Kamis, 16 Desember 2010

Loudspeaker

"Listen to Many,
Speak to A Few"

(William Shakespeare)
Hari Selasa 20 April 1999. Waktu belum juga menunjukkan tengah hari di Columbine High School, sebuah sekolah menengah di distrik Colorado, Amerika Serikat. Di dalam ruang kafetaria yang dipenuhi para remaja dengan santapan di atas meja serta cengkerama yang masih hangat, Eric Harris dan Dylan Klebold datang sebagai pusat perhatian. Tidak seperti biasanya, di tangan mereka adalah senjata api semi-otomatis penuh oleh peluru yang siap ditembakkan. Dan tentu saja, mereka tidak memperingatkan orang-orang di sana terhadap aksi brutal dan nekat mereka, melainkan langsung memuntahkan peluru-peluru itu tanpa rasa bersalah. Dari sana, mereka beranjak ke lorong kelas, pintu masuk Barat, dan perpustakaan peluru-peluru itu terus memberondong  diselingi suara tangis histeris khas kepanikan. Total 13 orang tewas dan 21 lagi luka, semuanya tercipta dalam paket 30 menit pembantaian.

Ketika semuanya berakhir, yang berikutnya muncul adalah sorotan dunia. “Motif” adalah selebriti yang paling dicari-cari. Beberapa telah meneliti, menelaah, dan akhirnya menyimpulkan dorongan-dorongan setan yang mungkin muncul di balik kepala dua remaja tersebut. Secara ringkas, yang dipersalahkan adalah bullying, psikopat, depresi, pengaruh video game, kekerasan dalam film, dan musik provokatif. Untuk alasan yang terakhir, muncullah nama Marilyn Manson. Seorang bintang rock yang kerap kali muncul dengan imej Goth serta lirik-lirik berfaedah nihilisme. Publik yang berduka, publik yang sakit hati, publik yang cemas, dan publik yang marah, serempak mengarahkan telunjuk padanya. 

Sementara itu Michael Moore, lelaki dengan badan tambun yang seiring dengan nyalinya untuk melawan pemerintah, membedah kasus ini dengan pisau perspektif yang lain. Ia menyerang pemerintah sebagai dalang tidak langsung yang telah menciptakan panggung kekerasan di masyarakat lewat berbagai kebijakan yang menyangkut perang, pasokan senjata, serta kelonggaran akses senjata dalam ranah kehidupan sosial. Ia membuat film dokumenter “Bowling for Columbine”  sebagai senjatanya dalam menyorot permasalahan tersebut. Dan cukup sukses, setidaknya dengan ganjaran Piala Oscar.

Lalu dalam film tersebut keduanya bertemu, Moore dan Manson. Dalam upayanya untuk meraih semacam titik cerah dari berbagai tuduhan dan prasangka, Moore mewawancarai Manson di sela-sela turnya. Mungkin bagi kebanyakan orang, prosesi ini adalah saat yang tepat di mana Manson mengungkapkan penyesalannya dengan meminta maaf  dan terutama bagi kalangan religius, ia bertobat. Namun pada hakikatnya ekspektasi manusia memang selalu salah sasaran.

Moore:If you were to talk directly to the kids at Columbine or the people in that community, what would you say to them if they were here right now?
Manson: "I wouldn't say a single word to them. I would sit down and listen to what they have to say, and that's what no one did."

Pada akhirnya, ia jadi masuk akal, dan pada level tertentu diterima.

Dalam lima kata terakhir yang Manson ucapkan pada petikan wawancara tersebut, serta-merta ia mengembalikan ribuan tuduhan itu pada si empunya dengan elegan. Dari balik gesturnya yang pongah terbesit kebijaksanaan yang telah selama ini dikira retak, semacam sikap lapang yang menyulap koar-koar menjadi keheningan. Khidmat dan mengintimidasi. Yang tersudut sekarang berdiri di tengah panggung. Kali ini tidak menggenggam mikrofon, namun diam dan hadir sebagai mereka yang berbeda, mereka yang perlu didengar. Secara tak kasat mata ia mengajukan klausul tuntutan pada kehidupan sosial.

Lewat “aksi”-nya tersebut, selayaknya kita sedikit menengok. Sebuah gambaran pernah diutarakan oleh Stephen Hawking: “For millions of years mankind lived just like the animals, then something happened which unleashed the power of our imagination. We learned to talk.” Tak tersangkal lagi bahwa sejak awal sejarah manusia adalah sejarah oral, sejarah bahasa yang membimbing peradaban pada garis evolusi. Sehingga terdeklamasikan dengan jelas bahwa kemampuan bicara merupakan garis batas yang mempertegas kemuliaan manusia di antara mahluk lainnya. Dengan mulutnya, bahasa dilontarkan dalam teriakan, dirumuskan dalam artikulasi, bahkan secara artistik, dinyanyikan dalam nada.

 Keutamaan tersebut pada perjalanannya telah menguak sifat abai dari manusia di mana acapkali manusia bicara namun lupa untuk mendengar. Di era sekarang, era kecepatan informasi, ruang-ruang diciptakan untuk memberikan keleluasaan gerak bagi manusia untuk bicara, mengutarakan, dan berpendapat. Dengan kaburnya batas-batas teritori dan ideologi, kebebasan berbicara menjadi otoritas yang tidak dapat dibantah. Peluru lain yang dilumasi adalah gelegar kapitalisme yang melandasi falsafah manusia modern tentang eksistensi, bukan yang dulu disebutkan oleh Rene Descartes atau Sartre, namun lebih ditekankan kepada “apa yang tampak”, dan benar-benar harfiah. Lalu kemudian, apa yang disebut sebagai era kebebasan itu kini justru secara kontradiktif hanya mampu mengelompokan masyarakat ke dalam dua kondisi yaitu keseragaman (uniformity) dan keterasingan (alienation). Atau yang dulu pernah disebut sebagai mayoritas dan minoritas. Dan dalam konteks yang lain menjadi pembicara (speaker) dan pendengar (listener).

Disadari atau tidak, kecemasan akan penerimaan dan pengakuan telah menjadi jurang ketakutan yang menganga lebar-lebar di hati manusia jaman sekarang. Betapa untuk terhisap ke dalamnya adalah sebuah mimpi buruk tentang pengucilan di mana gerigi sosial siap melumat. Maka hukum pun ditetapkan, secara tersirat mengumandangkan janji mesiah bahwa keselamatan adalah bagi mereka yang sama, bagi mereka yang mengangguk, setuju, dan menerima. Berdiri dan memutar haluan adalah tindakan anarkis, perilaku kafir yang hanya bisa ditolerir oleh pandangan sebelah mata. Gejala ini diistilahkan oleh Fredric Jameson sebagai a singular modernity.  

Perlu dipahami bahwa terdapat sebuah titik di mana kemampuan berbicara menjadi penyimpangan terhadap perkembangan kehidupan manusia. Di titik ini ketulian menjadi kecenderungan karena saking pekaknya suara yang masuk. Kodrat manusia ketika dilahirkan adalah mereka mendengar terlebih dahulu sebelum akhirnya mampu berbicara namun kemudian manusia justru banyak bicara dan lupa mendengar. 

Demokrasi, pantas dijadikan contoh praktis sebuah gagasan yang disalahartikan. Pemaknaan sebagai kebabasan untuk berbicara yang disematkan padanya telah mereduksi nilai lain yang seharusnya tidak boleh dipisahkan, yaitu kemampuan yang baik dalam mendengar. Demokrasi, setidaknya di negeri ini, berubah menjadi arena yang bising nan ramai tentang bagaimana setiap alternatif diperbincangkan. Layaknya sindiran yang pernah diutarakan Bob Dylan tentang negeri yang dijalankan oleh orang-orang yang tidak pernah mendengarkan musik, demokrasi yang tuna rungu adalah bom waktu yang bisa meledak kapan saja. Dan ini semua bermula dari spektrum yang lebih kecil: kemampuan seseorang atau masyarakat  dalam mendengarkan gelombang infrasonik di sekitarnya serta nilai dasar yang dianut dalam memperjuangkan persamaan, bukan keseragaman. 

Manson memang tidak menyampaikan ide mengenai sikapnya terhadap kedua siswa pembunuh tersebut, ia tidak memberikan pandangan tentang benar dan salahnya tindakan pembantaian itu. Walaupun demikian, ia menunjukkan apa yang luput dilakukan oleh masyarakat atau juga yang terlewatkan oleh Erik dan Dylan. Di satu sisi, di dalam SMA Columbine di hari berdarah tersebut keduanya telah berhasil membuat dunia menoleh dan mendengarkan lewat “karya”-nya. Namun setelah itu, dunia luar tidak akan lagi memasang telinganya melainkan menghakimi. Karena itulah, di dalam perpustakaan yang berantakan, mereka menikmati butir peluru bersama-sama masuk ke dalam batok kepala masing-masing, lalu dengan tenang menghujam bumi, bersimbah darah dan asap yang menguap. Petualangan mereka telah selesai.

4 komentar:

  1. cerita di "Elephant" memang sebuah rekonstruksi ulang dari kejadian di Columbine High School. Kontardiksinya adalah dimana ketika di "Elephant" kisah tersebut terlihat indah dan artistik sedangkan pada kenyataanya, tentu saja, sangat mengerikan.

    BalasHapus
  2. much silent makes a powerful noice, arki.

    BalasHapus