Kamis, 25 Maret 2010

I Like the Peace in the Backseat


"Distraction is an  Obstruction
of the Construction"

(The Science of Sleeps)

Jika sesuatu telah terjadi dan tidak ada yang berubah, maka itu sama sekali tidak ada artinya. Benar? Atau mungkin saya menarik kesimpulan itu terlalu cepat? Salahkah bila saya mengatakan apa yang memang saya rasakan akhir-akhir ini? Perasaan yang, entah mengapa, nampak diam saja, tidak menunjukkan tanda-tanda kehidupan baru seperti yang orang-orang lain (biasanya) katakan. Apa itu juga berarti perasaan saya sudah mati? Rasanya terlalu jauh. Mungkin ini berhubungan dengan hal-hal tentang “menempatkan sudut pandang” atau “merubah pola pikir” atau “mengikuti apa kata hati” yang bisa membuatnya segalanya terasa seperti yang terasa sekarang. Saya mencoba melihat ke belakang, sekali lagi, semuanya. Mencoba mengumpulkan sedikit demi sedikit sesuatu yang mungkin dapat membangkitkan perasaan. Namun percuma. Tetap saja semuanya terasa seperti yang terasa. Terasa seperti jika sesuatu telah terjadi dan tidak ada yang berubah, maka itu sama sekali tidak ada artinya.

Kemana saya selama ini? Mondar-mandir dalam ruangan luas persepsi. Orang-orang mengatakan ini-itu, berpendapat, namun isinya adalah hukum yang memaksa, menetapkan, menuntut kesamaan atas segalanya. Menularkan ketakutan, kegelisahan, dan kebingungan yang tak henti-henti. Mengajak untuk bermimpi, mimpi yang di dalamnya terdapat banyak batasan dan rintangan. Tidak ada keluasan, hanya kesempitan, karena mereka takut mimpi ini akan berkhianat. Mimpi yang berwujud unggas, berlenggak-lenggok di atas daratan, memungut makanan, hidup namun tidak mampu untuk terbang. Hanya meloncat. Meloncat. Tidak lebih tinggi dari meloncat. Dan mereka bilang inilah mimpi? Inilah cita-cita? Inilah masa depan? Menurutku mereka butuh menyendiri.

Kapan terakhir kali orang-orang sendiri? Ya, tanpa siapapun, tak ada hingar-bingar, keributan, canda tawa, eksotisme, keriaan. Sendiri, telanjang. Kapan terakhir kali mereka telanjang di depan dirinya sendiri. Melihat semuanya terbuka lebar. Dengan segala bentuk yang mungkin tak pernah mereka sadari sebelumnya karena terlalu lama ditutupi oleh lapisan demi lapisan yang anti koyak di dalam ruang ilusi. Ruang ilusi yang kita diami setiap hari. Kapan? Karena dalam kesendirian kita sedang melakukan percakapan, pertemuan dengan puncak kesadaran kita yang paling tinggi. Tanpa intervensi, gangguan, dan dusta. Hanya kita yang sedang berhadapan dengan sesuatu yang lebih mengetahui apa yang tidak ketahui, melihat lebih jelas dari apa yang kita lihat, mendengar lebih tajam dari apa yang bisa kita dengar, bicar a lebih jujur dari apa yang bisa kita usahakan. Menyendiri dan kita akan mengetahui siapa diri kita, bahan apa yang digunakan untuk membuat kita, arti dari kehadiran kita, serta nilai yang kita raih di depan mata kehidupan. Kapan? Mungkin tidak, karena lihatlah kesendirian yang seperti itu. Menakutkan. Terlalu menakutkan. Terabaikan oleh dunia. Ditinggalkan. Tidak dipedulikan. Terbuang. Tersisihkan. Lalu bagaimana caranya mereka tahu bahwa ada yang salah selama ini dengan mereka? Introspeksi memang menyakitkan, tapi bagaimana mereka bisa memulainya? Kapan?

Orang-orang banyak bertanya, bicara. Peradaban in dibangun dari bertanya dan bicara. Sepanjang hidup kita semua melalui setiap tahap untuk bertanya dan menjawab. Dan ada saatnya pertanyaan-pertanyaan datang untuk mencoba mengorek, mengetahui, secara garis besar siapakah dia yang sedang ditanya. Tidak semudah bertanya ‘Siapa?’ atau ‘Di mana? dan ‘Bagaimana?’ namun pertanyaan-pertanyaan yang mempermainkan logika dan bahkan cenderung memaksa untuk menjawab sesuai dengan yang ditentukan. Karena pada dasarnya pertanyaan tersebut telah memiliki jawaban yang pasti. Kenapa begitu banyak pertanyaan untuk mengetahui siapa diri yang ditanya? Mengapa mengajukan banyak pertanyaan untuk bisa memunculkan suatu penilaian atau persepsi mengenai siapa dan bagaimana. Bila saya harus mengajukan pertanyaan dan mengikuti permainan ini untuk menyatakan siapakah dia sebenarnya yang sedang ditanya, maka yang saya pikirkan adalah pertanyaan: “Apakah artinya kebahagiaan?” Dan itu cukup untuk bisa menilai, mengetahui, mengidentifikasi diri. Cukup untuk mengetahui apa yang telah dipunya oleh seseorang dan apa yang ingin diraih. Cukup untuk mengetahui apakah hidup ini dan bagaimana melaluinya. Cukup untuk mengetahui segalanya karena segalanya, disadari atau tidak, selalu berhubungan dan berujung pada satu keadaan tersebut, kebahagiaan. Dan setelah itu mereka bisa berhenti membuat bising dari suara-suara mereka. Biarkan semuanya tenang dan saya dapat tidur dengan lelap.

Pergi ke suatu tempat di dunia ini yang paling tinggi, puncak dari segalanya, menara yang mampu melihat ke segala arah. Memang terlalu jauh untuk sampai ke sana. Tapi ketika berada di atasnya, entah kenapa, semuanya terlihat menjijikan. Kotor. Tak berbentuk. Pulau-pulau itu tampak tidak terawat, seperti seseorang yang sedang sakit, sakit dan sakit, menanti obat untuk membuatnya pulih, namun tak ada yang tahu persis apa obat yang diperlukan. Bahkan mungkin penyakit tersebut tidak lagi dapat dimengerti karena tempat itu pada dasarnya mengakui bahwa ia baik-baik saja, tidak sakit sedikitpun. Tapi dari atas sini, demi Tuhan, tempat itu seperti sekarat. Hampir semua bagiannya retak, fondasinya goyah, atapnya akan segera runtuh, cat-catnya mengelupas, pintu-pintunya berderit, kursi-kursi dan meja reyot mengeluarkan suara mengerang seolah sedang bercakap membicarakan kehancuran. Bagaimana mungkin orang bisa tinggal di tempat ini? Apa yang membuat mereka betah? Apakah ada di antara mereka yang tahu tempat seperti apa sebenarnya yang mereka tempati itu? Mungkin tidak ada, karena mereka harus berada di tempat tinggi seperti ini bila ingin melihat semuanya. Saya hanya bisa mengatakan kepada mereka bahwa tempat ini rusak, sekarat. Tapi untuk itu, berarti mereka harus belajar dulu untuk mendengarkan.

Ya, saya memiliki perang yang tidak akan pernah berakhir. Perang besar di mana sebuah kemenangan akan memberikan arti yang sangat besar. Perang yang menuntut untuk selalu berlangsung. Perang yang tidak akan pernah lelah dan berpikir untuk berhenti. Apa itu gencatan senjata? Karena perang ini tidak mengenal belas kasihan atau istirahat. Kemenangan atas diri sendiri adalah kemenangan besar yang mungkin tidak dapat dikalahkan oleh kesenangan lain. Saya merasa beruntung karena menyadari perang ini tengah berlangsung. Saya beruntung mendapatkan lawan yang sulit ditaklukkan sehingga setiap detik dari jalannya perang tersebut memberikan banyak harapan tentang kemenangan yang semakin lama semakin membesar. Tujuannya bukanlah penaklukan, namun kemampuan untuk dapat melestarikan perang ini sampai akhir hayat. Di luar sana, perang-perang terjadi dalam ruang yang lebih luas. Perang antara satu individu dengan yang lainnya. Atas nama prestasi, pencapaian, itulah yang terjadi, peperangan untuk menentukan siapa yang terbaik diantara mereka. Menjadi yang terbaik, menurut saya adalah hal paling egois yang menjadi kodrat manusia. Melakukan yang terbaik, menurut saya adalah kemenangan yang sesungguhnya. Lalu kapan mereka akan berani untuk berperang melawan dirinya sendiri? Berani melupakan keinginan untuk menjadi yang terbaik dan menggantinya dengan kemampuan untuk mengaku kalah? Apakah mereka terlalu takut untuk mengalahkan diri sendiri? Lawan! Sampai akhir hayat, lawan! Lawan untuk melihat sampai di mana jalan ini telah ditempuh dan berapa jauh lagi ke depan. Betapa nikmatnya, kemampuan untuk membenci dan melawan diri sendiri.

Sekarang satu hari lagi telah terlewati. Dunia ini memang tidak pernah berhenti berputar. Jangan salahkan bila waktu banyak yang membenci. Urusan siang dan malam ini. Katakanlah hari mulai gelap, semua orang tertidur, dunia ini sepi dari suara-suara, senyap, damai, lalu hujan mulai turun pelan-pelan, mungkinkah ini saat ketika waktu memerintahkan tubuh dan jiwa untuk masuk ke dalam lubang kontemplasi? Bisa jadi itulah pesan yang hendak disampaikan, karena ketika hujan turun seperti sekarang, setiap melodi gemerincingnya membangkitkan jiwa yang kelelahan untuk menatap cermin lalu berdiri telanjang. Sekali lagi.

5 komentar:

  1. wew kra...

    tapi pada kenyataannya memang tidak semua orang mau untuk melawan dirinya sendiri karena terlalu lelah kra.
    atau karena tidak ada kesempatan untuk itu. atau karena belenggu dasar, seperti kemiskinan, kesepian, kebodohan, sudah menggerogoti logika sehingga memang tidak sampai ke sana.

    dan akhirnya menyerah.

    toh akhirnya semua akan berlalu dan kehidupan menguap,dan lalu apa? kosong mungkin, tidak ada yang tahu juga.

    BalasHapus
  2. iya git, alasan2 dasar seperti itu emang kadang2 menyusahkan juga ya. Ah hidup!

    BalasHapus
  3. another great malarkey
    akal bisa kamu pakai untuk berpikir
    tapi biarkan harimu bergulir
    seperti sungai mengalir dari hulu ke hilir
    tetapkan tujuan dengan pasti
    dan saat itulah kemenangan kamu raih

    BalasHapus
  4. hmm bahasa berat sekali,
    i need time to decode this

    BalasHapus
  5. saya memutuskan untuk hidup menyendiri daripada hidup dalam hingar bingar palsu. hidup terlalu berarti disia-siakan dengan menjadi orang kebanyakan dalam kebanyakan orang, sampai-sampai para orang-orang yang semakin membanyak itu tidak pernah sadar apakah orang itu, binatang itu, robot itu, atau benda mati itu. saya ingin hidup---hidup saya sendiri dalam dunia saya bukan dunia orang-orang dan itu indah.

    BalasHapus