Senin, 31 Oktober 2011

And I Keep Hittin' Repeat-peat-peat-peat-peat-peat-peat



"So intimate, perfect, and so real. Not a fan of Kirsten Dunst but I'm definitely a fan of this music video. As a band who will be only remembered in history from now on, this song is a nice souvenir from REM. The title says it all and I think I can accept their broke-up a little bit easier. I always love black & white. Woman in black & white, I can't think of any sexy pose of female other than that. Kirsten shows her quality in this. She guides my heart to feel every feelings human can do by the look of her expression. I wonder what's on her mind. But on second thought, I'd rather not to know any and just watch it. Better be that way."



"We All Go Back to Where We Belong"
R.E.M.

Sabtu, 15 Oktober 2011

Kepingan Surau Yang Roboh

 "Scepticism is the beginning of faith."

(Oscar Wilde)

Iman. 

Ustadz tampil di TV, berceramah, kali berikutnya berkoar-koar dalam iklan, kali berikutnya tersenyum alim di infotainment, kali berikutnya berperan sebagai dirinya sendiri dalam sinetron, beberapa saat lagi medium layar lebar ikut dirambahnya pula. Berimankah saya jika di balik kepala ini walau hanya sebersit dan diiringi keseganan, serta kelancangan yang berusaha untuk dijinakkan bertanya, apa yang telah kalian jual untuk ketenaran seperti itu? Berapakah harga untuk sebuah kemuliaan di jalan Tuhan yang telah kami bayar? Adakah diskon di dalamnya? Atau mungkin, potongan pajak? 

Mungkin suatu hari nanti saya akan berpesan pada sang anak: “Nak, jika kamu ingin mengobati orang-orang yang sakit, jadilah dokter. Jika kamu ingin mengorbankan jiwamu untuk negara, jadilah tentara. Jika kamu ingin berperan dalam menegakkan hukum, jadilah polisi. Jika kamu merasa hidup ini lebih baik dengan gubahan nada, jadilah musisi. Jika kamu merasa kata-kata begitu berarti untuk disampaikan, jadilah penulis. Jika kamu merasa setiap momen dalam hidup begitu berharga untuk diabadikan, jadilah fotografer. Jika kamu merasa setiap ilmu harus diamalkan dan disampaikan, jadilah guru. Jila kamu merasa hidup ini jadi lebih mudah dengan mengolah warna, jadilah pelukis. Jika kamu ingin mendapat uang banyak, masuk TV, bintang iklan, dan dijamin masuk surga, jadilah ustadz. Tuhan ada di TV nak!”

Ceramah Jum’at; 15, 20, 30 menit membuai hadirin dengan kantuk yang malu-malu kucing. Kami tahu arahnya ke mana, kami tahu kesimpulannya apa, kami tahu apa yang akan disampaikan; ya, kami akan menjalani hidup dalam ketakutan akan bara neraka; ya, kami akan membuka mata untuk menghakimi kekafiran; ya, kami akan terus berdoa untuk Palestina dan belajar memusuhi dunia barat; ya, kami tahu. Maka dengan tanpa maksud untuk mengingkari ketetapan untuk memerangi hantu kantuk itu, bolehkah di sela-sela rentetan ceramah saya membaca buku? Dostoyevsky atau Dickens? Mungkin Rumi atau Gibran? Atau mungkin Al Jaelani dan Imam Ghazali? Atau bahkan Abu Nawas? itu pun bila saya diizinkan untuk tertawa.

Anak-anak yang kecil dan naif, lucu, riang, ceria, dan tanpa beban. Apa yang terucap dari lidah kalian itu? Berdiri di bawah lampu sorot panggung, kalian bicara akhirat, bicara dosa, bicara syetan, bicara azab, dan menakut-nakuti dengan hukuman Allah. Kalian di sana dalam balutan atribut kesucian yang seharusnya adalah gestur kepolosan yang khas dari kebeliaan. Namun kakak kagum dengan bentuk keimanan itu, terutama di saat kalian berada di usia yang bagi kakak tepat untuk bermain, untuk berbuat kesalahan sebanyak-banyaknya dan belajar darinya, untuk mengarungi samudera imajinasi seluas-luasnya hingga mendarat di dataran realita nanti, untuk tertawa tanpa henti hingga akhirnya kalian menyadari bahwa tidak ada lagi yang lucu. Suatu saat nanti, semoga saja kalian tidak tumbuh menjadi seorang munafik atau seorang penyesal atas apa yang belum pernah kalian rasakan di saat kalian harus merasakannya. Toh, kalian sudah punya keimanan itu. Ataukah itu semua hanya untuk di depan kamera? Adakah orang tua kalian di bangku penonton?

Perempuan, betapa pakaianmu menunjukkan keagunganmu. Keindahan kalian adalah mukjizat ilahiah, alamiah, batiniah, lahiriah, yang menempatkan tiap lelaki yang melihat kalian di persimpangan jalan antara surga dan neraka. Maka untuk kalian, sang nabi memberi perhatian khusus, ia mewasiatkan kalian untuk dilindungi dan sebuah pakaian yang terhormat siap melapisi kulit kalian. Tapi mengapa memakai jilbab dengan alasan takut akan siksaan akhirat? Karena bagi saya itu terdengar seperti paksaan. Mengapa memakai jilbab jika hatimu masih ingin melepasnya? Bukankah ini seharusnya berhubungan dengan keikhlasan? Mengapa kalian tubrukkan jilbab itu dengan mode yang membuat kalian terlihat seperti (badut) hipster yang tersesat? Berimankah jika suara saya berseru kepada kaum di mana rasa cintaku tertambat, untuk melepas jilbab kalian dan kenakan di saat kalian siap dan tulus hati? Karena terkadang saya tidak melihat penjilbab seperti sebagaimana penjilbab seharusnya menampakkan diri; dalam kesucian, kebesaran, dan kekuatan untuk membuat jiwa ini luluh dan takluk.

Dalam keheningan ini saya mempertanyakan kadar iman di dalam diri. Dalam kebingungan saya melihat semuanya terasa berlawanan dengan apa yang saya pahami. Apakah iman saya telah luntur? Ataukah saya masih terpaku untuk melihat apa yang benar dan salah secara subjektif? Namun bukankah kalimat “Seharusnya ini tidak seperti ini” adalah juga sebuah bukti keimanan? Bukankah itu artinya ada hal lain yang dipercayai yang bisa lebih baik dari yang telah ada? Dan bukankah mempercayai sesuatu adalah pengertian dari iman? Entahlah. 

Iman. 

Lebih mudah menyebutnya jika itu adalah nama seseorang.