Senin, 28 Desember 2009

Tomorrow Never Knows*

"God-doesn't-believe-in-the-easy-way."

(A Death in the Family, James Agee)
Saya dan resolusi:

Tahun depan, saya harap cita-cita saya tercapai untuk… Saya ingin menjadi…. Saya ingin melakukanSaya ingin membuat…. Sehingga saya akan… Orang-orang akanSaya akan memiliki… Punya banyak… Bisa melakukan apa saja, termasuk… Dengan begini maka… Selain itu juga… Saya bisa menunjukkan pada semua orang bahwaSaya harap saya akan… Melihat semuanya berubah menjadi… Negara ini menjadi… Semakin… Saya harap dapat… Lebih baik, lebih banyak… Terwujud suatu keadaan yang… Tidak ada lagi… Bersih dariTerbebas dari segala bentukSehingga bisa menjadiyangdan… Agar untuk selamanya kita telah benar-benar… Lalu di dunia yang luas ini akan tercipta… Tidak adaSemua orang saling… Semuanya… Dimana-mana… Semakin banyak yang… Sehingga tak satupun kita temui di wajah mereka… Seperti yang biasa terjadi di… Semuanya… BetapaDan kehidupan ini akan menjadi lebihUntuk kita semua, selamanya, siapapun kita, apapun agamanya, negaranya, latar belakangnya, yang jelas kita semua… Dan demi waktu, saya akanmemberikan semuanya untukAgar kelakSaya berusahasehinggamenciptakanmenghasilkanmerubahmemenangkansehingga hidup saya akanakanakanakan… “

HIJKLMN:

“Resolusi, apa itu berasal dari dalam mimpi atau dari dalam TV?

*Taken from a song with the same title by The Beatles, written by John Lennon/Paul McCartney from the album "Revolver" (1966)

Minggu, 27 Desember 2009

Thank You, Mr. Guttenberg!

"Books are the blessed chloroform of the mind."

(Robert Chambers)

Waktu saya memasuki pintu kota yang tinggi dan bersinar di mana di dalamnya ramai oleh suara hingar-bingar orang-orang yang berteriak, bercekikikan, dipadu dengan suasana gemerlapan yang telah membawa kota ini menuju masa depannya, menuju cita-citanya dari sejak Daendels menancapkan sebuah kayu di tanah yang kini telah dilapisi oleh aspal sebagai alas dari semua peradaban yang lahir di tempat ini, entah kenapa tiba-tiba saya kembali mengingat suatu hari (lupa persisnya) di mana saya, di bawah pengaruh kebosanan, memutuskan untuk membolos kuliah. Sendirian. Di dalam mobil. Menghabiskan waktu tidur di tempat parkir. Tidak tahu apa yang harus dilakukan. Merokok, merokok, merokok. Tidak tahu harus pergi ke mana. Diam. Memperhatikan tahi burung berjatuhan di kaca depan mobil. Bergulat dengan rasa malas. Suntuk. Bingung. Bosan. Jengkel. Dan akhirnya kuputuskan pergi meninggalkan area kampus menuju ke toko buku. Tanpa alasan khusus.

Keputusan ini menggambarkan bahwa semuanya terjadi di luar kehendak bebas. Seperti semacam perjudian, yang penting pergi, kemanapun tidak peduli. Karena toko buku tidak pernah menjadi tempat yang benar-benar saya niatkan untuk kunjungi (dibandingkan dengan toko kaset secondhand atau tempat penjualan DVD bajakan kala itu) kecuali bila memang saya tidak tahu lagi apa yang harus dilakukan dengan berada di dalam mobil yang mesinnya menyala. Dan itulah yang terjadi.

Saya tidak mengharapkan apa-apa di toko buku, hanya sebuah suasana baru saja (pelarian mungkin?), sekedar berkeliling melihat-lihat, mengingat-ingat bahwa kira-kira sudah lama sekali terakhir kalinya saya berada di sana atau mungkin saya sudah lupa. Tidak ada yang berubah. Buku-buku di mana-mana. Disimpan di tempat-tempat yang tersebar untuk membedakan mana buku untuk anak-anak mana yang bukan, mana yang komik mana yang bukan, mana yang berbahasa Indonesia mana yang bukan. Dalam beberapa menit mungkin sudah seribu buku yang mampir ke jarak pandang saya. Tidak ada niat untuk membeli karena saya “buta” terhadap buku, dan karena alasan itulah ketika sudah puas mondar-mandir di toko buku dan memutuskan untuk keluar, saya tertarik pada cover sebuah buku yang menggambarkan sosok Adolf Hitler di atas mimbar dengan sebuah sasaran tembak di sekitar kepalanya. Entah mengapa di mata saya cover itu begitu menarik dan mendorong saya untuk membelinya. Dan sejak itu dimulailah pengalaman saya terhadap dunia buku yang lucunya justru diawali dengan melanggar norma utama yang sangat populer: “Don’t judge a book by its cover!”

Buku tersebut berisi tentang persekongkolan di tubuh Nazi untuk menggulingkan dan membunuh sang der fuhrer yang ternyata menemui banyak kegagalan dan menjadi bumerang yang fatal. Kisah tersebut disajikan dengan menarik dan berhasil membawa suasana menegangkan di kamar pribadi saya. Di sini saya menemukan bagaimana kata-kata bila ditautkan satu sama lain, dibumbui dengan beberapa tanda baca, disatukan dalam sebuah kalimat yang membentuk paragraf, dapat mempengaruhi (mengaduk-aduk) perasaan dan pikiran saya dengan caranya yang khas. Terus terang ini pengalaman baru. Dan yang lebih hebat lagi membaca buku dapat memicu mesin-mesin imajinasi saya untuk bekerja, berkembang, tumbuh, berkelana, bahkan menjadi liar. Dari situ dimulai segala macam impian yang muncul, cita-cita, dan harapan yang mungkin diantaranya terkesan naïf, mengada-ada, atau juga terlalu besar untuk ukuran tubuh saya. Semuanya yang belum pernah terpikirkan sebelumnya tiba-tiba hadir, mengetuk pintu kesadaran saya untuk memeperlihatkan wujudnya yang nyata.

Dimulai dari buku non-fiksi pertama itu, selanjutnya berujung pada buku-buku sejenis dengan tema-tema berbeda yang berkisar pada sosial, politik, filsafat, dan ideologi -terutama karena ada sebuah penerbit yang khusus menerbitkan buku-buku seperti itu sebagai bagian dari jargon perlawanan mereka terhadap kehidupan modern (sebut saja kapitalisme) dengan judul yang menarik dan, tentu saja, cover yang atraktif. Mulailah saya melatih untuk membuka mata saya terhadap kehidupan sosial, kehidupan bangsa ini yang sering diurapi oleh berbagai balsam intrik yang “panas” dan kadang “menyakitkan”, mengajari saya bahwa berkata “tidak” adalah bagian dari kebijaksanaan, menjejali otak saya untuk selalu kritis, untuk berani melawan dan mempertanyakan “segala hal yang diterima apa adanya sekarang”, untuk tidak ragu-ragu menentang arus, dan yang lebih penting belajar untuk lebih lunak terhadap kata hati yang berteriak. Walaupun dengan banyaknya referensi ini sempat menyiksa saya dalam mengadaptasi berbagai sudut pandang yang diberikan terhadap semua hal, termasuk hidup, lingkungan dan diri saya sendiri, karena terkadang begitu kontradiktif dengan apa yang terjadi, dengan norma-norma ataupun kebiasaan mayoritas, namun kesadaran akan banyaknya pilihan dalam hidup ini serta banyak kesempatan untuk menyatakan “diri” di tengah kehidupan lain, memberi saya kekayaan tersendiri di dalam jiwa. Pengaruh dari buku-buku tersebut terlihat secara gamblang dari gambar siluet Che Guevara di tembok kamar dan sikap skeptis saya terhadap beberapa (hampir semua) hal, terutama dunia pendidikan.

Setelah kenyang dengan membaca dan membeli buku-buku non-fiksi (yang memberi saya masukan tentang susahnya hidup yang juga berarti susahnya berkompromi dengan berbagai kepala namun di sisi lain, penting sekali untuk mempertahankan idealisme), rasa lapar lain tumbuh menguasai perasaan saya. Dipicu ketika keinginan untuk membeli buku baru tidak didukung oleh keberadaan buku di toko-toko buku yang berhasil memancing perhatian uang di dompet. Sepertinya semua buku hanya mengulang dan membahas tema-tema yang sudah-sudah. Saya berkeliling dan tidak menemukan apa-apa. Pulang dengan tangan kosong. Didorong oleh rasa kecewa ditambah rasa penasaran saya mencari tahu lewat internet mengenai buku apa yang pantas untuk dibaca. ”The best books of all time”, lalu muncullah daftar seratus novel terbaik versi majalah TIME dan inilah awal perkenalan saya dengan dunia fiksi.

Buku fiksi memberikan jutaan warna baru, sampai ke bentuknya yang tidak terbayangkan, ke dalam diri saya. Seni bercerita yang dituangkan dalam buaian kata dan makna goresan para monster sastra berhasil memeperluas cakrawala saya mengenai kehidupan serta keunikan pribadi manusia dalam menjalani dinamika hidupnya. Walaupun berisi cerita rekaan namun “kekuatan” isinya membawa saya untuk mengarungi dunia lain di mana menjadi manusia adalah pilihan yang patut disyukuri mengingat banyaknya kemungkinan-kemungkinan serta hal-hal besar yang menanti untuk dilaksanakan. Seperti yang dikatakan oleh S.I. Hayakawa: “Adalah tak benar bahwa kita hanya punya satu kehidupan yang kita jalani. Jika suka membaca, kita bisa menjalani berapapun banyak dan jenis kehidupan yang diinginkan.” Dan rasanya menakjubkan menjalani pengalaman tersebut. Saat pikiran pergi mengarungi berbagai tempat tanpa batas, melampaui ruang dan waktu.

Saya mengakui saya merasa menjadi seseorang yang lebih baik ketika mengenal buku. Ada banyak hal yang telah selama ini saya percaya ternyata tidak selamanya benar. Ada banyak hal dalam hidup ini yang telah saya ketahui sebelum saya melihatnya. Ada banyak hal yang menunggu di luar sana di dunia ini. Ada banyak hal yang tak terjamah namun dapat dengan mudahnya diraba-raba lewat beribu aksara. Ada banyak hal yang saya sadari tentang siapa saya dan cara untuk menertawakannya. Intinya (atau secara klise), ada banyak hal yang saya tahu.

Saya menemukan banyak cita-cita yang telah dilupakan atau tidak terpikirkan sama sekali. Saya menemukan bahwa apa yang telah menyebabkan kita, bangsa ini, menjadi seperti sekarang, seperti “Indonesia” adalah angka minat baca. Seberapa sering kita terjerembab dalam lubang-lubang dan berdiri statis memperhatikan yang lain berlari melewati kita berkali-kali? Seberapa sering kita duduk dan merencanakan sesuatu yang merupakan pengulangan dari apa yang telah dilakukan negara lain? Dan apakah kita terpacu untuk mengambil bagian dalam sejarah dunia? Sejarah peradaban? Peradaban paling mendasar antara kita, si pencemburu, dan negara lain yang kita cemburui adalah tingkat kebutuhan terhadap buku. Ya, minat baca.

Maka ketika saya memasuki pintu kota tadi lalu berdiri di dalamnya memperhatikan suara hingar-bingar dan cekikikan, saat itulah saya menyadari bahwa kita semua tidak cukup kuat untuk memperkaya jiwa kita dengan baik. Yang terjadi selama ini adalah tubuh, tubuh, selalu tubuh, dan semua tentang tubuh. Tentang apa yang bisa dipenuhi oleh tubuh dari yang alami sampai yang paling musykil sekalipun. Sehingga yang dihasilkan hanyalah suara-suara ini, suara-suara teriakan tanpa nada dan kedalaman, tanpa makna dan irama, hanya teriakan keras yang melolong ke langit-langit meminta sesuatu yang tidak dibutuhkan. Yang terdengar hanyalah suara-suara sengau. Mungkin apabila kita mau belajar untuk bernyanyi, mengisi jiwa kita dengan solmisasi, kita bisa memenuhi udara ini dengan impian masa depan yang lebih nyata. Dan kita akan benar-benar berterima kasih pada tuan Johannes Guttenberg karena telah melahirkan mesin cetak ke dunia ini.

Sabtu, 26 Desember 2009

Persona



"Gossip is the Devil's radio."

(George Harrison)
Bullshit! Itu kata-kata yang terngiang pertama kali di dalam pikiran saya ketika mencerna sebuah berita, atau apapun, dari infotainment. Tidak ada yang menarik, hanya cerita-cerita biasa yang dipoles sedemikian rupa hingga menjadi sesuatu yang penting, hanya kabar-kabar pribadi yang disulap menjadi seolah-olah “kepentingan umum”, potret kesempurnaan manusia dalam dunia yang selalu (dan selamanya) menuntut ketidaksempurnaan lewat berkas lampu sorotnya dari atas panggung, lukisan kesenjangan kelas yang tampak sengaja dipulas oleh warna-warna yang tegas, dan ya, itu tadi, kesimpulannya adalah semuanya hanya omong kosong! Sama seperti kisah fantasi lainnya, “dongeng-dongeng” ini hanya menampilkan hiburan yang berbuntut pada angan-angan berkabut untuk menjadi bagian di dalamnya. Suatu hal yang sangat manusiawi, sesuai dengan kodratnya, bahwa kita akan selalu berusaha untuk meniru atau menyerupai orang lain. Orang lain yang terlihat lebih baik, lebih cantik, lebih sukses, lebih kaya, lebih bersinar, lebih sempurna, walaupun sayangnya, tidak lebih nyata daripada dirinya sendiri.

Itulah pencitraan dan bagaimana semuanya itu menjadi begitu menarik sekaligus menghasilkan gemerincing uang. Entah apakah di dalamnya ada unsur membodohi, mempengaruhi, memprovokasi, menjual mimpi, mempertontonkan kemunafikan atau untuk memamerkan secara terang-terangan garis pemisah antar kelas sosial, asalkan “pengemasannya” dibalut dalam nuansa berita serta jargon pentingnya suatu informasi, dan publik merasa (entah bagaimana) kebutuhan informasi-nya terpenuhi, maka semua itu tidak masalah. Tidak dipungkiri juga bahwa kenikmatan dari melahap acara seperti ini adalah keleluasaan penonton untuk menghakimi objek berita, atau sebut saja imej kesempurnaan, dengan kapasitasnya masing-masing sehingga mereka merasa cukup memenuhi syarat untuk menilai semuanya. Untuk menilai suatu kebaikan atau keburukan terhadap berita yang kebenarannya masih menunggu di balik kamera (bahkan kebenaran adalah satu-satunya hal yang tidak perlu khawatir keberadaannya akan diusik oleh banyak pihak, mereka dapat tidur tenang sepanjang waktu). Untuk mendiskusikannya lalu menyebarkannya lagi melewati berbagai bahasa dan persepsi yang berbeda-beda (dan bahkan cenderung berpihak), dari satu mulut ke mulut, sebuah cerita yang isi dan akhirnya terbuka bagi siapa saja untuk memutuskan. Ini mungkin daya tarik yang tidak dimiliki oleh berita jenis lainnya, sebuah kekuasaan untuk menentukan kebenaran di tangan para penonton, karena kebenaran yang asli tidak pernah diijinkan untuk bergabung bersama-sama.

Infotainment adalah sebuah simbiosis antara dua pihak. Para pemburu berita, sebagai pihak yang mencari, menyajikan, meliput, menyebarkan, menginformasikan, dan di lain kesempatan bisa juga turut mencibir secara halus, segala hal yang menyangkut pihak kedua, yang tentu saja kita semua tahu, selebritis, lewat ulah, tindak-tanduk, perbuatan, sensasi, kontroversi, masalah, aib, gaya hidup, dan segala tetek-bengek yang melekat padanya. Selebritis adalah matahari, pusat, yang dikelilingi oleh jepretan kamera dan alat perekam. Hubungan simbiosis ini berlangsung dengan baik, menciptakan keseimbangan di antara keduanya dan dunia yang mereka bentuk. Para pemburu berita jelas membutuhkan selebritis sebagai sumber berita, dan sebaliknya selebritis juga membutuhkan pemberitaan terhadap dirinya. Semuanya berjalan harmonis, sesuai dengan “norma”, hubungan timbal-balik yang setimpal.

Tapi, seperti yang kita tahu, akhir-akhir ini tampaknya ada sedikit masalah. Sedikit masalah yang menguak fakta tentang dunia infotainment dalam negeri. Sebuah sirkus di tengah malam. Ketika dua pihak yang saling berbagi hidup ini akhirnya bersitegang dan bahkan cenderung bersikap “saling bunuh” satu sama lain. Entah siapa yang memulainya tapi perseteruan ini terkesan begitu dramatis, seperti sepasang sahabat dekat yang tiba-tiba berteriak saling membenci. Ya harus saya akui ini menjadi tontonan yang menarik ketika tiba-tiba sang selebritis yang namanya besar akibat frekuensi pemberitaan yang diberikan oleh infotainment bermusuhan dengan infotainment yang membonceng nama sang selebritis untuk meraih penonton. Pengkhianatankah? Emosi sesaat? Atau sekedar rasa muak yang selama ini tak tertahankan?

Ataukah akhirnya seseorang telah melihat tanda “Selamat Datang Realita” lalu merusak segalanya. Karena lucunya, hal ini justru dipicu oleh pengkhianatan terhadap imej kesempurnaan dengan cara beralih untuk mendalami perasaan ketidaksempurnaan manusia yang ditunjukkan lewat amarah dan kekesalan. Ini jelas-jelas telah melanggar aturan. Karena simbiosis telah retak. Karena ternyata kedua pihak tidak selamanya bisa berjalan beriringan. Karena manusia, bagaimanapun juga, siapapun juga, apapun namanya, hanya akan kesal bila segala sesuatu yang melekat padanya selama ini adalah berita omong kosong.

Mungkin pada akhirnya dia sadar bahwa simbiosis ini merupakan hal yang terlalu dilebih-lebihkan. Bahwa sebenarnya rasa saling membutuhkan kedua pihak tidak sebegitu pentingnya sehingga keberadaannya saling bergantung satu sama lain. Karena kalau dicermati apa yang menyebabkan berita-berita dalam infotainment menjadi kumpulan omong kosong adalah fenomena “keselebritisan” di dalam negeri. Apa yang menjadikan seseorang selebritis tampak terlalu mudah untuk dipahami dan untuk beberapa pertimbangan, menjadi sangat tidak adil karena kesempurnaan dalam bahasa yang mereka gunakan hanya mencakup segala sesuatu yang kasat mata. Bukanlah suatu karya yang digodok sebagai bahan berita namun cerita-cerita pribadi tanpa motivasi yang disebarluaskan. Karena memang seperti inilah wajah selebritis kita, tanpa karya nyata, hanya sensasi dan cerita.

Maka tak heran bila baik-buruk dan sepak-terjang para selebritis yang dapat kita nilai hanyalah dari kelakuan mereka. Jadi tidak heran bila para selebritis tanpa karya ini didekati pemburu berita untuk mengorek apapun yang tersedia dan tersisa, yaitu sensasi dan privasi, dan hanya dua hal itu saja. Jika tidak memiliki sensasi maka serahkanlah kehidupan pribadi kepada publik, dan jika kehidupan pribadi tidak cukup menarik maka buatlah sensasi untuk menarik perhatian khalayak. Sedangkan pemburu berita tentunya akan dengan senang hati menyedot semua yang melekat pada selebritis untuk ditukar dengan nilai uang. Mereka bahkan tidak akan segan-segan untuk mendapatkan berita dengan berbagai cara dan membuat berita dari bahan material yang sulit diolah sekalipun. Memburu hingga melanggar batas privasi dengan todongan kamera dan lampu blitz. Kalau begini menjadi terlalu bias untuk menentukan mana yang pantas disebut (maaf) pelacur. Selebritis tanpa karya atau pemburu berita tanpa kode etik? (kedua pihak inilah yang akhirnya menjadi bahan dasar bagi sebagian besar berita infotainment yang kita nikmati)

Kalau mau saling tuduh bisa jadi justru tidak malah memperuncing masalah. Namun yang jelas, seorang selebritis dengan kapasitasnya sebagai pusat sorotan, idola publik, sosok teladan, pujaan masyarakat, seharusnya dapat lebih mampu memberikan inspirasi dan motivasi yang berarti pada para fans-nya lewat karya-karya yang berkualitas dan diakui, bukan hanya lewat keunggulan paras, privasi, serta keterampilannya dalam ber-aji-mumpung. Sedangkan para peliput seharusnya juga dapat lebih jeli dalam memilah-milih topik atau isi berita yang pantas dan bermanfaat untuk disiarkan dengan menjunjung tinggi asas kebenaran, tidak memihak, cerdas, dan selektif dalam menentukan selebritis mana yang pantas untuk dijadikan berita dan mana yang dibiarkan saja sampai berkarat. Kita semua membutuhkan motivasi untuk memacu semangat berubah bukan hanya dijejali dengan omong kosong murahan yang hanya akan memancing reaksi untuk bergosip bukan untuk bangkit dan menciptakan sesuatu. Mengingat frekuensinya yang begitu gencar menguasai jam-jam acara televisi, dari pagi hingga sore, tidak perlu susah untuk mengartikan bahwa sepanjang itulah, waktu produktif kita, kita semua sepakat untuk sama-sama membenamkan diri pada buaian omong kosong yang dibalut sedemikian rupa dengan sangat cantik dan bersinar. Yah, seperti itulah wajah kita semua. Selamat datang.

Sabtu, 12 Desember 2009

Jurnal Seminggu


"Being noticed can be a burden.
Jesus got himself crucified because He got Himself noticed.
So, I disappear a lot."
(Bob Dylan)

Nihil. Saya bertanya pada HIJKLMN tentang bagaimana caranya menghilang. Seperti biasa, Ia tidak langsung menjawab. Ia mengerutkan dahinya agar terlihat seolah-olah sedang berpikir, memutar-mutar kedua bola matanya, menatap saya dengan heran, lalu kemudian menjawab sesukanya. Dan tepat ketika mulutnya hendak membuka untuk menyatakan apa yang baru saja terlitas di benaknya, saya melihat pancaran di mukanya. Pancaran yang menyembunyikan keraguan terhadap apa yang ia pikirkan, ketidakyakinan terhadap jawaban yang akan dilontarkan, dan ketakutan terhadap jawabannya sendiri, atau lebih tepat lagi, ketakutan terhadap reaksi ketidakpuasan saya atas jawabannya. Saya tahu karena saya pernah memiliki pancaran yang seperti itu. Dulu. Atau mungkin juga sampai sekarang. Maka ketika ia menjawab saya tidak mendengarkan apa-apa selain dari gema perasaan yang sama seperti sebelum saya mengajukan pertanyaan tersebut, nihil. Terima kasih HIJKLMN, saya harus pergi.

Hari Selasa saya lupa menghadiri acara pemutaran perdana film pendek seorang kawan lama. Padahal saya ingin sekali datang ke acara tersebut untuk bertemu dengannya, berbicara tentang film, bertukar pikiran tentang film, berbagi ilmu tentang film, tanya-jawab tentang film, dan mungkin bila masih ada waktu, menonton film pendek yang baru selesai dibuatnya itu. Namuan di malam harinya, saya merasa tidak yakin apakah saya memang benar-benar lupa untuk pergi menemuinya. Apa saya lupa untuk pergi ke acaranya? Atau apa saya sengaja melupakannya? Atau mungkin saya justru lupa bahwa saya telah lupa? Atau saya lupa untuk melupakan acara itu? Atau mungkin saya lupa dengan mengapa saya lupa untuk tidak melupakan datang ke acara tersebut? Maka di malam yang sepi saya menelepon HIJKLMN. Ia menjawab dengan suara yang berbeda, terdengar begitu yakin, tidak bergetar dan ketakutan seperti saat ia menjawab tentang pergi ke tempat matahari tenggelam dan sebagainya di pertemuan terakhir. Mungkin ia telah melupakannya.

Kali berikutnya saya berpapasan dengan HIJKLMN di ruang tunggu. Dia tidak melihat saya. Bahkan tidak menyadari kehadiran saya. Alasannya adalah ketika itu ia sedang menikmati sebuah pesta di dalam pikirannya. Pikirannya yang transparan memperlihatkan sebuah keramaian diiringi kebisingan dan tari-tarian. Kesenangan. Hura-hura. Hiruk-pikuk. Gelak tawa. Teriakan. Pesta yang meriah. Dan semua yang hadir adalah perempuan telanjang. Saya bertanya, bolehkah saya masuk ke dalam pikiranmu karena mungkin inilah cara untuk menghilang seperti yang kumaksud, HIJKLMN? Ia menjawab, kenapa? Saya bilang saya ingin tinggal di dalam sana. Ia menjawab, tidak bisa karena sebentar lagi pestanya akan selesai dan semuanya akan kembali seperti sediakala. Dan kemudian ia pergi sementara saya mendengar sayup-sayup suara pesta dalam pikirannya dari kejauhan.

Saya membenamkan diri dalam proses persalinan di ruang segi empat sempit yang suka didatangi nyamuk-nyamuk. Saya bercumbu, bercinta, lalu anak-anakku lahir dengan ramainya. Mereka berkembang cepat dari sebuah huruf yang kesepian menjadi kata lalu bertransformasi menjadi kalimat panjang. Saya mnghitungnya satu per satu. Tak tahu untuk apa saya melahirkan mereka apalagi untuk mengingat janin milik siapa yang kubuahi ini. Mereka keluar begitu saja tanpa seorang ibu yang menjerit dan menahan napas. Anak-anak haram. Apa yang telah terjadi? Apa saya habis memperkosa tubuh seseorang? Siapa? Semua berlalu begitu saja. Saya bahkan mulai menikmati hal ini. Membiasakannya. Menghidupinya. Membaur dengan gerakan waktu. Hingga melupakan gerakan waktu. Sampai HIJKLMN datang mengganggu, melihatku, lalu bertanya, siapa yang telah berhasil memperkosamu?

Pukul 5 pagi Anak Perempuan-ku bernyanyi. Mencoba mengajakku pergi. Suaranya tidak seperti suara anak kecil. Saya tahu ia akan datang. Setiap hari selalu begitu. Tapi saya telah jauh dihisap oleh mimpi. Jauh ke dalam. Ke tempat sunyi hampa udara di mana suara siapapun takkan bisa kudengarkan. Maka saya mengabaikannya begitu saja. Tidak peduli. Saya harap ia tidak terlalu sedih. Hmm sepertinya tidak mungkin. Ia tidak akan pernah bisa bersedih. Lagipula siapa diriku hingga membuatnya bersedih segala. Anak Perempuan-ku adalah ibu segala kehidupan, dia bisa mendapatkan segalanya, termasuk HIJKLMN jika dia mau. Terutama karena di saat seperti ini ia selalu bersikap menyebalkan. Sama seperti dulu ketika saya mengadu padanya bahwa saya telah membuat Anak Perempuan-ku bersedih. Ia malah tertawa sambil menendang pantatku dan berkata, bagiku, justru kamulah yang terlihat menyedihkan. Ha ha ha. Ia tertawa seperti orang gila. Ha ha ha. Suaranya menggema. Mengantarku terbang melesat ke permukaan. Telingaku rasanya hampir meledak karena suara tawanya terdengar semakin keras. Tidak hanya satu. Ratusan. Ribuan. Ribuan sura tawa yang menjengkelkan. Menusuk-nusuk telingaku berkali-kali. Saya tak tahan. Saya berteriak. Dan akhirnya saya bangun. Kulihat HIJKLMN baru saja menendang pantatku (lagi!).

HIJKLMN mengajakku pergi ke tempat yang biasa kami berdua kunjungi. Hari yang panas tidak membakar kulit dan melumerkan keringatku seperti yang sudah-sudah. Jalanan terlihat gemuk dan kekenyangan. Sudah berkali-kali saya meneriakinya untuk muntah, mengeluarkan semua isi perutnya dalam sekali tarikan napas, namun tetap saja ia pura-pura tidak mendengar. Hanya makan, makan, makan, dan terus makan. Tempat-tempat yang kukunjungi kini terasa gersang. Saya tak mengenal bentuknya lagi. Saya tak mengenal warna catnya lagi. Saya tak mengenal isinya lagi. Saya tak mengenal aromanya lagi. Saya tak mengenal orang-orangnya lagi. Bahkan saya merasa canggung karena orang-orang di sana begitu asing sekaligus dominan. Mereka bicara dengan wajarnya, tanpa beban, seolah-olah seperti itulah manusia pada umumnya sepanjang sejarah bumi ini ditulis. Tidak ada lagi perbedaan antara berbisik dan berteriak dan mungkin saat itu hanya saya yang menyadari bahwa kita semua sedang terbalik. Kita semua sedang menghadap ke bawah. Sesuatu tidak berada di tempat yang seharusnya dan itu membuat lidahku kelu. Saya berusaha menempatkannya kembali pada posisi semula, namun setelah selesai, saya merasa semuanya tidak benar. Keadaan terbalik sepertinya yang paling benar karena saya mulai tidak merasa nyaman dengan diriku. Tapi terlambat, semuanya sudah menjadi normal. Dan baru kusadari, sejak tadi HIJKLMN menghilang entah kemana. Saya penasaran apa dia tahu tentang urusan ‘terbalik’ ini. Apa dia juga merasakannya? Atau mungkin dia sudah tahu dari sejak dulu dan bungkam di baliknya selama ini.

Besoknya saya sakit perut dan benar-benar tidak tahu apa yang saya butuhkan untuk diri saya sendiri. Apa yang saya butuhkan untuk melewati hari ini. Apa yang saya butuhkan untuk menghilangkan sakit perut sialan ini. Apa yang saya butuhkan untuk mengebiri waktu. Ada pil-pil diselipkan di antara tumpukan buku. Saya sudah mencoba semuanya dan berapapun jumlah yang saya telan sekarang tidak akan mengubah apa yang seharusnya berubah untuk membuat keadaan menjadi sedikit lebih akrab. Seekor laba-laba melintas di depanku. Lalu seekor tikus. Dan berikutnya seekor ular. Saya membuka jendela dengan maksud hendak melompat. Tepat begitu saya hendak melakukannya, HIJKLMN muncul. Ada di sini rupanya, dia bilang. Wajahnya tampak seperti sedang menyembunyikan keseganan. Saya tahu bahwa ini bukan rahasia lagi kalau diam-diam dia menyimpan rasa takut padaku. Dan kali ini ia menunjukkannya dengan wajah iba. Kamu masih ingin menghilang? Ia berkata. Tiba-tiba saya merasa telah menemukan jawaban kegelisahanku sekarang. Bagaimana caranya? Saya bilang. Tidak bisa, ia jawab, seseorang takkan bisa menghilang. Rasa benciku timbul. Tapi, dia meneruskan, kamu bisa pergi ke tempat yang jauh dari jangkauan waktu sekarang. Saya bingung. Itulah yang kulakukan kemarin, katanya lagi. Kemana saya harus pergi? Saya tanya. Terserah, kemanapun di mana kamu bisa membekukan dan mengulang-ulang waktu sesuai keinginan. Saya diam, berpikir, memejamkan mata, mencoba mencari tempat yang dia maksud. Samar-samar sudah mulai kelihatan. Namun lenyap seketika. Lalu muncul lagi, dan begitu seterusnya. Baiklah, katanya, aku akan membacakan mantra dan kamu akan pergi langsung ke tempat di mana orang-orang bernyanyi dan memainkan musik tanpa henti. Aku berpikir itu pasti tahun 60-an. Lalu ia mulai bersenandung, “Picture yourself in a boat on a river/with tangerine trees and marmalade skies/Somebody calls you, you answer quite slowly/a girl with kaleidoscope eyes/ Cellophane flowers of yellow and green/ towering over your head/ Look for the girl with the sun in her eyes/And she’s gone.”

Saya meneruskan bait sisanya, dan perlahan semuanya menghilang. Semua yang saya lihat. Semua yang saya dengar. Semua yang saya ingat dan semua yang saya punya. Semuanya. Kecuali suara-suara nyanyian.


“Then take me disappearin’ to the smoke rings of my mind,
Down the foggy ruins of time,
Far past the frozen leaves,
The haunted, frightened trees,
Out to the windy beach,
Far from the twisted reach of crazy sorrow.

Yes, to dance beneath the diamond sky with one hand waving free,
Silhouetted by the sea,
Circled by the circus sands,
With all memory and fate driven deep beneath the waves,
Let me forget about today until tomorrow.”
Thereby, I disappear completely...

Kuliah Singkat dari Kurt Vonnegut (Almarhum)


"We are what we pretend to be, so we must be careful what we pretend to be."

(Kurt Vonnegut, Mother Night)

Topic: why people have such a need for drama in their life.

“People have been hearing fantastic stories since time began. The problem is, they think life is supposed to be like the stories. Let's look at a few examples.”

Time moves from left to right. Happiness from bottom to top.
“Let's look at a very common story arc. The story of Cinderella.”

“People LOVE that story! This story arc has been written a thousand times in a thousand tales. And because of it, people think their lives are supposed to be like this.”
“Now let's look at another popular story arc: the disaster.”


“People LOVE that story! This story arc has been written a thousand times in a thousand tales. And because of it, people think their lives are supposed to be like this.”
But the problem is, life is really like this...
“But because we grew up surrounded by big dramatic story arcs in books and movies, we think our lives are supposed to be filled with huge ups and downs! So people pretend there is drama where there is none.”
That's why people invent fights. That's why we're drawn to sports. That's why we act like everything that happens to us is such a big deal.
We're trying to make our life into a fairy tale.