Senin, 07 Februari 2011

*Ping!*


 "The production of too many useful things results in too many useless people."

(Karl Marx)

Dalam lagu milik Pink Floyd yang berjudul Keep Talking, terdapat petikan suara Stephen Hawking, ahli fisika modern, yang mengemukakan mengenai eksistensi manusia. Suaranya datar, terkesan menguliahi, ia menjelaskan: For millions of years mankind lived just like the animals, then something happened which unleashed the power of our imagination, we learned to talk.

Lalu tak jauh setelahnya, di awal abad 21, seorang pemuda bernama Mark Zuckerberg dengan intonasi yang terselip ambisi namun tetap santai, menjelaskan makna baru dari eksistensi manusia. Lewat kendaraan yang dinamai Facebook, ia menetapkan sebuah kata kunci yang penting, connected (terhubung), sebagai bahan bakar utama dari hubungan sosial era informatika.

Keduanya penting. Talk dan connected . Kedua kata ini sudah cukup untuk meringkas sebuah deskripsi hablumminannaas, hubungan horizontal antar individu, antar sesama manusia. Cukup untuk menjelaskan ikatan relasi asal dari dua orang manusia, yang terjalin di awal kehidupan dimanapun kemunculannya, lalu terjalin untuk selamanya dalam hubungan yang mendarah daging, seperti hubungan antara anak dan orang tuanya, yang sejatinya bersifat kodrati dan alamiah.

Namun kekhasan tersebut tak jarang harus tercederai. Tak lain karena talk dan connected tak kuasa untuk menahan ombak distorsi di pesisir peradaban baru. Maknanya timbul-tenggelam. Mencoba untuk berpegangan pada batu karang sejarah, esensinya yang uzur, yang telah teridentifikasi melewati sekumpulan era. Namun licinnya bukan main. Sementara angin digital berhembus cepat menggulung ombak berkali-kali di bawah teriknya matahari informatika. Zaman baru, tuan dan nyonya, datang lebih awal ke dermaga. Di mana semuanya dapat dilakukan dan terjadi hanya dengan menekan tombol. Termasuk eksistensi.

Tak bisa tidak, semua berubah. Tak bisa tidak, semua berganti arah. Realitas berputar-putar, terlipat, lalu jungkir-balik, dimampatkan ke dalam ruang kecil, jembatan antara yang gaib dan materi. Filsuf linguistik Ludwig Wittgenstein menyatakan bahwa “Batas bahasa saya adalah batas kenyataan saya”, sekarang definisi kalimat tersebut secara harfiah tidak lagi relevan. Apa itu batas? Dan terlebih lagi, apa itu kenyataan? Tidak jelas, mungkin saja dunia matriks.

 Sebelum terlalu jauh (saya tahu saya mulai keasyikan melenceng dari topik utama tulisan ini), kembali kepada talk dan connected, tentang bagaimana keduanya membentuk hubungan manusia yang perdana (asali) dalam lingkup interaksi yang kecil seperti keluarga (atau lebih spesifik lagi keluarga Indonesia pada umumnya). Ketertarikan saya pada keterkaitan antara teknologi dan manusia terutama pada dampak dekadensinya adalah dari sebuah tontonan di televisi (acara talk show) yang tengah mengedepankan tema yang cukup purba, yaitu seks. Seks memang sudah ada sejak lama, bahkan penyimpangannya pun sudah dimulai dari sejak jaman nabi masih menerima wahyu dari Tuhan (atau bisa jadi lebih tua lagi). Karena keberadaannya yang sudah malang-melintang itu maka yang menarik dari kisah-kisah penyimpangan seks bukanlah perbuatannya secara praksis, melainkan motif dan ide yang menggerakkan itu semua. Atau dengan kata lain lebih kepada alasan mengapa manusia pada suatu ruang dan waktu melakukannya. Dalam hal ini (tulisan ini) yang dimaksud adalah seks di era informatika.

Tak ada yang berubah dari seks, di era digital sekarang seks masih berupa hubungan sebadan (atau dua, atau tiga, lebih) yang dirangsang melalui alat kelamin (yang berbeda atau yang sama? Di era sekarang ini menjadi dilema yang sentimentil). Dulu, tujuan utamanya adalah untuk menambah keturunan. Sekarang, bisa multitafsir. Yang spesial adalah apa yang dinamakan penyimpangan kali ini erat hubungannya dengan akses. 

Era informatika ini sifatnya seperti badai tornado, cepat dan membabat habis, lebih jauh lagi, sukar untuk dihentikan. Internet ada di mana-mana, informasi berganti-ganti dalam hitungan detik dengan mantranya yang berbunyi “update” dan “upload”. Segala hal ada di dalam internet, tanpa terkecuali seks. Pomografi membabi-buta di dalamnya, bebas berbiak-beranak, memperbanyak diri tiap hari dalam bentuk gambar, foto, tulisan, dan video. Sifatnya yang massal dan masif menjadikannya sebagai salah satu dari sumber informal bagi sejumlah orang mengenai pengetahuan seks. Terutama bagi kaum remaja.

Angka seks pranikah yang tinggi (menurut data BKKBN bagi para remaja/pelajar di kota-kota besar di Indonesia) membuktikan pengaruh kuat internet pada para manusia baru versi 2.0 ini (disebut juga netizen). Mungkin fakta tersebut kurang begitu meyakinkan bila dihadapkan pada argumen modernitas di mana seks “hanyalah” seks dan keperawanan adalah produk kadaluarsa (jangan tanya tentang agama, tuan dan nyonya, dia sedang sekarat). Tapi jangan lupa, seks pranikah punya cabang atau turunannya sendiri. Sebut saja aborsi, perkosaan, pelacuran, human trafficking, hamil di luar nikah, panyakit kelamin, AIDS, cacat mental, pencabulan, kasus bunuh diri, dan banyak kemunduran lain. Apanya yang modern dari itu semua?

Saya sedikit subjektif dan egosentris untuk menanggapi angka tersebut. Saya tidak peduli dengan para remaja. Masa bodoh. Mereka ingin melakukan apa, ya terserah saja. Toh sudah lama juga saya merasa istilah “remaja harapan bangsa” terlalu berlebihan dan dipaksakan. Apa yang saya lihat dari mereka hanyalah rentetan perilaku artifisial minim pencerahan. Di (mall) mana-mana mereka sama saja, seragam dan cengengesan

Saya merujuk kepada anak-anak yang disadari atau tidak, menjadi korban utama dari pesatnya kecepatan teknologi. Di sekitar kepolosan mereka ancaman tidak henti-hentinya terbaharui. Pornografi hanya berjarak telunjuk atau jempol (tergantung dari dengan apa tombol ditekan). Terutama karena anak-anak telah dipersenjatai dengan alat atau perangkat (gadget) yang cukup untuk membuat iri setengah mati para anak di Afrika yang masih belajar menulis dan membaca. Inilah cara anak-anak jaman sekarang menghabiskan waktu bermainnya, dengan mata tertuju pada layar, sementara di tempat yang tidak terlihat bibit individualisme sedang ditanam kuat-kuat di otaknya.

Ada banyak kemungkinan yang terjadi, seperti di usianya yang masih belia, anak-anak sudah melihat bagaimana penis dimasukkan ke dalam vagina. Atau mungkin ketertarikan terhadap gambar orang telanjang tumbuh sebelum mereka memasuki usia baligh. Saya ingat dulu pernah disodorkan oleh sebuah gambar siluet yang bagi saya terlihat seperti seorang wanita telanjang tapi sepupu yang masih kecil sekali melihat gambar ikan lumba-lumba. Penelitian menjelaskan bahwa hal ini terjadi karena  ad aperbedaan rangsangan di otak masing-masing yang mana tiap orang hanya mampu melihat objek atau benda yang dikenal, pernah dilihat atau dibayangkan. Yang saya takutkan adalah dalam dua tahun ke depan sepupu saya akan mempersepsi gambar itu sama persis dengan saya.

Di luar sana, bisa jadi hal tersebut sudah terjadi. Anak-anak tumbuh menjadi remaja yang menanggapi seks hanya dengan nyengir. Atau seperti suku primitif dan barbar di mana status sosial dalam pergaulan sehari-hari diraih dari kuantitas aktifitas seks. Bukan hal baru ketika mendengar seorang siswi SD yang digauli teman sebayanya beramai-ramai. Atau bagaimana seks coba-coba berakhir dengan menggugurkan sang jabang bayi di kandungan. Memprihatinkan sekali di dalam negara yang selalu susah-payah untuk bangkit ini belum juga ditemukan adanya harapan tentang kebangkitan itu sendiri.

Kita tidak bisa menyalahkan rasa ingin tahu anak kecil yang tinggi. Tidak bisa juga menyalahkan perubahan jaman. Atau pornografi di internet. Tapi tanggung jawab sudah pasti ada di tangan orang tua atau setidaknya mereka yang hidup dengan anak kecil. Kecenderungan sekarang adalah bagaimana kesenangan bagi anak-anak merupakan sesuatu yang bisa dibayar. Orang tua begitu gampang memberikan anak-anak perangkat berteknologi tinggi lengkap dengan instruksi cara penggunaannya tanpa dibarengi dengan pengawasan serta edukasi. Dalih kesibukan sudah barang tentu menjadi kalimat yang sangat populer. Di sisi lain ini menjadi ironi dari teknologi yang beberapa misinya adalah untuk menghemat waktu dan memperpendek jarak yang jadinya malah mempersempit waktu luang serta memperlebar “jarak” antar individu. 

Secara lebih luas, penggunaan teknologi yang masih belum disikapi secara bijak adalah bukti ketidaksiapan masyarakat Indonesia terhadap roda jaman (bayangkan, betapa sering kita tertinggal dalam “lomba” seperti ini). Teknologi baru dan inovatif yang memiliki nilai manfaat yang tinggi hanya mampu disikapi sebagai trend belaka, seperti dalam  fashion. Alat-alat yang futuristik tidak menjadikan pemakainya sebagai manusia yang “maju”, berevolusi dalam cara pandang dan pemikiran menjadi sosok yang membawa iklim perubahan. Yang terjadi kebanyakan adalah mereka memanfaatkan teknologi untuk menjustifikasi fungsi sosial mereka yang tidak terlalu berguna atau tidak penting seperti yang biasa tertera di “status” yang mereka tulis. Bahkan sebagai sarana untuk menyampaikan aspirasi dalam tulisan pun rasanya masih terlalu jauh dari titik terang. 

Talk dan connected, keduanya berubah. Bicara tidak lagi sekedar menggunakan mulut. Dan berhubungan sosial bukan lagi tentang berkumpul atau bertemu secara fisik. Seperti gamnbaran satir dunia utopia-dystopia dalam film animasi Wall-E yang meredefinisikan interaksi antar manusia, terhubung satu sama lain lewat jaringan komputer. Dunia maya menjadi persinggahan baru yang mengasyikkan yang terkadang membuat orang lupa akan dunia tempat bumi yang sebenarnya berputar. Ketidakmampuan orang tua dalam memaknai kedua kata tersebut sekarang mengarahkan pada komunikasi yang buruk, berujung pada kondisi anak yang menyerap segala hal yang belum pantas untuk diserap. Penyimpangan seks hanya sebagian dari akibat itu dan menurut saya menjadi prioritas utama dalam kegundahan modernitas. Padahal kemampuan berkomunikasi yang baik adalah tugas utama orang tua kepada anaknya. Kesiapan menjadi orang tua sangat perlu diperhatikan oleh siapapun. Bagi saya kini kesiapan mental untuk menjadi orang tua dan membesarkan anak tidak hanya sebatas kemampuan dalam menjawab pertanyaan anak tentang bagaimana seorang bayi dilahirkan, namun lebih dari itu, bisa jadi lebih seksual. Dan yang pasti, untuk menciptakan talk dan connected tidak hanya sebatas ranah maya.

Ada banyak spekulasi mengenai peradaban di masa depan. Ada yang meramalkan bahwa “kiamat” tahun 2012 adalah tentang berakhirnya dunia informatika. Ada juga yang menyebutkan bahwa kecepatan teknologi akan semakin tidak tersentuh. Saya tidak mendukung dan terlalu memikirkan kemungkinan tersebut. Titik berat adalah tentang bagaimana manusia dapat lebih bijak dalam menanggapi perubahan. Setelah waktu dan uang kini bergantian memperbudak manusia, bukan tidak mungkin teknologi semakin memperparah “perbudakan” ini. Jaman pasti akan berubah, cepat atau lambat, dan hanya mereka yang siap yang akan bertahan. Tentu saja, nada bicara ini mengarah pada manusia Indonesia.

4 komentar:

  1. awal baca sy kira mau ngbahas facebook. tapi ujung2nya jadi pornografi. hemm -__-

    BalasHapus
  2. bahwasanya, tulisan di atas ini terlalu berat untuk saya cerna. Saya harus banyak-banyak lagi membaca buku dan media-media informasi lainnya. demikian.

    catatan: jadi manusia seutuhnya di Indonesia itu sesungguhnya amat susah ya, atau hanya perasaan saya aja?

    BalasHapus
  3. Ah masa sih terlalu berat, anda merendah kali.

    Menjadi manusia aja udah susah, ditambah lagi dengan hidup di Indonesia

    BalasHapus