Jumat, 29 Januari 2010

RIP J.D. Salinger (1919-2010)


Jerome David Salinger


"Boy, when you're dead, they really fix you up. I hope to hell when I do die somebody has sense enough to just dump me in the river or something. Anything except sticking me in a goddamn cemetery. People coming and putting a bunch of flowers on your stomach on Sunday, and all that crap. Who wants flowers when you're dead? Nobody."

(The Catcher in the Rye)


J.D. Salinger, penulis kontemporer kenamaan Amerika Serikat itu akhirnya meninggal di usia 91 tahun pada hari Rabu, 27 Januari 2010 di kediamannya di daerah Cornish, N.H.
Kalau bukan karena karya legendarisnya, The Catcher in the Rye, mungkin sampai saat ini saya masih beranggapan bahwa novel hanya berisi cerita-cerita melodramatis yang hanya akan membuang-buang waktu. Dia telah berjasa melahirkan Holden Caulfield, seorang pemuda gelisah dari novelnya yang menyebarkan filosofi hidupnya lewat kemarahan dan pemberontakan terhadap kehidupan sehari-hari. Gaya penulisannya, walaupun dihiasi caci-maki, namun dipenuhi kejutan-kejutan serta kejujuran yang seringkali luput dari perhatian kita. Dan karena novelnya ini pula seseorang dengan nekat menembak John Lennon.

So, Thank You Mr. Salinger. So Long And Take Care. No, I Won't Put Any Flowers Upon Your Dead Body.

Sleep Tight, Ya Morons!

Kamis, 28 Januari 2010

Muzica, muzica lama sabakhtani?


"Were it not for music,
we might in these days say,
the Beautiful is dead."


(Benjamin Disraeli)

Oke, kamera? Mikrofon siap? Mikro… ya pasang di sana. Duduk saja yang rileks. Kita siap dalam– oh sedikit ke bawah. Ambil dari kepala ke dada, jangan seluruh badan. Oke? Mikrofon sudah menyala? Kamera siap? Oke– duduk saja yang rileks– oke kita mulai sekarang. Tunggu aba-aba. Siap 3,2,1!

Toko Musik/Music Shop/Musik-Shop/Tienda de música/音楽ショップ

"….Oh sudah mulai? Oke. Hmm. (berdehem). Sebentar. (berdehem lagi). Baik. Kita mulai. Mmm. Toko musik. Semuanya berawal dari beberapa hari yang lalu. Tidak terlalu lama. Oh salah, bukan itu. Lebih tepat lagi dikatakan kalau semuanya berawal dari beberapa waktu yang telah lama. Saya masih kecil, SD kelas…. yah pokoknya usia SD, mungkin bisa anda bayangkan sendiri. Bermula dari kamar salah seorang sepupu saya. Jakarta. Saat itu usianya sekitar usia SMA atau mungkin usia kuliah. Saya ingat bagaimana saya harus mendongak setiap bicara dengannya.
             "Kamarnya tidak terlalu besar. Bentuknya persegi panjang. Dindingnya dipenuhi poster-poster. Poster mobil. Poster film. Poster grup musik tahun 80-an –semacam Duran Duran dan sebagainya. Dan rak-rak di meja belajarnya dipenuhi kaset. Banyak sekali. Berjejer dari ujung ke ujung. Lalu di atasnya berjejer lagi dari ujung ke ujung. Dan di atasnya lagi. Ada sekitar tiga-empat baris kaset yang berjejer dari ujung ke ujung. Tidak hanya itu, sebagian kaset-kasetnya juga disimpan di dalam sebuah tempat yang terdiri dari empat buah laci di mana tiap laci dapat menampung kira-kira… 20 buah kaset. Lalu ada lagi tempat lainnya, berbentuk seperti… seperti…. pokoknya… bisa diputar 360 derajat , bentuknya persegi, dengan empat sisi, tiap sisi dapat diisi sekitar… 20 buah kaset. Belum lagi beberapa yang berserakan di atas karpet. Banyak sekali kaset-kaset. Bisa dilihat di mana-mana. Dan itu membuat saya tertarik. Pemandangan kaset-kaset yang berjejer itu, entah mengapa, membuat saya begitu tertarik.
             "Saya ingat menyentuh permukaan sisi kaset yang berjejer dari ujung ke ujung itu. Menyeret jari-jari tangan di atasnya, menggerakkannya sepanjang rak buku hingga mengeluarkan suara berisik. Saya memperhatikan kaset-kaset itu satu per satu. Cover-nya. Bentuknya. Dua lubang di tengahnya. Lalu saya putar-putar di antara jari telunjuk. Phil Collins. Duran Duran. Spandau Ballet. Semua yang berasal dari tahun 80-an. U2. Banyak sekali kaset U2. Guns ‘n’ Roses. Michael Jackson. Bon Jovi. Semuanya musik 80-an. Tapi tanpa Metallica. Semuanya berbahasa Inggris. Sting. Skid Row. Van Halen. Prince. Madonna. Roxette. Richard Marx. Air Supply. A-Ha. Paula Abdul. Stevie Wonder. New Kids on the Block. Barry Manilow. Bryan Adams. Mr. Big. George Michael. Wham. Chicago. Kool & the Gang. Tony Braxton. Billy Joel. Michael Bolton. Cyndi Lauper. Toto. Duran Duran. U2. Bon Jovi. Guns ‘n’…
               "Lalu saya penasaran dengan kaset-kaset ini. Saya tidak terlalu tertarik untuk mendengarnya. Saat itu ketertarikan saya terhadap musik masih belum tumbuh. Yang membuat saya penasaran adalah dari mana kaset-kaset itu didapatkan. Saya tahu itu memang berlebihan. Sebodoh-bodohnya juga saya tahu kaset-kaset itu dibeli dari toko musik. Tapi maksud saya adalah saya belum pernah pergi ke sana. Sampai saat itu beberapa kaset yang sempat saya punya dibelikan oleh ayah saya lalu diberikan pada saya di rumah, tanpa sedikitpun terbesit pertanyaan dari mana dia mendapatkannya. Barulah saat saya melihat kaset-kaset dari ujung ke ujung itu tiba-tiba saya ingin tahu tentang toko musik, bentuknya, besarnya, dan apa saja yang ada di sana.
              "Singkatnya saya pergi ke toko musik. Bersama kakak sepupu saya. Tapi lupa di mana. Saya pergi untuk membeli kaset… saya tidak bisa menyebutkannya di sini, yang jelas isinya lagu berbahasa Inggris, bukan boyband, dan saya ingin membelinya karena melihat sebuah film kartun. Akhirnya saya berada di dalam toko musik. Untuk ukuran tubuh saya waktu itu, toko musik rasanya besar sekali. Dan isinya adalah… wow!
               "Dari ujung ke ujung. Tidak lagi selebar rak meja belajar. Tapi dari ujung ke ujung sepuluh kali lipat rak meja belajar. Bahkan kaset-kaset itu tidak disusun dalam rak meja belajar, melainkan sebuah rak khusus yang bertingkat-tingkat. Kaset-kaset itu juga tidak disusun secara menyamping seperti di dalam kamar sepupu saya, tapi disusun dengan memperlihatkan bagian mukanya sehingga saya dapat melihat langsung desain cover dan nama penyanyinya. Semuanya diatur sedemikian rupa sehingga terlihat begitu rapi. Saya terpesona dengan beberapa kaset di sana. Cover-nya. Mmm bukan itu, tapi lebih kepada, kepada bagaimana toko musik itu menampilkan dirinya. Suasananya. Saya juga terbawa dengan suasana musik yang diperdengarkan. Begitu keras. Menggelegar sampai semua orang yang ada di sana bisa mendengarnya dengan volume yang sama. Saya betah berada di sana. Memperhatikan tiap kaset yang dipajang. Bahkan sesaat saya lupa dengan kaset yang ingin saya beli. Dan begitu saya ingat, saya justru tidak menemukan apa yang saya cari. Saya berkeliling-keliling tapi tidak bisa menemukannya. Saya meminta bantuan kakak sepupu saya untuk ikut mencari tapi tetap saja sia-sia, karena dia terlalu sibuk mencari kaset yang ingin ia beli. Saya menghabiskan beberapa waktu di sana, melihat-lihat, membaca nama-nama musisi yang tertera di kaset, membaca judul-judul lagu yang tertulis di bagian belakangnya, beberapa pernah saya dengar, tapi sebagian besar tidak sama sekali, menimbang-nimbang beratnya, dan sekali lagi saya lupa dengan kaset yang saya beli. Sampai akhirnya kakak sepupu saya bertanya pada seorang pegawai di sana lalu tak berapa lama kemudian pegawai itu memperlihatkan kaset yang saya inginkan. Kami membayarnya di kasir, lalu dibungkus ke dalam kantong plastik, dan kami pulang. Saya ingat, itulah pertama kalinya saya merasa toko musik adalah tempat yang sangat penting. Dan berikutnya, bisa ditebak, sampai sebesar ini saya masih sering menapak tilas ke toko musik.
              "Yah itulah. Saat pertama di mana toko musik saya rasa penting adalah saat saya berkenalan dan menemukan musik. Sebuah momen. Pengalaman. Dan terus mempengaruhi saya karena saya menyukai musik. Tapi ada saat berikutnya di mana saya merasa toko musik begitu penting. Mungkin Anda ingin tahu, tapi yang ini berbeda dengan yang pertama. Maksudnya… Oke, kejadiannya tidak begitu lama. Beberapa waktu yang lalu. Tepatnya saya lupa, tapi yang jelas beberapa waktu yang lalu. Itu terjadi saat saya pergi ke sebuah toko musik di Bandung dan saya tidak menemukan apa-apa selain fakta bahwa saya tidak bisa masuk ke dalamnya karena pintunya tertutup, saya bahkan tidak bisa menembus halamannya karenapagarnya telah tergembok. Saya tidak melihat tanda-tanda kehidupan di sana. Dari luar terlihat seperti sebuah rumah kosong yang ditinggalkan pemiliknya. Saya belum berani berasumsi apapun sampai saya melihat beritanya di koran bahwa toko musik tersebut gulung tikar dan saat itulah saya merasa toko musik menjadi penting lagi. Saat saya merasa telah ditinggalkan oleh musik."

Pembajakan/Piracy/Piraterie/piratería/著作権侵害

"Saya tidak begitu paham mengapa toko musik itu ditutup. Sangat mengecewakan. Menyedihkan. Saya bahkan tidak bisa mengerti mengapa sebuah toko musik bisa tutup. Apakah orang-orang tidak lagi menyukai musik? Saya rasa tidak, dan itu akan kita bahas nanti. Tidak mungkin orang-orang tidak membutuhkan musik, sampai kapanpun tidak akan mungkin. Mustahil. Apa menurut Anda musik bisa hilang dari muka bumi ini? Hah? Tidak ‘kan. Anda suka musik ‘kan? Nah, itu dia. Tapi bagaimanapun juga toko ini tutup. Seolah-olah tidak ada lagi orang yang datang ke sana dalam beberapa bulan terakhir. Seolah-olah tidak ada lagi orang yang mendengarkan musik.
             "Menurut saya begini, (berdehem), salah satu penyebab toko musik itu tutup adalah sebuah masalah lama yaitu… boleh saya minum dulu? Oke (minum). Aaaah. Begini. Jadi… mengapa bisa sampai sebuah toko musik ditutup seolah-olah orang-orang tidak lagi membutuhkan musik yang mana, seperti yang Anda jawab tadi, merupakan suatu hal yang mustahil untuk terjadi adalah karena pembajakan! Familiar ‘kan. Ya, pembajakan. Bahkan Anda tidak terkejut sama sekali.
             "Haruskah saya jelaskan di sini? Oke, mudahnya begini. Pembajakan sama seperti vagina seorang gadis perawan yang berdarah. Artinya dia tidak lagi gadis yang sama seperti sebelumnya walaupun ia masih dikenali dari wajahnya sebagai orang yang sama, mengerti ‘kan? Pembajakan sama seperti lubang dubur seorang homoseks. Saya tidak perlu menjelaskan ini tapi Anda mengerti ‘kan? Pembajakan sama seperti silikon dalam buah dada, sama seperti pornografi terhadap seks, sama seperti fashion terhadap kecantikan, sama seperti George W. Bush terhadap demokrasi, sama seperti poster Monalisa, sama seperti celana dalam perempuan yang dipakai oleh laki-laki. Maksud saya pembajakan berarti mencuri sesuatu untuk menjadikannya sesuatu yang kurang lebih sama dengan aslinya namun memiliki nilai, harga, atau kualitas yang lebih rendah dari sebelumnya. Pembajakan menurunkan kasta karya seni menjadi tidak lebih dari “barang sehari-hari”, seperti puntung rokok yang Anda nyalakan lagi, atau BlackBerry dalam dua tahun ke depan.
              "Semua orang tahu, saya tahu, Anda tahu, bahwa kaset-kaset atau CD yang dibajak tidak lebih bagus dari aslinya. Tapi jangan salah, industri ini justru memiliki banyak peminat. Kalau tidak, tidak mungkin sampai menyebabkan toko musik tutup segala. Karena harganya yang murah sehingga orang-orang membelinya. Artinya kualitas, nilai musik sebagai karya seni, atau bahkan hukum, tidak begitu penting bagi mereka. Siapa yang tidak tergoda dengan harga murah? Anda juga ‘kan? Hmm? Oh Anda barusan mengangguk atau menggeleng?
               "Pertanyaan saya tadi mungkin akan mudah terselesaikan dengan jawaban yang mengacu pada kondisi ekonomi masyarakat kita. Oke, saya anggap itu sebagai pembelaan. Sebuah barikade yang ringkih. Kenapa? Karena saya merasa justru pembajakan bukanlah sebagai jalan keluar dari masalah itu melainkan sebuah jalan pintas yang memanjakan masyarakat terhadap sifat apatis mereka dalam mengapresiasi karya seni. Ini sama sekali bukan solusi. Saya lebih suka bila masyarakat diberikan kesadaran mengenai musik sebagai karya manusia yang prosesnya tidak singkat, menguras tenaga dan pikiran, melibatkan banyak orang, melalui berbagai tahap inspirasi, memerlukan bakat yang spesial, belum lagi dengan percekcokan yang biasa terjadi dalam sebuah band. Musik adalah hasil penerjemahan emosi ke dalam melodi. Sayang sekali bila tidak bisa dinikmati dengan cara yang tepat. Ada berapa banyak sekolah dasar di sini? Saya rasa dari sana harus dimulai pendidikan tentang mengapresiasi karya seni. Apakah ada undang-undang mengenai ini? Hei? Anda mendengarkan saya? Sepertinya Anda melamun dari tadi."

Taken By: Astie


Harga Musik/price of music/prix de la musique/Preis der Musik/precio de la música/音楽の価格

"Hmm. Menikmati musik. Ada banyak cara dalam menikmati musik dan menurut saya semuanya tergantung dari… sebentar, menurut saya sebelum menjawab pertanyaan ini saya ingin mengemukakan beberapa hal terkait pertanyaan sebelumnya. Saya sempat menyinggung tentang pembajakan yang mengurangi harga dari musik. Ini ada kaitannya. Saya rasa pembajakan bukan satu-satunya penyebab toko musik itu tutup. Saya bilang ini adalah masalah lama. Dan saya berpikir bahwa bisa jadi ini tidak relevan lagi, yah walaupun masih menjadi masalah yang krusial juga. Tapi begini. Mmm sebentar. Punya korek? Korek api? Terimakasih (menyalakan rokok).
             "Begini. Kita sepakat ‘kan bahwa tidak mungkin orang tidak lagi membutuhkan musik? Itu mustahil. Lalu kemana mereka pergi mencari musik? Di lapak-lapak kaset dan CD bajakan? Mungkin iya, tapi itu masalah segmentasi. Ada kelompok tertentu yang melekat dengan istilah “gengsi” yang rasanya tidak mungkin membeli barang bajakan. Saya termasuk ke dalamnya. Dan kelompok inilah yang menghidupi toko musik selama industri pembajakan ada dari berpuluh-puluh tahun yang lalu. Jadi kesimpulannya, pembajakan sudah akrab dengan industri musik dari jaman dulu dan hubungan keduanya tampak “baik-baik” saja karena adanya segmentasi konsumen tadi. Lalu sekarang apa yang terjadi? Bisa tolong ambilkan asbak? Ya, di sana. Terima kasih.
              "Yang terjadi sekarang adalah… (menghisap asap rokok), adalah (menghembuskan asap rokok), adalah karena sekarang harga musik sudah tidak ada lagi. Anda bisa mendapatkan musik tanpa harus mengeluarkan uang dari dompet, bahkan tanpa harus pergi ke toko musik manapun. Anda tinggal menekan tombol dan… voila! (menepuk tangan). Seperti itu saja (menjentikkan jari). Sederhana. Praktis. Cepat. Gratis! Ketikkan saja judul lagu yang Anda inginkan, lalu tekan tombol, tunggu beberapa saat, lalu tekan tombol lagi, tunggu beberapa saat lagi, dan Anda sudah mendapatkan musik yang Anda mau. Tinggal dengarkan saja seenak perut.
                "Anda sudah tahu maksud saya ‘kan? Sekarang internet ada di mana-mana dan dari situlah semua lagu-lagu bisa didapatkan semudah mengambil kutu dari kepala monyet. Kalau barang-barang bajakan dapat ditinggalkan karena kualitas suara yang jelek, tidak dengan yang ini, Anda bahkan bisa mendapatkan musik dengan kualitas yang bagus, persis seperti yang didengar di kaset ataupun CD. Benar-benar tinggal mengeruk sesukanya. Semuanya tersedia. Dan saya ingatkan lagi, ini gratis!
               "Masalah ini adalah masalah yang baru dalam industri musik terutama karena sekarang kita berada di era teknologi informasi, era internet, era online, era search engine, era downloading, era social networking, era menyebarkan foto diri dengan kepala miring yang diambil dari jarak sepanjang lengan dengan sudut pengambilan sedikit ke atas, era ketika memberitahu semua orang bahwa apapun yang sedang Anda lakukan, termasuk mencabuti bulu ketiak, menjadi faktor penting dalam mempertahankan eksistensi sebagai manusia. Dan untuk dunia musik, kita berada di era di mana pendengarlah yang menentukan berapa harga yang pantas dibayar, bukan lagi industri.
               "Menurut saya ini kembali pada selera masing-masing, cara mengapresiasi, dan tingkat kebutuhan terhadap musik. Bagi saya, untuk lagu seperti Across the Universe (The Beatles), Mr. Tambourine Man (Bob Dylan), Love (John Lennon), She’s A Rainbow (The Rolling Stones), One (U2), Patience (Guns ‘n’ Roses), Better Man (Pearl Jam), No Surprises (Radiohead), dan Anda bisa sebutkan sisanya, rasanya mengorbankan uang adalah hal yang pantas untuk dilakukan. Bahkan masih dirasa kurang setimpal kalau dibandingkan dengan efek lagu-lagu tersebut. Saya menghargai ini sebagai “harta karun” dari intelektualitas dan budaya manusia. Musik telah menjadi bagian dari peradaban manusia dan keberadaannya di masa depan tentu saja bergantung dari bagaimana manusia “memperlakukan” musik. Illegal downloading? Itu pemerkosaan. Setidaknya aturan dalam rumah bordil dapat dijadikan acuan bagaimana cara menghargai “karya seni”. Anda setuju ‘kan? Bukan, bukan hanya tentang rumah bordilnya tapi tentang harga musik yang tadi saya bicarakan, setuju ‘kan? Oke."

Menikmati Musik/enjoying music/appréciant la musique/Musik hören/disfrutar de la música/音楽を楽しむ

"Oke sekarang kita akan coba masuk lebih dalam lagi. Anda siap? Siap tidak? (terkekeh) Tidak usah tegang seperti itu. Saya cuma bercanda. Ah, saya lupa menawarkan Anda rokok. Nih, silakan ambil (menyodorkan bungkus rokok). Ayo. Tidak mau? Kenapa? Oh Anda tidak merokok saat sedang mewawancarai? Oke, baiklah. Tidak apa-apa. Asal Anda tahu ini rokok impor. Lihat (menyodorkan bungkus rokok). Impor. Mungkin Anda ingin tahu soalnya beberapa kali mata Anda melihat bungkus rokok ini. Tenang saja, sehabis ini saya akan memberi Anda satu batang.
             "Sampai di mana tadi? Oke. Hmm (mengerutkan dahi). Dari mana memulainya ya. Sebentar. Hmm. Oke. Begini. Saat tadi Anda menolak rokok yang saya sodorkan karena Anda tidak merokok saat sedang mewawancarai, apakah itu karena alasan profesionalisme? Apakah alasan Anda timbul atas nama pekerjaan? Hmm? Tentu saja bukan, saya sudah menebak. Itu karena Anda membutuhkan momen khusus dalam merokok. Sebuah saat di mana Anda bisa merasakan kenikmatan dari menarik asap rokok ke dalam paru-paru lalu melepaskannya lewat hembusan napas. Anda memerlukan sebuah kondisi, waktu, dorongan, atau apapun, yang bisa membawa Anda mencapai kenikmatan dari menghisap sebatang rokok. Pokoknya segala sesuatu yang membuat Anda mampu mendefinisikan kenikmatan merokok. Dan momen khusus seperti ini, saya berasumsi, adalah faktor kuat yang menyumbangkan sifat adiktif dari rokok, bukan nikotin. Intinya, penolakan Anda adalah karena Anda tahu cara menikmati sebatang rokok, apalagi rokok impor, dan itu bukan dalam keadaan sedang mewawancarai seseorang.
            "Yang ingin saya sampaikan adalah musik, terutama bagi saya, mewakili sifat adiktif yang sama dengan merokok terkait dengan cara menikmatinya. Musik memiliki kekuatannya sendiri. Saya memiliki momen khusus dalam menikmati musik, sebuah kondisi batin yang “lapar” yang menanti musik untuk melahapnya habis-habisan. Sepasang telinga yang siap untuk mendengarkan emosi manusia yang tidak mampu diucapkan tapi hanya bisa disampaikan lewat nada-nada. Momen khusus untuk tenggelam dalam semacam pencerahan yang lewat bahasanya sendiri mampu mempengaruhi diri lebih efektif daripada apa yang diucapkan oleh dosen di dalam kelas. Saya mengatakan bahwa menikmati musik bukanlah hanya duduk dan mendengar, tapi menyerapi, melebur ke dalamnya, hidup dengannya seolah-olah musik sedang membicarakan Anda lalu Anda pun bernyanyi dengan sendirinya dalam pengaruh sihir alam bawah sadar.
            "Tapi yang terjadi tidak demikian. Musik tidak lagi dinikmati secara “sakral”. Musik bukan lagi “barang mewah” yang kehadirannya mampu mengganti profesi psikiatris. Musik tidak lagi memiliki kekuatan terapi. Kecenderungannya sekarang adalah orang-orang tidak tahu musik untuk mewakili dirinya. Mereka tidak dapat memilih bahkan memiliki musiknya sendiri. Mereka tidak memiliki momen khusus sehingga musik pun hanya datang dan berlalu dengan cepat. Reaksi yang ditampilkan dari mendengar musik hanya joget dan meracau, sesuatu yang sifatnya kasat mata, tapi di “dalam”-nya musik tidak meninggalkan jejak apa-apa. Hanya hingar bingar. Kehebohan. Woopsy-doopsy. Da da da. La la la. Bla bla bla. Ibaratnya seperti anak ABG yang merokok. Mereka hanya menghisap dan menghembuskan asap rokok tapi tidak benar-benar merokok sampai menikmatinya. Faktor inilah yang saya rasa juga ikut menyebabkan toko musik itu tutup, yaitu kelemahan dalam cara orang-orang jaman sekarang memperlakukan dan menikmati musik. Huff. Mereka cuma berjoget, berjoget, berjoget, berjoget…"

Kekuatan Musik/The power of music/le pouvoir de la musique/die Macht der Musik/el poder de la música/音楽の力

"Oke sekarang begini. Ambilkan saya kertas dan pulpen. Tolong. Terima kasih. (menggambar sebuah segitiga sama kaki). Ha. Ya, seperti inilah kira-kira. Ini adalah proses wawancara kita (memperlihatkan gambar). Kita membicarakan masalah yang berangkat dari toko musik yang tutup dan itu ada bagian alas dari segitiga ini, yang disebabkan oleh pembajakan yang berada di atasnya, lalu mengerucut menjadi harga musik, kemudian cara menikmati musik. Nah, kita belum sampai pada puncak segitiga yang lancip ini. Dan inilah yang akan kita bicarakan sekarang. Mm maaf, Anda masih punya waktu ‘kan? Oke 15 menit cukup.
              "Begini, cara menikmati musik yang berubah seperti yang saya bilang sebelumnya adalah sebuah gejala. Penyebabnya tentunya adalah sesuatu yang lebih kritis. Selama beberapa waktu ke belakang tadi, saya memberikan “tuduhan” terhadap manusia, orang-orang, para penikmat musik sebagai subjek yang menyebabkan semua kekacauan ini. Namun sebenarnya puncak masalah adalah musik itu sendiri. Saya melihat bahwa inti dari semua ini adalah apa yang terjadi di dalam musik, bukan reaksi orang-orang terhadapnya. Logikanya, apa yang dilakukan orang-orang terhadap musik, yang menyebabkan ditutupnya sebuah toko musik, berangkat dari sebuah alasan. Dan alasan yang berada di puncak segitiga ini adalah kekuatan musik
             "Saya bicara tentang arti musik bagi kita sebagai pendengar. Apa artinya bagi Anda? Kenapa Anda tidak bisa hidup tanpa musik? Anda pasti punya jawaban sendiri. Bagi saya, sama seperti yang dikatakan Bono bahwa musik dapat mengubah dunia karena musik mampu mengubah hidup seseorang. Musik punya kekuatan untuk merubah, sebagai obat yang mewakili perasaan manusia, sebagai suara dari jiwa, hati nurani manusia yang terpendam, sebagai media yang secara gamblang merayakan kemanusiaan, kehidupan, dan peradaban. Anda dengar ‘kan, dalam kata-kata saya musik memiliki arti yang lebih luas ketimbang sekedar nyanyian atau melodi, karena memang itulah kekuatan musik.
              "Namun, entah karena apa, sekarang musik tidak lagi memiliki kekuatan seperti itu. Sekarang musik adalah komoditi. Barang-barang yang ditumpuk dalam kotak lalu dijual. Disebarkan kemana-mana untuk ditukar dengan lembar uang. Dirancang, dihias, dibentuk, didandani, diproduksi sedemikian rupa atas nama bisnis dengan prioritas laba sebelum akhirnya diberi label sebagai musik. Musik, para artis tidak membuatnya atas nama seni atau perubahan, tapi selera pasar. Hasilnya, musik tidak lagi memiliki pengaruh yang kuat sebagai landasan intelektualitas orang-orang, terutama kaum muda, dalam mendefinisikan dirinya, dalam menempatkan dirinya sebagai bagian dari suatu generasi, dalam menyatakan eksistensi mereka. Musik tidak lagi memiliki kekuatan untuk menjadi bagian dari sejarah.
             "Mari kita lihat perbedaannya. Saya ambil dari musik rock, genre favorit saya, sebagai satu-satunya genre yang selalu berkembang dan berpengaruh. Sejak dilahirkan di tahun 50-an, musik rock telah hadir sebagai suara minoritas dari kelas sosial tertentu. Era 60-an, musik rock berbicara dalam tema cinta, melahirkan generasi bunga, gerakan pemuda-pemudi yang meneriakkan perdamaian, mengutuk perang Vietnam, melahirkan para avant-garde musik yang memetakan musik untuk masa depan, yang inovasinya telah memacu revolusi. Inilah era awal sex, drugs, and rock n roll! Era para dewa-dewa seperti dalam mitologi Yunani.
            "Era 70-an adalah kemunculan para pionir. Diawali dengan atmosfer psikadelik yang menampilkan musik sebagai media pengobatan. Lalu muncul para guitar heroes yang mengangkat teknik permainan gitar sampai ke batas maksimal. Musik metal dilahirkan lewat proses persalinan yang tidak direncanakan, dan semakin memperluas daerah jajahan musik rock dalam dunia musik. Era ini dipenuhi oleh berbagai gebrakan. “Stairway to Heaven”, “Bohemian Rhapsody”, Black Sabbath, album The Wall (Pink Floyd), Anda bisa sebutkan sisanya. Dan era ini ditutup dengan manis lewat kelahiran Punk. Semua orang tahu tentang ini, tidak hanya musik, tapi juga filosofi dan gaya hidup yang bertahan sampai sekarang. Anda lihat ‘kan bagaimana musik rock bisa mempengaruhi kehidupan.
           "Era 80-an, New Wave, Hair Metal, Thrash, Hardcore. Muncul gerakan independent yang diprakarsai oleh prinsip Do It Yourself dari musik Punk. Anak-anak muda berlomba-lomba membuat musik sendiri, merekam sendiri, memproduseri sendiri, memproduksi sendiri, lalu menyebarkannya sendiri. Banyak sekali terbentuk subkultur. Straight Edge. Zines. Madchester. MTV. Musik mempengaruhi fashion. Era 80-an dapat digambarkan dengan lengkingan Axl Rose yang mengatakan, “welcome to the jungle!”
           "Era 90-an, seperti yang kita tahu, adalah dekade alternative nation. Aliran-aliran rock berkembang dengan pesat, mewakili keresahan, pemberontakan, kebingungan, kemarahan, semangat anak muda yang seolah terkesampingkan oleh tekanan dan tuntutan hidup. Grunge. Shoegaze. Industrial. Britpop. Lo-Fi. Melodic Punk. Goth. Numetal. Dan Radiohead lahir. Inilah era ketika MTV menjadi kiblat musik. Setiap orang tahu acara-acara MTV.
          "Dan sekarang? Saya tidak tahu. Awal tahun 2000-an memang sempat muncul gerakan garage namun pengaruhnya hanya sebentar. Setelahnya? Tidak ada gerakan, ikatan, aliran musik yang mewakili anak muda. Kita seperti tersesat. Musik tidak lagi memiliki kekuatan untuk membentuk satu generasi. Tidak seperti sebelum-sebelumnya. Karena apa? Salah satunya karena generasi sekarang telah diwakili oleh teknologi, oleh internet, oleh Facebook, Twitter, Blackberry, I-Pod, Myspace, Youtube, dan lain-lain. Ditambah lagi dengan industri musik yang lebih menitikberatkan bisnis pada musik. Semuanya jadi serba materialistis.
           "Musik dalam negeri? Lihatlah apa yang terjadi bila kita menuruti selera pasar. Musik dalam negeri seperti gasing yang terus berputar-putar di tempat. Semuanya seragam. Tema yang diangkat pun melulu tentang cinta, cinta, cinta. Bukan cinta dalam pengertian luas, yang sifatnya agung dan universal seperti lagu-lagu The Beatles, tapi cinta temporer dalam kancah perselingkuhan, pacaran, putus-nyambung, jomblo, jomblowati, seolah-olah anak muda bangsa ini tidak memiliki jalur hidup yang lain selain dari mendalami masalah cinta monyet yang terjadi di sekitarnya. Konyol. Menyedihkan. Yang seperti ini bukanlah musik yang merayakan kemanusiaan. Ini adalah musik sebagai komoditi yang cepat datang dan cepat pergi. Dilupakan. Lalu mati.
            "Mungkin yang demikian itulah yang sedang terjadi pada musik. Ini yang dinamakan dinamika. Musik mungkin sedang berada dalam tahap kepompong. Industri musik pun sedang dalam persiapan untuk kembali dilahirkan mengingat ia tidak dapat menghindar dari kemajuan teknologi. Bentuk musik di masa depan mungkin tidak lagi sama. Tapi yang jelas musik masih tetap akan ada.
           "Yah, musik… (menatap kamera)…akan selalu ada.
           "(bergetar) Dimanapun… musik… dari ujung ke ujung.
           "Saya. Anda. Semua orang.
           "Musik akan selalu ada.
           "Seperti dulu.
           "Dulu.
           "Saat kedua mata mungil ini berbinar-binar.
           "Melihat semua yang disajikan di toko musik.
           "Berjejer dari ujung ke ujung."

Dan cut!
Seseorang tolong ambilkan tisu!

 
***

Sabtu, 23 Januari 2010

The Greatest Artist's of My-Own-Opinion-Land (and why they are all)



"My role in society, or any artist's or poet's role,
is to try and express what we all feel.
Not to tell people how to feel.
Not as a preacher, not as a leader,
but as a reflection of us all.”

(John Lennon)

Ketika saya menuliskan kata artist atau dengan kata lain seniman, maka ini berarti saya menuliskan tentang orang-orang yang beruntung diberkahi semacam bakat dan menggunakannya untuk mengekspresikan dirinya, kehidupan, perasaan, atau apapun itu ke dalam bentuk-bentuk yang, entah bagaimana caranya, mengundang rasa kagum, atau katakanlah indah, artistik, estetis, dalam, menyentuh, dan tidak jarang juga menghipnotis. Ketika saya membicarakan kata artist, maka saya membicarakan mengenai karya, dalam bentuk apapun, terlihat maupun tidak, berwujud fisik atau yang hanya bisa dirasakan, didengar, dilihat, dibaca, hanya bisa disentuh oleh cara atau momen yang berada di alam bawah sadar kita, sehingga dengan sendirinya kita merasa bahwa jiwa kita telah terwakili oleh karya-karya tersebut. Ketika saya berpendapat tentang artist yang hebat, maka saya membicarakan orang-orang yang tidak hanya melakukan pekerjaan dan hidup sebagai seniman, tapi juga hadir untuk merekonstruksi dunia ini dengan cara mereka masing-masing, menyebarkan isi otak mereka ke segala penjuru dunia, lalu menegaskan garis pemisah yang jelas antara mereka dan jutaan manusia lainnya lewat makna kata “jenius”.

Alan Moore



Known as: Comics writer
Notable works: Watchmen, V for Vendetta, From Hell, The League of Extraordinary Gentlemen

Why does he matter:
Alan Moore telah mengangkat derajat komik atau novel grafis menjadi setingkat dengan karya-karya sastra. Ia mengubah setting superhero berjubah lengkap dengan celana dalamnya dari sebuah kota yang sewaktu-waktu bisa didatangi penjahat super yang ingin menguasai dunia, ke dalam dunia suram dengan kondisi politik perang dingin yang memanas yang disajikan dengan begitu apik dan cerdas. Ia membuat Gotham City terasa seperti Wonderland bila dibandingkan dengan gambarannya mengenai Inggris di bawah kondisi totaliarisme di mana untuk bermimpi buruk seseorang tidak perlu tertidur. Atau bandingkan juga dengan gang-gang sempit di abad 19 di mana potongan bagian dalam tubuh manusia bisa saja terinjak secara tidak sengaja oleh siapapun yang melintas. Sebagian besar karyanya memang bernuansa satir, sebagai “parodi” bagi kehidupan sosial dan politik yang mana kekuatan di dalamnya adalah kemampuannya untuk menyampaikan tragedi ke dalam batin pembacanya dengan cara yang lebih cepat dan menarik dari novel-novel Rusia manapun.

Andy Warhol


Known as: Painter, Printmaker, Filmmaker
Notable works: Campbell’s Soup Cans; Marilyn Diptych; Eight Elvises; Camouflage
Why does he matter: Kata avant garde di tahun 60-an begitu sering diucapkan dan disematkan pada tokoh-tokoh seniman kala itu, namun dari semuanya tidak ada yang lebih pantas untuk menyandangnya selain dari Andy Warhol. Yang menjadi alasan utama adalah pengaruh serta nilai dari karya-karyanya yang tak terelakan lagi begitu melekat pada disiplin ilmu desain. Andy Warhol adalah sosok yang paling bertanggungjawab dalam membuat seni di atas kanvas menjadi populer dan mewabah lewat permainan warna yang mencolok, rekonstruksi wajah Marilyn Monroe, dan sebuah kaleng sup tomat. Dia tidak hanya berhenti di situ saja, beberapa persepsi seninya yang bagi sebagian orang terkesan membingungkan, ia tuangkan pula ke media lain seperti film dan musik dengan tema-tema yang konseptual. Andy Warhol mungkin dianggap terlalu berlebihan untuk disebut sebagai pelukis, namun akan menjadi terlalu aneh juga bila dirinya tidak diakui sebagai bagian dari samudra seni lukis dunia. Karya-karya Warhol memiliki kualitas inspirasi yang sangat kuat, mengikat dan memagari konsep desain dimanapun tempat dan bentuknya serta mewarisi kekuatan utama seni yang bernama keabadian, yang akan membawa gaung avant garde-nya menempuh periode-periode selanjutnya di masa depan, marasuki kepala para jiwa muda, dan sebagian dari mereka yang merasa keren karenanya, sehingga kelemahan fisik, status selebritis, dan percobaan pembunuhan terhadapnya tidak akan menjadi lebih penting dari gambar pisang yang Ia buat.

Bob Dylan



Known as: Musician, Poet
Notable works: Freewheelin’ Bob Dylan; Highway 61 Revisited; Blonde on Blonde; Blood on Tracks

Why does he matter:
Joan Baez berpidato sebagai bagian dari pengantar konser Bob Dylan di Newport Folk Festival tahun 1964 bahwa setiap generasi membutuhkan suara yang mewakili mereka. Dan ketika Bob Dylan tampil di atas panggung dengan gitar akustik dan harmonika-nya, semua orang yang hadir di sana duduk diam, mendengarkan “suara mereka” tertiup angin sepoi-sepoi menuju kepala mereka dengan merdunya. Mereka menyaksikan dengan khusyuk refleksi kegundahan mereka terhadap kondisi sosial di kala itu dan kerinduan akan perubahan. Dan ini jugalah yang diperlihatkan oleh Bob Dylan ketika di malam harinya pada konser yang sama, ia memainkan gitar listrik dan bersama band-nya menampilkan distorsi dan tempo cepat pada lagu-lagunya. Penonton tidak suka, mereka bahkan mencemooh, tapi inilah suara Dylan, suara perubahan. Dylan tidak pernah menjadi artis yang sama, ia menyanyikan balada dengan aksen selatan yang kental layaknya seorang bocah desa yang menenteng gitar kemana-mana, lalu berteriak lantang bak orator yang menyindir semua kekacauan yang dilihatnya, kemudian dengan suara sengau bernyanyi dari balik basement seperti seorang pujangga yang terasing, dan bahkan ia merubah musiknya ke dalam atmosfer gipsi yang dipenuhi aroma misteri. Dylan tidak tersentuh waktu, suaranya tak pernah usang, ia masih mewakili tiap generasi sampai sekarang dan terus bernyanyi karena dia tidak akan pernah berhenti untuk selalu berubah.


Charlie Kaufman


Known as: Screenwriter, Film Director
Notable works: Being John Malkovich; Adaptation; Eternal Sunshine of the Spotless Mind; Synecdoche, New York
Why does he matter: Charlie Kaufman bisa dibilang adalah seorang eksistensialis modern. Karya-karyanya selalu mewakili pertanyaan atau bahkan kegelisahan manusia dalam kaitannya dengan tema-tema filosofis seperti identitas, takdir, keabadian, makna dan tujuan hidup yang disampaikan lewat perspektifnya yang unik. Kombinasi keunikan dan eksistensialisme inilah yang akhirnya melahirkan Donald Kaufman, sang alter-ego, tokoh imajiner, atau mungkin justru adalah dirinya sendiri yang lama tersembunyi dalam alam bawah sadarnya. Charlie meletakkan dunia pencariannya yang kaya imajinasi dan dipenuhi oleh tokoh-tokoh yang labil dan neurotik ke dalam layar lebar. Kesimpulan dari cerita-ceritanya memang tidak menawarkan hal baru, hampir bisa ditebak, dan bahkan sudah menjadi bagian dari pendapat umum, namun yang perlu diperhatikan adalah caranya dalam menampilkan prosesnya yang bisa jadi sangat manis (Eternal Sunshine…), ironis (Being John Malkovich), penuh teka-teki (Adaptation), atau mungkin membingungkan (Synecdoche) dan selalu berhasil bertahan di kepala penonton dan terus berputar-putar di sana untuk waktu yang lama. Kemahirannya dalam mengolah sebuah tema berat lewat kreatifitas bertutur cerita adalah modalnya untuk selalu dapat melahirkan karya-karya tour-de-force dan menjadikannya sosok berpengaruh di Hollywood.


Coen Brothers (Joel & Ethan Coen)



Known as: Film Director, Screenwriter
Notable works: Fargo; No Country for Old Men; The Big Lebowski; O Brother Where Art Thou?
Why do they matter: Selain dari cerita yang bagus, apa yang dibutuhkan oleh film adalah karakteristik atau ciri khas penyutradaraan —yang dalam hal ini berarti turut melibatkan keunikan dari kepribadian sutradara dalam kehidupan nyata— yang dituangkan kepada setiap adegan di dalam film. Joel & Ethan Coen memiliki kapasitas visi yang memadai untuk mampu memperluas cakupan film-film yang mereka garap lewat banyaknya topik yang diangkat, variasi genre yang diadopsi, dan periode masa yang bermacam-macam namun selalu dihiasi dengan unsur screwball comedy, thriller, ataupun gabungan keduanya, yang mewakili sisi unik mereka sebagai seniman. Mereka menciptakan karakter-karakter ikonik yang bisa dibilang berangkat atau terbentuk dari kondisi Amerika yang melatarbelakangi setting ceritanya, karena memang inilah yang selalu dilakukan The Coens, yaitu membuat film yang mewakili Amerika sehingga tidak heran kalau terkadang film mereka dihiasi oleh ironi American dreams. Mereka juga ahli dalam membalut dark comedy ke dalam setiap tema kekerasan sehingga seringkali bukannya teror yang dirasa oleh penonton melainkan seni pengalaman sinematis (No Country for Old Men, saat Javier Bardem mencekik leher seorang polisi hingga meronta-ronta di atas lantai). Mereka telah bertahan selama beberapa dekade namun tidak pernah menimbulkan kebosanan walaupun kita bisa melihat jejak repetitif dalam film-filmnya, bahkan orang-orang tampaknya masih betah untuk melihatnya lagi dan lagi dalam beberapa dekade ke depan. Kalau sudah begini, berarti mereka sekarang sudah menjadi legenda hidup.



Herge


Known as: Comics writer, Illustrator
Notable works: The Adventures of Tintin
Why does he matter: Ketika cerita komik bisa bertahan selama beberapa dekade, terus menarik hati pemnggemar baru, dan dibicarakan oleh setiap generasi maka yang patut diingat adalah sosok di balik itu semua, dan Herge adalah orang yang meniupkan napasnya pada Tintin sehingga untuk bisa terus hidup walaupun sudah lama sekali ceritanya berakhir. Rahasia Tintin selain dari petualangan seru yang diselingi dengan humor slapstick-nya adalah kejelian Herge dalam menyelipkan isu-isu humanisme dan sosial yang menjadikannya sebuah satir yang menghibur —kalau tidak mau dibilang menertawakan— bagi kondisi politik di belahan dunia manapun kala itu. Diwarnai dengan krisis pribadi yang menyerangnya, termasuk perasaan yang ditakuti oleh setiap seniman yaitu ketika ide menjadi tumpul, dan juga beberapa pencekalan, Herge melewati semua tekanan dengan menggambar yang semakin meningkatkan kreatifitas dan visinya seperti yang ia lakukan saat mendaratkan Tintin di bulan jauh sebelum Neil Armstrong mengukur setelan astronotnya. Gaya ligne claire yang ia cetuskan dan tampilkan di setiap komiknya membuat karyanya begitu digemari oleh orang-orang dari berbagai usia dan bahkan menginspirasi gerakan-gerakan seni gambar dan lukis yang muncul setelahnya. Herge adalah nama yang menjadi bagian dari kebudayaan populer yang karena jasanya telah membuat orang-orang mengingat nama Belgia.


Jimmy Page



 
Known as: Guitarist, Songwriter
Notable works: Led Zeppelin I, Led Zeppelin II, Led Zeppelin III, Led Zeppelin IV (with Led Zeppelin)
Why does he matter: Oke, semua orang setuju Jimi Hendrix-lah sang dewa gitar. Tapi tanyakan tentang siapa yang pantas memperlakukan gitarnya bak seorang wanita anggun dan menari-nari bersamanya dengan elegan di bawah mantra rock ‘n’ roll yang ia mainkan, maka jawabannya adalah Jimmy Page. Tidak ada orang yang mampu bercinta dengan gitarnya sebaik dia. “Stairway to Heaven” menunjukkan bagaimana awalnya ia merayu sang gitar, menggodanya, merangsangnya, lalu bercumbu, kemudian bercinta sampai akhirnya mencekik lehernya, mengoyak-ngoyak tubuhnya, menghujamnya berkali-kali dan berakhir pada orgasme yang sunyi. Di atas panggung, seringkali ia tampil dengan rambutnya yang menjulur menutupi sebagian wajahnya seolah-olah ia menikmati alienasi yang ia ciptakan sendiri lewat musiknya. Suara petikan Jimmy adalah obat bius yang bersembunyi di balik hingar bingar distorsi dan melodi untuk melepaskan mahluk liar serta meneriakkan kebebasan bagi siapapun yang mendengarnya. Bahkan setelah beberapa dekade berlalu, suara gitar Jimmy Page masih menjadi tempat kembali bagi siapapun yang menginginkan suatu pelampiasan dari kerinduan terhadap kualitas.



John Lennon



Known as: Musician, Singer-Songwriter
Notable works: Revolver, Sgt. Peppers Lonely Heart’s Club Band, The White Album (with The Beatles); Plastic Ono Band, Imagine (Solo Career)

Why does he matter: John Lennon adalah sebuah nama yang di dalamnya terkandung makna yang lebih besar daripada The Beatles, lebih besar daripada musik populer, lebih besar daripada Inggris, dan tentu saja jauh lebih besar daripada gaya rambut moptop. John adalah keseluruhan ide, gagasan, kreatifitas, imajinasi, semangat eksperimen, inovasi, dan rangkaian melodi artistik yang bermuara pada satu kata, yaitu cinta. Karya-karya musik John Lennon berputar-putar pada masalah cinta yang justru membuat makna cinta menjadi lebih luas bukan hanya hubungan antara laki-laki dan perempuan tapi juga merambat pada kemanusiaan dan konsep perdamaian dunia. Selain dari selera humor dan keahlian menggubah lirik, sifat bengal John juga menjadi bagian dari kharismanya yang membuat semua pihak yang mendukung perang Vietnam di tahun 60-an seperti memiliki sesuatu yang dapat menyengat bokongnya sewaktu-waktu. John adalah seorang pemimpi yang tidak hanya menyimpan mimpi-mimpinya dalam gudang angan-angan tapi membawanya keluar dengan mengajak semua orang untuk ikut bermimpi, berbagi, dan mewujudkannya bersama-sama. Musik John Lennon tidak pernah menjadi begitu sederhana dan tidak pula terlalu rumit untuk dimengerti tapi memiliki kedalaman yang mampu mempengaruhi para pendengarnya untuk mulai mengambil gitar dan menciptakan musiknya sendiri lalu menyuarakan apa yang mereka percayai dengan bebas, atau yang terburuk, mempengaruhi mereka untuk merasa dirinya adalah John Lennon. John adalah warisan abad 20 yang paling berharga bagi setiap generasi yang ada di bumi, dan ketika ia mengatakan bahwa The Beatles lebih populer ketimbang Yesus, sepertinya ia mengatakan itu atas nama dirinya sendiri.



John Ronald Reuel Tolkien



Known as: Author, Poet
Notable works: The Hobbit; The Lord of the Rings; The Silmarillion
Why does he matter: Setiap kali membaca novel-novel karya Tolkien ada dua gagasan yang terbesit. Pertama adalah mempercayai jargon bahwa imajinasi manusia adalah sebuah ruang yang tidak memiliki batas, dan yang kedua, lebih bersifat takhayul, adalah bahwa Middle-Earth, hobbit, peri, naga benar-benar ada dan Tolkien adalah orang yang berhasil melintasi waktu lewat lubang cacing untuk menyaksikan semuanya. Tolkien adalah manifestasi dari imajinasi yang luar biasa dipadu dengan kefasihan dalam berdongeng yang menampilkan sebuah epik kemanusiaan, kepahlawanan, persahabatan, dan harapan yang dibungkus rapi dalam balutan fantasi. Tolkien berhasil memasukkan kisah fantasinya ke dalam ranah kesusateraan dunia yang di kala itu sulit untuk mendapatkan tempat dan memperoleh pengakuan sebagai bentuk fiksi yang berbobot. Trilogi The Lord of the Rings mendapatkan titel sebagai kekuatan baru novel tidak hanya karena ceritanya saja, tapi juga detail yang ditampilkan serta fiksi sejarah dan mitos yang telah secara de jure menegaskan bahwa novel-novel lain tidak lebih hanyalah kumpulan cerita karangan biasa. Kesungguhan dan integritasnya dalam menulis cerita novel bisa jadi diwariskan dari pengalaman disiplin dalam kesehariannya sebagai seorang professor di sebuah universitas yang terbiasa dengan hal-hal sistematis dan riset. Suatu hal yang patut disyukuri bahwa pada akhirnya, dalam masa hidupnya, ia diberi rasa kejenuhan terhadap menulis buku-buku textbook dan mengajar, kemudian beralih pada kesibukan mengarang cerita untuk pengantar tidur cucunya. 


Kurt Cobain


Known as: Musician, Songwriter
Notable works: Nevermind, In Utero, Unplugged in New York (with Nirvana)
Why does he matter: Sehabis melakukan konser akustik bertajuk ‘unplugged’ yang terkenal itu bersama band-nya, Kurt Cobain menelepon sang ibu di belakang panggung lalu menangis dan mengatakan bahwa ia telah melakukan konser terbaik dalam hidupnya. Sebelumnya, Kurt juga pernah menangis di belakang panggung dalam suatu konser yang dihadiri oleh ribuan orang yang memujanya, namun bedanya adalah saat itu Kurt menangisi ketenaran yang menempel padanya. Inilah sosok antithesis dari dunia selebritis, kebintangan, atau popularitas di mana setiap orang ingin meraihnya, Kurt justru menanggapinya dengan memerankan seseorang yang bersembunyi dan berlari seakan-akan dikejar hantu. Kurt adalah seorang pemalu yang bersembunyi di balik rambut panjang keemasannya dari tajamnya lampu sorot yang teriakannya, entah mengapa, mampu menggerakan satu generasi untuk berbaris di belakangnya dan berorasi dari ruang kebosanan, kesedihan, dan pengabaian. Yang membuat dirinya merasa bermusuhan dengan keselebritisan adalah karena Kurt lebih menghargai karya-karyanya ketimbang sosok pribadinya sendiri dan dengan caranya ini ia berhasil mewakili kelabilan remaja saat itu untuk membangkang pada kondisi stagnasi yang mereka bentuk sebagai tameng dari tuntutan lingkungan materialis. Ia adalah kemarahan dari sebuah generasi. Dan ia merasa telah menyampaikannya secara khidmat pada konser ‘unplugged’ yang hanya dihadiri oleh segelintir orang itu dengan hiasan lilin-lilin di segala penjuru yang memberi makna sakral pada momen-momen terakhir kehadirannya di muka bumi.

Kurt Vonnegut



Known as: Novelist
Notable works: Slaughterhouse-five; Cat’s Cradle; Breakfast of Champion; The Sirens of Titan
Why does he matter: Saat orang-orang mulai menggemari kisah-kisah mengenai penyihir atau vampir penyebab pertama adalah mungkin mereka terlalu malas untuk membaca novel-novel yang mangangkat tema cinta, persahabatan, kepahlawanan, perselisihan kelas sosial, atau kisah-kisah motivasi. Penyebab kedua adalah mereka tidak mengetahui bahwa ada seseorang yang menulis novel tentang seorang tentara yang jalan hidupnya tidak terikat waktu, agama lucu-lucuan bernama Bokonism, evolusi manusia menjadi mahluk sejenis singa laut, atau suatu masa di mana di bumi ini hanya tersisa satu orang yang benar-benar hidup sebagai manusia, yang tentu saja secara tema lebih atraktif ketimbang novel-novel lain yang beredar di pasaran. Kurt Vonnegut lebih tepat disebut sebagai seorang satiris yang pandai memainkan ironi untuk tema-tema berat seperti perang, industrialisasi, kapitalisme, agama, free will, jati diri, atau sejarah peradaban yang dipadukan dengan gaya humornya yang cerdas sekaligus suram. Karya-karya kontemporer Kurt lahir dari keluh kesah dan kecenderungannya untuk secara serius menanggapi suatu kehancuran, baik itu kehancuran moral manusia maupun kehancuran sistem tata surya ini kelak, yang sekelebatan mungkin pernah ia saksikan sendiri saat menjadi tahanan perang NAZI. Kurt selalu punya cara unik dalam menyampaikan pesan dalam novel-novelnya sehingga tiap kerutan yang muncul di dahi pembaca bukanlah  menyiratkan kebingungan melainkan karena mereka mendengar suara Kurt yang sedang menertawakan diri mereka sendiri.

Michel Gondry


Known as: Film, commercial, and music video Director
Notable works: Eternal Sunshine of the Spotless Mind; The Science of Sleep; Be Kind, Rewind
Why does he matter: Prancis telah sejak lama mewariskan kualitas dan inovasi pada kancah perfilman dunia lewat sutradara-sutradara auteur, film-film gaya baru dan artistik, dan tentu saja, festival film Cannes yang tidak “se-arogan” Academy Awards namun memiliki cita rasa sendiri yang berkelas, khas Prancis. Dan bicara ciri khas, Michel Gondry beruntung karena telah mewarisi bakat Prancis yang menggabungkan auteurisme, sisi artistik, dan tetap “membumi” dengan bergerak di kancah indie namun tetap berada di jalur yang tepat pada selera mainstream. Kelebihan Gondry adalah visualisasi yang menarik yang mampu menerjemahkan sisi kedalaman dari cerita secara manis dan mempengaruhi penonton untuk menjadi adiktif terhadap dimensi artistik dari seni sinematografi. Karya-karya filmnya selalu mengandung unsur magis walaupun berangkat dari konsep cerita sederhana berkat kepiawaiannya mengolah efek visual seperti terlihat dari beberapa karya video klip dan iklan televisi yang dibuatnya yang menampilkan sisi humor, keanehan, geeky, out-of-the-box, dan yang sangat mewakili Prancis, romantis. Kreasi Gondry sangat tidak dapat ditebak mengingat kesegaran yang selalu dia perlihatkan dalam setiap proyek yang dikerjakannya, dan karena alasan ini ditambah dengan kejeniusan yang sepertinya telah begitu lama menjadi bagian dari hidupnya, maka tidak akan heran bila seandainya orang-orang berharap bahwa di kemudian hari dia akan membuat sebuah film science-fiction terindah yang pernah ada.


Noel Gallagher


Known as: Musician, Songwriter
Notable works: Definitely Maybe, (What’s the Story) Morning Glory?, Dig Out Your Soul (with Oasis)
Why does he matter: Noel Gallagher adalah potret sosial kelas pekerja Inggris yang berwatak pekerja keras, memiliki kebiasan menyumpah dan mencela, egosentris, fanatik klub sepakbola setempat, gemar bersosialisasi, suka minum, selera humor yang segar, mendengarkan musik rock lokal, dan yang lebih penting, bertindak dan menjalani hidup atas dorongan satu hal: mimpi. Mimpilah yang memenuhi sela-sela ruang di kepalanya saat menatap Johnny Marr bermain gitar di layar kaca. Dan mimpi jugalah yang menjadi bumbu magis dari setiap lagu yang digubahnya sehingga dengan mudah ia dan band-nya meraih hati orang-orang yang telah terbiasa mendekam dalam pesimisme musik grunge. Noel mengambil peran sebagai otak dari hentakan distorsinya serta alunan baladanya yang selalu bersifat anthemic dan selalu berhasil untuk mengundang ribuan orang melompat-lompat sambil bernyanyi bersama dalam panggung konser. Secara attitude, ia menunjukkan betapa kerennya untuk berbicara jujur mengenai apapun, siapapun, termasuk saudara kandung sendiri. Di sisi lain, ia juga memperlihatkan bahwa bukanlah suatu dosa apabila secara terang-terangan menunjukkan ke dalam musiknya dari mana inspirasinya berasal. Dan karakter yang melekat pada dirinya adalah sosok yang bagi siapapun yang merasa membencinya takkan pernah bisa lepas dari kenyataan bahwa sebenarnya mereka juga mengaguminya. Dia adalah salah satu penyelamat dari musik rock dan ia tahu ia pantas dihargai lebih banyak dari itu. The Wisest Man of Rock? Rasanya tidak terlalu berlebihan.

Stan Lee



Known as: Comic Book Writer
Notable works: Spider-Man; Fantastic Four; Hulk; X-Men; Iron Man
Why does he matter: Superman adalah superhero sempurna dengan semua kekuatan yang dimilikinya setidaknya cukup untuk dibagi ke tiga atau empat superhero lain. Batman adalah superhuman yang sempurna dengan kehidupan normal sebagai milyuner lalu di malam hari menjadi seorang detektif handal yang dipersenjatai alat-alat canggih dan penguasaan ilmu bela diri. Tapi Stan Lee mendefinisikan superhero secara berbeda. Superhero versi Stan Lee  lahir dari sebuah kecelakaan yang tidak diinginkan oleh karakternya, beberapa diantaranya bahkan menolak kondisi tersebut dan menganggapnya cukup menyiksa, dialami oleh karakter-karakter yang menjalani hidup dengan biasa-biasa saja, yang akhirnya menunjukkan bahwa menegakkan kebenaran merupakan pekerjaan yang menyusahkan. Stan Lee mungkin telah berhasil merekonstruksi istilah mutan dan memperkenalkannya dengan cara yang menarik sekaligus juga menggambarkan efek paranoia yang ditimbulkannya (seperti dalam X-Men, yang merupakan sekumpulan mutan labil). Di samping kekuatan super yang ia sematkan pada tokoh-tokohnya, ia sukses menghadirkan kisah superhero disertai dengan dosis humanisme yang membuat karya-karyanya dapat dengan mudah menyentuh para pembacanya yang merupakan bagian dari kehidupan normal. Stan Lee berhasil dengan tidak menjadi terlalu berlebihan dalam menciptakan tokoh superhero, minus kostum norak yang didominasi jubah dan celana dalam, dan memberikan secercah harapan bagi setiap anak kutu buku dengan kaca mata tebal dan bintik-bintik jerawat bahwa suatu saat mereka bisa menjadi seorang superhero yang keren.



Stanley Kubrick



Known as: Film Director, Screenwriter
Notable works: 2001: A Space Odyssey; Dr. Strangelove; A Clockwork Orange; The Shining; Full Metal Jacket
Why does he matter: Apa yang membuat Stanley Kubrick menjadi legenda dalam dunia perfilman dunia salah satunya adalah karena kemampuannya dalam menggarap film-film lintas genre. Stanley tentu bukan tipe sutradara yang secara penuh menjadi habitat dari dunia akademis perfilman di mana di dalamnya terdapat pembagian spesialisasi kelas genre film, ia adalah murid yang secara serampangan menghadiri kelas-kelas manapun yang ia mau atas dasar keinginan besarnya untuk selalu mencoba segala sesuatu dan kecintaannya terhadap sinema. Dan yang tidak lupa untuk digarisbawahi adalah ia berhasil di setiap genre yang ia buat. Carilah di internet dengan kata kunci daftar film terbaik berdasarkan genre maka nama Kubrick akan berada di urutan teratas, dari mulai komedi (Dr. Strangelove), sci-fi (2001), horror (The Shining), action/war (Full Metal Jacket), epic (Spartacus), drama kriminal (A Clockwork), dan semuanya membuktikan bagaiamana kehadirannya telah cukup sukses menginvasi dunia film dan menjadikannya role model bagi setiap anak muda yang berandai-andai untuk menciptakan film yang lebih hebat dari The Godfather. Kubrick selalu berhasil menciptakan trademark bahkan menetapkan standar baru dari film-filmnya. Kejeniusan Kubrick dalam karir penyutradaraannya adalah harga mahal yang bahkan piala Oscar-pun tak sanggup untuk membayarnya sama sekali.



Quentin Tarantino


Known as: Film Director, Screenwriter
Notable works: Reservoir Dogs; Pulp Fiction; Kill Bill vol 1 & 2; Inglourious Basterds
Why does he matter: Jika menonton film yang dihiasi dengan darah yang tanpa basa-basi muncrat, kematian dengan cara yang menggelikan, sadis, atau di sisi lain, tampak keren, dialog-dialog panjang yang memancing kerutan dahi namun mengalir dengan begitu cerdasnya, serta kecenderungan untuk menggolongkan kekerasan di dalamnya sebagai bentuk komedi gaya baru, maka film itu tidak lebih adalah refleksi dari dunia otak kanan Quentin Tarantino. Seorang auteur yang bisa dibilang merevolusi tatanan film –yang sebelumnya telah dikerangkeng oleh pola komersial Hollywood– berkat kegemarannya menonton film-film kelas B di gedung bioskop murahan. Tidak ada garis pemisah yang jelas antara protagonis dan antagonis, karena memang bukan itu tujuannya, melainkan persepsi penonton yang dipelintir dalam memahami kedua peran tersebut melalui sudut pandang yang berbeda. Kelebihan lainnya adalah ia menyelipkan “pop culture” ke dalam filmnya yang membuatnya dengan mudah melekatkan imej dari beberapa unsur filmnya ke dalam kepala penonton sesaat setelah film berakhir. Quentin piawai dalam memadukan cerita sepele dengan karakter unik tokoh-tokohnya sehingga menghasilkan konflik menarik sampai pada klimaksnya yang tidak dapat ditebak. Tidak ada yang akan menyangkal bahwa pada akhirnya orang-orang akan menyukai film-film Quentin, tak peduli seberapa banyak galon darah yang ia gunakan dalam proses produksinya.



Radiohead


Known as: Alternative Rock Band
Notable works: The Bends; OK Computer; Kid A; In Rainbows
Why do they matter: Mengikuti perkembangan musik Radiohead sama halnya dengan mengikuti perkembangan jaman yang terus bergerak ke arah kematangan dan kedewasaan. Mereka tidak pernah terjebak dalam repetisi dan karenanya mereka selalu terhindar dari momok menjadi membosankan. Kata kuncinya adalah inovasi. Dan ini tidak hanya terjadi di area musikalitas mereka saja tapi juga pada cara menyebarkan musik di era digital ini. Radiohead merilis “In Rainbows” ke pasaran dengan membiarkan pembeli menentukan sendiri harganya yang untuk selanjutnya diikuti oleh sejumlah musisi yang mengadaptasi cara ini untuk bertahan di dunia musik era millennium. Sejalan dengan musiknya, mereka meletakkan kejeniusan sebagai fondasi dasar dari suara-suara yang mereka hasilkan, sampai ke bentuknya yang ekstrem dan abstrak, dan menyerahkan kepada telinga pendengar untuk mengartikannya sendiri ke dalam bentuk emosi. Mereka menampilkan “galeri seni” ke dalam musik dan inilah mengapa dalam satu dekade terakhir walaupun mereka tidak memiliki satu single pun yang masuk chart, mereka tetap dianggap sebagai band yang paling penting.


Walt Disney



Known as: Animator
Notable works: Mickey Mouse; Donald Duck; Goofy; Pluto; Snow White and the Seven Dwarfs
Why does he matter: Kata magis atau keajaiban tidak memiliki makna lain yang lebih kuat kecuali jika disandingkan dengan nama Walt Disney. Walt memukau dunia lewat “Steamboat Willie”, animasi kartun hitam putih yang menggunakan suara, lalu disusul dengan kemunculan “Snow White and the Seven Dwarfs” yang tercatat sejarah sebagai film fitur animasi pertama dan juga sebagai film animasi berwarna pertama, selanjutnya ia mencetuskan gagasan mengenai Disneyland yang merupakan bagian dari mimpinya untuk mendirikan sebuah theme park yang megah. Sampai di sini bisa dilihat bahwa Walt merupakan seorang seniman visioner yang dari kepalanya mengalir ide-ide inovatif yang disertai ketekunan serta kesungguhan dalam menguji batas kreatifitasnya. Kehadiran dan kontribusinya dalam dunia animasi telah menularkan ribuan inspirasi kepada banyak orang dan mengukuhkan film animasi sebagai media hiburan keluarga yang sarat makna. Walt adalah peletak batu pertama bagi industri animasi yang kini berkembang semakin pesat. Lebih jauh lagi, dia adalah sosok yang darinya semangat untuk meraih mimpi dan hasrat untuk melakukan hal-hal yang mustahil bergaung kencang ke segala penjuru. Walt Disney bukan hanya sebuah nama besar tapi juga jaminan bagi setiap orang mengenai indahnya perwujudan dari sebuah impian, harapan, dan cita-cita. Jadi mari kita semua sama-sama mengucapkan: "Terima kasih banyak!"

Kamis, 07 Januari 2010

montage in 3:28

"Love is a promise, love is a souvenir,
Once given never forgotten, never let it disappear."

(John Lennon)

I made this clip just to show how beautiful this John Lennon's most underrated song called "Love" is. Nobody makes song like this anymore nowadays. This is exactly from an age when everybody agreed that music is a form art, not a commodity.

Minggu, 03 Januari 2010

With My Feet Barely Stands


Windy breeze, thin air, standing on top of a mountain to fluently talk about smallness
Caressing my own voice that's frequently echoing the sorrow that escapes with no clothes
Birds walk along with conceit glued to their furs, blatantly appear amid solitude
It's so soothing, the feeling that remains unsolved crept in slowly from my boots

A divine roaring, somewhere, sometimes, wakes the whole part of my heart-shaped iceberg loudly

Sounds like a thousand whispers, harmonizes in a choir, beautifully sings about what life can be
If eyes could start trying to understand what heart eagerly want to see

Dark clouds were hanging there, greedily ate each other so the light could land on the ground
But it took so long, when the sun finally shone, to realise what has been lost and found

Is that a huge creature named dinosaur that's reflected abstractly at the rippled-water?
Or is that the size of ignorance that all the time has politely chose me as its carrier?

Now i forget the feeling of waiting hopefully for the phone to ring
Of getting extremely excited in response of an invitation from human being
The lighthouse has intensely guided me and left my mind shattered
On a boat upon a promised stream of living happily ever after

How i envy that little girl, the blonde one, who could obviously see an unicorn
For the beat of my heart hastily tell me to wish upon it for being reborn

January 2010

Sabtu, 02 Januari 2010

"you're not cracking up, you're just getting older..." *

"Old age is just a record of one's whole life."

(Muhammad Ali)

The Little Boy and the Old Man by Shel Silverstein

Said the little boy, "Sometimes I drop my spoon.
"Said the old man, "I do that too."
The little boy whispered, "I wet my pants."
"I do that too," laughed the little old man.
Said the little boy, "I often cry."
The old man nodded, "So do I."
"But worst of all," said the boy,
"it seems Grown-ups don't pay attention to me."
And he felt the warmth of a wrinkled old hand.
"I know what you mean," said the little old man.


Waktu di sebuah rumah makan di mana ibu saya terus membolak-balik halaman menu, memakai kacamata bacanya, membaca huruf-huruf kecil di menu dengan terbata-bata, terus-menerus bertanya pada pelayan, dan mengulang-ulang apa yang telah diucapkan padanya, sementara ayah saya terus menggerutu selama perjalanan menuju restoran, duduk dengan wajah lelah, hanya memakan sayur dan daun-daunan, tidak banyak bicara, dan setiap hari selalu tidur malam sebelum TV menyiarkan film luar negeri yang bagus, entah mengapa, saya akhirnya mengakui dan menyadari bahwa umur mereka telah bertambah. Mungkin inilah saatnya ‘tongkat kendali’ saya ambil. Inilah saatnya saya menyadari hakikat menjadi seorang anak. Ini saatnya saya menjadi ‘ada’ bagi mereka dalam melewati waktu dan hari-hari seterusnya tanpa harus mencemaskan diri karena siang dan malam telah membuatnya menjadi bertambah tua.

Don't worry Ma. Don't worry Pa. You're just getting older.
Just like we all are.
And it doesn't change what I feel.
Because I don't really care about what you look like.

* Taken from the song 'Just Getting Older' written by Noel Gallagher performed by Oasis.