Jumat, 04 Februari 2011

Pre


 "To Live is the Rarest Thing in the World. Most People Exist, That is All."

(Oscar Wilde)
Don’t Judge A Book by Its Cover” sebuah pepatah mengatakan. Dalam kehidupan sosial, esensi kalimat tersebut begitu penting sampai ke taraf “familiar” di telinga orang-orang. Saya sendiri diingatkan lagi oleh bunyi pepatah tersebut dari mulut Tukul Arwana di acara talk show-nya. Termasuk sering ia menyelipkan kata-kata itu di antara lelucon-lelucon yang ia lontarkan. Dan ngomong-ngomong tentang Tukul, saya rasa dia telah cukup jauh mendalami makna dari kalimat mantra itu lewat pengalaman perasaan yang panjang atas bagaimana dia dilihat oleh orang lain, dari bibir sampai ke kaki, sehingga saat mengatakannya, suaranya tidak terdengar terlalu aneh. Malahan terdengar seperti perisai eksistensi yang sangat efektif dan subjektif baginya. Semacam pembenaraan terhadap ketidaksempurnaan yang sebenarnya ia akui juga. Ah, belum apa-apa saya sudah melakukan judge

Tapi tak ada salahnya melakukan judge. Toh, itu sudah menjadi bagian dari manusia. Panca Indera, akal, perasaan, bahkan alat vital, semuanya adalah perangkat untuk judge. Kata sifat telah bergaul dengan kita sehari-hari, diperkenalkan dari sejak kecil, tentang bagaimana sesuatu itu indah dan bagus, buruk dan jelek, semata-mata untuk mengasah kemampuan dalam men-judge segala hal. 

Lalu kiasan tadi muncul, tentang buku dan sampulnya. Menegaskan bahwa sesungguhnya yang terlihat bukanlah yang terlihat. Bahwa manusia jauh lebih kompleks daripada sebuah lukisan, atau setangkai bunga, atau rasa makanan. Bahwa kata sifat tidak semudah itu dipasangkan dengan manusia. Bahwa semuanya adalah salah! Bagaimanapun juga panca indera kita tidak selalu bisa dipercaya. Dan kalimat  “Don’t Judge A Book by Its Cover”  berhenti di tengah-tengah tanpa memberikan solusi untuk pertanyaan selanjutnya: “Lalu bagaimana?”

Manusia berkali-kali menipu saya.  Penampilan luar lihai memainkan ilusi. Tak jarang perbuatan dan tingkah laku pun sama saja daya tipunya. Busana yang dulu mencirikan sebuah identitas kini tidak lebih hanya rekayasa pencitraan. Gerak-gerik  juga termanipulasi. Murah senyum, bertutur sopan, berwajah elok, semuanya tidak lebih dari kata-kata yang dituliskan dalam CV riwayat hidup, kalau memang yang seperti itu ada.

Tak ada yang lebih baik bagi saya (setidaknya sampai saat ini) untuk menilai manusia dari motifnya, niatnya, alasannya, raison d’etre-nya dalam melakukan sesuatu atau dalam menjadi sesuatu. Karena segala yang terlihat bisa bermuslihat  maka yang tak kasat tak mungkin berkhianat. Jalan pikiran manusia adalah mahluk yang paling jujur, lebih jujur daripada cermin dalam urusan identifikasi diri. Kemampuan manusia dalam mengutarakan alasannya terhadap segala hal yang berkenaan dengan dirinya atau yang di luarnya adalah hal yang bisa saya nilai.

Setelah membaca buku Eating Animals karya Jonathan Safran Foer,  kritik terhadap perilaku manusia didasarkan pada dua hal, yakni kesadaran dan kebiasaan. Kedua hal tersebut berhubungan langsung dengan jalan pikiran manusia. Tak sulit juga menemukan bahwa kebiasaan kadang lebih mendominasi dalam keseharian. Tidak ada yang salah dengan itu, karena kebiasaan juga hasil dari proses nalar namun yang menjadi soal adalah ketika kebiasaan itu memiliki makna lain yaitu ketidakpedulian. 

Ketidakpedulian yang dimaksud adalah mengenai bagaimana seseorang melumpuhkan arus kesadarannya sendiri untuk mengisinya dengan pengaruh lain di luar kesadarannya. Lama-lama kesadaran eksternal ini memadat ruang-ruang yang tadinya kosong dan menjadi pusat kendali dari setiap instrumen dalam diri manusia. Sehingga hasilnya menjadi aktivitas “bertindak secara otomatis”. Seperti mesin yang telah diprogram. Atau sekumpulan lemur yang meloncat ke jurang.

Akhir-akhir ini, dalam interaksi verbal saya dengan orang-orang, saya selalu mengambil posisi sebagai penanya. Dan dari semua kata tanya yang diajukan, kata “kenapa” selalu membuahkan reaksi kening berkerut, diam sejenak, berpikir, membayangkan, bertanya balik, atau menggelengkan kepala, dan lain sebagainya dari orang yang saya tanya. Jauh lebih rumit daripada bertanya “apa”, “di mana”, dan “bagaimana”, yang biasanya langsung mendapat jawaban. Dari sinilah saya berpikir tentang cara baru untuk men-judge seseorang terlepas dari gaya elegan atau rupa yang elok. Karena ketika seseorang menjawab pertanyaan “kenapa” saya merasakan orang tersebut tengah menunjukkan dirinya secara jujur. Memang orang bisa saja berbohong saat mengutarakannya, tapi alasan yang tak masuk akal juga mampu menunjukkan (sedikitnya) siapa (atau bagaimana jalan pikiran) orang yang diajak bicara.

Ketika seorang teman mengungkapkan pendapatnya tentang hidup (atau masa depan) dengan merujuk pada saya bahwa yang harus saya lakukan adalah: “Kerja, dapet duit, terus nikah, udah deh...” seketika muncul pertanyaan tentang apa yang orang-orang lakukan dalam hidup ini. Apakah karena kesadaran atau karena mengikuti apa yang sudah dilakukan atau mungkin sebut saja kebiasaan yang diwariskan turun-temurun?

Arus nir-kesadaran ini cukup sering terjadi dan terbentuk. Seperti kenapa seseorang menikah? Karena sudah saatnya (lalu bagaimana dengan cinta?). Kenapa seseorang bekerja? Untuk mencari uang (lalu bagaimana dengan proses aktualisasi diri untuk berkarya?). Kenapa seorang Muslim sholat 5 kali sehari? Karena wajib (kenapa wajib?). Kenapa harus bersekolah? Kenapa harus ikut pemilihan umum? Kenapa harus mendengarkan khutbah Jumat (kalau seringkali menjemukan dan kurang inspiratif)? Kenapa harus pergi ke mall? Kenapa harus makan sayur-mayur? Kenapa harus punya akun Facebook atau Twitter? Kenapa harus pacaran? Pliss deh, hari gini gak punya pacar...

Maka dari pertanyaan “kenapa” itu saya bisa sedikit menerapakan pernytaan don’t judge a book from its cover, atau don’t judge a facebook account from its profile picture, atau don’t judge a movie from its trailer, dan lain-lain. 

Jadi kalau kebetulan kita mengobrol dan saya mulai bertanya “kenapa” lebih baik jangan berpikir untuk sembunyi atau berbohong. Karena setiap kata yang keluar bisa jadi telah terekam di kepala. Dan setiap jawaban akan diberi penilaian. Apapun itu bisa mencerminkan pribadi seseorang bahkan saat orang tersebut menggeleng-gelengkan kepalanya sekalipun. Karena tidak ada istilah ‘saya tidak tahu’, yang ada adalah ‘saya tidak peduli’.

1 komentar:

  1. halo ikra,
    tema februari spasi : pakaian.
    sedikit agak terkait dengan justifikasi kover. hehehe. twitter, facebook, pakaian digital. hihi

    BalasHapus