Sabtu, 08 Desember 2012

Life is Words Away

 "Adjectives are frequently the greatest enemy of the substantive."

(Voltaire)








nietzsche family circus cartoon 
They call you heartless; 
but you have a heart, 
and I love you for being ashamed to show it.

Sabtu, 04 Agustus 2012

Airbag Was Made For Homo Sapiens


 "A rat in a maze is free to go anywhere, as long as it stays inside the maze."

(The Handmaid's Tale, Margaret Atwood)
Dengan Waktu yang masih terus berjalan sambil meninggalkan di belakangnya jarak-jarak sejarah sebanyak yang bisa diingat oleh manusia ―lalu bumi dan karirnya yang monoton dalam mengelilingi matahari selama jutaan tahun― maka sekarang, tidak ada lagi yang tersisa dari kehidupan ini untuk dibicarakan karena semuanya sudah pernah dikatakan. Semua hal sudah diucapkan.

Ide-ide besar telah disampaikan, baik dengan dibisikkan maupun diteriakkan. Diantaranya bicara tentang revolusi, inovasi, atau ambisi tinggi untuk menaklukkan dunia. Ide-ide hebat telah selesai diceritakan, tentang penemuan, pencapaian, sampai penjelajahan menuju ruang angkasa yang tak berbatas. Ide-ide rumit mengenai filosofi, ilmu pengetahuan, dan Tuhan telah habis disabdakan dari masa ke masa. Ide-ide yang mustahil sudah pernah diumumkan, tentang masa depan, tentang langit di atas langit, sampai tentang dunia lain yang akan muncul setelah kematian datang. Pun demikian dengan ide-ide buruk tentang perang besar, kematian massal, dan kiamat yang akan meluluh-lantakkan apapun pernah ada, semua itu sudah diumumkan berulang-ulang kali.

Dan dengan kondisi tersebut, maka apa lagi yang masih tersedia untuk dibicarakan oleh manusia di peradaban baru ini? Di tepi zaman di mana semuanya sudah pernah dilakukan dan terjadi, di dalam koridor kehidupan yang mengarah kepada dinding buntu di mana kata-kata habis ditelanjangi oleh maknanya sendiri, tidak ada lagi yang bisa dibicarakan di sini selain tentang kesepian. Kesendirian. Keterasingan yang kita dandani di atas panggung interaksi.

Kita adalah produk terakhir dari pabrik peradaban modern dan kita telah dilengkapi dengan sistem autopilot. Kita ―tipe terbaru dari “kesadaran dalam kemasan”, dengan sensor dan radar untuk mengidentifikasi makna baru dari eksistensi― hidup dalam takdir versi 2.0 bahwa manusia terlahir sebagai mahluk terasing, bukan lagi sebagai mahluk sosial. Maka dalam interaksi, kebutuhan primer kita adalah untuk secara pasif diperhatikan, disadari, dikomentari, dan kebutuhan untuk dibutuhkan yang kesemuanya dilandasi atas nama citra. Dan pencitraan, itulah nama dari program di kepala kita yang membuat kita semua secara otomatis hidup dalam konsep-konsep pemasaran diri.    

Manusia telah menjadi subproduk; produk dari produk yang diciptakan oleh manusia lain dan interaksi kita adalah sebuah bentuk promosi. Cara kita berinteraksi sekarang ditentukan oleh medium yang digunakan dan karena itu kita telah terstruktur, terkonstruksi, ter-sintaks oleh karakteristik dan bentuk dari medium tersebut. Kita teridentifikasikan oleh media interaksi yang kita pakai untuk berkomunikasi dengan satu sama lain dan itu sebabnya interaksi lebih menyerupai tindakan mempromosikan media atau produk yang telah “menciptakan” kita sebagai produknya sendiri. Kita adalah agennya, staf-nya, salesman untuk gaya hidup alienasi massal yang telah termodernisasi.   

Maka kita bisa bangga tercipta sebagai mahluk terasing karena kita hidup di waktu yang tepat, saat bumi sudah miliaran kali berputar dan semuanya sudah pernah dilakukan. Di sini sudah tidak ada lagi yang bisa dibicarakan selain kenihilan, ketidakbermaknaan, kekosongan. Namun begitulah kita berbicara sekarang, berkomunikasi, berinteraksi dengan sesama. Kenihilan adalah sesuatu yang “menjual”, menghibur, ringan, adiktif, menarik untuk dibicarakan, menyenangkan, menyegarkan, mencerahkan, sebagai bahan bakar utama dari mesin yang menggerakkan kebutuhan manusiawi kita untuk berinteraksi. Itulah yang kita punya, sebagai modal dari proyek bisnis besar yang disebut peradaban. Hanya itu yang bisa kita bagi dan hanya itu yang tersisa sekarang. Yang lainnya sudah pernah dibicarakan.

Tidak ada lagi ide-ide besar yang tersisa…
(dan menunggu terasa membosankan).

Senin, 23 April 2012

Narasi Adiksi

 "So play the game 'Existence' to the end, of the beginning..."

(Tomorrow Never Knows, The Beatles)

Seperti ketika memeriksa daya penglihatan di ruang klinik mata di mana pasien dipersilahkan duduk tegak untuk kemudian menatap dan menyebutkan apa yang saja yang bisa ia lihat beberapa meter di depannya, pertama-tama pasien akan diuji dengan mata telanjang. Lalu si pemeriksa akan menanyakan, apa yang anda lihat di depan anda ─ sekarang? Coba sebutkan! Kemudian setahap demi setahap pasien dipakaikan kacamata dengan berbagai jenis lensa sampai semuanya bisa ia lihat dengan lebih jelas dan nyata. Lihat semuanya... dengarkan bagaimana orang-orang menyebut kehidupan sekarang sebagai era teknologi, era informasi, era wireless, era dunia maya, era media sosial, era web 2.0... tapi dari balik lensa kau melihatnya... ini adalah era adiksi... ketika manusia berubah menjadi stopkontak. Lucu bagaimana rokok, pil ekstasi, bubuk kokain, heroin, berubah bentuk menjadi lebih futuristik... menjadi layar dan tombol... dihisap, ditelan, dihirup, disuntik... dirangkum ke dalam satu cara, dicolokkan... karena stopkontak tidak akan memiliki esensi bila tidak dicolokkan oleh sesuatu... dan demikianlah eksistensi manusia sekarang... babak baru dari peradaban... selamat datang zat adiktif baru... selamat tinggal teori evolusi Darwin... kita adalah sesuatu yang harus dicolokkan untuk hidup, untuk menjadi manusia seutuhnya. Mungkin terdengar konyol, manusia menjadi stopkontak... tapi lihatlah lebih dalam lagi... dengan lensa yang paling presisi... maka pasien bisa melihat dengan lebih jernih apa yang ada di hadapannya... susunan huruf... berbentuk Y, diikuti O, lalu U. Dan kini kau bisa membacanya dengan jelas.   

Senin, 02 April 2012

I Know There Are Some Reasons Not to Eat Up My Popcorn Until the Credit Rolls. Well... Taking Popcorn to A Movie is A Silly Thing Anyway, It Only Works for Watching Horror

 "I'd imagine the whole world was one big machine. Machines never come with any extra parts, you know. They always come with the exact amount they need. So I figured, if the entire world was one big machine, I couldn't be an extra part. I had to be here for some reason."

(Hugo) 

The Artist


Di era film bisu tahun 20-an, George Valentine adalah pusat rotasi dunia. Ia tersenyum tanpa henti di atas panggung di bawah lampu sorot sementara ribuan pasang mata bertepuk tangan. Dialah bintang utama di setiap bioskop, lampu blitz selalu terarah padanya. Sampai kemudian, ia bertemu dengan seorang figuran debutan, Peppy Miller. Dengan spidol, George membuat sebuah titik tahi lalat di atas bibir Peppy sambil menasihati bahwa untuk menjadi artis, seseorang harus memiliki apa yang tidak dimiliki orang lain. Dari situ keadaan berbalik, George terpuruk sementara Peppy meraih bintang ketenaran.

Tapi ini bukan semata-mata karena tahi lalat, ini adalah kisah tentang pergantian musim di negeri Hollywood saat kemajuan teknologi telah memungkinkan sebuah film untuk merekam suara. Silent movie ditinggalkan penonton, George ditinggalkan popularitas, lambat laun yang tersisa hanyalah dirinya, kenangan, dan si anjing peliharaan yang setia (Uggy, penampilannya di film ini melebihi akting Lassie). Film bersuara yang awalnya dia tertawakan kini balik menertawakan George yang mendekap roll filmnya di balik asap hitam. Dia tidak mampu melawan roda dunia sendirian sebelum ia mampu meruntuhkan selimut egonya. Dia menjadi contoh kehidupan pelaku dunia showbiz yang selalu rentan tergerus waktu lewat derita post-power syndrome. Bagaimanapun juga dia harus bisa menerima bahwa publik menginginkan hal yang baru dan publik tak pernah salah.

Walau dibuat dalam format hitam-putih dan tanpa suara dialog, sutradara Michel Hazanavicius masih tetap bisa mengeksplorasi sisi kreativitasnya ke dalam scene-scene yang ekspresif. Jean Dujardin sukses memerankan tokoh utama lewat permainan gestur dan mimik yang memikat. Sebuah persepsi baru harus dibangun, bahwa penggunaan metode lama bukanlah sesuatu yang ketinggalan zaman, tapi keberadaannya justru memberikan banyak pilihan dalam berkreasi di tengah keseragaman dan klise yang mewarnai dunia modern sekarang. Less is more, monochrome is color.    

The Descendants


Matt King mungkin saja memahami hidup sebagai rentetan dari awkward moments yang kerap muncul kapanpun dan dimanapun, entah siap atau tidak. Dia seorang lelaki paruh baya yang tinggal di Hawaii, terlibat dalam bisnis keluarga mengenai tanah warisan leluhur, punya dua anak perempuan usia 17 dan 10 tahun yang butuh pantauan non-stop, istrinya terbaring koma di rumah sakit karena kecelakaan di laut dan tentu saja ia punya seorang mertua yang selalu menyalahkannya atas nasib sang istri. Semuanya tampak baik-baik saja sampai putri sulungnya memberitahu bahwa selama ini ia telah diselingkuhi sementara dokter rumah sakit menyampaikan kabar bahwa istrinya takkan bisa selamat. 

Film ini bercerita banyak tentang keutuhan sebuah keluarga dengan Matt sebagai tokoh sentralnya. Ia adalah sosok ayah yang canggung saat berhadapan dengan kedua putrinya karena selama ini kedua anaknya itu diurus oleh istrinya. Ia harus berurusan dengan anak pertamanya yang sedang dalam fase pubertas remaja yang bergejolak (diperankan secara memikat oleh pendatang baru Shailene Woodley) sedangkan putri bungsunya tidak bisa menjaga mulut dari kata-kata kasar. Selain itu proses bisnis yang berlangsung dengan para sepupu dari keluarga besarnya pun berjalan alot. Belum lagi perasaan sakit hatinya terhadap sang istri, yang ibaratnya menghakimi seorang kriminal lumpuh dan  mau tak mau dosanya harus dimaafkan ("Goodbye my love, my friend, my pain, my joy"). 

Dikemas secara ringan sekaligus witty oleh sutradara Alexander Payne (Sideways, About Schmidt), film ini melebur dilema dan kekonyolan jadi satu dalam tiap frame.  Matt dan keluarganya pergi menelusuri Hawaii demi mencari selingkuhan istrinya itu namun dengan maksud hanya untuk memberi kabar bahwa istrinya akan meninggal dunia, tanpa emosi ataupun bak-bik-buk karena bagi Matt semuanya sudah terlambat. Petualangan kecil keluarga kecil Matt ini mampu membuahkan kesan tersendiri yang walaupun bukan kisah liburan yang menarik untuk ditulis pada tugas mengarang, namun cukup manis untuk dikenang sendiri. Semanis Matt dan dua putrinya yang akhirnya duduk di atas sofa dengan mangkuk es krim di depan TV dan mereka berbagi satu selimut bersama-sama.

The Girl with the Dragon Tattoo


Dalam banyak hal di film ini (juga bukunya), Lisbeth Salander adalah simbol pop culture bagi isu kekerasan terhadap perempuan di manapun yang mewakili korbannya maupun sebagai tokoh perlawanannya. Dua peran tersebut tercermin pada karakternya yang unik: biseksual, asosial, kurus kering, pucat pasi, tindikan, dingin, hacker, ingatan fotografis, cerdas, yatim piatu, dipelihara negara, dilecehkan secara seksual, mencintai laptopnya, membenci ayah asuh barunya dan dalam salah satu scene yang cukup mengganggu, ia secara paksa mentato perut ayah asuhnya itu yang diikat di kamarnya dengan desain tato terburuk yang berbunyi I am A Rapist Pig. Maka ketika Mikael Blomkvist, seorang wartawan, laki-laki, memintanya untuk menjadi asistennya dalam memecahkan sebuah kasus kriminal, tidak ada tawaran yang lebih baik lagi selain kesempatan untuk meringkus pelaku pembunuhan perempuan berantai.

Lisbeth adalah seorang perempuan dengan 'perisai' di sekujur tubuhnya yang tidak percaya dengan konsep kecantikan dan menggantinya dengan sikap punk. Ia tidak ragu untuk mendeklarasikan dirinya sebagai orang sakit jiwa. Ia kehilangan segala emosinya dan memahami hidup dalam dua keadaan, rasa sakit dan segala hal yang bisa dilakukan untuk mengalihkannya. Opening credit film ini mempersembahkan dengan secara imajinatif sinopsis isi dunia Lisbeth yang hitam, kacau balau, tar, goth, dan di satu titik, meledak. Semuanya terjadi di dalam film, menghanyutkan penonton dalam gelombang disfungsional. Lalu ketika di ujung film Lisbeth yang sedang bermain catur dengan mantan ayah asuhnya yang terkena stroke, mengadu: "I'm different now. I've made a friend," maka penonton akhirnya mampu mengidentifikasi sebuah benang merah dalam kodrat tiap manusia, yang normal maupun tidak, tentang kebutuhan eksistensial sebagai mahluk sosial. Walaupun hanya sebentar ditunjukkan, namun di situlah momen Lisbeth yang membuat penonton melepaskan  hembusan lega setelah di sepanjang film tingkah-lakunya memaksa mereka untuk menahan napas.

David Fincher kembali lagi dengan tone suram ala Se7en dengan tambahan adegan kekerasan seksual yang menyakitkan. Alunan scoring dari Trent Reznor dan Atticus Ross mewarnai film dalam gradasi dark meets cold. Rooney Mara memerankan karakter Lisbeth dalam totalitas tinggi lewat setiap "siksaan" fisik yang harus ia jalani sendiri untuk film ini. Ia menampilkan sebuah performance art yang berhasil mempersonifikasikan tokoh rekaan Stieg Larsson itu menjadi sesuatu yang ikonik. She's an instant classic with elegant edgyness that grabs my attention.  

Oh ya, film ini bercerita tentang pencarian seorang putri dari keluarga kaya yang dilakukan oleh dua orang di mana salah satu di antara mereka adalah James Bond.
 
Hugo


Trailer film ini menimbulkan pertanyaan, benarkah ini disutradarai oleh orang yang membuat Raging Bull? Bukan meremehkan, tapi film keluarga dengan tokoh utama anak kecil yang kejar-kejaran di stasiun kereta api dalam 3D dan... Martin Scorsese? Hugo seorang yatim piatu yang bekerja untuk mengatur dan merawat mesin mekanis jam-jam di sebuah stasiun, memenuhi kesehariannya dengan mencuri roti dan mencari alat yang bisa menggerakkan automaton pemberian ayahnya. Lalu ia bertemu seorang gadis cilik yang mengenakan kalung khusus yang mampu mengoperasikan alat tersebut. Dan automaton itu pun bekerja, menggambar sesuatu di atas kertas kosong, gambar bulan berwajah manusia yang salah satu matanya tertusuk roket. "Les Voyage Dans La Lune", A Trip to the Moon! Georges Melies! Scene dari film sci-fi pertama di dunia! Maka Hugo berubah plotnya menjadi sebuah film tentang film! Dan ya, ini memang cocok sebagai filmnya Scorsese. Nostalgianya.

Ber-setting di Paris era 30-an, Hugo dan teman gadisnya bertualang menelusuri jejak-jejak perjalanan sinema di dunia yang kemudian mempertemukannya dengan sosok Melies, sang legenda yang menjalani kehidupan baru di mana dirinya berusaha meninggalkan masa lalunya, ratusan filmnya, studionya yang megah, dan popularitasnya. Kariernya berakhir karena perang dunia, bahkan orang-orang menyangkanya sudah tewas di medan perang. Melies hidup menjalani masa tua dalam bayang-bayang semu dan Hugo datang kepadanya sebagai sebuah sosok besar yang menakutkan, menghantui dan innocent, seperti mimpi dan harapan yang menghinggapi Melies dulu ketika masih menjadi seorang pesulap dan mendatangi pertunjukan film Lumiere bersaudara. "If you've ever wondered where your dreams come from, you look around... this is where they're made," ia menyatakan cintanya terhadap film dan ketidakbahagiaan menjadi resiko yang harus ia tanggung di kemudian hari karena pengabaian terhadap cintanya itu.

Hugo yang kecil dengan mata yang berbinar saat menyaksikan film adalah mata Scorsese dalam mengenang titik awal karier penyutradaraannya yang panjang dan inspiratif. Diangkat dari sebuh novel grafis The Invention of Hugo Cabret karya Brian Selznick, cerita ini bukan hanya berpusat tentang film tapi juga sebuah ode bagi Georges Melies sebagai figur yang mewakili mimpi-mimpi manusia yang di suatu waktu telah berhasil melewati garis-garis batas kemustahilan. Juga cerita tentang kerja keras dan hasrat manusia sebagai dua kekuatan dalam membangun dan mewujudkan impian. Hugo berhasil menunjukkan bahwa pada akhirnya cinta pertama akan selalu ada dan takkan pernah bisa dilupakan, segigih apapun usahanya.
     
Once Upon A Time in Anatolia



Sekelompok pria berkendara di malam yang gelap dan berangin di kawasan daratan Anatolia untuk mencari mayat korban pembunuhan yang terkubur di suatu tempat. Orang-orang ini adalah polisi, jaksa, dokter, tentara, tukang gali, dan dua orang tersangka kasus kriminal tersebut yang sialnya, lupa di mana persisnya tempat mereka menguburkan mayatnya sehingga malam itu menjadi malam yang dilewati dengan panjang dan melelahkan oleh mereka semua. Dan sepanjang malam itu pula masing-masing berhadapan dengan rahasia kecilnya.

Film ini tergolong agak kompleks untuk dicerna, layaknya film khas festival, terutama untuk menunjukkan siapa yang menjadi tokoh utama di dalam film karena setiap tokoh bergantian mendominasi tiap scene yang ada. Banyaknya misteri, termasuk plot yang tidak serta-merta didiktekan kepada penonton, menggiring cerita kepada kebenaran yang menganga di akhir dengan rahasia-rahasia atau kebohongan-kebohongan yang terungkap. Pun pengungkapan itu pun sebenarnya bukan sesuatu yang dahsyat layaknya sebuah thriller pada umumnya namun terasa cukup 'bersahaja' untuk menunjukkan keragaman kehidupan yang dijalani manusia. 

Nuri Bilge Ceylan, sutradara kenamaan Turki, memamerkan tidak hanya kemampuannya yang tinggi dalam sinematografi tapi juga teknik pengambilan gambarnya yang menarik. Ia membuat film ini sebagai sebuah antitesis terhadap klise Hollywood yang terlalu lepas memaparkan semua jawaban dalam film seperti menyuapkan pil kepada penonton. Ia lebih menekankan kepada fungsi sinema sebagai medium dari kehidupan nyata yang penuh dengan hal-hal tak terungkap, bukan malah sebagai alat untuk membohongi penonton dengan klise irasional. Tapi bukan berarti Nuri sepenuhnya bersikap ortodoks karena di tengah kesunyian malam di desa terpencil di mana rombongan itu beristirahat, para laki-laki ini tiba-tiba dibangunkan oleh seorang gadis desa cantik dengan iringan cahaya lilin yang memberi mereka air minum. Gadis cantik di sebuah desa terpencil di ujung malam yang melelahkan, walau muncul sebentar namun momen seperti itu adalah mukjizat dalam keseharian hidup manusia biasa.   

Take Shelter


Badai akan segera datang, Curtis mendapati pertanda tersebut lewat rangkaian mimpi buruk yang menghinggapinya serta penampakan kawanan burung yang terbang tak beraturan di langit. Ia merasakan ada sesuatu yang aneh, namun pertanyaannya, di peradaban modern sekarang apakah yang dialami Curtis merupakan semacam ramalan prophetic mengenai bencana besar ataukah sebuah gejala awal dari paranoid schizophrenia? Apakah ia harus melindungi keluarganya dari bencana itu atau malah dari dirinya sendiri?

Pertanyaan tersebut berusaha dijawab oleh Curtis di sepanjang film dengan mengorbankan banyak hal dalam hidupnya yang bersahaja dari mulai hubungan dengan istrinya, kesehatan anaknya yang tunawicara, persahabatan dengan partnernya, pekerjaannya, sampai anjing kesayangannya. Mimpi buruknya yang semakin intens berefek langsung pada sesak napas, muntah darah, dan bahkan membuat mengompol tidak lagi dipersepsikan sebagai tindakan memalukan tetapi justru mengerikan. Dan seakan sedikit meminjam pengalaman Nuh di zaman dulu, Curtis membangun sebuah tornado shelter bawah tanah di pekarangan rumahnya untuk melindungi keluarganya dari badai besar sementara para tetangga dan kerabatnya mulai menganggapnya kehilangan akal.

Penampilan Curtis bisa jadi adalah pencapaian terbaik Michael Shannon sebagai aktor sampai saat ini. Diperankan dengan ekspresi dingin khasnya yang dipadu dengan kegelisahan psikologis membuat kompleksitas karakter ini pantas diberi perhatian lebih oleh penonton. Di awal film, sahabat Curtis sempat berkata bahwa Curtis dan keluarganya memiliki kehidupan yang baik dan menurutnya "I think that's the best compliment you can give a man: take a look at his life and say, 'That's good'". Tapi kita tidak bisa mengatakan bahwa hidup seseorang itu bahagia sebelum orang itu mati, karena hidup masih akan terus bergulir.  

Young Adult


Mavis Gray, perempuan usia 30-an, penulis novel remaja (chicklit), alkoholik, tinggal di kota besar ditemani anjing peliharaannya, menjalani hidup secara normal seperti blind date yang berujung di atas kasur dan selalu bangun tidur dengan TV yang masih menyala. Tapi kemudian kehidupan normalnya itu terusik oleh kiriman e-mail foto bayi mantan pacarnya, Buddy, yang baru saja lahir ke dunia. Maka secara impulsif ia terdorong untuk pulang ke kampung halamannya, menghirup kembali aroma kejayaan SMA-nya sebagai gadis pirang populer, mengenang masa-masa pacarannya bersama Buddy, dan ia kini menginginkan Buddy untuk kembali ke pelukannya. Secara khusus, ia mengemban tugas suci yaitu  menyelamatkan Buddy dari rutinitas fatherhood yang ia anggap telah merubah mantannya itu menjadi zombie. Well, setidaknya itu yang Mavis kira. 

Tapi apa yang tidak dimegerti oleh Mavis adalah setiap orang, kecuali dirinya, tumbuh semakin dewasa, menikah, menjalani komitmen, berkeluarga, sedikit meninggalkan alkohol, berada di rumah sebelum tengah malam, mengurus rumah tangga, dan seringkali terganggu tidurnya untuk mengganti popok. Segala hal tersebut sedikit-banyak merusak atmosfer nostalgianya terhadap sosok Buddy. Mavis terjebak dalam pemikirannya sendiri dan celakanya, ia mencoba melibatkan Buddy yang telah menjadi seorang ayah untuk masuk ke dalam lifestyle-nya. Secara sepihak ia menyimpulkan bahwa Buddy perlu dibebaskan dan ia merasa harus merebut eks-nya itu dari istri sahnya. Maka, semuanya hanya tinggal menunggu waktu bagi Mavis untuk bisa melihat siapa dirinya dari balik cermin bernama society, bahwa hidup yang menurutnya ia jalani tanpa belenggu ternyata hanyalah sebuah gaya yang lahir dari ketidakmampuannya memikul tanggung jawab.

Kolaborasi kedua sutradara Jason Reitman dan scriptwriter Diablo Cody setelah Juno ini kembali berhasil mengawinkan gaya penceritaan yang terasa "meringankan" tema eksistensial yang berat dengan dialog-dialog yang cerdas dan lucu. Cody sangat piawai menempelkan line yang mewakili kepribadian tiap tokoh yang ada di film sehingga mereka bisa menjadi karakter yang kuat. Selain itu, caranya menampilkan twist kecil dalam beberapa percakapan juga patut diacungi jempol, seperti di bagian akhir film saat Mavis yang depresi dan terpuruk ngobrol berduaan dengan kakak perempuan temannya yang kemudian bisa dengan cepat mengembalikan karakter bitchy blonde Mavis seperti sediakala dan itu menjadikan cerita di film ini terkesan lebih real. Karena pada akhirnya, seperti yang pernah dikemukakan oleh Leo Tolstoy, "Tak seorang pun yang puas dengan miliknya, tapi tiap orang puas dengan otaknya."

Sabtu, 31 Maret 2012

Sirkus Kratos


 "You do it to yourself, you do, and that's what really hurts."

(Just, Radiohead)

Tidak ada yang spektakuler dari apa yang terjadi kemarin, semuanya sudah bisa saya tebak, bahkan jauh-jauh hari sebelumnya karena tidak ada yang berubah dari manusia Indonesia. Begitu pun dengan skeptisisme saya yang terutama ditujukan kepada generasi penerus bangsa, atau yang dengan kehormatan mendapat sebutan sebagai agen perubahan, dan sehari-harinya hidup sebagai mahasiswa, baik yang diamini oleh mereka sendiri ataupun yang tidak.

Semuanya berawal dari berita yang begitu memanjakan mata dan telinga di sepanjang hari dan kemudian bagaimana rentetan berita tersebut memelintir perasaan saya sebagai orang yang menjulurkan lidah kepada pemerintah (atau kepada segala bentuk otoritas di Negara ini, sebagai bentuk dari empati yang bisa saya berikan) dan sekarang ditambah dengan acungan kepalan tangan saya kepada mahasiswa. Segala bentuk kekerasan, penghancuran, dan anarkisme yang mereka tunjukkan benar-benar membuat mata ini kelilipan berkali-kali. Mereka turun ke jalan, berarak-arakan, berteriak di depan megaphone, dan semuanya terlihat seperti performance art yang penuh dengan simbol-simbol tidak penting. Jika saya jurinya saya akan mengacungkan papan nilai di atas 7 untuk aksi dan di bawah 4 untuk substansi.

Yah, sebenarnya mereka bebas bertindak apapun. Tapi yang saya garisbawahi adalah ketika mereka muncul sebagai ikon yang mewakili rakyat. Siapa yang melegitimasi status tersebut? Terutama lagu untuk mahasiswa zaman sekarang, pemuda-pemudi zaman sekarang, benang apa yang menghubungkan mereka dengan rakyat sementara mereka dengan seenaknya merusak dan membakar fasilitas umum, dengan pelampiasan yang berlebihan  (dan terjustifikasi oleh momen), dengan cara yang barbar dan mengesampingkan intelektualitas yang sejatinya menjadi sikap yang mampu dihormati oleh kalangan lain? Lucu sekali, bagaimana bisa penyumbang presentase terbanyak di angka seks di luar nikah, pelaku aborsi, pengakses situs porno, penikmat obat terlarang, penghuni aktif dunia maya, target pasar peradaban konsumtif, dan pembaca buku yang pasif, merasa mampu mewakili suara rakyat Indonesia dengan demonstrasi yang tak terarah dan terkonsep dengan baik. Harus diakui bahwa zaman sekarang mahasiswa bermental hedonis lebihbanyak jumlahnya daripada yang memiliki idealisme tertentu, sehingga jika kita melihat mahasiswa mulai turun ke jalan, tidak ada perubahan yang bisa diharapkan selain status online mereka.

Memang penilaian ini tidak bisa dilepaskan dari citra yang ditampilkan oleh media (terutama pemilik medianya), saya tidak menampik bahwa ada juga sebagian lain dari mahasiswa yang menyalurkan aspirasinya dengan cara yang patut dicontoh, namun faktanya adalah sebagian besar demonstrasi berakhir ricuh dan di mana ada kericuhan di situ ada mahasiswa. Dan dari cara-cara yang mereka tunjukan itu, saya jadi yakin bahwa mahasiswa sekarang akan lebih fasih untuk menyuarakan kegalauan kehidupan percintaan pribadinya ketimbang menyuarakan hal yang lebih “berat” dan berkontribusi untuk mendandani wajah pribadi. Tidak seperti dulu lagi. 

Lalu televisi menayangkan siaran langsung di ruang rapat dewan. Dari performance art, pertunjukan berubah menjadi sirkus. Ah, terlalu banyak dan terlalu familiar jika harus saya kemukakan semuanya, saya hanya akan mencatat satu hal, bahwa hujan interupsi adalah polusi suara paling maksimal yang tidak bisa saya tolerir. Dan lagi-lagi interupsi itu pun mengatasnamakan suara rakyat.
 
Cara mereka bersidang memberi contoh yang kurang tepat bagi rakyat mengenai bagaimana proses pengambilan keputusan yang menyangkut hajat hidup orang banyak dan masa depan Negara diambil. Perilaku seperti itu di peradaban modern sekarang tentunya bisa digolongkan sebagai tindakan pre-historis yang membuat saya merasa dikibuli karena kalau memang demikian caranya berpendapat (dengan tidak mengindahkan nilai-nilai etika bermusyawarah dan perilaku disiplin yang mencerminkan kehormatan seseorang) maka untuk apa perlu diadakan kampanye dan pemilihan wakil rakyat, toh siapapun yang terpilih dan duduk di ruang rapat pasti hasilnya akan sama saja, intelek atau tidak.

Di ruang itu semuanya bobrok dan saya tidak melihat apapun yang dilakukan atas nama rakyat, semuanya murni terselip kepentingan politik baik yang terlihat maupun tidak. Bagi saya, para anggota dewan, wakil-wakil rakyat, atau fraksi-fraksi yang hadir di sana bicara mewakili rakyat, sebaiknya mereka semua duduk dulu bersama rakyat di luar sana dan bicara mengenai kontribusi, saya yakin rakyat akan mendengarkan dengan sepenuh hati dan tanpa interupsi. 

Momen demonstrasi ini memberikan sebuah kesimpulan bahwa saat ini, jangan mudah untuk mempercayai demonstran, wakil rakyat, atau pemerintah, tapi justru ini merupakan momen yang tepat bagi kita semua untuk mulai mempercayai diri kita masing-masing, mempercayai kemampuan kita, suara kita, hati kita, jiwa kita, Tuhan kita dan segala hal yang ada pada diri kita. Terlalu lama kita menutup diri dari diri kita sendiri dan lebih suka untuk menggantungkan semuanya untuk diwujudkan oleh tangan-tangan yang lain sedangkan kita sendiri memiliki tangan. Ini adalah saat yang tepat untuk percaya bahwa takdir, nasib, peradaban, dan masa depan hanya bisa dirubah oleh diri kita sendiri (jika kita mau) maka tidak ada salahnya memberi diri kita kesempatan lagi, dan lagi, dan lagi, dan lagi, sampai kita menyerah terhadap diri kita sendiri. Dan itu saat kita mati.

Jumat, 30 Maret 2012

April Datang


 "As a nation of free men, we will live forever or die by suicide."


(Abraham Lincoln)

Kita menginginkan revolusi, kita tidak akan mendapatkan revolusi. Penyakit aslinya sudah tertanam di dalam DNA kita, mental, dan jiwa yang ditempa selama 3.5 abad dan 66 tahun sesudahnya. Apa yang kita mau adalah penebusan, yang besar-besaran, untuk menagih hutang-hutang dari dunia. Dan kebebasan. Tapi sekali budak tetaplah budak. Setidaknya, sebelum memberi kita kebebasan, beritahu kita apa itu kebebasan. Lucu sekali, karena dari rekaman sejarah, kebebasan kita hanya sebatas untuk memilih dua hal, antara menerima apa adanya atau melawan sampai momen perlawanan itu menguap dan kemudian kembali lagi ke kondisi sebelumnya, berangsur-angsur. Karena sepertinya ada hal lain yang perlu kita ketahui di samping kebebasan; cara menggunakan kekuasaan. Karena sebagai mantan budak, kita hanya tahu bagaimana cara mantan tuan dan nyonya kita menggunakan kekuasaan atas kita. Dan itu adalah sejauh mana kita mengerti tentang kekuasaan; kemarin, sekarang, dan besok.

Maka seperti bumi yang terus berputar, begitu pun takdir kita semua.

Mungkin kita berbagi udara yang sama, di bawah langit yang sama. Tapi kita sudah terlalu lama tercerai-berai. Masalahnya adalah kita tidak lagi punya musuh bersama. Satu musuh yang mana kita akan rela mencurahkan segala waktu, tenaga, dan pikiran untuk mengalahkan. Musuh, yang dalam menghadapinya, kita berbagi kasih sayang dan menjalin cinta. Musuh yang berdiri tegak membentang membelakangi masa depan kita. Musuh yang merepresentasikan hutang milik kita, penebusan kita, semua yang telah diambil. Bisakah sekarang kita duduk dan memikirkan siapa/apa yang layak untuk dijadikan musuh dan menyimpulkan dari sana apa yang bisa terjadi pada kita di waktu yang akan datang?

Atau mungkin kita harus sedikit membalikkan kepala kita, sedikit berputar, atau membiarkannya menggantung melawan gravitasi; dan dari posisi itu, coba berpikir bagaimana jika tidak ada lagi yang disebut negara, tidak pernah ada  selain emblem di atas dada dan bendera. Merasakan untuk pertama kalinya, sejak bayi, menjadi manusia seutuhnya, telanjang, dan menjadi wakil dari peradaban anak-cucu-cicit Adam di dunia, di tempat penebusan sang kakek moyang atas pembangkangannya terhadap Tuhan. Menjadi manusia yang tidak dibingkai oleh batas-batas pemerintahan, menjadi manusia yang menyadari dirinya sebagai bagian dari kemanusiaan yang luas dan tanpa batas, dari mulai sejarah masa lalu hingga nanti datangnya kiamat yang telah diramalkan. Untuk menghargai diri sendiri sebagai aktor utama tanpa naskah, dengan banyak kamera di sekeliling, dan dunia menunggu kita untuk berimprovisasi.

Dan bisa jadi apa yang dimaksud dengan kebebasan itu adalah bentuk-bentuk improvisasi yang dilakukan untuk bisa terus-menerus menemukan peran terbaik yang bisa kita mainkan di sini, untuk para penonton sekalian. Kalau begitu, kedengarannya kebebasan berbagi pohon keluarga yang sama dengan kontribusi. Dan jika dua-duanya berada di satu ruangan, mungkin kita akan melihat sosok kekuasaan sejati yang layak untuk dibayar dengan tekuk lutut.
 
Jadi, siapa yang memiliki takdir kita lagi? Atau kepada siapa kali ini itu akan diserahkan dengan cuma-cuma?