Rabu, 18 November 2009

To: "Religious Express Army"

“Wicked men obey for fear,
but the good obey for love.”

(Aristotle)

Sebut saja saya seorang hipokrit atau seorang munafik besar mulut atau seorang sok tau, sok pintar, sok berani, skeptis, atau apalah. Bahkan kalau mau melabeli tulisan ini sebagai aksi gagah-gagahan saya yang lain juga silahkan. Tapi terus terang saya sudah cenderung kesal dengan semua huru-hara ini, dengan semua kehebohan yang semakin sering dibesar-besarkan, tentang tong kosong yang nyaringnya semakin pekak. Orang-orang. TV. Radio. Buku. Artikel. Internet. Semuanya. Pagi sampai malam. Semuanya adalah tentang kiamat 2012.

Sebenarnya saya tidak terlalu bermasalah dengan teori-teori ilmuwan tentang planet Nibiru, meteor yang menabrak bumi, badai matahari, ledakan benda langit, dan lain-lain. Saya juga tidak menyalahkan bangsa Maya yang menghentikan penanggalan di tanggal 21 Desember 2012, dibandingkan hal seperti ini bukankah sebaiknya justru kita mengenang bangsa itu karena warisan budaya yang telah banyak disumbangkan pada dunia. Memang ada sedikit kekesalan ketika orang-orang, atau siapapun mulai berspekulasi dengan bukti ini untuk bicara tentang kiamat. Bagi saya prediksi-prediksi itu sampai saat ini hanya membawa satu fakta, yaitu sebagai pendongkrak angka penjualan buku tentang akhir zaman. Tidak lebih, tidak kurang.

Hanya yang menjadi ‘lalat di mangkuk sup saya’ adalah ketika pernyataan atau tindakan yang muncul dalam menyikapi ramalan ini adalah sebuah kepanikan massa yang ditunjukkan lewat cara yang menurut saya begitu naïf yaitu dengan melakukan perbaikan akhlak dan berbondong-bondong beramal ibadah. Sebuah tindakan yang justru menguak celah yang besar antara manusia dan keimanannya pada agama atau kepercayaan. Ya, saya mengkritik beberapa umat beragama di Indonesia! Umat beragama yang percaya akan ramalan ini dan berpikir untuk bersiap-siap menghadapinya.

Imaji tentang hari akhir memang amat mengerikan. Digambarkan dalam kitab suci, divisualisasikan dalam film-film, dan diceritakan dalam beberapa buku, dan semuanya sama sekali bukan sesuatu yang indah. Saya bahkan berharap tidak harus menjadi saksi mata ketika kiamat benar-benar menimpa dunia ini. Kalau boleh egois, saya ingin hidup sampai tua lalu meninggal dengan tenang dan setelahnya, kiamat bisa datang kapan saja. Tapi bukan karena alasan itu saya menolak isu tentang 2012. Alasan utama saya karena dalam agama yang saya anut, Islam, mengajarkan bahwa takkan ada seorang pun di dunia ini yang mampu mengetahui kapan datangnya hari kiamat. Dan itu sudah cukup buat saya. Islam hanya memberikan ciri-ciri akan datangnya hari kiamat dan meskipun semua ciri-ciri tersebut terpenuhi, tetap saja tidak akan ada yang bisa mendeklarasikan kapan hari besar itu akan tiba. Saya juga cenderung yakin bahwa dalam agama-agama besar lainnya, katakanlah agama-agama yang diakui di Indonesia, tak ada satu pun yang mengajarkan ilmu tentang menghitung kedatangan kiamat secara pasti. Karena setiap agama sepertinya sudah sepakat bahwa urusan tersebut diserahkan sepenuhnya kepada Tuhan. Dan ketika manusia mencoba untuk menjadi lebih pintar dari Tuhan maka hasilnya adalah mereka akan terlihat konyol. Sehingga mempercayai ramalan omong kosong ini hanya akan semakin mempertegas bahwa dalam hidup, manusia bisa juga tersesat dalam benang kusut logika dengan kapasitas otak berjalan mengikuti alur mundur dari teori evolusi Darwin.

Saya memang tidak bisa menyalahkan mereka yang mempercayai hal ini, terutama di negara ini di mana hal-hal klenik masih mendapat tempat di hati masyarakat sehingga ramalan dalam bentuk apapun akan dengan mudah disakralkan. Namun ini menjadi aneh ketika umat beragama yang percaya, atau yang menyatakan tidak percaya tapi di dalam hatinya percaya, menggunakan momen ini untuk semakin gencar beribadah, bertaubat, mendekatkan diri pada Tuhan-nya. Apakah ini disebut sebagai sisi positif dari ramalan kiamat 2012? Saya ragu.

Memang secara kasat mata kecenderungan ini merupakan suatu pertanda yang baik dan patut disyukuri. Tapi di sisi lain, timbul pertanyaan di benak saya, apa sebenarnya fungsi agama bagi manusia? Karena ketika orang-orang mulai mengimani agamanya atas dasar ketakutan, bukankah ini justru namanya membiaskan esensi dari agama? Pamrih? Bukankah itu suatu cara yang ringkih dalam beragama? Apakah memang sasaran utama agama adalah sifat dasar ketakutan manusia? Saya rasa jawabannya adalah tidak.

Kalau kita runut sejarah kenapa agama diturunkan pada umat manusia dan kenapa manusia membutuhkannya, maka jawabannya secara umum adalah manusia membutuhkan panduan untuk hidup. Manusia membutuhkan pegangan, jalan-jalan kebenaran, serta pencerahan mengenai hakikat penciptaannya dalam ruang kehidupan. Agama memberikan cara bagi manusia untuk dapat melihat ke dalam dirinya sendiri di antara semesta raya ini dan menemukan Tuhan di sana. Agama merupakan jejak komitmen yang dibangun manusia atas nama keimanan pada Tuhan. Agama adalah bentuk gaya hidup yang mengajari segala aspek yang menyangkut ke-manusia-an bahkan sampai ke wilayah yang sulit dijelaskan sekalipun. Pada akhirnya agama memang bukanlah sesuatu yang mudah untuk dipelajari dan menuntut manusia untuk dapat terus memungut kebaikan yang tersebar di dalamnya.

Namun yang paling sering terlihat, dirasakan, dan dimengerti oleh manusia adalah agama digunakan sebagai kalkulator penghitung dosa. Agama adalah sang hakim, juri, dan eksekutor dalam menentukan nilai dan membedakan mana pahala dan dosa. Inilah instrumen utama yang memberikan manusia kekuatan konservatif dalam menentukan siapa yang mendapatkan hukuman dan siapa yang mendapatkan imbalan. Kondisi ini yang memunculkan rasa takut manusia yang dicurahkan secara berlebihan terhadap agama atau lebih tepatnya pada sosok Tuhan. Tak pelak lagi imej Tuhan-pun ditafsirkan lebih besar pada bentuk kemurkaannya dibandingkan pada sifatnya yang Maha Penyayang.

Sepanjang sejarah, agama apapun dalam penyebaran serta ajarannya tidak ada yang menitikberatkan pada pembentukan ketakutan dalam diri manusia dalam menjalani hidup. Agama tidak datang dalam bentuk ancaman atau teror mengenai hari ketika kemarahan Tuhan meledak. Namun sebaliknya agama justru datang kepada manusia dengan dasar ajaran perdamaian serta cinta kasih dalam hidup. Para nabi tidak pernah datang dan menemui umatnya tiap hari dengan terus-menerus menyebarkan peringatan mengenai Tuhan yang gemar menyiksa. Kitab suci manapun tak ada yang sebagian besar diisi oleh cerita-cerita mengenai siksaan dan gambaran verbal tentang neraka. Tempat-tempat ibadah tidak didirikan sebagai tempat berlindung umat beragama dari ketakutannya akan hidup, kematian, ataupun kehidupan setelah kematian. Hidup dalam ketakutan jelas-jelas bukan gambaran ideal dari konsep agama.

Maka ketika isu kiamat ini mendorong massa untuk kembali kepada agamanya muncul indikasi bahwa selama ini orang-orang memahami agama sebagai panduan dalam menghadapi datangnya kiamat dan hanya untuk itu saja, bukan sebagai panduan dalam menjalani hidup dari lahir sampai mati, dari pagi sampai malam, dari bangun tidur sampai kembali tidur. Agama dibentuk sebagai benteng pertahanan dari serangan ketakutan manusia baik yang telah datang maupun yang akan datang. Pendekatan yang seperti ini memposisikan agama sebagai bentuk pelarian layaknya kotak P3K yang membutuhkan suatu kondisi untuk dapat terlibat dalam hidup manusia, bukan lagi menjadi bagian dari keseharian. Kehadiran Tuhan dirasakan hanya pada waktu-waktu tertentu saja, hanya ketika bayangan akan ketakutan dan dosa muncul dalam pikiran.Ketakutan akan Tuhan dimaknai sebagai ketakutan terhadap sesuatu yang akan menimpa dirinya bukan sebagai bentuk penghormatan dan penghambaan terhadap zat Yang Maha Agung itu. Efeknya terlihat jelas yaitu arus kemunafikan yang begitu nyata.
Kalau demikian apa artinya agama selama ini? Ketika ketakutan itu belum terdengar, di mana mereka memposisikan Tuhan dalam kehidupan mereka? Di sini saya mempertanyakan rasa malu.

Saya sendiri mengakui bahwa saya bukanlah seorang religius. Ilmu agama saya terutama yang berhubungan dengan peribadatan masih sangat jauh dari sempurna. Saya merasa tidak dalam keadaan buru-buru dalam mempelajari agama karena saya menyerahkan segalanya pada proses. Ada beberapa hal yang saya tidak mengerti dalam agama dan itu membutuhkan waktu dan pengalaman untuk akhirnya bisa sampai ke dalam pemahaman saya. Saya cenderung percaya bahwa segala kebaikan yang ditaruh Tuhan di muka bumi ini sejalan dengan sifat instingtif manusia yang berarti dapat ditemukan dalam seiap alur kehidupan yang dijalani. Yang jelas saya menghindari segala bentuk dogma karena agama adalah hal yang harus dicari dan ditemukan bukan untuk diwarisi dan disuapi. Dan mendalami agama atas dasar dorongan ketakutan bukanlah cara yang baik bahkan cenderung memalukan karena saya berusaha mencari nilai agama sebagai hal yang membebaskan dan menemukan makna hidup manusia di muka bumi.

Saya tidak ingin menjadi seorang pengecut di mata Tuhan. Dan jalan pertama yang saya tempuh adalah berdamai dengan-Nya. Dulu saya melihat dan mengenal sosok Tuhan sebagai seorang raja alam semesta, pemimpin segala pemimpin, pemiliki semua hal yang nyata dan gaib, yang duduk di singgasananya dan memiliki kekuasaan untuk melakukan apapun. Dia bisa menjungkirbalikkan gunung-gunung, menenggelamkan daratan, membekukan matahari, meremukkan bumi, menghancurkan semuanya dalam sekejap. Dia yang akan menghukum siapapun yang tidak mengikuti perintahnya, memanggang mereka di dalam neraka untuk waktu yang sangat lama. Hal ini mendorong saya untuk menjalankan agama atas dasar ancamandan kengerian yang tak terbayangkan.

Sampai akhirnya saya membaca buku tentang Imam Khomeini, seorang tokoh revolusioner Iran, yang mencintai Tuhan layaknya cinta kepada seorang anak perempuan kecil yang lugu. Ini meruntuhkan imej Tuhan saya sebelumnya dan justru membuka jalan yang begitu lebar dalam mengenal dan mendekati-Nya. Manusia harusnya mampu mengenal Tuhan dengan cara yang sama seperti ketika Tuhan menciptakan kehidupan, yaitu dengan cinta. Segala bentuk peribadatan, penghambaan, dan penyerahan diri tidak lagi saya pahami sebagai bentuk penebusan dosa atau permohonan ampunan namun sebagai manifestasi dari rasa syukur yang tulus atas apa yang dimiliki, dilihat, didengar, dan dipahami. Mencintai Tuhan terasa lebih meringankan dan membebaskan ketimbang rasa takut yang ditujukan pada-Nya. Dan lebih penting lagi ini membuat seseorang lebih merasa “hidup” ketimbang yang lainnya.

Ramalan kiamat 2012 ini melahirkan fenomena bahwa agama didekati oleh manusia sebagai iklan yang menarik simpati lewat slogan “selamat dunia dan akhirat”. Ini adalah bentuk konsumerisme agama di mana kebaikan yang ditawarkan bisa dibeli dengan melakukan peribadatan yang dipiloti rasa takut. Semakin sering semakin lunturlah nilai agama itu sehingga harus kembali menarik perhatian massa dengan melakukan promosi akan produk ketakutan yang lain. Entah apa yang ada di pikiran mereka ketika menyatakan dengan hati yang bergetar untuk mendekatkan diri pada Tuhan sementara Dia hanya ingin kita dekati lewat cinta, dan hanya cinta yang bisa.

Peace, Love, and Wassalam!

4 komentar:

  1. kalo gw ngeliatnya kra, 2012 jadi booming karena marketing (tentunya, seperti halnya Ketka Cinta Bertasbih) dan mungkin karena itu alternatif hiburan selain politik yang bisa dinikmati.
    gw juga enek. kayak film kiamat cuma 2012 seorang doang..

    iyaaa, gw sepakat banget kalo urusan dengan agama itu harusnya didasari dari kesadaran untuk mencari pegangan hidup. jadi harusnya sifatnya pribadi banget.. tapi di sini agama jadi urusan bersama.. laen lagi deh ceritanya :(

    BalasHapus
  2. hai ikra, boleh tau buku tentang imam khomeini judulnya apa? makasih yaa :)

    BalasHapus
  3. Saya punya judulnya "Potret Sehari-hari Imam Khomeini" terbitan tahun 2007, ga tau apa masih tersedia di pasaran ato engga.

    BalasHapus