Jumat, 06 Agustus 2010

A Vibrant Monotone

"There must be more to LIFE than having EVERYTHING!"

(Maurice Sendak)

“Oke, selamat pagi semuanya!

Hari ini dosen Anda kebetulan berhalangan untuk hadir dan saya di sini adalah yang menggantikannya, yah kurang lebih. Saya hanya akan mengisi waktu di sini sebentar saja, lebih sedikit dari SKS yang tertera untuk mata kuliah ini. Seharusnya kita berkenalan tapi saya merasa itu tidak terlalu penting karena saya ingin Anda mendengarkan apa yang hendak saya sampaikan, lagipula Anda juga akan melupakan saya, selain itu saya hanya dosen pengganti dan keberadaan saya cuma sebentar saja. Jadi, saya hanya bisa mengatakan selamat pagi sebagai bagian pembukaan. Anda bisa memanggil saya Pak Selamat Pagi kalau Anda mau dan kalau Anda pikir itu cukup lucu.

Saya mengenal diri saya sendiri sebagai seorang tukang protes, pengkritik, pembawa masalah. Bukan hal yang patut dibanggakan. Tapi hari ini, entah kenapa, saya tidak peduli, saya ingin membawa masalah saya ke depan Anda sekalian. Saya ingin Anda mendengarkan setiap cercaan dan serapah saya dan mungkin menjadikannya sebagai bagian dari Anda juga yang nantinya menggerogoti otak Anda, hati Anda, tubuh Anda, dan diri Anda sepenuhnya. Bayangkan ini sebagai virus yang saya kurung di dalam kepala dan sekarang saya membebaskannya untuk hinggap di kepala Anda sekalian dan tinggal di sana untuk waktu yang tidak sebentar, berkembang biak, beranak dan, yang saya harapkan, lahir menjadi sebuah bentuk baru. Buah pikiran. Ide. Gagasan. Apapun asal jangan hilang begitu saja.

Saya lahir sekitar jam 10 pagi pada tanggal 17 Agustus 1945, tepat saat naskah proklamasi selesai diikrarkan dan seperti kebanyakan bayi yang lain, saya menangis. Saya hidup melewati berbagai pemilihan umum, beberapa masa presiden, beberapa perubahan yang terbagi ke dalam janji dan aksi, beberapa sensus penduduk, beberapa lansiran data statistik, beberapa peristiwa politik, beberapa bencana alam, beberapa kebohongan, kontroversi,birokrasi, dan sampai sekarang saya masih di sini. Saya dan negara ini, hampir 65 tahun, kita berdua telah seia-sekata untuk diam di tempat yang sama, tidak jauh-jauh dan tidak terlalu dekat, alias tidak kemana-mana. Negara ini telah terlalu lama berdiam diri bahkan saya berani katakan bahwa “kediaman” ini adalah kepanjangan dari kolonialisasi sekitar 350 tahun ke belakang, ditambah 3,5 tahun oleh saudara tua kita sendiri. Beberapa pihak bahkan ada yang menyatakan bahwa kondisi sekarang malah jauh lebih buruk dari sebelumnya, semacam penjajahan jilid kedua dengan musuh yang lebih licik, lebih licin dan tak kasat mata.

Oke, materi kuliah hari ini adalah sebuah pertanyaan yang akan saya lontarkan, sederhana saja: kenapa? K-E-N-A-P-A tanda tanya.

Ada yang tahu? Ayo acungkan tangan. Jangan malu-malu. Jangan takut salah, saya tidak akan menatap kalian dengan pandangan menggelikan. Ayo, ayo, saya benar-benar tidak peduli dengan jawaban konyol sekalipun. Anda? Apa? Oke ada lagi? Mmhm. Yang lain? Hei saya di depan sini bukan di balik layar Blackberry. Anda yang memakai sepatu Adidas putih? Bagaimana? Yang di sana? Saya tidak bisa melihat wajah Anda kalau Anda menaruh tas Marc Jacobs di atas. Bagaimana dengan Anda kemeja Lacoste garis-garis?

 

Baik, saya cenderung setuju bahwa sekarang kita berada di bawah kendali penjajahan episode yang baru. Dan menurut saya selama ini kita berperang melawan musuh yang salah, maksudnya musuh yang selama ini kita hadapi hanyalah antek, jongos, bukan sang dalang. Seperti ketika kalian barusan menyebutkan dengan lancarnya dan lantang: Kemiskinan! Kebodohan! Korupsi! Pendidikan! Ketamakan! Ketidakadilan! Bla bla bla! Saya berani taruhan sebagian dari kalian bahkan bisa mengucapkan kata-kata tadi dengan otomatis, meluncur begitu saja di kepala kalian, saking sudah seringnya, sudah basinya kata-kata itu berjejalan. Saya menangkap kesan bahwa rakyat ini terlampau gemar mencari kambing hitam, mencari musuh lewat kata-kata yang kuat dan dramatis, mencari bercak-bercak itu kesana-kemari.

Kemisikinan dan kebodohan yang selama ini selalu dijunjung tinggi oleh para calon pejabat di sela-sela musik dangdut yang disorakkan dan iklan-iklan di TV dengan dokumentasi kegiatan amal yang heroik adalah kesalahan usang yang sudah terlalu lama digadang-gadangkan. Kedua konsep tersebut sudah tergeserkan oleh kata lain yang lebih aktual, tidak kalah provokatif, lebih merata, lebih tepat sasaran, dan yang paling hebat adalah sifatnya yang introspektif bagaikan cermin besar yang proyeksinya menusuk langsung ke bagian yang terdalam. Anda siap? Kata itu tidak lain dari embrio kapitalisme: konsumerisme. Atau mungkin saya harus menyebutnya sebagai telur kapitalisme. Hm? Ah ini seperti menjawab pertanyaan tentang ayam dan telur, mana yang lebih dulu, kapitalisme atau konsumerisme? Pikirkan itu sepulang kuliah.

Kemiskinan dan kebodohan, kedua hal itu seberapa keras kita memeranginya, berusaha menumpasnya dengan melahirkan berbagai kebijakan dan peraturan yang spektakuler sekalipun, tetap saja tidak akan merubah kondisi yang terjadi. Letak permasalahan bersandar di kondisi mental dan saya menunjuk kalian semua, mahasiswa, kelas menengah, sebagai garda terdepan yang harus dipulihkan. Saya mempelajari sesuatu bahwa perubahan pada suatu negara tidak akan terjadi atau tercapai secara efektif bila tidak ada di dalamnya para kelas menengah sebagai pihak yang tersentuh, tersakiti, dan tergerak secara massal. Apalah arti kemiskinan dan kebodohan bagi kalian? Hanyalah angka statisitik, hanya syair-syair lagu melankolis, hanya puisi-puisi dramatis. Kalian tidak mengerti apa itu kemiskinan. Kalian bersekolah di tempat-tempat yang berkualitas, di mana iuran bukanlah isu penting, bahkan kalian mampu duduk di dalam kelas di luar negeri, lalu apa artinya kebodohan? Tapi konsumerisme adalah topik yang sudah menjadi bagian dari diri kalian sejak kalian ditahbiskan sebagai anak-anak kelas menengah.

Kelas menengah adalah modal paling penting yang dimiliki negara, merekalah kekuatan intelektual yang bisa berbahaya, merekalah suara lantang yang mampu memprovokasi, merekalah pilar ekonomi yang menyangga stabilitas negeri, dan merekalah letak kelemahan kita berada selama ini, bukan di tangan kelas bawah yang tak berdaya atau di kelas atas yang seringnya bersembunyi. Tapi di kelas menengahlah pusat kesadaran tertinggi dari negara bersemayam.

Maka inilah wajah kalian, para kelas menengah, tergerogoti oleh konsumerisme secara serentak. Keinginan untuk membeli dan memiliki telah menutupi makna dari membeli dan memiliki itu sendiri. Semua yang ada di dunia ini ditakdirkan untuk dapat dimanfaatkan oleh manusia agar mereka dapat menemukan esensinya yang sejati sebagai manusia utuh tapi yang terjadi adalah kalian mendefinisikan eksistensi kalian lewat apa yang kalian punya. Dengan ini bukanlah hal yang sulit bagi kalian untuk diseragamkan, disetir, dan dikendalikan oleh siapapun yang ingin meraih keuntungan. Sehebat apapun senjata yang dimiliki tentara kita atau sebanyak apapun pesawat jet yang kita beli, pertahanan kita tetap akan rapuh dan ringkih.


Berhubung kalian adalah mahasiswa maka saya akan mengambil ruang lingkup perkuliahan untuk menyampaikan keresahan saya ini. Maafkan saya kalau saya terkesan menuduh dan menghakimi tapi ya beginilah, saya sedang tidak peduli. Kalian telah sampai di sini, setelah menjalani pendidikan berseragam selama kurang lebih 12 tahun sekarang anda duduk di jenjang pendidikan yang lebih tinggi di mana kini pikiran kalian lebih terbuka dalam kaitannya antara pendidikan dan masa depan hidup. Tapi, lagi-lagi ada semacam pergeseran makna bahwa berkuliah bukan lagi salah satu cara untuk menggali pengetahuan, memperkaya diri, serta melengkapi diri sebagai agen perubahan. Perkuliahan adalah batu loncatan untuk meraih pekerjaan, jabatan prestisius yang mampu meningkatkan gengsi lewat nominal penghasilan yang sanggup memenuhi kebutuhan yang tak terbatas dalam mengkonsumsi. Ini seperti, apapun pekerjaannya, membosankan atau bahkan tidak menyenangkan, asalkan mampu membeli mobil baru, melengkapi koleksi baju di lemari, berpacu dengan perkembangan alat komunikasi terbaru, dan sebagainya, maka disitulah letak kepuasan kerja. Pernahkah terpikir bahwa kita manusia mampu melakukan hal yang lebih baik dari itu?

Kalian, sebagian besar atau mungkin beberapa, berpikir untuk menghapus kemiskinan dan kebodohan dari jalur hidup kalian di saat mendatang dengan berlandaskan motif konsumerisme di mana kemampuan untuk terus membeli dan impian tentang kesuksesan yang berbasis finansial menjadi kata hati yang terus didengarkan tanpa henti. Padahal dengan seperti itu, kemiskinan dan kebodohan malah akan semakin lestari dan sulit dicabut dari akarnya, ya, disadari atau tidak konsumerisme adalah akar dari semuanya. Pendidikan tidak terlalu membantu karena begitu kalian keluar dari sini, menjadi penganggur, kalian akan berubah menjadi sosok materialis, fethisis, dan nekrofili atas nama memenuhi kebutuhan dan bertahan hidup. Cari saja arti kata-kata tadi Google.

Saya rasa mulai sekarang berhentilah menyebut kemiskinan dan kebodohan sebagai penyakit akut bangsa yang menghalangi negeri besar ini dari kemajuan dan peradaban yang lebih baik. Konsumerisme telah terbukti sebagai virus gesit yang membuat kita tampak tidak peduli dengan kemajuan yang dialami negara lain yang lahir dari gagasan, ide, kontribusi, serta karya yang murni. Tidak pernah kita merasa sebegitu cemburu atau geram dengan kondisi ini karena kita terhibur oleh kesenangan menghipnotis dari berbelanja dan ketamakan dalam menumpuk pundi-pundi mata uang di dalam gudang paman Gober. Kapan terakhir kali kita mampu mencengangkan dunia? Dengan mental seperti ini apa yang bisa kita harapkan?

Konsumerisme, tanpa alasan, harus dikikis habis dengan tanpa syarat dari hati kita, dari pikiran kita, dari kedaulatan bangsa ini demi harga diri yang lebih baik dan lebih luhur.

Saya bukanlah seorang ekstremis yang lewat pidato ini berusaha menyampaikan perang terhadap kapitalis atau berusaha untuk membangkitkan semangat sosialisme atau bahkan menanamkan prinsip-prinsip komunis ke otak kalian. Saya hanya ingin mengatakan berhentilah menjadi lintah-lintah tak berguna dan mulailah menjadi manusia seutuhnya dengan menghargai kehidupan ini lebih dalam. Saya tidak mengatakan kalian untuk berhenti berbelanja, tapi berhentilah menjadikannya sebagai aktivitas utama dalam hidup. Saya tidak menyuruh kalian untuk membenci uang, tapi berhenti untuk berhamba padanya dan mulailah untuk menguasainya sepenuhnya. Saya tidak mengajak kalian untuk menghindari pekerjaan, tapi carilah pekerjaan yang bisa kalian lakukan sepenuh hati dan memberi kesempatan untuk selalu belajar agar menjadi sosok individu yang lebih berguna di masyarakat. Apapun bisa kalian lakukan untuk mendapatkan uang, tapi bila kalian melakukan sesuatu tanpa mengharapkan uang, apapun itu, pastilah sesuatu yang luar biasa nilainya. 

Sekarang kenyataannya kita tidak bisa menghindari kapitalisme dan globalisasi, maka perlu kebijaksanaan dalam menyikapinya bukan tenggelam dan terseret di bawah kendalinya. Kalau kalian ingin sungguh-sungguh mencarinya, ada banyak hal hebat yang bisa anda temui dan lakukan di hidup ini daripada sekedar keinginan untuk memiliki. Cara yang berhasil bagi saya adalah dengan memulainya dari karya seni. Coba saja.

Oke saya rasa itu saja kuliah pengganti hari ini dan saya baru menyadari beberapa detik yang lalu bahwa saya berada di kelas yang salah. Saya harus masuk ke kelas jurusan bisnis bukan di sini dan saya sepertinya harus meminta maaf pada dosen anda yang dari tadi bengong di depan pintu.

Sampai bertemu lagi, selamat pagi semuanya!”

5 komentar:

  1. asal baca diblog ini, sering kepikiran camarmerah. cuma disini rapih dan sopan.

    "Cara yang berhasil bagi saya adalah dengan memulainya dari karya seni. Coba saja."
    maksud?

    BalasHapus
  2. Salah satu medium untuk dapat menghargai hidup dan memaknainya lebih dalam daripada sekedar memiliki sesuatu, cara yang saya lakukan adalah dengan menyukai karya seni dan budaya yang diciptakan manusia seperti film, musik, lukisan, dan bahkan karya sastra. Karya-karya tersebut mengandung nilai-nilai khusus tentang hidup, manusia, atau peradaban terutama karena mereka adalah "rekaman" jejak emosi manusia. Keindahan seperti ini saya rasakan mampu mengenyahkan keinginan untuk memiliki menjadi keinginan untuk mencipta, yang merupakan adalah suatu hal yang lebih baik.

    That's just my opinion, but like what Maurice Sendak have said, there must be more to life than having everything! I do believe it.

    BalasHapus
  3. benar, hidup bukan hanya sekedar untuk memiliki.
    tapi sayang, susah sekali memaknai hidup tanpa memiliki.

    anda sudah sering menciptakan banyak hal, terutama dalam tulisan dan lainnya yg saya gak tau pasti. sedangkan saya, saya masih bingung memulainya dari mana (jawaban pesimis).

    tapi, entah knp saya yakin, suatu saat pasti tiba saat dimana saya membuat sesuatu yang berguna (jawaban optimis).

    BalasHapus
  4. kra, tulisan ini gw masukin blog spasi yak. kan nyambung sama tema bulan ini. hehehe.

    BalasHapus
  5. Oke, oke. Saya lagi bikin juga sih yang buat spasi hehehe

    BalasHapus