Rabu, 19 Agustus 2009

Literatur

"The More You READ. The More Things You Will KNOW
The More You Will LEARN. The More Place You Will GO."



(Dr. Seuss)


Buku-buku yang harus diselamatkan seandainya kamar saya terbakar:
Fiksi

1. The Catcher in the Rye (J.D. Salinger)

Agak bingung untuk mendefinifikan isi cerita di dalam buku ini. Yang pasti novel ini terlalu singkat untuk disebut novel petualangan, terlalu aneh untuk disebut novel remaja, terlalu berlebihan untuk menyebutnya novel pencerahan, dan bahkan sebagai karya sastra pun novel ini tampak keluar jalur, atau bisa dibilang, terlalu asyik sendiri. Oleh karenanya saya cenderung suka menyebutnya sebagai novel "tentang sesuatu secara apa adanya". Holden Caulfield dikeluarkan dari sekolahnya dan salam perpisahannya ('sleep tight ya morons!') membawa dirinya ke dunia kecil di New York yang dari kedua matanya tampak jelas apa yang dinamakan kepalsuan dan bagaimana orang-orang bersikap terhadapnya. Holden bukanlah seorang yang penuh kebijaksanaan dalam menjalani hidup yang nantinya akan memberikan semacam 'petuah-petuah' tentang makna hidup. Holden hanyalah seorang remaja yang muak, gelisah, pemberontak yang berusaha melewati hari-hari sebelum natal dengan normal dan 'petualangan'-nya ini membawa saya kepada semacam perenungan mengenai apa yang saya lihat, dengar, dan rasakan dalam keseharian yang penuh dengan berbagai jenis manusia. Narasi yang disampaikan Holden sepanjang novel mengalir dengan begitu bebas dan sekaligus mendatangkan kesan bahwa ternyata hidup ini penuh dengan komedi. Tiap paragraf dari novel ini memang tidak lepas dari caci-maki serta hinaan, tapi tidak terlalu sulit untuk selanjutnya menerima bahwa itulah hidup kita sejujurnya.

2. To Kill a Mockingbird (Harper Lee)
Kekuatan dari novel ini adalah penggunaan sudut pandang seorang anak kecil yang polos dan lugas untuk suatu topik yang sangat serius yaitu mengenai prasangka. Hal ini sekaligus memberikan dalih sarkastis bahwa prasangka adalah sesuatu yang sifatnya kekanak-kanakkan. Scout dan Jem Finch bersama dengan ayah mereka yang tampak bagi saya tanpa cela, Atticus Finch, merupakan karakter-karakter yang patut untuk dikenang lewat dialog-dialog cerdas dan naif yang menyertai tiap peristiwa di sekitar mereka. Ketiganya merupakan sosok yang dibesarkan dan dibentuk oleh 'kehidupan' dan inilah prinsip yang saya tangkap dari seorang Atticus Finch sebagai seorang ayah bahwa ia tidak pernah menggurui anaknya melainkan membiarkan mereka berbaur dengan kehidupan, melihat, bertanya, lalu belajar darinya (sekolah terbaik adalah hidup). Novel ini adalah proses pembelajaran dari sosok 'anak kecil' (penghakiman terhadap segala sesuatu secara sepihak) menuju 'kedewasaan' yang bijak (kemampuan untuk menilai) bahwa siapapun takkan bisa pernah bisa memahami orang lain sebelum melihat segala sesuatu dari sudut pandangnya. Isu rasialis yang menjadi pusat dari novel ini menambah muatan cerita ke arah hak asasi manusia sekaligus memberikan pandangan bahwa kepercayaan mayoritas tidak memiliki kekuatan apa-apa di depan mata kebenaran.

3. The Unbearable Lightness of Being (Milan Kundera)

Awalnya saya merasa agak skeptis ketika mengetahui bahwa novel ini mengangkat tema percintaan, sebuah tema yang sudah sangat mubazir. Namun ketika membacanya ternyata buku ini masuk lebih ke dalam lagi daripada sekedar percintaan antar manusia. Ini bukanlah tentang hal-hal manis romantis atau kisah-kisah patah hati melankolis, melainkan cinta yang diangkat secara lebih dewasa sebagai petualangan jiwa yang serius. Karakter-karakter tokoh sentralnya (Tomas, Tereza, Sabina) sepanjang cerita mengalami pergulatan batin yang memberikan saya sebuah hipotesis bahwa manusia dalam kondisi normalnya adalah mahluk yang kesepian dan segala sesuatu yang dilakukan merupakan upaya untuk mengatasinya. Sepanjang cerita saya seperti diajak bertamasya mengunjungi isi kepala setiap tokoh lalu bergumul ke dalam perspektif mereka yang unik, kuat, menghantui, dan provokatif. Milan Kundera telah berhasil menyempurnakan gaya narasi Leo Tolstoy sehingga saya yang membacanya seakan ikut menyelam ke dalam lautan meditasi tiap tokohnya dan mendapatkan kesan bahwa cinta ternyata terlalu dangkal bila hanya sebatas perasaan saling menyukai.

Non Fiksi

1. Summerhill School (A.S. Neil)

Summerhill School merupakan sebuah sekolah alternatif yang dicetuskan oleh A.S. Neill dengan berlandaskan pada prinsip yang terbilang berani, yaitu kebebasan, kebebasan sepenuhnya kepada anak-anak untuk tumbuh dan berkembang sendiri. Siswa-siswi sekolah ini bebas bermain-main sepanjang waktu, boleh ikut mangkir dari pelajaran-pelajaran yang ditawarkan sekolah, dan bebas memilih pelajaran yang mereka inginkan. Hasilnya? Mereka tumbuh menjadi jiwa-jiwa yang kritis, kreatif, mandiri, bebas, bahagia, dan bahkan disiplin. Summerhill merupakan sebuah kritik terhadap sekolah-sekolah konvensional yang cenderung melupakan kodrat manusia sebagai mahluk yang selalu ingin tahu dan menggantinya dengan menjejalkan teori-teori ilmu pengetahuan yang menyetir para muridnya untuk selalu berada di dalam dunia sempit akademis. Buku ini berisi tentang pandangan revolusioner Neill terhadap dunia pendidikan yang dipraktikkan di sekolah yang didirikan sejak tahun 1921 dan berhasil membuat saya iri sekaligus merasa bahwa konsep tersebut sangat pantas untuk diterapkan di dunia pendidikan negara ini yang sekarang telah bertransformasi ke bentuknya yang parah: komersialisasi. Summerhill adalah sekolah yang mengambil pandangan bahwa kebrhasilan sebuah sekolah mesti dinilai dari kebahagiaan para muridnya bukan dari kesuksesan akademisnya.

2. Lifestyle Ecstasy

Buku kumpulan catatan dari 22 penulis ini menyoroti secara tegas dan kritis perkembangan kebudayaan pop dalam masyarakat Indonesia. Isinya menelusuri seputar gaya hidup sekitar kita yang lebih mementingkan keindahan ‘tampilan luar’ dan mengagungkan konsep pencitraan dibandingkan dengan nilai intrinsik dan potensi yang dimilikinya. Saya tersadar ketika membacanya bahwa memang masyarakat Indonesia secara pelan-pelan merusak ‘dirinya’ dengan menganut mitologi gaya hidup yang menghasilkan pribadi-pribadi konsumtif yang mengatas-namakan prestise sebagai motivasi hidup. Para penulis berhasil memaparkan fenomena ini dari berbagai sudut pandang yang menyentuh bidang-bidang industri, hiburan, teknologi, fashion, media, dan budaya simbolik yang menyiratkan bahwa mayoritas orang selama ini telah dikonstruksi oleh dunia luar dalam menemukan esensi kepribadiannya. Saya tercengang dengan isi dari buku ini bahwa dengan demikian manusia selama ini merupakan hasil rekayasa dari produk-produk yang melekat pada dirinya. Ini adalah buku yang bersifat mencerahkan, memberikan pemahaman, memperluas cakrawala sementara batin kita terus terpancing di setiap lembarnya untuk bertanya pada diri sendiri mengenai identitas kita sebagai seorang manusia.

Biografi/Memoar


1. The Motorcycle Diaries (Ernesto Guevara)

Sebuah petualangan, perjalanan, pencarian jati diri, sebuah pengembaraan luar biasa yang mengungkapkan identitas Amerika Latin oleh dua orang pemuda yang mengawalinya hanya untuk ‘gagah-gagahan’ sampai akhirnya mengubah jalan hidup mereka dan melahirkan cikal-bakal petualangan yang lebih besar lagi: revolusi. Ernesto ‘Che’ Guevara dan Alberto Granado adalah mahasiswa kedokteran tingkat akhir yang berhasrat untuk menyalurkan ilmu pengetahuan yang didapatkannya di sebuah koloni Lepra di Peru dengan hanya mengendarai sebuah motor bernama La Poderosa II. Walaupun akhirnya motor tersebut rusak di awal petualangan, tetap saja tidak menghalangi mereka untuk melihat dan merasakan sendiri kondisi Amerika Latin yang telah ‘dirampas’ jiwanya oleh kekuatan kapitalisme asing. Che menulis tiap catatan di dalam buku ini dengan narasi yang memukau dan bahkan filosofis. Sebagai seorang pribadi muda, sepanjang perjalanan ia menunjukkan karakter sebagai manusia yang melankolis, kritis, mengharukan, simpatik, dan secara tak terduga juga kocak luar biasa. Apa yang dilakukan Che dan Alberto merupakan suatu inspirasi bagi orang banyak bahwa perubahan takkan berhasil sebelum mengetahui secara langsung di bagian mana perubahan itu harus dilangsungkan.

2. Heavier Than Heaven (Charles R. Cross)

Kebanyakan orang mungkin hanya melihat sosok Kurt Cobain sebagai seorang rockstar jenius yang memberontak lewat musiknya yang keras dan menghentak dunia rock ‘n’ roll di awal 90-an yang sekaligus menandai munculnya era generasi baru (Generation X). Namun buku ini menyiratkan sisi lain dari Kurt sebagai seorang anak pemalu yang penuh dengan emosi dan bakat luar biasa dalam sisi artistik dan juga musikal dengan berbagai masalah yang mendera hidupnya sampai akhirnya berujung pada bunuh diri yang ia lakukan di dalam rumahnya. Untuk ukuran orang yang sangat populer, Kurt justru berjuang sepanjang karirnya untuk menolak hal tersebut karena sampai kapanpun ia tidak pernah bisa melihat dirinya sebagai seorang idola yang dipuja-puja para fans-nya. Perkenalannya dengan heroin dimulai dari keinginannya untuk mengatasi rasa sakit tak terelakkan di perutnya dan berlanjut kepada kecenderungannya untuk mengatasi tekanan ketenaran yang begitu besar di pundaknya. Kurt adalah seorang yang mencurahkan hidupnya lewat musik yang akhirnya kesulitan untuk menghadapi dirinya sendiri (‘I hate myself and I want to die’). Biografi ini mengungkapkan kisah hidupnya yang penuh lika-liku sebagai perjalanan panjang sifat kejujuran yang harus berhadapan dengan berbagai gelombang kemunafikan untuk akhirnya terbakar habis dalam kesepian.

3. Running with Scissors (Augusten Burroughs)

Memoar yang sangat unik, lucu, aneh, gila, kasar, mengejutkan, ekstrim, dan konyol dari kisah hidup seorang anak kecil biasa yang berada di dalam lingkaran lingkungan yang eksentrik. Ini merupakan humor gelap yang mengaburkan batas eksistensi hidup antara kenormalan dan kegilaan. Augusten kecil adalah seorang anak yang dibesarkan oleh ibunya yang labil untuk kemudian dititipkan kepada keluarga psikiater dengan karakter masing-masing anggota keluarganya yang membuat hari-harinya berjalan dalam gerak akrobatik. Ia tinggal di rumah keluarga yang percaya bahwa bentuk kotoran yang dibuang pagi hari di atas kloset sebagai pengganti ramalan zodiak di majalah, ia dan temannya melubangi atap rumah dengan gagang sapu karena dirasa terlalu rendah, ia diijinkan masuk ke rumah sakit jiwa selama beberapa hari oleh sang psikiater sebagai alasan untuk membolos sekolah, dan masih banyak lagi kejadian yang terjadi di luar nalar manusia biasa. Buku ini membuka pikiran saya bahwa menjadi normal adalah persepsi yang salah dalam bertahan hidup di dunia yang serba abstrak ini dan berpikir terbalik kadang adalah solusi yang diperlukan. Memoar ini adalah tentang pencarian jati diri yang dilakukan lewat perjalanan surealis yang menghibur.

5 komentar:

  1. and those are my favourite books too
    thank you so much for introduce me.

    BalasHapus
  2. euh si anjoy. mat-sit oge maneh. hahahhahahahha

    i like the quote as well
    "The More You Read. The More Things You Will Know
    The More You Will Learn. The More Place You Will Go."

    BalasHapus
  3. ikra, tulisannya bagus...
    wah...
    weh...

    BalasHapus