Selasa, 19 Juli 2011

Dingin

 "Solitude vivifies;
Isolation kills."

(Joseph Roux)

Dingin malam ini. Saya takjub pada bagaimana rasa dingin bisa menggigit badan saya tanpa ampun. Sampai-sampai usus buntu saya pun menggigil. Otak saya beku. Saya dikitari oleh lapisan es dalam bentuk keramik lantai. Segi empat dan saling berjejer. Kaki saya lumpuh, takut untuk menapak, takut untuk melangkah. Malam sedang telanjang, dinginnya bukan main. “Tidak ada yang namanya dingin,” kata Albert Einstein, “yang ada hanyalah panas (kalor) sebagai energi dan yang dimaksud dengan dingin adalah keadaan tanpa panas.” Lalu masalah apa yang telah terjadi di antara malam dan panas, hingga keduanya enggan untuk bertemu, untuk bergandengan tangan? Matahari tidak menjawab. Menjawab adalah tugas manusia.

Bumi sudah penuh. Kawan-kawan alien tak pernah mendarat. Terlalu sesak, terlalu sempit, tidak ada lagi tempat parkir. “There’s no place like home,” mereka pulang lagi tanpa sempat berpamitan. Kita hanya bisa menonton dari kejauhan. Menyaksikan piring-piring itu menghilang. Beep beep beep. Artinya bumi sudah penuh. Beep beep. Semua tempat sudah terisi. Beep. Brengsek.

Bumi sudah penuh. Semua tempat sudah diciptakan dan dibangun. Menonton film di bioskop. Makan di restoran. Bermalam di hotel. Berolahraga di gymnasium. Mendapatkan uang di kantor, menyimpannya di bank, membuangnya di mal. Sakit di rumah sakit. Duduk dan mencatat di sekolah. Mesjid untuk bersujud. Gereja untuk mengaku dosa. Vihara untuk berlutut. Museum untuk bernostalgia. Jembatan untuk menyeberang. Makam untuk berbaring dan membusuk. Terminal, stasiun, dermaga, bandara untuk datang dan pergi. Pantai, pegunungan, daratan bersalju, taman bunga untuk latar belakang foto profil di Facebook. Penuh. Hanya tempat untuk tidak melakukan sesuatu yang belum ada. Tempat yang diciptakan khusus untuk tidak melakukan apa-apa, dengan kenyamanan untuk tidak melakukan apa-apa, kebebasan untuk tidak melakukan apa-apa. Tapi sebelumnya, harus ada yang menjelaskan apa artinya tidak melakukan apa-apa. Tidak bicara adalah diam. Tidak bergerak adalah mematung. Tidak bernapas adalah mati. Apakah tidak melakukan apa-apa itu ada? Ataukah seperti ‘dingin’ yang berarti ‘keadaan tanpa panas’? Apakah berwujud? Atau justru gaib? Kursi malasku tidak menjawab. Menjawab adalah tugas manusia.  

Saya terkejut. Dikagetkan oleh seseorang. Di tengah malam dingin seperti ini tiba-tiba saya mengingat seseorang. Mungkin semacam kerinduan, atau hanya sekelibat kilatan memori yang acak. Dan dia datang. Tidak ada salahnya ditemani seseorang untuk sekarang ini. Lalu kita bicara. Mengobrol. Tentang tetek-bengek dan semacamnya. Dia coba berkelakar dengan sebuah cerita lucu. Saya menyambutnya dengan tawa. Kemudian saya balas lagi dengan cerita lucu yang lain. 

Sunyi.

Dia tertawa, dia mengatakannya. Dia mengakuinya, dia tertawa, terbawa oleh cerita lucu yang saya ceritakan. Tapi saya tidak bisa dengar suaranya. Saya tahu dia tertawa tapi gelak tawanya begitu sunyi. Jauh. Senyap. Tiba-tiba saya sadar suaranya hilang. Tiba-tiba saya sadar sedari tadi dia tak nampak. Tiba-tiba saya tak bisa merasakan kehadirannya. Tiba-tiba saya sadar saya tak bisa menyentuhnya. Membaui napasnya. Membaui aroma badannya. Membaui apapun yang telah ia telan sebelumnya. Tak bisa melihat sepasang matanya atau bibirnya yang bergetar saat bicara. Melihat hidungnya yang kembang-kempis. Berbagi oksigen untuk dihirup. Pendapat saya dia adalah hantu. Keberadaannya terasa namun tak nampak. Raib, menyisakan diri saya sendiri. Tertawa sendiri. Terhibur sendiri. Apanya yang berbagi? Hantu, kenapa kehadiranmu justru membuat saya semakin kesepian? Saya melihat ke sekeliling. Kabel dan internet. We’re on social network.

Dinginnya.

Malam yang tidak seperti biasanya di mana saya kedinginan. Ditemani siaran radio dengan penyiarnya yang kesepian berceramah, “Apa kita sebegitu kesepiannya sehingga merasa harus selalu berbagi setiap saat?” Dia menonton konser Iron Maiden beberapa waktu yang lalu dan dia kesal, “Distorsi, riff, lengkingan, gebukan drum saya siap buat headbanging; tapi kebanyakan penonton sibuk mengambil foto dan mengetik sesuatu.” Kesepian di tengah keramaian, dan sekarang ia bekerja sendirian di tengah malam, didengar oleh orang-orang yang juga sedang kesepian. “Apa kita sebegitu kesepiannya sehingga merasa harus selalu berbagi setiap saat?” ia mengulanginya lagi. Menjawab adalah tugas manusia.

Einstein bisa mengatakan teori apapun tentang “dingin”, dengan cara yang sulit dimengerti ataupun yang mudah dicerna, dan pada akhirnya dia selalu benar. Tapi saya mengerti tentang ‘kehangatan’ yang hilang itu, yang dibicarakan si penyiar radio. Kerinduannya. Hasratnya yang kuat pada sebuah kehadiran. Pertemuan. Kata-kata yang terucap, kata-kata yang terdengar. Sapaan, percakapan. Sentuhan dan kesadaran akan dunia nyata, keberadaannya yang nyata. Kerinduan yang harus diobati. “Sudah, masalah rindu tak akan selesai tanpa bertemu. Sudah, rindu hanya masalah mengarungi waktu, selebihnya sendiri dan biru,” begitu seorang kawan pernah berpuisi.

Mungkin malam ini tidak benar-benar dingin, kesunyianlah yang melakukannya. Dingin. Sampai-sampai usus buntu saya pun menggigil.

5 komentar:

  1. Di depan laptop, saya duduk seperti orang bodoh: tanpa emosi. Tiba-tiba jam dua pagi ini saya terbangun dalam keadaan begitu disorientasi. Setengah mati menahan diri untuk tidak menenggak lithium; setengah mati memaksakan untuk tidak meraih olanzapine; setengah mati (pun dengan kesadaran setengah) berjuang untuk tidak menyayat tangan sendiri mencari sakit. Segala sesuatu mendadak kosong. Tidak ada satu pun yang menarik. Tidak bahkan buku-buku yang selalu membuat saya menggelinjang. Tidak ada lagu yang terdengar mampu mengangkat mood naik bergerak keluar dari zona zombie ini. Tidak ada seorang pun yang ingin saya telpon atau kirimi pesan singkat atau disahuti di Facebook atau..., apapun yang menarik. Saya pikir saya telah waras dan telah normal beberapa waktu lalu. Tapi shubuh ini saya terbangun dalam keadaan disorientasi dan entah kenapa begitu membuka laptop saya menuju ruangan ini; dan bertemu dengan tulisan ini; dan membacanya; dan terdiam sejenak; dan menulis komentar; dan diam lagi; dan tidak tahu apa yang sedang saya lakukan.

    Abaikan. Saya mungkin cuma mencari tempat sepi untuk meracau dan mungkin setelahnya tertidur, lalu bangun dalam keadaan normal, dan manakala saya mampir kembali ke sini, saya mungkin akan merasa aneh sendiri: mengingat satu dini hari yang aneh ketika saya menulis komentar ini (—tentu saja setelah membacanya), saya mendadak merasakan sesuatu semacam..., menemukan teman: siapapun dia yang ususnya menggigil dalam tulisan itu.

    Tapi ini pun mungkin semacam delusi Don Quichotte.

    BalasHapus
  2. Saya tidak menyangka anda menanggapi tulisan ini dengan sebegitu "dalamnya" terhadap semacam tafsiran pribadi mengenai alienasi. Entah sudah berapa kali saya menulis dengan tema itu, dan entah sudah berapa kali pula siang jadi sedingin malam.

    When i wrote this, i was thinking about a friend who would dig a tunnel to my room and before i had the chance to say hello, this friend told me to "follow me and let's meet your kind", then somehow i'd feel like i won.

    PS: seperti biasa, walau cuma dalam bilik komentar, kata-kata anda terangkai dengan menarik

    BalasHapus
  3. somehow, you won. for sure, you won: this time again, Mr. the-Kind.

    BalasHapus
  4. dalam kesepian.. seharusnya kita bisa membuat keramaian untuk diri kita sendiri .. dalam kesendirian, belum tentu kita merasa kesepian :)

    BalasHapus
  5. amen to that, sometimes loneliness is louder and merrier than to be in a crowd

    BalasHapus