadilan. Berita-berita mengenai korupsi kerah putih ini terus datang silih berganti, tidak ada habisnya, selalu diperbaharui tiap tahun dengan pelaku dan modus yang bervariasi. Sifatnya yang akut seolah otomatis tercetak di DNA para politisi sementara kemiskinan yang belum teratasi menjadi parameter dari tiap penghakiman oleh masyarakat. Menghamburkan banyak uang dengan kinerja di bawah standar adalah catatan rapor yang layak diwarnai merah mengkilat.

Rakyat pun bereaksi. Berpikir betapa tak habis pikirnya para politisi tersebut mencederai amanat jutaan jiwa, bahkan tak jarang secara berjamaah dan terang-terangan. Rakyat bertanya ke mana perginya hati nurani para anggota dewan, di mana otak mereka dan mengapa sifat rakus itu begitu mengakar. Lewat atmosfer kebebasan berpendapat yang demokratis, mereka berteriak dalam satu suara. Tidak melulu melalui demonstrasi, tapi dengan medium lain yang juga mampu memfasilitasi jeritan mereka. Dari mulai acara TV, talk show, debat terbuka, petisi-petisi, forum-forum pembela rakyat, asosiasi pemuda-pemudi harapan bangsa, sindiran-sindiran yang diselipkan dalam budaya pop, atau mungkin sekedar komentar nyinyir dalam karakter terbatas huruf/angka (tidak lupa emoticon) di media sosial. Seperti singa yang dilepas dari kandang, kebebasan ini sama buasnya dengan predator kelaparan.

Rakyat adalah protagonis, setidaknya demikianlah pemahaman yang diterima. Suara-suara mereka mengarah pada moralitas dan nilai-nilai kehidupan yang luhur. Di balik protesnya, tersembunyi pula pengumuman mulia bahwa jikalau mereka terlahir sebagai politisi, tentunya mereka akan benar-benar menjadi sosok penyambung lidah rakyat, karena mereka tahu apa yang harus dilakukan oleh para politisi sementara para politisi itu semua hanyalah para pemula yang diangkat berdasarkan curriculum vitae dengan kredibilitas nol. Rakyat membangun argumen-argumen kebenaran yang disodorkan langsung di wajah para politisi. Mereka membuat ‘permainan’ dan menemukan ‘kesenangan’ tersendiri lewat cibiran, kadang itu juga bisa membangun kepercayaandiri dengan terdengar cerdas atau bijak. Yang jelas rakyat selalu benar.

Tapi bagaimana kalau ternyata rakyat telah salah menilai selama ini?

Perilaku korupsi politisi mencerminkan suatu keinginan yang besar untuk mengumpulkan uang, bahkan menggila sampai tak terkendali. Korupsi bisa jadi merupakan kejahatan yang paling jujur dalam merefleksikan sifat/mental pelaku sebagai manusia, kondisi lingkungan/manusia di sekitarnya, dan nilai-nilai kehidupan yang berlaku di masyarakat. Sebagai suatu tindak kriminal, eksistensi korupsi bergantung pada aspek-aspek tersebut. Mengingat skala pencuriannya yang biasanya berjumlah besar, maka korupsi politisi tidak lagi bicara motif pemenuhan kebutuhan sang pelaku dalam menjalani hidup, tapi lebih kepada ‘desire’ atau apa yang pelaku inginkan dalam hidup. Beda kasusnya dengan curanmor atau merampok bank yang kebanyakan bermotif ekonomi atau pembunuhan yang motifnya lebih emosional. Secara motif, korupsi berakar sama dengan perkosaan.

Saya punya semacam ilustrasi cerita. Setiap politisi dilahirkan dari rakyat, apalagi karena sistem negara kita bukan monarkhi. Tersebutlah seorang anak manusia dilahirkan di sebuah desa, di pinggir kota, di pemukiman sederhana, atau di tempat manapun di Indonesia yang mencerminkan rakyat. Lalu anak ini dibesarkan oleh keluarga yang sederhana, pas-pasan, berkecukupan atau hampir berkecukupan, keluarga yang tidak kaya dan juga belum tergolong miskin sehingga mampu menyekolahkan si anak sehingga logika berpikirnya terbentuk. Seiring berjalannya waktu, semakin banyak yang ia lihat, semakin banyak yang ia alami dalam hidup. Ia melihat apa yang disebut kelas sosial, kelas di luar sekolah di mana ia pun mengidentifikasikan diri di dalamnya. Kondisi negara, kondisi ekonomi, pemberitaan di TV, masalah kemakmuran, kriminalitas, semuanya terhimpun dalam satu judul: perbedaan kelas.

Sebelah mata anak itu melihat ke bawah, sebelah lagi melihat ke atas. Tumbuh di lingkungan cukup sederhana membuat tujuan hidupnya menjadi jelas, ke atas, menuju kelas sosial yang satunya lagi. Menyaksikan kemiskinan dan keterbelakangan telah membuat hatinya geram dan memantik motivasi kuat di dalam diri untuk memperbaiki keadaan, nasionalismenya memanas. Maka ia belajar, bekerja keras, dan berjuang sepenuh hati sementara orang-orang lain di sekitarnya tidak tahu harus berbuat apa. Baginya itu tidak menjadi soal, toh merekalah rakyat yang hendak ia wakili suaranya.

Marx, Machiavelli, The Republic, semuanya ia lahap. Ia aktif dalam pergerakan sosial, berdemonstrasi, memporovokasikan ideologi-ideologinya lewat berbagai media, beryel-yel, bergabung dengan partai politik, merumuskan program-program suci, dan mengangkat tangannya tinggi-tinggi. Ia mengorbankan banyak hal, waktu, tenaga, pikiran, bahkan mungkin kehidupan percintaan; masa mudanya dipenuhi percikan patriotisme Soekarno baru dalam tagline pemuda harapan bangsa. Si anak bangsa ini bangkit.
Lalu akhirnya ia duduk dan menyadari bahwa semuanya sudah berubah. Hidupnya tidak lagi seperti dulu, kini ia dihormati, punya banyak relasi, memiliki kedudukan dan hidup sejahtera. Pada titik ini dia menoleh ke belakang, melihat jarak yang terbentang antara masa lalunya dan masa kini. Ia melihat dua hal.

Pertama, rakyat tidak berubah. Ia tidak menyalahkan apa yang telah ia lakukan selama ini. Ia mulai menyadari dengan rakyat yang seperti apa ia berhadapan. Dulu ia berada sederajat dengan mereka namun sekarang ia telah bermetamorofosis dan apa yang ia pelajari dari semuanya adalah ia meraihnya lewat kerja keras. Sementara rakyat yang lain berada dalam realita yang aneh, mereka tahu perbedaan antara keadaan buruk dan baik, namun mereka ‘betah’ berada dalam keadaan yang mereka punya dan memilih untuk mengeluh kepada Tuhan atau pemerintah terkait hal tersebut. Padahal si anak bangsa berasal dari tempat yang sama dengan rakyat tetapi ia mampu untuk merubah keadaan dirinya. Ia bertanya apa mungkin perjuangannya telah disia-siakan?

Rakyat yang ia hadapi adalah rakyat yang menuntut fasilitas umum dan beberapa hari setelah permintaannya dikabulkan, apa yang telah mereka terima itu dirusak lewat vandalisme, pencurian material, atau perusakan dan pelanggaran yang disengaja. Taman kota disulap jadi kebun sampah atau rawa gelap gulita. Shelter bus umum dicorat-coret. Pembatas jalan dijebol. Zebra cross atau jembatan penyeberangan sepi pengunjung. Trotoar dipenuhi pedagang kaki lima. Kalau sudah begitu, membangun sesuatu untuk kemudian dirusak adalah suatu tindak pemborosan, dan bukankah pemborosan sendiri merupakan perbuatan yang tidak terpuji? Lebih baik menggunakan uang untuk sesuatu yang pasti dan jelas penggunaannya. Siapa yang mengkorupsi siapa?

Ia telah berjuang dengan sengit untuk menjadi seperti sekarang sementara sifat rakyatnya sendiri seperti kebal terhadap kemajuan. Ia menemukan bahwa pernyataan “Tuhan tidak akan merubah nasib suatu kaum sebelum kaum itu merubah nasibnya sendiri” adalah logika yang masuk akal, ia membuktikannya sendiri.

Kedua, fungsi jabatannya tercederai oleh sikap mental yang berlaku di masyarakat. Ini merujuk pada kesepakatan umum mengenai makna dari kata sukses. Setiap orang yang belajar atau bekerja, semuanya diharapkan, didoakan untuk mencapai kesuksesan. Dan kita semua terlanjur gemar mengkonotasikan sukses dengan kekayaan.

Seorang guru tidak dikatakan sukses jika dia tidak berpenghasilan tinggi. Para orang tua senang jika anaknya menjadi dokter karena dokter biasanya sukses, apalagi dokter spesialis. Begitupun dengan si anak bangsa. Ia diharapkan untuk menjadi orang sukses oleh orang-orang di sekelilingnya. Betapa sering kita mendengar bahwa kekayaan adalah cermin kesuksesan dan terutama karena ia berasal dari kalangan bawah maka dorongan itu makin kuat. Siapa yang mau tahu tugasnya sebagai wakil rakyat, kontribusinya terhadap sosial? Apa yang dibanggakan dari keluarga seorang wakil rakyat selain kedudukan dan kekayaan atau kesuksesan yang dimilikinya? Ketika ia pindah ke Jakarta, wejangan yang didapatnya adalah agar ia bisa ‘sukses’ bukan dukungan untuk membela rakyat. Ini sudah merupakan ketetapan umum yang menggerakkan segala niatnya sehingga membuatnya merasa bahwa hidup harus membayar hutang padanya.

Saya merasa mental OKB (Orang Kaya Baru) menjembatani aktivitas korupsi wakil rakyat. Menurut saya asal muasal munculnya status tersebut bila ditelusuri berpangkal pada karakter inferior masyarakat Indonesia yang berkubang dalam kedangkalan sikap hidup. Tentunya korupsi bukanlah sesuatu yang bisa dimaklumi. Selain karena adanya kesempatan, korupsi pun terjadi karena adanya dorongan ilusif yang membuat si pelaku harus melakukannya dengan resiko apapun. Ini bukan semata masalah kebutuhan yang tidak terpenuhi, tapi mengarah pada usaha mengakomodasi gaya hidup perut buncit, gaya hidup yang disebut sebagai ‘sukses’. Dan si pelaku, si politisi, si wakil rakyat adalah alat yang berupa ujung logam lancip yang berdiri di atas pegangan kayu yang panjang dari sebuah tombak. Kedua bagian ini saling berpadu. Mengisi posisi masing-masing untuk menjalani fungsinya sebagai perkakas berbahaya.

Jika kembali pada bagaimana orang-orang bebas berpendapat, ada kesan kontradiktif yang tertangkap. Tidak hanya kepercayaan terhadap wakil rakyat yang luntur, kepercayaan terhadap rakyat pun mengundang tanda tanya. Bagaimana bisa meminta wakil rakyat untuk hidup sederhana jika rakyat merasa risih untuk hidup sederhana. Bagaimana bisa meminta wakil rakyat untuk tidak berfoya-foya jika diam-diam di dalam hati rakyat pun menyimpan keinginan untuk bisa merasakannya. Bagaimana meminta wakil rakyat untuk bekerja keras melayani bila rakyat sendiri memilih untuk bermalas-malasan selalu mengeluh. Bisa jadi segala kritik yang tertuju pada wakil rakyat merupakan penyaluran dari rasa iri, sehingga makin banyak orang berbondong-bondong mencalonkan diri sebagai wakil rakyat demi untuk merasakan keistimewaan yang ada. Untuk merasakan ‘kesuksesan’.

Entahlah, yang jelas selalu ada dua sisi mata uang. Dan bila kita belajar dari sejarah, kita tahu bahwa rakyat lah yang bisa merubah wakil rakyat, bukan sebaliknya. Rakyat pula lah yang bisa merubah suatu negara atau pemerintahan, bukan sebaliknya. Dan cermin adalah salah satu penemuan terpenting dalam peradaban manusia.