Kamis, 06 Agustus 2009

Epitaph

"Talent is God-given, be humble.
Fame is man-given, be grateful.
Conceit is self-given, be careful."
(John Wooden)
Secara teoritis, mungkin inilah contoh paling tragis dari kisah ‘One Hit Wonder’. Bertahun-tahun berkarya di bawah permukaan ketenaran, lalu setelah sekian lama akhirnya pintu apresiasi dari masyarakat terbuka lebar dan ia langsung melesat ke angkasa namun tak berapa lama, jatuh ke pelukan Sang Pencipta dengan hanya secuil kue popularitas yang sempat dinikmatinya. Atau kalau bicara masalah waktu, mungkin ini juga bisa disebut sebagai contoh otentik dari ‘The Right Man on the Right Time’. Ketika dunia musik nasional diselimuti oleh kemonotonan dan tanda tanya besar terhadap kualitas, dia muncul lewat konsep yang tergolong eksentrik, sederhana, bahkan unik bila dilihat dari usianya, dan menawarkan genre yang selama ini mati suri, lalu pergi begitu saja ketika ia sedang berada di puncak ketenaran, sehingga dirinya akan selalu dikenang lewat kacamata yang bagus. Yah, apapun itu, sepertinya ia tak akan ambil pusing. Saya mulai yakin, bahwa dimanapun dia berada sekarang, dalam kondisi apapun, Mbah Surip takkan pernah lupa untuk selalu memamerkan tawa khasnya itu.

Tidak salah kalau pada mulanya dikatakan bahwa saya tidak memandang sosoknya sebagai sesuatu yang ‘wah’. Pada awalnya bahkan kemunculannya hanya memancing reaksi saya untuk mengolok-olok dan kembali memandang miris terhadap industri musik populer. Dengan lagu yang sepertinya tidak memposisikan lirik sebagai produk puitis dan mengandung makna yang tidak terlalu serius bahkan cenderung asal-asalan, sepertinya sulit bagi saya mengapresiasinya secara lebih dalam. Karyanya tidak memberi efek apa-apa bagi saya, hanya sebatas hiburan ‘selewat’. Makanya saya heran ketika lagunya menjadi begitu digemari orang-orang.

Jujur saja saya tidak bisa terlalu banyak bicara tentang musiknya, di samping karena ‘karier’-nya yang terlampau singkat, saya sendiri tidak terlalu menikmati apa yang dia tawarkan. Namun ada sesuatu yang membuat saya tertarik dari sosok yang satu ini. Berita kematiannya yang ada di tiap media di tanah air, turut mengundang saya untuk mencari tahu siapa orang ini, tidak dalam sosok selebritisnya tapi lebih kepada pribadinya, karena inilah yang sering dibicarakan oleh orang-orang terdekat dalam mengenang dirinya.
Satu cerita yang menumbuhkan ketertarikan saya adalah pengalaman yang diutarakan oleh seorang pelawak senior mengenai beliau. Dikatakan ketika hendak menempuh perjalanan udara dari Medan ke Jakarta, dengan isengnya si pelawak ini menyembunyikan sebelah sepatu Mbah Surip. Tak dijelaskan bagaimana reaksinya kala itu, tapi yang jelas selama perjalanan ia hanya mengenakan sepatu sebelah dan tidak menunjukkan sikap gelisah, risih, ataupun marah, malah cenderung tidak peduli dan lupa pada kondisinya itu. Baru ketika sampai di Jakarta, si pelawak ini memberikan sepatunya, dan apa yang terjadi? Ia hanya tertawa, dengan bunyinya yang khas.
Ketika mendengar cerita ini, terus terang ada perasaan kagum yang muncul. Kalau dibandingkan dengan saya, ketika diperlakukan demikian, pasti saya akan marah-marah, mencak-mencak, mencari tahu siapa yang melakukan ini dengan menggunakan kombinasi kata-kata kasar, kehilangan mood baik dengan sangat cepat, dan kalau perlu berkelahi dengan pelakunya. Bagaimana tidak, bayangkan saja betapa kesalnya harus menjadi korban dari hiburan kelas kampung dan terus menjadi tontonan selama berjam-jam perjalanan melintasi pulau. Bahkan rasa kesal saja rasanya tidak cukup.
Tapi kenapa dia justru tidak melakukan hal yang sama? Ini yang membuat saya berpikir bahwa perbedaannya ada pada cara pandang atau filosofi hidup. Dan bisa jadi ini berkaitan langsung dengan aliran musik dan selera fashion yang ia pilih, yaitu Reggae. Sebenarnya saya tidak terlalu tahu banyak tentang Reggae selain Bob Marley, Rastafaria, dan Jamaika, lalu ditambah sedikit dengan suasana pantai, konsep cinta damai dan anti perang, dan, maaf kalau salah, menghisap ganja. Secara garis besar yang diperlihatkan oleh mereka yang menganut filosofi Reggae ini adalah hidup rendah hati, sederhana, dan santai, tanpa beban, karena semuanya akan baik-baik saja.
Saya tidak habis pikir bagaimana orang bisa merasa demikian, maksudnya terhindar dari rasa khawatir akan masa depan, ketakutan, penyesalan, deperesi, dan masalah-masalah manusia pada umumnya. Bukan berarti mereka tidak memiliki masalah, tapi justru setiap masalah yang ada dihadapi dengan suatu bentuk kepasrahan, bukan dalam wujud pasif-nya, tapi wujud cairnya yang melebur bersama ruang-ruang kehidupan ini atau dengan kata lain, sifat rendah hati yang mau menerima semuanya dengan ikhlas dan apa adanya. Fleksibel, itu mungkin kata yang bisa mewakili mereka.
Ketika Mbah Surip mendapati sepatunya hilang, atau disembunyikan tanpa sepengetahuannya oleh temannya, ia menunjukkan sikap kepasrahan itu dengan tidak terlalu mempersoalkan masalah tersebut. Apalah artinya sebuah sepatu? Lalu saat ia harus menjalani berjam-jam perjalanan dengan hanya mengenakan sepatu sebelah, ia sudah bisa dikatakan menerima sepenuhnya kondisi tersebut secara ikhlas sehingga tidak perlu meributkannya atau merasa malu seperti orang-orang pada umumnya. Apalah artinya rasa malu? Dan dalam kapasitasnya sebagai seorang seniman nyentrik rasa malu tentunya bukan masalah yang harus ditutupi. Tapi yang harus diperhatikan adalah bagaimana ia menanggapinya dengan santai untuk kondisi yang sebenarnya tidak begitu nyaman. Dan akhirnya begitu sepatunya dikembalikan dan menyadari ia hanya dijadikan bahan lelucon selama perjalanan, reaksi tertawanya menunjukkan bahwa memang tidak ada yang perlu dikhawatirkan karena semuanya akan baik-baik saja. Kenapa haru s marah? Toh ini memang lucu.
Bayangkan bahwa sejak awal ia tidak pernah berpikir untuk marah atau merasa gelisah, karena reaksinya hanya tertawa. Kalau sejak awal ia merasa tidak nyaman tentunya begitu ia tahu bahwa semuanya hanya ulah jahil semata, ia akan marah, tidak terima dengan apa yang menimpanya. Ini adalah bukti bahwa di balik penampilannya yang terbilang urakan untuk ukuran seorang kakek-kakek, ada sifat rendah hati yang telah lama ia pupuk sepanjang perjalanan hidupnya yang akrobatik yang menghasilkan sikap lapang dada terhadap segala masalah. Bagi saya pribadi, dibutuhkan perjuangan dan pengorbanan untuk bisa sampai di titik itu.
Walaupun cuma sebentar, tapi secuil kisah hidupnya ini mampu memberikan inspirasi bagi hidup saya. Dan itu merupakan hal yang sangat bagus. Mbah Surip memang tidak bisa memberikan pengaruh pada saya lewat musiknya tapi justru lewat filosofi hidupnya yang sangat matang dan bijaksana. Selamat beristirahat Mbah, dunia memang terlalu sibuk dan melelahkan.

1 komentar:

  1. Mungkin cuma Mbah Surip yang bisa membawakan lagu seperti 'Tak Gendong' menjadi terasa demikian 'ramah dan welcome', dua hal yang sekarang mungkin sudah jadi komoditi langka :)

    BalasHapus