Minggu, 27 Desember 2009

Thank You, Mr. Guttenberg!

"Books are the blessed chloroform of the mind."

(Robert Chambers)

Waktu saya memasuki pintu kota yang tinggi dan bersinar di mana di dalamnya ramai oleh suara hingar-bingar orang-orang yang berteriak, bercekikikan, dipadu dengan suasana gemerlapan yang telah membawa kota ini menuju masa depannya, menuju cita-citanya dari sejak Daendels menancapkan sebuah kayu di tanah yang kini telah dilapisi oleh aspal sebagai alas dari semua peradaban yang lahir di tempat ini, entah kenapa tiba-tiba saya kembali mengingat suatu hari (lupa persisnya) di mana saya, di bawah pengaruh kebosanan, memutuskan untuk membolos kuliah. Sendirian. Di dalam mobil. Menghabiskan waktu tidur di tempat parkir. Tidak tahu apa yang harus dilakukan. Merokok, merokok, merokok. Tidak tahu harus pergi ke mana. Diam. Memperhatikan tahi burung berjatuhan di kaca depan mobil. Bergulat dengan rasa malas. Suntuk. Bingung. Bosan. Jengkel. Dan akhirnya kuputuskan pergi meninggalkan area kampus menuju ke toko buku. Tanpa alasan khusus.

Keputusan ini menggambarkan bahwa semuanya terjadi di luar kehendak bebas. Seperti semacam perjudian, yang penting pergi, kemanapun tidak peduli. Karena toko buku tidak pernah menjadi tempat yang benar-benar saya niatkan untuk kunjungi (dibandingkan dengan toko kaset secondhand atau tempat penjualan DVD bajakan kala itu) kecuali bila memang saya tidak tahu lagi apa yang harus dilakukan dengan berada di dalam mobil yang mesinnya menyala. Dan itulah yang terjadi.

Saya tidak mengharapkan apa-apa di toko buku, hanya sebuah suasana baru saja (pelarian mungkin?), sekedar berkeliling melihat-lihat, mengingat-ingat bahwa kira-kira sudah lama sekali terakhir kalinya saya berada di sana atau mungkin saya sudah lupa. Tidak ada yang berubah. Buku-buku di mana-mana. Disimpan di tempat-tempat yang tersebar untuk membedakan mana buku untuk anak-anak mana yang bukan, mana yang komik mana yang bukan, mana yang berbahasa Indonesia mana yang bukan. Dalam beberapa menit mungkin sudah seribu buku yang mampir ke jarak pandang saya. Tidak ada niat untuk membeli karena saya “buta” terhadap buku, dan karena alasan itulah ketika sudah puas mondar-mandir di toko buku dan memutuskan untuk keluar, saya tertarik pada cover sebuah buku yang menggambarkan sosok Adolf Hitler di atas mimbar dengan sebuah sasaran tembak di sekitar kepalanya. Entah mengapa di mata saya cover itu begitu menarik dan mendorong saya untuk membelinya. Dan sejak itu dimulailah pengalaman saya terhadap dunia buku yang lucunya justru diawali dengan melanggar norma utama yang sangat populer: “Don’t judge a book by its cover!”

Buku tersebut berisi tentang persekongkolan di tubuh Nazi untuk menggulingkan dan membunuh sang der fuhrer yang ternyata menemui banyak kegagalan dan menjadi bumerang yang fatal. Kisah tersebut disajikan dengan menarik dan berhasil membawa suasana menegangkan di kamar pribadi saya. Di sini saya menemukan bagaimana kata-kata bila ditautkan satu sama lain, dibumbui dengan beberapa tanda baca, disatukan dalam sebuah kalimat yang membentuk paragraf, dapat mempengaruhi (mengaduk-aduk) perasaan dan pikiran saya dengan caranya yang khas. Terus terang ini pengalaman baru. Dan yang lebih hebat lagi membaca buku dapat memicu mesin-mesin imajinasi saya untuk bekerja, berkembang, tumbuh, berkelana, bahkan menjadi liar. Dari situ dimulai segala macam impian yang muncul, cita-cita, dan harapan yang mungkin diantaranya terkesan naïf, mengada-ada, atau juga terlalu besar untuk ukuran tubuh saya. Semuanya yang belum pernah terpikirkan sebelumnya tiba-tiba hadir, mengetuk pintu kesadaran saya untuk memeperlihatkan wujudnya yang nyata.

Dimulai dari buku non-fiksi pertama itu, selanjutnya berujung pada buku-buku sejenis dengan tema-tema berbeda yang berkisar pada sosial, politik, filsafat, dan ideologi -terutama karena ada sebuah penerbit yang khusus menerbitkan buku-buku seperti itu sebagai bagian dari jargon perlawanan mereka terhadap kehidupan modern (sebut saja kapitalisme) dengan judul yang menarik dan, tentu saja, cover yang atraktif. Mulailah saya melatih untuk membuka mata saya terhadap kehidupan sosial, kehidupan bangsa ini yang sering diurapi oleh berbagai balsam intrik yang “panas” dan kadang “menyakitkan”, mengajari saya bahwa berkata “tidak” adalah bagian dari kebijaksanaan, menjejali otak saya untuk selalu kritis, untuk berani melawan dan mempertanyakan “segala hal yang diterima apa adanya sekarang”, untuk tidak ragu-ragu menentang arus, dan yang lebih penting belajar untuk lebih lunak terhadap kata hati yang berteriak. Walaupun dengan banyaknya referensi ini sempat menyiksa saya dalam mengadaptasi berbagai sudut pandang yang diberikan terhadap semua hal, termasuk hidup, lingkungan dan diri saya sendiri, karena terkadang begitu kontradiktif dengan apa yang terjadi, dengan norma-norma ataupun kebiasaan mayoritas, namun kesadaran akan banyaknya pilihan dalam hidup ini serta banyak kesempatan untuk menyatakan “diri” di tengah kehidupan lain, memberi saya kekayaan tersendiri di dalam jiwa. Pengaruh dari buku-buku tersebut terlihat secara gamblang dari gambar siluet Che Guevara di tembok kamar dan sikap skeptis saya terhadap beberapa (hampir semua) hal, terutama dunia pendidikan.

Setelah kenyang dengan membaca dan membeli buku-buku non-fiksi (yang memberi saya masukan tentang susahnya hidup yang juga berarti susahnya berkompromi dengan berbagai kepala namun di sisi lain, penting sekali untuk mempertahankan idealisme), rasa lapar lain tumbuh menguasai perasaan saya. Dipicu ketika keinginan untuk membeli buku baru tidak didukung oleh keberadaan buku di toko-toko buku yang berhasil memancing perhatian uang di dompet. Sepertinya semua buku hanya mengulang dan membahas tema-tema yang sudah-sudah. Saya berkeliling dan tidak menemukan apa-apa. Pulang dengan tangan kosong. Didorong oleh rasa kecewa ditambah rasa penasaran saya mencari tahu lewat internet mengenai buku apa yang pantas untuk dibaca. ”The best books of all time”, lalu muncullah daftar seratus novel terbaik versi majalah TIME dan inilah awal perkenalan saya dengan dunia fiksi.

Buku fiksi memberikan jutaan warna baru, sampai ke bentuknya yang tidak terbayangkan, ke dalam diri saya. Seni bercerita yang dituangkan dalam buaian kata dan makna goresan para monster sastra berhasil memeperluas cakrawala saya mengenai kehidupan serta keunikan pribadi manusia dalam menjalani dinamika hidupnya. Walaupun berisi cerita rekaan namun “kekuatan” isinya membawa saya untuk mengarungi dunia lain di mana menjadi manusia adalah pilihan yang patut disyukuri mengingat banyaknya kemungkinan-kemungkinan serta hal-hal besar yang menanti untuk dilaksanakan. Seperti yang dikatakan oleh S.I. Hayakawa: “Adalah tak benar bahwa kita hanya punya satu kehidupan yang kita jalani. Jika suka membaca, kita bisa menjalani berapapun banyak dan jenis kehidupan yang diinginkan.” Dan rasanya menakjubkan menjalani pengalaman tersebut. Saat pikiran pergi mengarungi berbagai tempat tanpa batas, melampaui ruang dan waktu.

Saya mengakui saya merasa menjadi seseorang yang lebih baik ketika mengenal buku. Ada banyak hal yang telah selama ini saya percaya ternyata tidak selamanya benar. Ada banyak hal dalam hidup ini yang telah saya ketahui sebelum saya melihatnya. Ada banyak hal yang menunggu di luar sana di dunia ini. Ada banyak hal yang tak terjamah namun dapat dengan mudahnya diraba-raba lewat beribu aksara. Ada banyak hal yang saya sadari tentang siapa saya dan cara untuk menertawakannya. Intinya (atau secara klise), ada banyak hal yang saya tahu.

Saya menemukan banyak cita-cita yang telah dilupakan atau tidak terpikirkan sama sekali. Saya menemukan bahwa apa yang telah menyebabkan kita, bangsa ini, menjadi seperti sekarang, seperti “Indonesia” adalah angka minat baca. Seberapa sering kita terjerembab dalam lubang-lubang dan berdiri statis memperhatikan yang lain berlari melewati kita berkali-kali? Seberapa sering kita duduk dan merencanakan sesuatu yang merupakan pengulangan dari apa yang telah dilakukan negara lain? Dan apakah kita terpacu untuk mengambil bagian dalam sejarah dunia? Sejarah peradaban? Peradaban paling mendasar antara kita, si pencemburu, dan negara lain yang kita cemburui adalah tingkat kebutuhan terhadap buku. Ya, minat baca.

Maka ketika saya memasuki pintu kota tadi lalu berdiri di dalamnya memperhatikan suara hingar-bingar dan cekikikan, saat itulah saya menyadari bahwa kita semua tidak cukup kuat untuk memperkaya jiwa kita dengan baik. Yang terjadi selama ini adalah tubuh, tubuh, selalu tubuh, dan semua tentang tubuh. Tentang apa yang bisa dipenuhi oleh tubuh dari yang alami sampai yang paling musykil sekalipun. Sehingga yang dihasilkan hanyalah suara-suara ini, suara-suara teriakan tanpa nada dan kedalaman, tanpa makna dan irama, hanya teriakan keras yang melolong ke langit-langit meminta sesuatu yang tidak dibutuhkan. Yang terdengar hanyalah suara-suara sengau. Mungkin apabila kita mau belajar untuk bernyanyi, mengisi jiwa kita dengan solmisasi, kita bisa memenuhi udara ini dengan impian masa depan yang lebih nyata. Dan kita akan benar-benar berterima kasih pada tuan Johannes Guttenberg karena telah melahirkan mesin cetak ke dunia ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar