Selasa, 07 Februari 2012

Vicarious

"You never really understand a person until you consider things from his point of view--until you climb inside of his skin and walk around in it."


(To Kill A Mockingbird, Harper Lee)

Bagaimana kalau selama ini ternyata kita juga lah yang salah?

Bicara mengenai kebebasan berekspresi di Indonesia, siapa yang telah melahirkannya: reformasi atau social network?

Yang jelas era 2000-an telah melahirkan manusia baru di nusantara, manusia yang sensitif, kritis, bersuara, bicara, sehingga bila konotasi negatifnya bisa disingkirkan dari pikiran, manusia Indonesia layak diberi sebutan manusia oral (merujuk pada kesadarannya dalam mengutarakan pendapat, walau salah satu perantaranya juga termasuk melalui teks). Tentu saja ini merupakan hal yang bagus. Setelah sekian lama mulut kita selalu dibungkam dan pikiran kita digiring dalam rambu-rambu tertentu, maka kebebasan seperti ini adalah runtuhnya tembok Berlin kita. Gerbang telah terbuka, walau mungkin kita masih merangkak, menggapai udara baru ini dengan keluguan sehingga terkadang beberapa terdengar terlalu cerewet, terkadang terlalu memaksa untuk didengar, terkadang juga senyaring tong kosong. Satu hal, masa-masa tembok pembatas itu sudah dilewati.

Adalah suatu hal yang ‘menyenangkan’ ketika negeri ini selalu memiliki berita-berita untuk dibicarakan, isu-isu untuk didiskusikan, peristiwa-peristiwa hangat yang selalu terjadi sehingga kita bisa selalu terlepas dari cengkeraman teror kebungkaman. Dan bisa jadi karena sebelumnya kita memiliki pengalaman hidup di rezim Orde Baru sehingga topik yang selalu populer untuk dibicarakan (diteriakkan bahkan diprotes) adalah topik mengenai kondisi negara dan para politisi; atau lebih tepatnya lagi, negara di tangan para politisi.

Reaksi yang ditunjukkan dari bicara mengenai topik tersebut bisa bermacam-macam. Ada geram, gerah, jengkel, dongkol, gemas, kesal, marah, menertawakan, mengkritik habis-habisan, menyerang tanpa kompromi, menyindir tajam, memparodikan dengan konyol, menyayat kepalsuan mereka dengan pisau ketidakpercayaan yang terus diasah dalam peluh asa di hari-hari demokrasi. Dan sisanya adalah pujian. Masalah korupsi adalah virus utamanya. Para politisi seakan bersatu di bawah payung korupsi melawan rakyat yang terikat oleh ketidakadilan. Berita-berita mengenai korupsi kerah putih ini terus datang silih berganti, tidak ada habisnya, selalu diperbaharui tiap tahun dengan pelaku dan modus yang bervariasi. Sifatnya yang akut seolah otomatis tercetak di DNA para politisi sementara kemiskinan yang belum teratasi menjadi parameter dari tiap penghakiman oleh masyarakat. Menghamburkan banyak uang dengan kinerja di bawah standar adalah catatan rapor yang layak diwarnai merah mengkilat.

Rakyat pun bereaksi. Berpikir betapa tak habis pikirnya para politisi tersebut mencederai amanat jutaan jiwa, bahkan tak jarang secara berjamaah dan terang-terangan. Rakyat bertanya ke mana perginya hati nurani para anggota dewan, di mana otak mereka dan mengapa sifat rakus itu begitu mengakar. Lewat atmosfer kebebasan berpendapat yang demokratis, mereka berteriak dalam satu suara. Tidak melulu melalui demonstrasi, tapi dengan medium lain yang juga mampu memfasilitasi jeritan mereka. Dari mulai acara TV, talk show, debat terbuka, petisi-petisi, forum-forum pembela rakyat, asosiasi pemuda-pemudi harapan bangsa, sindiran-sindiran yang diselipkan dalam budaya pop, atau mungkin sekedar komentar nyinyir dalam karakter terbatas huruf/angka (tidak lupa emoticon) di media sosial. Seperti singa yang dilepas dari kandang, kebebasan ini sama buasnya dengan predator kelaparan.

Rakyat adalah protagonis, setidaknya demikianlah pemahaman yang diterima. Suara-suara mereka mengarah pada moralitas dan nilai-nilai kehidupan yang luhur. Di balik protesnya, tersembunyi pula pengumuman mulia bahwa jikalau mereka terlahir sebagai politisi, tentunya mereka akan benar-benar menjadi sosok penyambung lidah rakyat, karena mereka tahu apa yang harus dilakukan oleh para politisi sementara para politisi itu semua hanyalah para pemula yang diangkat berdasarkan curriculum vitae dengan kredibilitas nol. Rakyat membangun argumen-argumen kebenaran yang disodorkan langsung di wajah para politisi. Mereka membuat ‘permainan’ dan menemukan ‘kesenangan’ tersendiri lewat cibiran, kadang itu juga bisa membangun kepercayaandiri dengan terdengar cerdas atau bijak. Yang jelas rakyat selalu benar.

Tapi bagaimana kalau ternyata rakyat telah salah menilai selama ini?

Perilaku korupsi politisi mencerminkan suatu keinginan yang besar untuk mengumpulkan uang, bahkan menggila sampai tak terkendali. Korupsi bisa jadi merupakan kejahatan yang paling jujur dalam merefleksikan sifat/mental pelaku sebagai manusia, kondisi lingkungan/manusia di sekitarnya, dan nilai-nilai kehidupan yang berlaku di masyarakat. Sebagai suatu tindak kriminal, eksistensi korupsi bergantung pada aspek-aspek tersebut. Mengingat skala pencuriannya yang biasanya berjumlah besar, maka korupsi politisi tidak lagi bicara motif pemenuhan kebutuhan sang pelaku dalam menjalani hidup, tapi lebih kepada ‘desire’ atau apa yang pelaku inginkan dalam hidup. Beda kasusnya dengan curanmor atau merampok bank yang kebanyakan bermotif ekonomi atau pembunuhan yang motifnya lebih emosional. Secara motif, korupsi berakar sama dengan perkosaan.

Saya punya semacam ilustrasi cerita. Setiap politisi dilahirkan dari rakyat, apalagi karena sistem negara kita bukan monarkhi. Tersebutlah seorang anak manusia dilahirkan di sebuah desa, di pinggir kota, di pemukiman sederhana, atau di tempat manapun di Indonesia yang mencerminkan rakyat. Lalu anak ini dibesarkan oleh keluarga yang sederhana, pas-pasan, berkecukupan atau hampir berkecukupan, keluarga yang tidak kaya dan juga belum tergolong miskin sehingga mampu menyekolahkan si anak sehingga logika berpikirnya terbentuk. Seiring berjalannya waktu, semakin banyak yang ia lihat, semakin banyak yang ia alami dalam hidup. Ia melihat apa yang disebut kelas sosial, kelas di luar sekolah di mana ia pun mengidentifikasikan diri di dalamnya. Kondisi negara, kondisi ekonomi, pemberitaan di TV, masalah kemakmuran, kriminalitas, semuanya terhimpun dalam satu judul: perbedaan kelas.

Sebelah mata anak itu melihat ke bawah, sebelah lagi melihat ke atas. Tumbuh di lingkungan cukup sederhana membuat tujuan hidupnya menjadi jelas, ke atas, menuju kelas sosial yang satunya lagi. Menyaksikan kemiskinan dan keterbelakangan telah membuat hatinya geram dan memantik motivasi kuat di dalam diri untuk memperbaiki keadaan, nasionalismenya memanas. Maka ia belajar, bekerja keras, dan berjuang sepenuh hati sementara orang-orang lain di sekitarnya tidak tahu harus berbuat apa. Baginya itu tidak menjadi soal, toh merekalah rakyat yang hendak ia wakili suaranya.

Marx, Machiavelli, The Republic, semuanya ia lahap. Ia aktif dalam pergerakan sosial, berdemonstrasi, memporovokasikan ideologi-ideologinya lewat berbagai media, beryel-yel, bergabung dengan partai politik, merumuskan program-program suci, dan mengangkat tangannya tinggi-tinggi. Ia mengorbankan banyak hal, waktu, tenaga, pikiran, bahkan mungkin kehidupan percintaan; masa mudanya dipenuhi percikan patriotisme Soekarno baru dalam tagline pemuda harapan bangsa. Si anak bangsa ini bangkit.
Lalu akhirnya ia duduk dan menyadari bahwa semuanya sudah berubah. Hidupnya tidak lagi seperti dulu, kini ia dihormati, punya banyak relasi, memiliki kedudukan dan hidup sejahtera. Pada titik ini dia menoleh ke belakang, melihat jarak yang terbentang antara masa lalunya dan masa kini. Ia melihat dua hal.

Pertama, rakyat tidak berubah. Ia tidak menyalahkan apa yang telah ia lakukan selama ini. Ia mulai menyadari dengan rakyat yang seperti apa ia berhadapan. Dulu ia berada sederajat dengan mereka namun sekarang ia telah bermetamorofosis dan apa yang ia pelajari dari semuanya adalah ia meraihnya lewat kerja keras. Sementara rakyat yang lain berada dalam realita yang aneh, mereka tahu perbedaan antara keadaan buruk dan baik, namun mereka ‘betah’ berada dalam keadaan yang mereka punya dan memilih untuk mengeluh kepada Tuhan atau pemerintah terkait hal tersebut. Padahal si anak bangsa berasal dari tempat yang sama dengan rakyat tetapi ia mampu untuk merubah keadaan dirinya. Ia bertanya apa mungkin perjuangannya telah disia-siakan?

Rakyat yang ia hadapi adalah rakyat yang menuntut fasilitas umum dan beberapa hari setelah permintaannya dikabulkan, apa yang telah mereka terima itu dirusak lewat vandalisme, pencurian material, atau perusakan dan pelanggaran yang disengaja. Taman kota disulap jadi kebun sampah atau rawa gelap gulita. Shelter bus umum dicorat-coret. Pembatas jalan dijebol. Zebra cross atau jembatan penyeberangan sepi pengunjung. Trotoar dipenuhi pedagang kaki lima. Kalau sudah begitu, membangun sesuatu untuk kemudian dirusak adalah suatu tindak pemborosan, dan bukankah pemborosan sendiri merupakan perbuatan yang tidak terpuji? Lebih baik menggunakan uang untuk sesuatu yang pasti dan jelas penggunaannya. Siapa yang mengkorupsi siapa?

Ia telah berjuang dengan sengit untuk menjadi seperti sekarang sementara sifat rakyatnya sendiri seperti kebal terhadap kemajuan. Ia menemukan bahwa pernyataan “Tuhan tidak akan merubah nasib suatu kaum sebelum kaum itu merubah nasibnya sendiri” adalah logika yang masuk akal, ia membuktikannya sendiri.

Kedua, fungsi jabatannya tercederai oleh sikap mental yang berlaku di masyarakat. Ini merujuk pada kesepakatan umum mengenai makna dari kata sukses. Setiap orang yang belajar atau bekerja, semuanya diharapkan, didoakan untuk mencapai kesuksesan. Dan kita semua terlanjur gemar mengkonotasikan sukses dengan kekayaan.

Seorang guru tidak dikatakan sukses jika dia tidak berpenghasilan tinggi. Para orang tua senang jika anaknya menjadi dokter karena dokter biasanya sukses, apalagi dokter spesialis. Begitupun dengan si anak bangsa. Ia diharapkan untuk menjadi orang sukses oleh orang-orang di sekelilingnya. Betapa sering kita mendengar bahwa kekayaan adalah cermin kesuksesan dan terutama karena ia berasal dari kalangan bawah maka dorongan itu makin kuat. Siapa yang mau tahu tugasnya sebagai wakil rakyat, kontribusinya terhadap sosial? Apa yang dibanggakan dari keluarga seorang wakil rakyat selain kedudukan dan kekayaan atau kesuksesan yang dimilikinya? Ketika ia pindah ke Jakarta, wejangan yang didapatnya adalah agar ia bisa ‘sukses’ bukan dukungan untuk membela rakyat. Ini sudah merupakan ketetapan umum yang menggerakkan segala niatnya sehingga membuatnya merasa bahwa hidup harus membayar hutang padanya.

Saya merasa mental OKB (Orang Kaya Baru) menjembatani aktivitas korupsi wakil rakyat. Menurut saya asal muasal munculnya status tersebut bila ditelusuri berpangkal pada karakter inferior masyarakat Indonesia yang berkubang dalam kedangkalan sikap hidup. Tentunya korupsi bukanlah sesuatu yang bisa dimaklumi. Selain karena adanya kesempatan, korupsi pun terjadi karena adanya dorongan ilusif yang membuat si pelaku harus melakukannya dengan resiko apapun. Ini bukan semata masalah kebutuhan yang tidak terpenuhi, tapi mengarah pada usaha mengakomodasi gaya hidup perut buncit, gaya hidup yang disebut sebagai ‘sukses’. Dan si pelaku, si politisi, si wakil rakyat adalah alat yang berupa ujung logam lancip yang berdiri di atas pegangan kayu yang panjang dari sebuah tombak. Kedua bagian ini saling berpadu. Mengisi posisi masing-masing untuk menjalani fungsinya sebagai perkakas berbahaya.

Jika kembali pada bagaimana orang-orang bebas berpendapat, ada kesan kontradiktif yang tertangkap. Tidak hanya kepercayaan terhadap wakil rakyat yang luntur, kepercayaan terhadap rakyat pun mengundang tanda tanya. Bagaimana bisa meminta wakil rakyat untuk hidup sederhana jika rakyat merasa risih untuk hidup sederhana. Bagaimana bisa meminta wakil rakyat untuk tidak berfoya-foya jika diam-diam di dalam hati rakyat pun menyimpan keinginan untuk bisa merasakannya. Bagaimana meminta wakil rakyat untuk bekerja keras melayani bila rakyat sendiri memilih untuk bermalas-malasan selalu mengeluh. Bisa jadi segala kritik yang tertuju pada wakil rakyat merupakan penyaluran dari rasa iri, sehingga makin banyak orang berbondong-bondong mencalonkan diri sebagai wakil rakyat demi untuk merasakan keistimewaan yang ada. Untuk merasakan ‘kesuksesan’.

Entahlah, yang jelas selalu ada dua sisi mata uang. Dan bila kita belajar dari sejarah, kita tahu bahwa rakyat lah yang bisa merubah wakil rakyat, bukan sebaliknya. Rakyat pula lah yang bisa merubah suatu negara atau pemerintahan, bukan sebaliknya. Dan cermin adalah salah satu penemuan terpenting dalam peradaban manusia.

7 komentar:

  1. Gue suka banget sama point yang lo paparkan di sini, bahwa korupsi mungkin saja sebuah cerminan masyarakat di sekitar kita. Sejujurnya gue jarang sekali menyoroti kasus korupsi dalam penilaian pribadi. Namun boleh-lah gue basa-basi panjang lebar di sini :p

    Sering gue nanya-nanya sendiri, “Beberapa rakyat yang suka teriak betapa korupnya pejabat di negara ini, apakah mereka sudah mematuhi aturan hidup yang layak, dengan setidaknya menjadi warga negara yang baik? Semacam menaati rambut lalu lintas? Tidak membuang sampah sembarangan? Tidak menerobos hak-hak orang lain dalam berperilaku dan berkehidupan sosial? Santun kepada orang tua dan meyayangi yang muda?”

    Anggaplah itu merupakan bagian dari budaya yang kesannya simple. Tapi lo bisa lihat di sekitar lo, budaya seperti itu sekarang hampir hilang dari nyawa peradaban kehidupan di sekitar kita, di negara ini. Sekali lagi, ini mungkin tentang jati diri. Korupsi mungkin saja adalah semacam proses pencarian jati diri bangsa, atau bolehlah dikatakan sebuah pengujian terhadap kesejatian keadaan diri bangsa: “Benarkah selama ini, bangsa yang telah diagungkan begitu ramah tamah, berjiwa besar, dan penuh kesederhanaan ini dapat bertahan dari serangan arus globalisasi dan gerak perubahan peradaban (pada baik dan buruknya) ?”

    Gue angkat bahu dan mulai berhenti untuk bersikap sinis dengan orang-orang yang korup, karena gue sadar memaki mereka adalah sebuah tindakan bodoh. Meneriakkan kata ‘Lawan Korupsi!’ terdengar amat sangat sia-sia ketika melihat para mahasiswa yang merasakan sakitnya rejim represif orde baru, dan turut bergerak menumbangkannya, kini duduk anteng dan manis di kursi dewan dan pejabat tinggi, sambil melirik kemungkinan sejauh apa mereka bertahan dan dapat meraup keuntungan (pribadi) di sana.

    Yang gue pikirkan adalah: sikap sinis terkesan menjadi sangat munafik ketika apa yang kita sinisi itu belum kita rasakan. Ini menjadi semacam paradox. Gue ingat, ketika jaman SMA gue dan beberapa teman bersumpah-sumpah tidak akan menjadi bagian dari kepegawaian pemerintah, namun seiring dengan meningkatnya usia dan tuntutan hidup pun kebutuhan ekonomi diiringi status sosial (dengan gengsi), banyak dari teman gue menjilat kembali ludah mereka dan mengatakan: “Hidup sudah berubah, Kawan. Mau tak mau kita tetap harus bertahan, mengikut arus saja bila tidak mampu melawan.”

    O dear God.

    Tapi sejauh ini gue paham sesuatu. Dalam keadaan buruk seperti ini, kita gak bisa berharap banyak pada masyarakat, Arki. Kita cuma bisa berharap pada diri sendiri dan kemampuan pribadi yang mungkin membantu menyumbangkan sesuatu pada masyarakat, bila tidak prestasi atau ilmu, sumbangkanlah saja karakter yang baik. Karena sungguh masyarakat di negara ini sudah banyak yang gak dapat mengenali diri mereka sendiri, semacam limpung pada karakter pribadi. Miris ya, kan?

    BalasHapus
  2. Iya, saya garisbwahi paragraf terakhir dari komentar lo, saya setuju, memang akhirnya percuma saja berharap atau berpihak pada sekelompok orang, memang lebih bijak memikirkan apa yang bisa disumbangkan secara pribadi tanpa harus berkoar-koar (jujur sy jadi skeptis jg dgn acara2 talkshow TV yg menyindir pemerintah, dan tulisan ini berawal dari situ). Mengidentifikasikan diri ke dalam suatu kelompok masyarakat/pemerintah malah seperti "berendam" lebih lama dalam masalah bangsa yg tanpa solusi. Walau mungkin sy akan dicap "individualistis", "asosial", dsb. tapi masih lebih baik daripada tanpa karakter dan terseret-seret ke sana ke mari, like a driftwood.

    BalasHapus
  3. let's being better in understanding the life. well, happy birthday. wish you grow wiser as the time makes you older :-)

    BalasHapus
  4. yep, chances are open as time still keeps me under its shadow. Happy birthday to you too, my fellow Aquarius :)

    BalasHapus
  5. HUWO! As usual, luarrrr biasa (panjang), mamang.

    "Rakyat merasa risih untuk hidup sederhana" is a good point of view. Tapi, orang-orang yang risih untuk hidup sederhana di sekitar saya mah cukup jarang ngungkapin opini tentang pemerintah, udah pusing ama kebutuhan diri sendiri, hehe.

    Happy 25, mamang! Keep writing! \o/

    BalasHapus
  6. Haha makasih udah mau baca tulisan sy yg panjang ini (skimming?), Happy 25 juga ya Git! Sukses!

    BalasHapus
  7. "politicians think about next election, statesman thinks about next generation."

    setahu saya di indonesia, lebih banyak politikusnya daripada negarawannya. jika meminjam kacamata ekonomi politik, hal itu [korupsi] akan menjadi konsekuensi yang logis manakala seorang politikus mencalonkan diri pada pemilu legislatif atau eksekutif. karena para politisi di negeri ini banyak yang beranggapan, partai politik masih menjadi kendaraan politik yang cukup efektif untuk mengantarkan seseorang menuju 'kursi kekuasaan'.

    maka yang terjadi setelah pemilu selesai dan si politukus itu jadi penguasa, ia harus memikirkan bagaimana saya mengembalikan modal? atau bagaimana saya berterima kasih kepada orang-orang yang telah menjadikan penguasa? paling tidak kemungkinannya ada dua; pertama mengembalikan modal yang mahal itu dalam waktu singkat (bisa korupsi bisa meminjam dana atau menggadaikan kekuasaan). kedua memberikan jabatan-jabatan strategis kepada orang-orang yang telah menyokongnya ketika pemilu.

    dari situ saya berasumsi semenjak pemilu tahun 1999 poltik di negeri ini adalah politik 'calo angkot'. berbondong-bondong menaikan penumpang (politisi), tapi tidak berbondong-bondong menurunkannya.

    bersamaan dengan itu, kebebasan pers juga selalu menjadi tameng dalam mengabarkan berita. awalnya pers (media) memberitakan politisi yang korup. hal itu ada karena media merasa bertanggung jawab sebagai elemen keempat (setelah bdan eksekutif, legislatif dan yudikatif) yang mengontrol negara. namun entah tanpa disadari atau tidak media pun menjadi larut dalam politik. media menjadi alat untuk menjatuhkan politikus satu oleh politikus lainnya. dan karena hal itu dianggap menarik, muncullah beberapa produk yang bersedia beriklan di beberapa program televisi (baik siaran pers atau bukan). dari hubungan itulah (program televisi dan pengiklan) semakin erat hubunganya. sehingga, untuk melangsungkan kehidupannya sebuah program televisi berumur panjang.

    alhasil, dari situ rakyat diajari politik bukan dari tempatnya. tapi dari kotak ajaib televisi. efek dari maraknya tayangan mengenai keadaan negara di negeri ini, rakyat merasa masa bodoh dengan politik. sehingga, secara tidak langsung banyak orang yang menganggap dirinya merasa tidak perlu di urus atau meminta bantuan negara. dan dari anggapan sederhana itu pembangkangan sosial dianggap hal yang wajar di negeri ini.

    mari ngopi (ngga pake dulu, takutnya soft selling) mas ikra :D

    BalasHapus