Sabtu, 12 Desember 2009

Jurnal Seminggu


"Being noticed can be a burden.
Jesus got himself crucified because He got Himself noticed.
So, I disappear a lot."
(Bob Dylan)

Nihil. Saya bertanya pada HIJKLMN tentang bagaimana caranya menghilang. Seperti biasa, Ia tidak langsung menjawab. Ia mengerutkan dahinya agar terlihat seolah-olah sedang berpikir, memutar-mutar kedua bola matanya, menatap saya dengan heran, lalu kemudian menjawab sesukanya. Dan tepat ketika mulutnya hendak membuka untuk menyatakan apa yang baru saja terlitas di benaknya, saya melihat pancaran di mukanya. Pancaran yang menyembunyikan keraguan terhadap apa yang ia pikirkan, ketidakyakinan terhadap jawaban yang akan dilontarkan, dan ketakutan terhadap jawabannya sendiri, atau lebih tepat lagi, ketakutan terhadap reaksi ketidakpuasan saya atas jawabannya. Saya tahu karena saya pernah memiliki pancaran yang seperti itu. Dulu. Atau mungkin juga sampai sekarang. Maka ketika ia menjawab saya tidak mendengarkan apa-apa selain dari gema perasaan yang sama seperti sebelum saya mengajukan pertanyaan tersebut, nihil. Terima kasih HIJKLMN, saya harus pergi.

Hari Selasa saya lupa menghadiri acara pemutaran perdana film pendek seorang kawan lama. Padahal saya ingin sekali datang ke acara tersebut untuk bertemu dengannya, berbicara tentang film, bertukar pikiran tentang film, berbagi ilmu tentang film, tanya-jawab tentang film, dan mungkin bila masih ada waktu, menonton film pendek yang baru selesai dibuatnya itu. Namuan di malam harinya, saya merasa tidak yakin apakah saya memang benar-benar lupa untuk pergi menemuinya. Apa saya lupa untuk pergi ke acaranya? Atau apa saya sengaja melupakannya? Atau mungkin saya justru lupa bahwa saya telah lupa? Atau saya lupa untuk melupakan acara itu? Atau mungkin saya lupa dengan mengapa saya lupa untuk tidak melupakan datang ke acara tersebut? Maka di malam yang sepi saya menelepon HIJKLMN. Ia menjawab dengan suara yang berbeda, terdengar begitu yakin, tidak bergetar dan ketakutan seperti saat ia menjawab tentang pergi ke tempat matahari tenggelam dan sebagainya di pertemuan terakhir. Mungkin ia telah melupakannya.

Kali berikutnya saya berpapasan dengan HIJKLMN di ruang tunggu. Dia tidak melihat saya. Bahkan tidak menyadari kehadiran saya. Alasannya adalah ketika itu ia sedang menikmati sebuah pesta di dalam pikirannya. Pikirannya yang transparan memperlihatkan sebuah keramaian diiringi kebisingan dan tari-tarian. Kesenangan. Hura-hura. Hiruk-pikuk. Gelak tawa. Teriakan. Pesta yang meriah. Dan semua yang hadir adalah perempuan telanjang. Saya bertanya, bolehkah saya masuk ke dalam pikiranmu karena mungkin inilah cara untuk menghilang seperti yang kumaksud, HIJKLMN? Ia menjawab, kenapa? Saya bilang saya ingin tinggal di dalam sana. Ia menjawab, tidak bisa karena sebentar lagi pestanya akan selesai dan semuanya akan kembali seperti sediakala. Dan kemudian ia pergi sementara saya mendengar sayup-sayup suara pesta dalam pikirannya dari kejauhan.

Saya membenamkan diri dalam proses persalinan di ruang segi empat sempit yang suka didatangi nyamuk-nyamuk. Saya bercumbu, bercinta, lalu anak-anakku lahir dengan ramainya. Mereka berkembang cepat dari sebuah huruf yang kesepian menjadi kata lalu bertransformasi menjadi kalimat panjang. Saya mnghitungnya satu per satu. Tak tahu untuk apa saya melahirkan mereka apalagi untuk mengingat janin milik siapa yang kubuahi ini. Mereka keluar begitu saja tanpa seorang ibu yang menjerit dan menahan napas. Anak-anak haram. Apa yang telah terjadi? Apa saya habis memperkosa tubuh seseorang? Siapa? Semua berlalu begitu saja. Saya bahkan mulai menikmati hal ini. Membiasakannya. Menghidupinya. Membaur dengan gerakan waktu. Hingga melupakan gerakan waktu. Sampai HIJKLMN datang mengganggu, melihatku, lalu bertanya, siapa yang telah berhasil memperkosamu?

Pukul 5 pagi Anak Perempuan-ku bernyanyi. Mencoba mengajakku pergi. Suaranya tidak seperti suara anak kecil. Saya tahu ia akan datang. Setiap hari selalu begitu. Tapi saya telah jauh dihisap oleh mimpi. Jauh ke dalam. Ke tempat sunyi hampa udara di mana suara siapapun takkan bisa kudengarkan. Maka saya mengabaikannya begitu saja. Tidak peduli. Saya harap ia tidak terlalu sedih. Hmm sepertinya tidak mungkin. Ia tidak akan pernah bisa bersedih. Lagipula siapa diriku hingga membuatnya bersedih segala. Anak Perempuan-ku adalah ibu segala kehidupan, dia bisa mendapatkan segalanya, termasuk HIJKLMN jika dia mau. Terutama karena di saat seperti ini ia selalu bersikap menyebalkan. Sama seperti dulu ketika saya mengadu padanya bahwa saya telah membuat Anak Perempuan-ku bersedih. Ia malah tertawa sambil menendang pantatku dan berkata, bagiku, justru kamulah yang terlihat menyedihkan. Ha ha ha. Ia tertawa seperti orang gila. Ha ha ha. Suaranya menggema. Mengantarku terbang melesat ke permukaan. Telingaku rasanya hampir meledak karena suara tawanya terdengar semakin keras. Tidak hanya satu. Ratusan. Ribuan. Ribuan sura tawa yang menjengkelkan. Menusuk-nusuk telingaku berkali-kali. Saya tak tahan. Saya berteriak. Dan akhirnya saya bangun. Kulihat HIJKLMN baru saja menendang pantatku (lagi!).

HIJKLMN mengajakku pergi ke tempat yang biasa kami berdua kunjungi. Hari yang panas tidak membakar kulit dan melumerkan keringatku seperti yang sudah-sudah. Jalanan terlihat gemuk dan kekenyangan. Sudah berkali-kali saya meneriakinya untuk muntah, mengeluarkan semua isi perutnya dalam sekali tarikan napas, namun tetap saja ia pura-pura tidak mendengar. Hanya makan, makan, makan, dan terus makan. Tempat-tempat yang kukunjungi kini terasa gersang. Saya tak mengenal bentuknya lagi. Saya tak mengenal warna catnya lagi. Saya tak mengenal isinya lagi. Saya tak mengenal aromanya lagi. Saya tak mengenal orang-orangnya lagi. Bahkan saya merasa canggung karena orang-orang di sana begitu asing sekaligus dominan. Mereka bicara dengan wajarnya, tanpa beban, seolah-olah seperti itulah manusia pada umumnya sepanjang sejarah bumi ini ditulis. Tidak ada lagi perbedaan antara berbisik dan berteriak dan mungkin saat itu hanya saya yang menyadari bahwa kita semua sedang terbalik. Kita semua sedang menghadap ke bawah. Sesuatu tidak berada di tempat yang seharusnya dan itu membuat lidahku kelu. Saya berusaha menempatkannya kembali pada posisi semula, namun setelah selesai, saya merasa semuanya tidak benar. Keadaan terbalik sepertinya yang paling benar karena saya mulai tidak merasa nyaman dengan diriku. Tapi terlambat, semuanya sudah menjadi normal. Dan baru kusadari, sejak tadi HIJKLMN menghilang entah kemana. Saya penasaran apa dia tahu tentang urusan ‘terbalik’ ini. Apa dia juga merasakannya? Atau mungkin dia sudah tahu dari sejak dulu dan bungkam di baliknya selama ini.

Besoknya saya sakit perut dan benar-benar tidak tahu apa yang saya butuhkan untuk diri saya sendiri. Apa yang saya butuhkan untuk melewati hari ini. Apa yang saya butuhkan untuk menghilangkan sakit perut sialan ini. Apa yang saya butuhkan untuk mengebiri waktu. Ada pil-pil diselipkan di antara tumpukan buku. Saya sudah mencoba semuanya dan berapapun jumlah yang saya telan sekarang tidak akan mengubah apa yang seharusnya berubah untuk membuat keadaan menjadi sedikit lebih akrab. Seekor laba-laba melintas di depanku. Lalu seekor tikus. Dan berikutnya seekor ular. Saya membuka jendela dengan maksud hendak melompat. Tepat begitu saya hendak melakukannya, HIJKLMN muncul. Ada di sini rupanya, dia bilang. Wajahnya tampak seperti sedang menyembunyikan keseganan. Saya tahu bahwa ini bukan rahasia lagi kalau diam-diam dia menyimpan rasa takut padaku. Dan kali ini ia menunjukkannya dengan wajah iba. Kamu masih ingin menghilang? Ia berkata. Tiba-tiba saya merasa telah menemukan jawaban kegelisahanku sekarang. Bagaimana caranya? Saya bilang. Tidak bisa, ia jawab, seseorang takkan bisa menghilang. Rasa benciku timbul. Tapi, dia meneruskan, kamu bisa pergi ke tempat yang jauh dari jangkauan waktu sekarang. Saya bingung. Itulah yang kulakukan kemarin, katanya lagi. Kemana saya harus pergi? Saya tanya. Terserah, kemanapun di mana kamu bisa membekukan dan mengulang-ulang waktu sesuai keinginan. Saya diam, berpikir, memejamkan mata, mencoba mencari tempat yang dia maksud. Samar-samar sudah mulai kelihatan. Namun lenyap seketika. Lalu muncul lagi, dan begitu seterusnya. Baiklah, katanya, aku akan membacakan mantra dan kamu akan pergi langsung ke tempat di mana orang-orang bernyanyi dan memainkan musik tanpa henti. Aku berpikir itu pasti tahun 60-an. Lalu ia mulai bersenandung, “Picture yourself in a boat on a river/with tangerine trees and marmalade skies/Somebody calls you, you answer quite slowly/a girl with kaleidoscope eyes/ Cellophane flowers of yellow and green/ towering over your head/ Look for the girl with the sun in her eyes/And she’s gone.”

Saya meneruskan bait sisanya, dan perlahan semuanya menghilang. Semua yang saya lihat. Semua yang saya dengar. Semua yang saya ingat dan semua yang saya punya. Semuanya. Kecuali suara-suara nyanyian.


“Then take me disappearin’ to the smoke rings of my mind,
Down the foggy ruins of time,
Far past the frozen leaves,
The haunted, frightened trees,
Out to the windy beach,
Far from the twisted reach of crazy sorrow.

Yes, to dance beneath the diamond sky with one hand waving free,
Silhouetted by the sea,
Circled by the circus sands,
With all memory and fate driven deep beneath the waves,
Let me forget about today until tomorrow.”
Thereby, I disappear completely...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar