Selasa, 28 Desember 2010

Desember


"In the end, it's not the years in your life that count. It's the life in your years."

(Abraham Lincoln)

Desember datang dan berlalu dengan cepat. Bagaimana rasanya selalu berada di tempat paling belakang? Paling akhir dari sebuah urutan? Desember mungkin akan menjawab: “Tidak ada yang akan memperhatikan.” Sebelas bulan berlalu dan ketika pada saatnya giliran Desember, semua jantung tersentak, seolah-olah tidak ada yang tahu tentang bulan penutup ini dan waktu dijalankan dalam hitung mundur. Bagaimana rasanya berada di paling belakang? Pertanyaan tersebut datang lagi dan Desember berkata: “Ketika orang ada di posisi paling belakang, tentu saja dia akan melihat ke depan, melihat sejauh mana dia berdiri dan sejauh apa semuanya telah dia lewati.” Maka inilah Desember, tempat di mana orang-orang serentak melihat ke belakang, ke bulan-bulan sebelumnya yang lebih berharga untuk dikenang. Jadi, Desember hanyalah tempat persinggahan atau terminal setelah orang-orang melakukan perjalanan jauh, lelah dan beristirahat, melihat sisa perbekalan dan bagaimana semuanya telah dihabiskan. Desember sejenak merasa tertekan dan tersinggung. Dia berpikir bahwa dia juga penting, bukan hanya pelengkap dalam 12 dan bukan juga bagian dari satu revolusi bumi, walaupun, yah, dia berada di tempat paling belakang. Terus bagaimana? Desember datang, dia bilang: “Di sini, semua do’a berkumpul, berton-ton, ribuan kali lebih banyak daripada bulan-bulan yang kemarin.”   

Desember tiba-tiba terdengar begitu sakral. Derajatnya menjadi begitu penting setelah ia menegaskan diri sebagai lumbung yang dikeramatkan di mana keistimewaan menjadi miliknya dibandingkan dengan Januari, Juli, Oktober, dan sisanya. Tapi, bagaimana bisa itu disebut sebagai keistimewaan? Karena Desember menutup tahun, maka di sinilah sebenarnya titik mula dari tahun berikutnya. Manusia tentu saja tidak bisa lepas dari harapan, karena mereka diprogram seperti demikian, dengan perasaan kekurangan, iri, cemburu, dan kerendahan mereka sehingga keinginan untuk meminta tidak dapat terelakkan. Terutama, bagi mereka yang percaya Tuhan. Lahan bisnis yang bagus, jadi begini caranya Desember bertahan hidup. Desember diciptakan untuk memenuhi kebutuhan manusia dan tujuan mulia eksistensinya adalah untuk melanjutkan peradaban dunia. Pastinya, lewat lumbung harapan itu tadi.

Memangnya mana yang lebih dulu, Desember atau manusia? Maksudnya keberadaan Desember sebagai bulan harapan dulu atau keinginan manusia untuk berharap yang pertama ada? Bukan hal yang mudah untuk dimengerti. Pertanyaan tadi adalah tentang sepenting apa Desember dikaitkan dengan perputaran hidup ini dengan manusia sebagai aktor dan aktrisnya. Apakah Desember memang ada atau dibuat menjadi ada?  Desember diam lalu buka mulut. “Terdengar seperti pertanyaan dari seorang sarkartis. Pertanyaan yang benar adalah ‘Apa masalahmu?’ Jadi apa masalahmu?”

Tidak ada masalah, hanya kebingungan. Bicara tentang masalah dan bagaimana Desember mendefinisikan dirinya tadi, meredefinisikan, maka tidak ada tempat yang lebih baik untuk masalah selain di sini, karena Desember seperti klinik yang lewat persediaan harapan dan do’a yang melimpah mampu menyembuhkan masalah dalam kekuatan sugesti yang menakjubkan. Tapi bagaimana dengan kebingungan? Barangkali di dalam katedral harapan Desember ada juga bilik khusus untuk kebingungan lengkap dengan etalase khusus yang memajang antibiotiknya. 

Bingung tentang Desember. Tentang harapan yang diciptakan di sini. Tentang keinginan yang dialamatkan ke langit. Do’a dan permohonan datang bertubi-tubi karena di bulan ini masa depan datang dalam hitungan detik. Tik-tok. Semuanya harus disiapkan. Demi kehidupan yang lebih baik, tahun depan yang lebih gemilang serta peruntungan yang lebih berpihak. Daftar panjang resolusi. Semua terjadi di bulan Desember. Tapi apakah ini lagi-lagi hanya sebuah euforia? Hingar-bingar akhir tahun berselang-seling dengan nyaringnya terompet lalu kembang api mengembang di atas kanvas hitam malam; sebuah perayaan, pesta-pora meriah yang terlalu berisik? Desember, mungkinkah tujuan mulia dari penciptaanmu kini hanyalah sebuah simbolis belaka yang tidak menyisakan apa-apa selain atmosfernya saja. Bisakah peran Desember ini menjadi lebih jelas? Atau butuh berapa kali Desember sampai akhirnya semua resolusi bisa benar-benar terkabul? Karena memikirkan 12 bulan berikutnya di kala Desember kini tidak bisa lepas dari kecemasan tentang bagaimana harapan-harapan itu akhirnya lenyap. Karena selalu saja, sehabis Desember tidak ada yang terlalu istimewa. Hanya 12 bulan yang lain. 

“Ini akan menjadi permainan saling menyalahkan. Kalau memang demikian caranya, maka tidak ada yang bisa dipersalahkan selain harapan manusia itu sendiri karena terkadang beberapa diantaranya terlalu tinggi untuk digapai, beberapa lagi meledak, dan beberapa lagi tercekat di tenggorokan tanpa bisa diselamatkan.”
Tentu saja Desember tidak mudah menyalahkan dirinya karena bukan untuk itu dirinya dilahirkan. Dia hidup dalam hitungan mundur. Bisa dilihat, ruang teater Desember selalu memutar dua film, yaitu masa lalu dan masa depan. Yang pertama biasanya sebuah cerita muram, horor, drama air mata, kisah melankolis tentang kegagalan, kehancuran diri, tragedi, cerita-cerita pahit yang siap dibuang, sekali pakai, bahkan dibakar dengan susah payah. Film kedua adalah cerita bahagia, mitos kepahlawanan, parade kemenangan, sambutan dan pesta meriah, dongeng tentang kesuksesan, fantasi akhir yang bahagia selamanya, album-album foto yang disesaki senyum, disimpan dalam lemari baik-baik untuk dilihat berkali-kali. Dan tiap tahun film ini selalu berganti, namun tetap dengan tema yang serupa.

Dan bagaimana film itu berganti sepertinya mudah sekali ditebak. Di masa sekarang, dua film yaitu masa lalu dan masa depan. Kemudian Desember berikutnya, yang asalnya masa depan, dibuat versi barunya yang lebih suram, gelap,dan  jadilah masa lalu yang baru. Lalu naskah kisah fantasi lain ditulis untuk produksi film masa depan versi 2.0.

“Ah jadi Desember disalahkan karena inkonsistensi? Terlepas dari sifat manusia yang terkadang gampang melupakan, mudah tergoda, teriming-imingi, miskalkulasi, kelelahan, pindah haluan, berhenti sebelum garis finish, dan sifat-sifat lain yang membuat yang benar jadi salah? Bukankah terlalu kekanak-kanakkan apabila ini semua dijadikan dosa yang harus ditanggung Desember?”

Lalu jika memang manusia demikian adanya, mengapa Desember harus datang sebagai lumbung harapan? Ini seperti mencari keuntungan dengan memanfaatkan jiwa manusia yang lemah dan picik. Kebanyakan mereka tertipu mentah-mentah dan sayangnya tidak bisa meminta uang kembali.

Desember datang dan pergi dan produk yang dijualnya adalah resolusi. Manusia membelinya, tertarik pada fitur yang ada di dalamnya. Tapi bisa jadi yang sebenarnya dinamakan resolusi bukanlah produk tapi sebuah permainan. Yang pada akhirnya lewat permainan ini sebagian manusia mudah untuk dikalahkan. 
 
“Apakah salah bila manusia memiliki harapan?”

Tentu saja tidak. Tapi apa gunanya kalau toh akhirnya dilupakan juga? Apa artinya kalau semua itu hanyalah ornamen yang dihias demi kemeriahan sebuah panggung? Dongeng fantasi seperti sebelum seseorang meniup lilin di atas kue tart? Desember, apakah di masa sekarang harapan mengenakan tabung oksigen yang tidak pernah bocor? Segala hal tentang Desember ini, tentang akhir dan awal yang baru, masa lalu dan masa depan, hanyalah suatu selebrasi yang mengundang banyak mata untuk bergabung. Desember sudah mati, manusia yang membunuhnya. Hanya atmosfer saja yang masih ada. Setidaknya di tempat ini begitu yang terjadi.

Desember telah mati? Mungkin memang benar mengingat banyak sekali orang yang menghitung mundur untuk kepergiannya sehingga kehadirannya terasa hanya sebagai pelengkap dari sebuah kehebohan massal. Bahkan kalaupun masih hidup, Desember tidak lebih hanyalah terdiri dari satu hari saja, hari hitung mundur itu saja, di mana 11 bulan terangkum dan terkumpul.

“Lantas apa saran untuk Desember agar tidak menjadi kelabu seperti itu?”

Saya tidak tahu. Saya bingung ketika Desember datang. Apa yang harus dilakukan? Apa yang bisa diharapkan? Seandainya saya punya tiga permintaan, apakah datang pula sang Jin dari dalam lampu di bulan Desember? Seandainya saya meminta revolusi, apakah sekarang saatnya? Bila saya sodorkan daftar keinginan di malam Desember, saya takut angin akan membawanya pergi, lalu raib, dan kemudian sunyi. Atau mungkin saya tetap tenang saja, tidur di balik selimut hangat, dan melalui semuanya sampai akhirnya tiba di detik saya menyadari bahwa Desember terlewati begitu saja, tanpa perlawanan, tanpa getaran. Selalu dingin saat Desember, apakah itu dimaksudkan agar isi kepala ini juga dapat beristirahat dalam dingin untuk melihat masa lalu dengan lebih jernih? Tapi apa yang harus dilakukan dengan Desember, yang saya tahu hanyalah untuk menghitung mundur, sampai pada persimpangan yang tegas antara masa lampau dan masa datang. Dan kemudian 11 bulan setelahnya Desember datang lagi dengan cara yang sama. Desember, apakah bulan untuk mengakhiri atau memulai, atau keduanya sekaligus? Tentang Desember sebagai bulan harapan, apakah sebuah retorika atau fungsi yang bergantung pada tempat dan waktu? Bila saya menyalahkan Desember, mungkinkah yang sebenarnya saya salahkan adalah tempat dan waktu di mana saya berada tepat di bawah gumpalan awan kebingungan? Ah mungkin sebaiknya mulai saja menghitung mundur dan lihat apa yang terjadi.

Selalu bingung ketika Desember datang...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar