Sabtu, 01 Agustus 2009

Seluloid

"I find television to be very educating.
Every time somebody turns on the set,
I go in the other room and read a book."

(Groucho Marx)

Televisi. Saya tak ingat proses pertama kalinya berkenalan dengan televisi, yang jelas saya sudah mengenalnya bahkan akrab jauh sebelum saya bisa bicara, berjalan, atau pun mengerti apa yang saya lihat, dan dari orang-orang terdekat saya kala itu, maka saya pun mengenal sebutan lain untuk benda kotak itu dan mulai memanggilnya: TV.

Lalu kami pun mulai menghabiskan waktu bersama-sama, menjalin hubungan yang begitu dekat, saling berhadapan dan bertatapan setiap hari. Ketika saya tidur, dia masuk ke dalam mimpi. Ketika saya sendiri, dia yang menemani. Ketika saya bosan, dia yang menghibur. Ketika listrik di rumah mati, tak terbayangkan betapa saya kehilangan dia dan ‘kebungkamannya’ begitu menyiksa di tiap detik yang berlalu. Ketika musim ujian tiba, tak terhitung panjangnya jarak antara kita berdua, saat itu entah mengapa kita seperti sedang bermusuhan. TV menjadi bagian dari otak saya. TV ada di kepala saya. TV menguasai hati saya. TV membentuk pribadi saya. Bahkan saya merasa bahwa hidup saya telah diatur oleh TV.





Sampai akhirnya, saya berselingkuh. Harus kuakui bahwa pengkhianatan ini pastilah sangat menyakitkan buatnya, karena saya berselingkuh dengan medium yang kalah populer dan bisa dibilang lebih ‘lemah’ dari kedudukannya sebagai ‘sang penghibur’, yaitu kaset dan buku. Untuk yang satu ini, saya ingat proses perkenalannya. Semuanya dimulai ketika saya diliputi rasa muak dan jenuh akan rutinitas sehari-hari terutama tetek-bengek perkuliahan yang tidak memberi saya apa-apa kecuali api yang menyulut sumbu di kepala saya untuk meledak. Dari sejak awal, pelarian itu terasa begitu menyenangkan. Saya menelusuri ‘dunia baru’ yang sangat sangat sangat sangat… baru. Saya melihat banyak hal yang belum pernah saya lihat, mendengar banyak hal yang belum pernah terdengar, dan cara bagaimana mereka memperbaharui pikiran saya benar-benar adalah suatu pengalaman yang bernilai Renaissance buat sebagian hidup saya yang monokrom.

Lalu seperti yang biasa terjadi semakin lama perselingkuhan itu semakin terasa nikmat dan saya telah dibuat sedemikian terlena, yang kemudian muncul adalah timbulnya berbagai pikiran buruk terhadap TV yang semakin menguatkan bahwa perselingkuhan dengan pihak ketiga ini adalah suatu hal yang dapat dibenarkan. Katakanlah habis manis sepah dibuang. Saya tidak lagi memandang TV sebagai sesuatu yang spesial, dulu mungkin iya, tapi sekarang dia seperti perempuan tua peot yang kecantikannya telah luntur.

Dari awalnya hanya berupa sikap acuh tak acuh terhadap TV, lama kelamaan begitu saya mulai semakin dalam merajut hubungan baru ini, timbul perasaan benci terhadap TV. Saya melihat betapa egoisnya dia. Kemunculannya yang menenggelamkan fungsi kaset dan buku selama ini telah membuat amarah saya mendidih. TV telah merebut popularitas dengan merampas semua media hiburan dan seni ke dalamnya sehingga hanya menyisakan sedikit celah bagi media lain untuk menjalani ‘hidup’-nya. TV selalu ada di mana-mana. Di tiap rumah. Kota. Pedesaan. Pagi, siang, sore, malam. Brengsek sekali.




Tapi tidak terlalu sulit melepaskan TV dari kehidupan saya yang baru. Seperti yang telah disebutkan bahwa pihak ketiga telah memberi saya suatu pencerahan dan kini kedua mata saya bisa melihat bahwa TV hanyalah kotak elektronik yang berisi sampah dan rongsokan.Pernah suatu kali berusaha berbaikan, menjalin kembali hubungan dengan TV, hasilnya? Sangat tidak harmonis. Apa yang saya lihat adalah parade acara-acara dangkal yang miskin kreatifitas, minus inspirasi, menjual sensasi murahan, eksploitasi, plagiasi, polusi kebudayaan, degradasi moral, menampilkan realitas simbolik yang dibumbui dramatisasi di sana-sini, pembodohan terselubung lengkap dengan upaya mempengaruhi masyarakat lewat iklan, bahkan juga terdapat sedikit bumbu kapitalisme di sana.

Fungsi TV di Indonesia telah mengalami perubahan yang bisa dibilang signifikan. Memang hal ini tidak terlepas dari kondisi sosial dan politik yang mewarnai negara ini, sebagai contoh, sebagai media informasi, mana bisa saya tahan melihat acara berita yang isinya hal-hal kriminal dalam berbagai bentuk, ukuran, dan turunannya. Dari mulai darah yang berceceran sampai kasus korupsi, dari mulai kanibalisme sampai penganiayaan TKI, dari mulai pemerkosaan sampai tawuran antar perguruan tinggi. Belum lagi berita-berita yang berkaitan dengan kemelaratan yang sepertinya tidak pernah habis-habisnya. Kalaupun ada berita menggembirakan, porsinya hanya sedikit. Saya bahkan tak ingat kapan terakhir kali mendengar berita gembira di TV. Dengan ‘sikap’-nya yang seperti itu, yang terbaik yang bisa saya lakukan adalah mematikan TV.

Namun saya masih berbaik hati. Saya memberinya kesempatan kedua dan dia membalasnya dengan infotainment. Cih! Dia memang hampir saja membius saya dengan sajian yang bukan lagi menyinggung dunia kriminal. Lama kelamaan saya mulai sadar bahwa itu semua tak lebih dari parodi popularitas yang banal. Sebuah panggung dengan intrik dan konflik yang sesuai dengan karakter para pelakunya, yaitu penuh sandiwara dan sensasi omong kosong. Inspirasi? Tidak, popularitas? Ya. Nilai keteladanan? Bukan, fanatisme kosong? Ya. Cermin kesempurnaan? Sama sekali tidak, potret hedonisme? Betul. Betapa menyedihkan ketika information dan entertainment didefinisikan ke dalam tayangan yang berisi aib, lebih banyak aib, penuh aib, sedikit aib, mendekati aib, aib yang belum terbukti, aib yang terangkat kembali, dan aib yang selalu mengikuti seorang figur masyarakat kemanapun dia pergi. Maka sambil diikuti sumpah serapah saya mematikan TV dan meninggalkannya.

Tapi kenangan di masa kecil yang begitu melekat membuat saya tidak bisa sepenuhnya melupakan TV. Saya kembali ke pelukannya. Kali ini ia berjanji tidak akan mengulangi kesalahannya lagi. Saya memberinya kesempatan, kesempatan yang terakhir.

Saya duduk di kursi malas lalu menonton sinetron. Sinema elektronik, dia bilang. Acara ini menguasai prime time di setiap channel. Isinya berupa drama tentang kehidupan manusia, dan tak perlu waktu lama untuk memunculkan pertanyaan ini, manusia yang mana? Siapa atau golongan apa yang diwakili? Bagi saya drama yang disajikan adalah drama picisan dengan tema dan jalan cerita usang, anti logika, dan menjual banyak sekali mimpi, bukan mimpi yang mulia dan patut diperjuangkan, tapi mimpi Cinderella yang hanya berlaku di dunia di mana manusia hidup berdampingan dengan kaum peri. Unsur-unsurnya selalu sama, tangis, amarah, keluarga kaya raya yang terlibat dengan keluarga miskin, ibu tiri, mertua pemarah, tokoh antagonis yang selalu melotot, cinta segitiga, cinta bertepuk sebelah tangan, cinta yang tidak direstui, cinta monyet, cinta yang penuh dilema, dan yang mengenakan mahkota juara adalah tokoh utama yang selalu ditindas, diinjak-injak, diludahi, dicelakai, dihina, dicaci-maki, dilukai, namun tetap sabar, tabah, tersenyum, dan tentu saja, menangis sambil berdo’a. Bagi saya ini murni pembodohan. Karakter tokoh utama justru mengajarkan mental pengemis yang harus dihilangkan. Bandingkan dengan karakter tokoh utama tayangan luar negeri di mana ketika ia dberikan cobaan dan terkanan begitu besar hingga membuatnya terpuruk, maka yang ditonjolkan adalah usaha dan proses yang dilakukan tokoh tersebut dari nol hingga mencapai kesuksesan, bukan malah menangis dan berdoa sepanjang waktu lalu tiba-tiba keajaiban datang. Kenapa pula harus selalu mengiba pada campur tangan Tuhan? Apakah memang itu potret masyarakat Indonesia, yang enggan berkerja keras dan berusaha lepas dari kesulitan dengan kemampuannya yang paling maksimal? Kalau iya tentu saja ini memprihatinkan. Kesimpulan saya adalah sinetron tidak memberikan apa-apa kecuali tontonan yang menjemukan dan tak berisi. Dan akhirnya saya telah benar-benar ingin muntah dan memutuskan untuk benar-benar mematikan TV.

Walaupun ia tetap berusaha mendekati saya lewat berbagai cara seperti acara kuis, talk show, reality show (saya anggap ini sebagai penghinaan), sinetron religi, acara komedi, games show, dan bahkan acara musik, tak ada satu pun yang membuat saya kembali pada kondisi kedekatan yang dulu. Saya memang masih menghampirinya untuk pertandingan sepak bola dan film-film barat yang memang saya suka, tapi itupun dengan menunjukkan sikap saya yang dingin. Semuanya telah berubah dan saya telah meninggalkan TV, melupakannya, dan tidak lagi peduli dengannya. Kasar memang, tapi saya tidak tahu cara lain.

Saya hanya punya satu pesan untuk mantan ‘teman’ saya itu: “Dibandingkan dengan kaset dan buku, atau sebut saja musik dan sastra, yang sifatnya lebih liberal, kamu (TV) hanya patuh dan tunduk pada satu Tuhan, yaitu rating, dan itu benar-benar konyol!”

3 komentar:

  1. nice post
    sayajuga sudah tidak pernah lagi menonton acara TV lokal (apabila itu yang kamu maksud) di waktu senggang.
    kotak TV tersebut hanya saya gunakan sebagai visual display untuk menonton DVD ataupun kabel TV.

    (ah, tapi, kamu cukup sering ah nonton tv, kalo aku tanya lagi apa, kamu bilang lagi nonton tv) hehehhee.

    BalasHapus
  2. Semuanya berubah terhitung sejak tulisan ini dipost-kan

    BalasHapus
  3. mantap kra tulisan lo, iy nih udh katro bgt acara tv lokal sekarang.. kapan y ada stasiun tv kyk bbc knowledge d indonesia..

    BalasHapus