Senin, 09 Januari 2012

It May Be As Easy As Just to Sit and Watch, But Somehow Eyes Need to Be Taught to See Things Closer and Further, For There's Always Wisdom in Every Creation, Someone Said

"Well, let's say that since you were little, you always dreamed of getting a lion. And you wait, and you wait, and you wait, but the lion doesn't come. And along comes a giraffe. You can be alone, or you can be with the giraffe."


(Beginners)

50/50
Komedi kanker. Sebenarnya bukan pasangan kata yang pas, seperti yang dicontohkan oleh tokoh Adam saat dia didiagnosis memiliki tumor schwanomma di bagian punggungnya dan kemudian dia harus menghadapi kenyataan diselingkuhi oleh pacarnya, berurusan dengan ibunya yang over-protektif, digunakan sebagai "umpan" oleh teman baiknya untuk mendekati perempuan, dan yang paling menjengkelkan adalah mendengarkan orang-orang selalu mengucapkan kalimat: "You're gonna be okay" padanya. Namun kondisi tersebut justru memunculkan situasi komedi dunia modern di mana bagaimana pun sekaratnya seseorang, life akan tetap goes on! Maka persahabatan dan cinta menjadi sangat berarti untuk melewati hari demi hari.

Film ini sukses mensinkronisasi unsur komedi dan drama tanpa membuat salah satunya jadi lebih dominan dari yang lain. Hasilnya adalah sebuah feel-good movie (yang mengingatkan saya pada Greenberg atau Another Year) yang menyentuh hati lewat gelitikan yang dikemas secara bersahaja. Fase putus asa yang dilalui Adam, ditambah lagi dengan detik-detik mendebarkan menuju meja operasi (dalam keadaan kalap, Adam yang tidak punya SIM nekat menyetir mobil sahabatnya lalu menerobos jalan satu arah. Ia berhenti, mengusir sahabatnya itu keluar dan mengamuk di dalam sambil teriak dan memukul-mukul kemudi. Setelah itu, ia menelepon terapisnya dan dengan lembut berkata: "I wish you were my girlfriend"), merupakan sebuah momen yang sarat simpatik yang ditujukan kepada penonton tentang betapa gamangnya menunggu kematian datang. Terutama lagi jika bicara mengenai kesendirian seseorang saat menghadapinya.

Secara subjektif, sangat mudah untuk menyukai Anna Kendrick di dalam film ini dalam perannya sebagai seorang terapis muda yang sedang training (dan punya kebiasaan membiarkan lantai mobilnya diseraki bungkus makanan & minuman). Kecanggungannya saat menghadapi Adam serta penampilannya yang anggun, menjadi angin segar bagi setiap orang depresif untuk berpikir tentang sesegera mungkin menemui terapis. Dan film ini menjadi lebih sempurna lagi saat lagu Yellow Ledbetter dari Pearl Jam dipasang di bagian ending.  Mendayu-dayu tepat saat Miss Kendrick ada di sana. Aw, Fuck!   

Beginners


Sebuah film yang kalem. Di usianya yang berada di 30-an, Oliver mendengar pengakuan ayahnya yang sudah berumur 75 tahun bahwa selama ini dirinya adalah seorang gay dan memutuskan untuk menjalani statusnya itu secara lebih praktikal, tidak lagi secara teoritis, terutama setelah istrinya meninggal dunia. Maka, terjawablah sudah segala bentuk "kedinginan" yang selama ini Oliver saksikan langsung dari hubungan kedua orangtuanya itu yang berujung pada pengambilan sikapnya untuk tidak menjadi seperti ayahnya yang selama ini hidup menjalani komitmen  penuh penyangkalan. Lalu, sang ayah meninggal akibat kanker dan Oliver bertemu dengan Anna, perempuan asal Prancis yang unik. Dia mencintainya tapi dia tidak yakin dengan bagaimana caranya.

Dibesarkan dengan contoh yang buruk dari hubungan cinta orangtuanya, Oliver "belajar" dari kisah singkat romantisme gay antara sang ayah dan kekasihnya, Andy. Dalam gaya tutur film yang nonlinear, Oliver mengenang saat-saat terakhir kebersamaan dengan ayahnya itu yang bersimpangan dengan kisah asmara yang sedang ia jalani yang terjalin manis namun juga mengandung kehati-hatian. Sebagai seorang anak, dia tidak bisa mengabaikan sosok orangtua satu-satunya itu yang sejak dulu tidak pernah begitu dekat (dia akrab dengan ibunya) yang kemudian melahirkan keakraban ambigu di antara keduanya. Dia mencintai ayahnya, mencintai cinta sesama jenis yang dijalankan ayahnya, dan belajar mencintai Anna sepenuhnya.

Beginners adalah film "galau" dalam skala filosofis yang dikemas secara kontemporer sehingga hasilnya tidak menjadi terlalu "berat". Oliver yang seorang desainer grafis, mengembangkan sebuah proyek seni yang ia beri judul The History of Sadness yang berupa rangkaian sketsa karikatur buatan tangannya. Ia menggambarkan bahwa dari sejak bumi tercipta, kesedihan pertama yang ada berawal dari sebuah pernikahan antar pasangan yang salah yang kemudian berujung pada penemuan cara bunuh diri, penciptaan alkohol, obat-obat terlarang, dll. Entah ini menakut-nakuti atau tidak, tapi pernikahan mungkin memang merupakan sesuatu yang sulit. Cinta dan pernikahan, bisa jadi keduanya berada di dua sisi berbeda. Untuk hal ini, semua orang adalah pemula.

Carnage


Michael dan Penelope adalah orang tua dari seorang anak yang dua giginya patah dan kepalanya terluka karena dipukul kayu oleh anak dari Alan dan Nancy. Penelope mengundang pasangan tersebut ke rumahnya untuk mengadakan pertemuan dan pembicaraan bersahabat antar orang tua untuk menghapus ketegangan di kedua belah pihak. Dan pada akhirnya, masing-masing mendapat pengalaman "the worst day of my life" dengan membuktikan bahwa tidak ada yang bisa melakukan verbal bullying yang lebih baik daripada pasangan orang tua bermasalah.

Maka inilah empat orang yang saling "menyiksa" dan menyalahkan dalam arena adu debat good parents vs. bad parents, konvensional vs. modern, republikan vs. demokrat, pasifis vs. realis,  pecinta hewan vs. pembenci hewan, maskulin vs. feminin, karir vs. rumah tangga, korban vs. pelaku, histeris vs. histeris, dengan tema-tema yang diangkat mulai dari hamster, John Wayne, panggilan sayang, pekerjaan, sampai kemiskinan di Afrika. Setiap orang bebas untuk mengutarakan isi hatinya sampai muntah sekalipun, bahkan masing-masing bebas untuk berpihak pada siapa saja, bisa jadi dua lawan dua atau satu lawan tiga. Waktu istirahat akan ditentukan dari suara dering handphone. Tersedia kopi, cobbler (semacam pai), dan sebotol scotch gratis dan tak boleh merokok di dalam rumah. Semuanya untuk menguji seberapa lama keramahtamahan dapat bertahan di antara orang-orang yang menyimpan "kegilaan" di balik peradabannya.

Diadaptasi dari naskah teater Yasmina Reza, film ini adalah tontonan komedi terhadap permasalahan rumah tangga metropolitan. Nervous breakdown adalah milik perempuan sementara laki-laki punya apatisme. Karakter-karakter ini dengan beban dan "penyakit" psikologis-nya masing-masing saling berhadapan untuk mencapai satu gelar prestisius dari zaman kebebasan berpendapat, yaitu: I am the right one. Pujian layak diberikan untuk penampilan Jodie Foster, John C. Reily, Kate Winslet, dan Christoph Waltz. Walau bukan karya terbaik sutradara Roman Polanski, tapi tetap saja, ini adalah karya Roman Polanski!

Martha Marcy May Marlene


Martha adalah gadis belia yang menghilang dari keluarganya selama 2 tahun karena tergabung dalam sebuah perkumpulan cult rahasia di mana ia dipanggil dengan nama Marcy May (Marlene adalah nama yang dipakai semua perempuan anggota cult itu khusus saat menjawab telepon). Diliputi oleh ketakutan karena sebuah kegiatan perkumpulan (yang dipimpin oleh laki-laki bernama Patrick) menjurus kriminal, di suatu pagi ia melarikan diri dan tinggal bersama kakak perempuannya yang telah bersuami. Di tempatnya yang baru ini, Martha tenggelam dalam persimpangan antara kenyataan dan mimpi (memori) serta di antara kehidupan normal dan kehidupannya sebelum ini.

Martha terbiasa tidur bersama lebih dari lima orang perempuan lain dalam satu kamar sehingga ketika ia diberi sebuah kamar di rumah kakaknya itu ia tidak bisa tidur karena sendirian. Martha terbiasa berbagi baju dengan perempuan anggota perkumpulan yang lainnya sehingga ia merasa lucu saat kakaknya memberikannya sebuah baju. Martha terbiasa berenang tanpa busana. Martha adalah seorang sosialis yang menentang konsep tentang karier yang diutarakan oleh kakak iparnya. Dan Martha adalah gadis belia yang dengan santai masuk ke dalam kamar kakaknya yang sedang berhubungan seks lalu meringkuk di atas kasur, bersebelahan dengan posisi misionaris yang sedang dilakukan oleh pasangan tersebut (baginya, orgy adalah hal yang lumrah). Untuk itu, sang kakak yang terkejut berteriak padanya: "This is not normal, this is privacy." Ini menjadi kalimat kunci yang menggambarkan kehidupan Martha sebelumnya, tanpa privasi dan dalam banyak aspek, tidak normal.

Sepanjang film, Martha, yang diperankan dengan sangat baik oleh Elizabeth Olsen, berada dalam paranoia dan kebingungan untuk "berkoneksi" dengan dunia barunya. Pengalaman abusif yang pernah dia alami membawanya kepada semacam trauma dan teror dari sosok Patrick yang sulit untuk dihilangkan begitu saja ("How far are we from yesterday?"). Secara tersirat, Martha merepresentasikan persamaan perempuan = korban dalam segala hal (formula abadi dalam dunia sinema selama bertahun-tahun). Dan tak ada yang lebih berbahaya bagi perempuan selain menjadi korban ideologi, karena efeknya mengarah langsung pada kegilaan. Kejahatan selalu mengenakan selimut yang terbaik. Untuk Marcy May, Patrick bernyanyi: "She's just a picture/ Just a picture/ That's all."

Moneyball


"How can you not get romantic about baseball?" Sejak awal, Billy Beane selalu dihadapkan pada pilihan-pilihan penting dalam hidupnya. Saat muda, ia memilih menjadi pemain baseball profesional dan menolak beasiswa sebuah universitas hanya untuk menjadi seorang rising star yang gagal. Ia memilih untuk menjadi manajer tim Oakland Athletics, tim dengan cita-cita tinggi namun dana yang terbatas. Ia memilih untuk merekrut para pemain buangan untuk bertanding di liga dan itu terjadi karena, dibanding mempercayai talent scout-nya, ia lebih memilih untuk mempercayai Peter Brand, lulusan fakultas ekonomi yang ahli dalam menganalisis pertandingan melalui data statistik. Tapi apa Billy berhasil dengan semua pilihannya itu? Setidaknya dia percaya.

Walau premisnya terkesan klise untuk film bertema olahraga, namun film ini tidak seperti yang lain. Penempatan klimaks pertandingan besar yang bukan di bagian ending adalah sebuah pernyataan kepada audiens bahwa ini bukan hanya tentang upaya meraih kemenangan dalam struktur heroik from zero to hero, lebih jauh lagi ini adalah tentang berada di dalam lapangan bisnis di mana pertaruhan adalah filosofi permainannya. Billy tidak pernah menonton timnya bertanding di pinggir lapangan, ia juga tidak bersosialisasi dengan para pemainnya, dan ketika memecat pemain, ia memilih kata-kata yang lugas dan singkat. Sikapnya merupakan cerminan dari pengalamannya selama 20 tahun lebih berada di dunia baseball, yang selalu memiliki awal yang menjanjikan, sama seperti setiap kesempatan dalam hidup.

Dengan pencampuran mood melankolis dan optimistis di sepanjang film, Moneyball membawa sport movie ke level lain karena ceritanya yang terfokus pada sisi-sisi manajerial-nya (ditambah lagi dengan karakter Billy yang kontemplatif yang membuat film jadi rada psikologis). Brad Pitt dengan sukses melucuti aroganisme dan kebintangannya untuk memerankan pria yang berjuang dalam ketidakpastian nasibnya, karena pada akhirnya olahraga bukanlah ilmu pasti atau ilmu hitung-hitungan, ada nilai lain yang terdapat di sana. Suatu nilai yang menjawab situasi di mana saat Billy ditawari untuk menjadi general manager bergaji tertinggi sepanjang sejarah baseball, ia lebih memilih untuk mencintai baseball.   

The Skin I Live in


Tidak ada hukuman yang lebih pantas diberikan kepada pemerkosa selain merubah jenis kelaminnya secara paksa dalam operasi plastik dan tak ada yang lebih ambisius bagi seorang ahli bedah plastik yang berduka karena kehilangan istrinya selain menyulap orang asing menjadi mirip dengan istri aslinya tersebut. Kedua premis ini bertemu dalam kisah Pinokio bondage, dominance & submission  tentang penebusan dan dendam dari seorang dokter yang secara tragis ditinggal mati oleh istri dan putri semata-wayangnya. Resiko pun ia ambil dengan eksekusi yang dingin dalam tindakan sekali-dilakukan-tidak-bisa-kembali-lagi-ke-awal demi batinnya yang terluka, reputasinya, serta kemajuan ilmu pengetahuan.

Entah ini kekejaman atau komedi, yang jelas saat scene seorang laki-laki sadar dari pengaruh bius dan mendapati dirinya berada di meja operasi bersama sang dokter yang berkata bahwa operasi vaginoplasty-nya berhasil dan si laki-laki dengan lemas berekspresi seperti, "What? I have a vagina?" lalu kembali pingsan, jelas sekali adegan tersebut membuat ngilu. Sama ngilu-nya seperti saat si dokter menjelaskan ke pasiennya benda apa saja yang harus dimasukkan agar lubang vaginanya terbuka dan menjadi lebih dalam. Seperti tirai, rahasia kelam pun terungkap satu per satu yang semakin diingat-ingat semakin menambah rasa ngilu.

Di antara semua katalog film Pedro Almodovar, film ini rasanya adalah yang paling hardcore. Penampilan anggun Elena Anaya (muse baru setelah Penelope Cruz, senor Pedro?) dengan baik menghiasi scene-scene di film di balik semua kasus penyimpangan yang terjadi dalam cerita. Pelajaran terbaik adalah bila dua orang sedang melakukan seks, belum tentu keduanya sama-sama bisa menikmati dan jika itu yang terjadi, lebih baik segera berhenti. And sex change is not a joke

Tinker Tailor Soldier Spy


Diangkat dari novel dengan judul sama karya John le Carre, Film ini mengangkat kisah intrik dunia spionase di era perang dingin. Cerita berpusat pada tokoh George Smiley yang dipecat dari sebuah British Intelligence untuk kemudian bekerja secara independen mengungkap identitas seorang agen ganda yang berhubungan dengan kasus pemberhentiannya itu. Dibantu oleh seorang agen muda dan seorang "buronan" yang mengungkap rahasia adanya keterlibatan pihak Rusia, investigasi berjalan pelan namun pasti dengan penemuan fakta-fakta baru yang di antaranya menyinggung skandal perselingkuhan mantan istrinya dengan orang dalam.

Sebagai film yang bertema mata-mata, penyajiannya mungkin akan terasa kurang "pop" dengan minusnya aksi tembak-tembakan atau kejar-kejaran khas Hollywood. Namun dengan barisan cast yang kebanyakan aktor-aktor yang tidak lagi muda, maka argumen yang tepat adalah film ini merupakan sebuah thriller investigation yang lebih menonjolkan permainan kata, trik, dan plot yang cerdas. George Oldman tampil sangat baik memerankan karakter tokoh utama yang kaku sekaligus elegan khas Inggris. Logat bicara dan kacamatanya mengaburkan bayangan bahwa dia juga adalah paman Harry Potter yang gila.

Sutradara asal Swedia, Tomas Alfredson, mengajak penonton untuk berkonsentrasi di sepanjang film dengan menampilkan detail-detail kecil yang penting dalam membangun cerita, seperti butir keringat yang menetes di atas meja, lalat di dalam mobil, atau gerakan bola mata. Bahkan bila jeli, bukan tidak mungkin penonton bisa langsung mengungkap identitas penyusup itu di pertengahan film. Pada akhirnya memang tidak ada persahabatan yang abadi jika memilih mata-mata sebagai mata pencaharian karena seseorang harus hidup dalam kecurigaan penuh selama 24 jam. Kehilangan apa saja merupakan resiko yang harus ditanggung dan dihadapi, kecuali untuk James Bond, karena dia selalu berhasil mendapatkan perempuan.