Senin, 03 Agustus 2009

Reflektor

Robin turned and looked straight into her. "What's life for?"
"I don't know."
"I don't either. But I don't think it's about winning."

(The Corrections, Jonathan Franzen)

Untuk yang kesekian kalinya saya merasakan “sesuatu” sehabis menonton film. Sebut saja ini sebagai sebuah kenikmatan bagi saya, sebagai penonton, yang secara beruntung mampu menangkap sebagian pesan yang coba disampaikan oleh sebuah tontonan. Hal yang terasa sangat spesial karena ini bisa dikatakan pertama kalinya (sejak Pirates of the Caribbean: The Curse of the Black Pearl) saya tidak menyesal karena menghabiskan uang untuk menonton di bioskop. Lebih spesial lagi karena film ini adalah film animasi, sebuah genre yang sejak diterapkannya teknologi CGI dalam film selalu membuat saya terpesona. Film animasi yang menyatukan hiburan, petualangan, drama, dan komedi dalam satu kata yang singkat dan sederhana: Up.

Up, film dengan jumlah huruf paling sedikit yang pernah saya tonton, sebenarnya memiliki formula yang sama seperti kebanyakan film sejenis, yaitu film keluarga dengan moral story yang disampaikan secara gamblang, tanpa harus mengerutkan dahi, mengingat pasar utamanya adalah anak-anak. Maka tak heran komedi yang dihadirkan di tiap scene bukanlah komedi yang berat melainkan ringan sekaligus cerdas, sehingga penonton pun bereaksi dengan tawa lepas, bukan tawa yang ditahan-tahan. Untuk masalah yang satu ini saya rasa Pixar selalu berhasil melakukannya dari sejak pertama kali muncul lewat Toy Story. Di samping itu, orisinalitas ide cerita benar-benar luar biasa, jauh dari kesan dipaksakan, namun justru sangat sederhana dan saking sederhananya bahkan sampai tidak terpikirkan oleh siapapun kecuali mungkin saja ketika ide untuk terbang melintas pertama kalinya di kepala Wright bersaudara.
Langsung ke bagian intinya, bagian di mana saya merasa film ini masuk ke hati saya adalah ketika si tokoh utama, Carl Fredricksen, membuka lagi buku catatan milik almarhum istrinya. Buku tersebut berisi berkas-berkas “petualangan” sang istri di masa kecil yang juga mencantumkan sebuah cita-cita untuk memiliki rumah di samping air terjun Paradise Fall, cita-cita yang belum sempat diwujudkan sampai akhir hayatnya yang akhirnya menjadi motivasi Carl untuk melakukan petualangan “sinting”-nya. Di buku tersebut sang istri menyiapkan lembar-lembar halaman kosong yang merupakan bagian dari bab “Hal-hal yang harus dilakukan” begitu sampai di air terjun tersebut.

Nah, ceritanya ketika di tengah petualangan tersebut, Carl memilih untuk “meninggalkan” teman-temannya yang telah menghambat tujuannya, dan memilih untuk fokus mewujudkan impian istri yang begitu ia cintai, Carl duduk di sofanya lalu membuka buku catatan itu lagi setelah lama tidak ia lakukan. Dan di sinilah momen “luar biasa” itu terjadi. Carl mendapati lembar-lembar kosong berjudul “Hal-hal yang harus dilakukan” tidak lagi kosong, namun sudah penuh berisi foto-foto mereka berdua yang menangkap momen-momen dari sejak awal pernikahan sampai di hari tua mereka. Foto-foto tersebut merupakan rekaman kebahagiaan yang sepertinya selalu mereka rasakan di setiap saat kebersamaannya. Dan dengan sangat manisnya, di lembar terakhir sang istri menuliskan sebuah catatan kecil bebunyi “Thank You for the Adventure” (jujur saja, kalau Tuhan berkenan merubah saya menjadi perempuan di saat itu, saya akan dengan senang hati menangis terharu).

Ada dua hal yang dihadapi Carl di saat itu dan menjadikannya sebuah dilema, yaitu ambisi dan empati. Bahkan di sepanjang film, menurut saya kedua hal inilah yang menjadi topik utama yang menjadi kontradiksi dari kedua tokoh utama yaitu Carl dan Russel, anak kecil yang secara tidak sengaja terlibat dalam petualangannya. Sejak kematian istrinya, di situlah Carl mulai membuka dirinya terhadap ambisi lama yang sangat ingin diwujudkan, dan menutup pelan-pelan pintu empati yang ia punya, terbukti ia menjadi seorang yang pemarah, apatis, dan bahkan sedikit kasar. Kedua hal ini memang terbukti tidak bisa dijalankan bersama-sama, sehingga salah satu harus menghilangkan yang lain, dan akhirnya Carl memilih pilihan yang tepat.
Ini sampai pada perenungan saya. Sebagai laki-laki tentunya saya tidak bisa lepas dari sebuah ambisi, terutama ketika menginjak di usia saya seperti sekarang. Saya dibentuk untuk selalu memiliki mimpi lalu berusaha untuk mewujudkannya. Dan di dalam prosesnya, muncullah apa yang disebut ambisi. Adalah sebuah kebingungan yang menyesatkan di mana ambisi saya yakini memliki dua cabang yang berkabut, yang satu adalah manifestasi dari mimpi-mimpi dan yang lain adalah jurang yang justru akan menenggelamkan mimpi-mimpi itu satu per satu. Bagaimana pun ambisi memiliki bentuk sebagai sebuah kesungguhan dan keseriusan dalam berusaha memperoleh apa yang kita impikan bahkan bisa jadi juga sebagai pilot utama yang mengendalikan setiap usaha yang kita lakukan. Tak jarang ambisi pulalah yang menjadi bahan bakar seseorang untuk menjalani hidupnya. Harus diakui, saya menapaki tiap jengkal dari hidup ini mengenakan sepatu tebal ambisi yang menggelora.

Namun, film ini berbicara lain. Film ini menunjukkan dua hal tersebut dalam bentuknya yang telah disederhanakan yaitu kebahagiaan pribadi, sebagai buah dari ambisi, dan kebahagiaan bersama, sebagai wujud dari mekarnya rasa empati. Walaupun saya tidak begitu mempercayai konsep kebahagiaan kolektif karena keseimbangan hidup selalu memberikan kebahagiaan di suatu pihak dan kesedihan di pihak yang lain, tetapi penerapan empati memberikan sudut pandang lain bahwa hidup ini bukan seni tentang menang dan kalah, melainkan seni tentang menyatu dalam hidup, melebur, dan penerimaan terhadap jati diri bukan sebagai individu melainkan sebagai bagian dari yang lain. Anggap saja saya naïf tapi saya merasa sistem kapitalisme, yang menyerukan dunia untuk selalu berorientasi pada profit dan materi terhadap segala hal, adalah produk dari ambisi dangkal yang salah paham dalam memahami hidup.
Kalau boleh saya simpulkan, ambisi adalah mata yang selalu melihat ke atas, sedangkan empati adalah mata yang tanpa mengantuk mampu melihat ke segala arah. Sebuah pesan yang sangat bijak yang mungkin akan saya olah terus seiring saya hidup dan tentu saja rasa hormat saya tujukan pada semua pihak yang membuat film yang penuh kesan ini. Saya yakin film ini mendapat tempat di Best Animated Feature Film pada ajang Oscar mendatang.

2 komentar:

  1. no need to become a woman to cry, man! hahaha
    man can cry too. hahhaa

    wah, menarik nih,
    ambisi sebagai motivasi,
    tapi di cerita ini, ambisi Carl bukan untuk dirinya, Carl ingin mewujudkan ambisi dia dan istrinya.

    It's really sweet, I think, how they shared their dream together..
    *sigh*

    BalasHapus
  2. ambition is young man's game.

    Semakin tua semakin bijaksana

    BalasHapus