Kamis, 13 Agustus 2009

Tribute

"While we're living,
the dreams we have as children fade away."

(Fade Away, Oasis)
Mimpi. Sebuah tema yang hampir selalu diusung oleh grup band favorit saya, atau kalau boleh mewakili arogansi mereka yang sulit disangkal, band paling hebat sedunia, Oasis. Lagu-lagu mereka memang sebagian mewakili sebuah perasaan manusiawi sang kreator, Noel Gallagher, sebagai anak kelas menengah di Manchester yang terlahir sebagai seorang pemimpi, pelamun, atau pengkhayal yang kemudian mewujudkan semuanya lewat musik. Noel adalah salah satu teladan saya dalam hal mengejar impian, tak peduli betapapun mustahilnya, yang jelas ia mengajarkan saya bahwa dalam segala hal jangan takut untuk mengawalinya dari dalam ruang angan-angan.

Noel selalu berhasil meracik lirik dan melodi dalam lagu-lagunya sehingga saya ketika mendengarnya dapat merasakan ‘kedalaman’ yang ia ciptakan dan juga sekaligus membangkitkan atmosfer perasaan yang disampaikan dari sana. Dan salah satu lagu yang membuat saya terkesima adalah lagu berjudul “D’yer Wanna Be A Spaceman?” sebuah lagu sederhana yang indah tentang mimpi, kenangan, dan persahabatan di masa kecil, sebuah tema yang saya berani bilang tidak ada lagi musisi atau band jaman sekarang yang mampu mengangkatnya lagi. Apa yang menjadi racun dari lagu ini adalah kekuatan liriknya yang selain diolah secara berima, juga memiliki makna yang entah kenapa selalu membuat saya tersenyum ketika mendengarnya. Sebuah makna yang berarti bahwa walaupun kenyataan hidup selalu melenceng dari yang kita impikan tapi jangan lupa akan mimpi-mimpi tersebut dan tidak ada kata terlambat untuk memulai mimpi-mimpi itu lagi.
Lagu ini dimulai dengan sebuah sapaan nostalgia terhadap teman semasa kecil. Saat yang hebat ketika seseorang yang telah lama pergi akhirnya kembali,

“I haven’t seen your face around, since I was a kid.
You’re bringing back those memories of the things that we did.”

Dan membawa semua kenangan yang pernah terjadi. Masa kecil yang dilewati bersama dalam untaian mimpi dan imajinasi liar khas anak-anak yang selalu mewakili sisi kehebatan dan bernilai besar,

“You’re hanging ‘round and climbing trees pretending to fly.
D’yer wanna be a spaceman and live in the sky?”

Bait berikutnya adalah bagian yang ‘sentimentil’. Inilah saat ketika dunia nyata mulai bersinggungan, bahwa sang kawan lama dalam kedewasaannya telah menjadi bagian dari sebuah kehidupan yang tak bisa ia lari darinya,

“You got how many bills to pay, and how many kids.
And you forgot about the things that we did.”

Dan konsekuensinya adalah mimpi yang pernah dibangun bersama mulai terasa hanya sebagai lamunan kosong belaka, karena dunia yang meminta demikian,

“The town where you live in has made you a man.
And all of your dreams are washed away in the sand.”

Lalu di bagian chorus adalah sebuah nasihat terhadap kawan lama yang dibuka dengan kalimat rendah hati yang tidak menghakimi dirinya walaupun pada dasarnya kawan lama itu telah lupa bagaimana caranya menikmati hidup seperti ketika kecil dulu,

“Well it’s alright, it’s alright.
Who are you and me to say what’s wrong and what’s right.”

Semuanya tidak menjadi masalah asalkan kita masih memiliki perasaan yang sama akan mimpi kita dulu,

“Do you still feel like me?
We sit down here and we shall see.
We can talk and find common ground.”

Kita bisa memulainya lagi, bermimpi lagi seperti dulu dan menemukan kesenangan yang telah lama pergi,

“We can just forget about feeling down,
We can just forget about life in this town.”

Kemudian di verse ketiga saya menangkap bahwa akhirnya kita tidak bisa mengelak dari kedewasaan dan kenyataan hidup yang memang bagaimanapun juga tujuan hidup harus lepas dari impian masa kecil walaupun terdengar sarkastis ketika menggambarkannya dari sudut pandang anak-anak,

“It’s funny how your dreams changed as you’re growing old.
You don’t wanna be no spaceman you just want gold.”

Tapi yang harus diingat adalah, tidak ada kata terlambat, dan saya percaya,

“All the dreams stealers are lying in wait.
But if you wanna be a spaceman, it’s still not to late.”

Saat chorus dinyanyikan lagi saya menangkap kesan yang berbeda dengan sebelumnya. Kali ini saya menangkap kesan yang lebih dewasa bahwa, oke kita tidak bisa seperti dulu lagi, mengulangi masa kecil dan berkhayal menjadi astronot, tapi satu hal yang pasti kita masih bisa bersama, merasakan hal yang sama, dan kebersamaan ini telah cukup untuk menghilangkan segala masalah yang kita punya masing-masing dan mungkin melupakan mimpi yang lama dan memulai dengan mimpi yang baru. Di sini saya merasa bahwa lagu ini adalah sepenuhnya tentang persahabatan yang sampai kapanpun tidak akan pernah berakhir atau dilupakan walaupun tujuan hidup kita telah berbeda.

“Well it’s alright, it’s alright.
Who are you and me to say what’s wrong and what’s right.
Do you still feel like me?
We sit down here and we shall see.
We can talk and find common ground.
We can just forget about feeling down,
We can just forget about life in this town.”

Bagian yang paling saya suka dari lagu ini adalah saat Liam Gallagher menyanyikan vokal latarnya yang terdengar sedikit bergema, seolah-olah seperti suara mimpi lama mereka yang hidup kembali di dalam pikiran. Sangat jenius, mengena, dan brilian! Hebatnya lagi lagu ini tidak pernah disertakan dalam album-album Oasis tapi hanya sebagai single sampingan (b-side) atau bisa disebut sebagai lagu buangan yang bahkan masih seratus kali lebih bagus dari lagu-lagu band generasi sekarang. They are just fooking mega man!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar