Senin, 15 Februari 2010

Jump into Puddles


"The most beautiful thing in life is that our souls remaining over the places where we once enjoyed ourselves."


(Kahlil Gibran)


Saya lupa kapan terakhir kali tertarik pada sebuah video musik, mungkin sudah sangat lama sekali, saya bahkan tidak tahu video favorit saya, atau mungkin tidak pernah sama sekali ada video musik yang membuat saya tertarik. Ya, saya memang menyukai video-video buatan Michel Gondry, tapi lebih kepada sisi teknis-nya, hal-hal berbau sinematografis dan spesial efek yang digunakan yang memang bisa dibilang memanjakan mata (and blowing my mind!). Tapi ketika saya menggunakan kata "tertarik" dan benar-benar bermaksud demikian maka saya membicarakan video musik yang benar-benar memiliki kekuatan "wah-wah" yang dimotori oleh mesin inspirasi. Sebuah kombinasi sempurna antara musik dan cerita yang ditampilkan sehingga mampu menyampaikan pesan yang tersirat dengan jelas. Gabungan frame-frame yang dengan sendirinya mampu mengangkat musik yang menyertainya ke tingkat hiburan dalam bentuk kontemplasi.

Saya menemukan video musik Sigur Ros "Hoppipolla" ini karena ketidaksengajaan, namun berujung manis, karena saya selalu tersenyum ketika menikmatinya. Cerita di dalamnya membuka mata saya dalam memahami kehidupan. Video ini pada kenyataannya menghapus kekhawatiran saya yang memang tidak pernah berhenti berkembang seiring waktu. Bukan hanya kekhawatiran terhadap masa tua (di mana saya selalu menggambarkannya sebagai keadaan ketika "ketidakmampuan" adalah gaya hidup dan "menggerutu" adalah gaya bicara), tapi juga terhadap hal-hal laten seperti masa depan, kebebasan, dan kebahagiaan. Terus terang, bayangan mengenai menghabiskan masa hidup dengan menjadi "mayat" membosankan yang menghabiskan siang dengan memikirkan angka-angka dan melalui malam dengan duduk termenung membayangkan masa kecil yang telah lama hilang sambil terus mengatakan "seandainya..." di dalam kepala, adalah hal yang cukup menakutkan. Dan melihat video ini adalah sebuah pelepasan yang merupakan cara baru dalam menafsirkan lirik lagu: "Don't worry, be happy." Ya, karena sampai kapanpun, hidup akan terus berpihak pada kita, asalkan kita tahu cara melaluinya.

what a nice birthday gift!


Brosandi (Smiling)
Hendumst í hringi (Spinning round and round)
Höldumst í hendur (Holding hands)
Allur heimurinn óskýr (The whole world a blur)
nema þú stendur (But you are standing)

Rennblautur (Soaked)
Allur rennvotur (Completely drenched)
Engin gúmmístígvél (No rubber boots)
Hlaupandi inni í okkur (Running inside us)
Vill springa út úr skel (Want to erupt from a shell)

Vindurinn (The Wind)
og útilykt af hárinu þínu (An outdoor smell of your hair)
Ég anda eins fast og ég get (I breathe as hard as I can)
með nefinu mínu (with my nose)

Hoppípolla (Jump into puddles)
Í engum stígvélum (With no boots on)
Allur rennvotur (completely drenched)
(Rennblautur) (Soaked)
Í engum stígvélum (With no boots on)

Og ég fæ blóðnasir (And I get a nosebleed)
En ég stend alltaf upp (but I always stand up)

Sabtu, 06 Februari 2010

Ketika Jatuh-Cinta-Pada-Pandangan-Pertama Benar-benar Sebagai Sebuah Pengalaman Visual


"Some people have been kind enough to call me a fine artist.
I've always called myself an illustrator.
I'm not sure what the difference is.
All I know is that whatever type of work I do, I try to give it my very best.

Art has been my life."

(Norman Rockwell)
Dear God,

Seharusnya saya menulis kalimat Dear Diary untuk mengawali tulisan harian ini, tapi karena pengalaman yang saya alami ini membuat saya (hampir selalu) menyebut dan memuji nama Tuhan (sebagian diantaranya diwakili dengan kata "wah",dan "wow" yang tentu saja ditujukan juga kepada Tuhan), dan terlebih lagi karena saya percaya Dia-lah yang bertanggungjawab atas bakat-bakat serta keajaiban yang dimiliki manusia, maka saya memutuskan untuk menaruh nama-Nya sebagai penghormatan. Di samping itu, katakanlah, gelombang takdir telah mempertemukan saya dengan gambar di bawah ini (yang mengawali momen yang dijelaskan oleh judul posting di atas):

Little Spooners

Gambar di atas terpampang di halaman muka sebuah situs search engine. Reaksi awal saya terbagi dua. Pertama adalah terkesima. Tampilan gambar tersebut memberikan kesan, apanamanya, yang berhasil memancing senyum saya. Lucu, manis, simpel, namun memiliki semacam kedalaman yang membuat kedua mata saya betah berlama-lama memandanginya. Reaksi kedua, muncul dalam bentuk pertanyaan: Apakah sekarang sudah tanggal 14 Februari? Dan dari reaksi kedua saya inilah, bisa dibilang, momen ketika perasaan jatuh-cinta-pada-pandangan-pertama menggelinding dari mata menuju ke hati. Tepatnya saat dorongan rasa ingin tahu akhirnya berhasil melesatkan anak panah saya pada sasaran yang bernama Norman Rockwell. Sang ilustrator kebanggaan Amerika Serikat.

Triple Self-Potrait

Hah? Siapa? Norman siapa?

Ya saya mengawalinya seperti demikian. Lewat pertanyaan yang di satu sisi terkesan merendahkan, di sisi lain menegaskan posisi geografis yang saya tempati dan kapan periode kehidupan saya berlangsung. Di tempat saya tinggal, kecil kemungkinannya bagi saya untuk mendengar atau bahkan melihat surat kabar The Saturday Evening Post (bisa dibilang hampir mustahil). Dan saya juga bisa mengatakan (dengan nada sinis) bahwa saya hidup di masa ketika kemajuan teknologi informasi yang begitu pesat telah menyita perhatian publik untuk menyibukkan diri menjadi masyarakat narsis (yang sangat akrab dengan kata 'status'), sehingga seni lukis hanyalah hal remeh-temeh yang dapat dengan mudah diabaikan.


Namun, seperti yang telah saya jelaskan sebelumnya, gelombang takdir, yang telah melahirkan seorang Norman Rockwell pada tanggal 3 Februari 1894 dan pada perayaannya yang ke 116, Google menaruh gambar Little Spooners di halaman muka, tempat di mana saya (dan ribuan atau jutaan orang yang lain) menjejakkan langkah pertama setiap kali memasuki dunia maya (tepuk tangan pantas diberikan kepada siapapun yang bekerja di Google yang mengusulkan untuk merayakan hari ultah Norman Rockwell, plok, plok!). Takdir ini, yang dimotori oleh lukisan Rockwell, berhasil membawa saya pada masa sekitar awal-dan-pertengahan abad 20 di mana suratkabar dihiasi oleh gambar-gambar ilustrasi.Sebuah masa di mana Rockwell telah menarik perhatian banyak orang dengan memindahkan kanvasnya ke mesin cetak tiap bulan dengan disertai gambar-gambar realis yang ia lukis (suatu bakat yang membuat saya kagum dan ah! selalu tidak sabar untuk menceritakan kehebatannya).


Jester

Saya mengenal banyak sekali nama pelukis termasyhur. Saya juga melihat banyak sekali karya-karya lukisan yang kreatif, inspiratif, bahkan di antaranya, melegenda. Tapi ketika berhadapan dengan karya-karya Rockwell, hati saya luluh secepat reaksi nalar saya dalam memahami lukisannya (suatu metafora yang menggambarkan bahwa kehebatan Rockwell adalah dengan menampilkan karya seni yang tidak membuat orang-orang mengerutkan dahi atau mencoba mengerti agar terkesan keren, selengkapnya akan saya ceritakan sebentar lagi). Detail yang begitu dalam, perpaduan warna yang kaya, serta keluasan tema yang diangkat benar-benar telah membuat saya jatuh hati seketika dan serta-merta mulai mengidolakannya (idola, suatu konsep yang memiliki dua arah. Bagi saya, untuk kaitannya dengan Norman Rockwell ini adalah kecintaan terhadap karyanya, bukan pada sosok pribadinya yang belum saya jelajahi lebih lanjut).


Karya Rockwell bukan hanya sekedar lukisan tapi potret kehidupan yang berbicara lewat suara-suaranya yang polos. Sebuah gambaran dari keseharian yang dibalut oleh cat komedi, romantika, rasa kekeluargaan, dan bahkan sindiran sosial yang tajam. Rockwell mewakili kebersahajaan Amerika, tanpa imej superioritas yang sudah terbiasa melekat (i want that America!), kehidupan masyarakat negara adikuasa yang sederhana, yang terlibat dalam hal-hal umum, tanpa penegasan kelas dan derajat sosial yang kentara, hanya manusia dan tingkah lakunya dan setiap hal-hal menarik yang lahir dari perpaduan itu. Maka dari situlah kunci di mana karya Rockwell mudah diterima oleh orang-orang dan menjadikannya sebagai kebanggaan.

The Lion's Share
 
Rockwell juga menarik perhatian publik lewat kemampuan dan caranya dalam melakukan kritik sosial. Dia "angkat bicara" terhadap kekejaman perang dunia II lewat karya anti-perangnya Four Freedoms dan terhadap isu rasialisme yang mengental di Amerika Serikat lewat lukisan Problems We All Live With. Karya-karya tersebut mengindikasikan kepekaan Rockwell (yang merupakan poin tambahan bagi saya dalam mengaguminya) terhadap kecacatan yang terjadi di sekitarnya. Sebuah kebobrokan yang harus ia alami dan tentunya (seperti setiap seniman sejati dimanapun) hadapi dengan kualitas dan talenta dalam menginspirasi publik untuk juga mampu "merasakan" dan "merubah".
 
Four Freedoms

Bagi saya, Rockwell telah membuktikan dirinya sebagai seorang seniman sukses (bukan karena Amerika telah mengangkatnya sebagai sang ilustrator kebanggaan bangsa), karena ketekunannya dan penyerahan dirinya sebagai kamera bagi kehidupan masyarakat lewat media kuas dan kanvas. Jalan hidupnya telah membuat dirinya dikenang oleh banyak orang (salah satunya Google) dan akan terus bertahan untuk waktu yang sangat panjang. Dia telah membuat saya jatuh cinta begitu saja. Memberikan saya inspirasi, menumbuhkan rasa cemburu yang besar, serta memesona kedua mata saya yang telah terlalu lama menyaksikan kekonyolan di televisi. Oleh karena itu, Tuhanku, mungkin saya harus berterimakasih atas gelombang takdir ini (tidak banyak yang bisa saya utarakan). Setidaknya ada hal baik yang terjadi dalam hidup saya. Perasaan ini tidak akan berhenti dan akan terus mencari dan mencari pemenuhan jiwa lewat kedua mata saya yang memandangi dengan penuh pesona lukisan-lukisan abadi Norman Rockwell.

Going and Coming