Rabu, 21 Oktober 2009

e-nig-ma


"An idea that is not dangerous is
unworthy
of being called an idea at all
."

(Oscar Wilde)
The next world war is gonna be all about ideas and technology,” kata kepala saya sewaktu sedang berjalan di sekitar kampus beberapa waktu lalu. Saya tidak tahu apa maknanya dan bagaimana kata-kata itu bisa tiba-tiba muncul pun saya tidak mengerti karena seingat saya tidak ada sesuatu yang menarik yang saya lihat ketika jalan-jalan tersebut yang mungkin dapat mengarahkan menuju konsep peperangan. Yang paling mendekati mungkin karena saat itu saya tengah membaca buku harian Anne Frank yang ber-setting masa perang dunia II. Tapi menyenangkan rasanya bila bisa berpura-pura meramalkan mengenai masa depan, seperti nabi-nabi yang mendapat bisikan wahyu. Maka saya mencoba dengan kata-kata sendiri menjabarkan gambaran mengenai kalimat tersebut.

Banyak spekulasi di luar sana mengenai perang dunia III. Peristiwa yang sangat tidak diharapkan untuk terjadi namun mengundang banyak teori, prediksi, serta pemikiran mengenai kedatangannya. Ada yang menyebutkan bahwa perang nuklir sebagai bagian dari perang ini. Ada yang menyebutkan bahwa perang berikutnya dicetuskan oleh persoalan minyak. Ada yang percaya bahwa perang dunia berikutnya sebagai tanda datangnya hari kiamat. Dan yang menarik, Albert Einstein memprediksikan bahwa perang dunia III adalah perang yang menggunakan batu dan kayu sebagai senjatanya. Entah apa maksudnya, yang jelas apapun itu, perang adalah “neraka”!

Tapi kalau boleh berspekulasi tentang perang dunia III atau perang dunia setelahnya, saya justru mencoba untuk melihatnya dari perspektif lain. Bukan tentang bom, ledakan, tembakan, bumi-hangus, genosida, kamp konsentrasi, agresi, jet-jet tempur, tentara, ranjau darat, gerilya, senapan, granat, atau hal-hal mengerikan lainnya. Perang dunia III menurut saya adalah perang tentang ide dan teknologi. Perang di mana amunisi utamanya adalah otak manusia, dengan inovasi sebagai senjatanya, dan tentu saja: penaklukan, namun lewat budaya atau kreasi dan seni manusia dengan masih tetap mengacu pada pakem lama di mana yang kuatlah yang menang.

Otak manusia adalah senjata paling berbahaya di dunia dan tidak ada yang menyangkal hal itu. Terutama apabila dikaitkan dengan kehendak untuk berkuasa, atas nama perang, maka otak akan dapat benar-benar berwujud sebagai senjata “pemusnah massal”. Namun dalam perang kali ini, “senjata” yang dimaksud tersebut tidak dimanifestasikan secara fisik, begitu juga dengan kerusakan yang diakibatkannya. Karena perang ini bersumber dan berlangsung di tempat-tempat yang tidak dikenal secara luas yaitu ruang intrinsik manusia. Ruang jiwa. Ruang di mana esensi manusia tersimpan di dalamnya.

Invasi di sini tentu tidak dilakukan secara konvensional melalui pendudukan suatu daerah, penyerangan secara besar-besaran oleh ribuan armada, ataupun konsep kolonialisme yang eksplisit, melainkan melalui semacam “polusi pikiran” yang disebarkan secara terang-terangan lewat media massa. Ya, ini persis seperti yang dikemukakan oleh Noam Chomsky mengenai hegemoni media sebagai bentuk kolonialisme baru yang berangkat dari keinginan dasar untuk meraup keuntungan sebanyak-banyaknya. Lewat tayangan televisi, expose media cetak, hype media internet, dan mungkin bentuk-bentuk lainnya yang akan datang kemudian.

Semakin pesatnya perkembangan media informasi, yang juga merupakan produk dari ide, membuka peluang yang begitu lebar bagi ide-ide untuk bisa disebarkan secara luas dan dalam tempo yang sangat cepat. Inovasi teknologi yang lahir dalam rentang waktu yang sempit menjadi semacam medan perang bagi tiap kelompok atau siapapun yang terlibat di dalamnya untuk saling mengalahakan. Dan inilah perang terbuka dengan aturan main ide siapa yang paling banyak menaklukkan manusia ataupun suatu kelompok adalah sang pemenangnya.

Ya, perang masa depan mungkin akan menjadi perang yang paling tidak menyakitkan sepanjang masa. Namun menjadi terdengar menyeramkan karena pertaruhannya adalah jiwa (soul) bukan nyawa. Kekuatan ide ini mampu membawa korbannya pada kondisi pengikisan jiwa, menjadikannya manusia tanpa “isi” , semacam kondisi batin yang labil terombang-ambing oleh produk ide, sampai kepada peredaman kepekaan fungsi hati manusia sebagai media perasa. Korban mungkin tidak akan mudah dikenali oleh orang lain dan bahkan bagi dirinya sendiri mereka tak akan mudah menyadari apa yang sedang dialami karena “kerusakan” terjadi di dalam, jauh di luar batas daerah kesadaran. Dan inilah hebatnya ide atau produk ide tersebut, mereka menutup kesadaran manusia, menumpulkan kemampuan berpikir mereka, lalu menghipnotis dan menggiring manusia untuk mengantri di belakangnya.

Oke, bukti sementara yang bisa ditemukan dari kasus “polusi pikiran” saat ini salah satunya adalah iklan. Ide yang menyertai suatu iklan adalah pembentukan image. Tanpa disadari manusia memaknai dan menilai hidupnya lewat pengaruh iklan. Manusia memandang dan membaur dalam pergaulan bersama manusia lainnya dalam pola pikir yang terbentuk oleh iklan. Iklan kosmetik menyiratkan ide mengenai kecantikan, iklan mobil menyiratkan ide mengenai kemapanan dan bisa juga kesuksesan, iklan alat komunikasi menyiratkan ide mengenai hubungan antar manusia, dan semuanya ini menyerang kepada mindset yang dimiliki manusia, sehingga yang terjadi adalah semua atribut kemanusiaan yang dimiliki seseorang menjadi diwakilkan oleh produk-produk iklan, produk-produk ide. Jadi bukan tidak mungkin jika kita menggambarkan seseorang di pikiran kita, maka yang terlintas adalah apa saja produk iklan yang melekat pada orang tersebut. Atau kata lainnya adalah dunia materialistis. Ya, dunia materialistis adalah gejala utama dari “perang” ini, karena produk-produk iklan menjadi bagian dari kolonialisme gaya baru yang menawarkan program ketergantungan, ketagihan, daya beli yang tak terkendali, fethisisme, pengurasan, pemborosan, yang bila dilihat dari sisi lain, tidak jauh berbeda dengan perbudakan, di mana jiwa manusia diperbudak untuk selalu mengikuti kemauan badan/tubuh.

Korban, sudah jelas adalah manusia yang kurang memiliki jiwanya sendiri. Atau seperti yang pernah diucapkan oleh Oscar Wilde, maka korban adalah manusia-manusia yang hanya “eksis” tapi tidak “hidup”, manusia yang tidak mampu meng-eksis dalam dirinya tapi eksis oleh bantuan orang lain, eksis di bawah sorotan manusia-manusia lainnya, sehingga yang terlihat dari dirinya hanyalah bungkusan image yang memantul dari sudut pandang orang lain. Mereka yang berusaha membangun image dengan memulas tubuh oleh bermacam lapisan seperti popularitas, kekayaan, kesuksesan, kebaikan, keadilan, kebenaran, bahkan agama, adalah bagian dari korban “perang ide” ini karena merekalah yang kalah dan lemah. Mereka telah menukarkan jiwa mereka dengan itu semua, sehingga apa yang tersisa tidaklah cukup untuk membuat mereka bertahan apalagi memenangkan perang. Tidak sulit mengenali para korban ini karena mereka menjalani hidup dalam keseragaman dan kecenderungan yang sesuai dengan standar dan kelas sosial tertentu.

Maka jelas, bahwa yang dibutuhkan dalam perang ini adalah jiwa sebagai modal atau investasi yang dapat digunakan untuk menghasilkan amunisi yang merupakan ide, gagasan, atau buah pikiran manusia sebagai bahan peledak untuk senjata mematikan yang disebut inovasi, kreasi, budaya, atau produk ide.

Lalu siapa pemimpin di balik semua ini? Siapakah dalangnya? Siapa jenderal yang mengendalikan perang ini? Merekalah para individu yang disebut “man of idea”, manusia ide, manusia yang memuja gagasan lebih dari segalanya, manusia yang selalu menguji batasnya dalam berkreasi, manusia yang mengasah kepekaan hatinya sebagai indera yang utama dalam hidup, manusia yang menghamba pada hasrat untuk selalu belajar, manusia yang mampu membaca dan menghargai konsep-konsep abstrak yang tersebar dalam kode-kode kehidupan manusia, manusia yang percaya pada perubahan, manusia yang ada, eksis, dan hidup karena ide dan kreasi. Merekalah orang-orang yang berkuasa, berperan, bertahan hidup, dan menjadi tempat di mana manusia lain menggantungkan harapannya selama “perang”. Merekalah para pemegang bidak-bidak catur yang mengatur strategi dan mengambil langkah untuk memenangkan permainan besarnya.

Man of idea” adalah jiwa yang memiliki tubuh, bukan sebaliknya. Mereka bisa ditemui salah satunya dalam diri para seniman besar yang telah banyak mengawetkan jiwanya dalam karya yang terus hidup walaupun tubuhnya telah habis dimakan cacing atau menjadi abu yang tersebar di atas perairan luas. Mereka adalah raja bagi dirinya sendiri.

Kalau kita melihat mengapa suatu negara atau bangsa bisa menjadi negara yang besar dan dihormati adalah karena ia berdiri dalam sebuah fondasi kuat yang berisi ribuan ide, gagasan, kreasi, mimpi, dan harapan. Mereka adalah negara-negara yang maju ke panggung dunia sebagai pencipta dan penemu bukan hanya sebagai pengguna ataupun penonton. Dengan fondasi yang kuat inilah mereka merubah dunia, menjadi kiblat dunia, memimpinnya, dan bahkan menguasai dunia. Kekuatan ide mereka menjadikannya yang terkuat dalam “perang” ini di mana produk-produk ide mereka telah menjadi yang nomor satu dalam usaha meraih para “pengikut”.

Kalau memang perang seperti ini benar-benar terjadi, apakah kita, Indonesia, siap menghadapi ini? Apakah kita telah cukup kuat untuk terjun dalam perang ide ini? Kita telah terlalu lama menjadi penonton dan peniru, dan apabila melihat dari gambaran mengenai korban di atas, maka sebagian dari kita telah memenuhi kriterianya, terbukti dari ketidakmampuan kita untuk melahirkan sebuah gagasan atau karya besar karena “menyerah” pada kekuatan ide asing sampai pada tahap ketumpulan pikiran dan pengikisan identitas jiwa kita sebagai manusia bebas. Bahkan “penyakit” akut ini memupuk mental “selalu kalah sebelum berperang” secara serentak karena kita terlalu nyaman menikmati suapan karya-karya orang lain tanpa terbesit perasaan tanggung jawab terhadap hidup dan dirinya sendiri untuk juga sama-sama berkarya. Kita seperti hilang dari orbit peradaban dan budaya manusia, terhisap ke dalam dekadensi. Kita duduk memberi makan tubuh kita hingga kenyang sementara jiwa kita dibiarkannya kurus kering.

Kita tak pernah terlibat langsung dalam perang-perang besar dunia, memang hal seperti itu patut untuk disyukuri di samping juga mendatangkan pertanyaan apakah keberadaan kita di mata dunia dinilai penting atau tidak sehingga sesuatu yang besar bisa dimulai dan diselesaikan tanpa ada campur tangan kita? Salah satu masalah kita mungkin adalah kurang terasahnya instrumen dalam memaknai hidup secara lebih luas. Materi masih dijadikan patokan atau standar dalam mengukur segalanya. Kita telah terlalu lama dimanjakan sebagai konsumen sehingga kondisi ini menciptakan “keterbelakangan” dalam hasrat untuk berkreasi ditambah lagi dengan pemaknaan hidup yang sempit yang membuat mata kita berfungsi seperti lampu sorot yang hanya menyinari bagian tertentu, bukan seluruh ruangan. Banyak bukti yang mengarah ke sana diantaranya angka minta baca yang rendah, kualitas hiburan seperti acara televisi yang kebanyakan menyontek karya-karya luar, mall-mall yang menjamur di kota-kota besar, dunia remaja yang mudah sekali dipengaruhi dan superfisial, kurangnya penghargaan mayoritas terhadap prestasi dan lebih menitikberatkan pada sensasi, dan lain-lain. Terlalu lama Indonesia menjadi sarang para pembeli dan pencontek. Kita telah kalah bahkan sebelum “perang” itu benar-benar terjadi.

Namun harapan belum habis. Saya yakin di luar sana tumbuh benih-benih para pejuang, martir, visionary gentlemen, cendikiawan, man of idea, telur-telur avant garde, para pionir, pemimpin kharismatik di mana harapan dan mimpi sangat pantas untuk disematkan ke pundaknya. Orang-orang yang muak akan kondisi ini lalu menghabiskan sebagian besar waktunya untuk bertanya dan mencari jawabannya. Orang-orang yang malu dan merasa kecil akan dirinya sendiri lalu pelan-pelan melangkah menapaki anak tinggi menuju tempat yang paling tinggi. Orang-orang yang dalam menjalani hidupnya selalu didorong oleh keinginan untuk mencipta, mencipta, dan mencipta. Orang-orang yang menilai kualitas hidupnya dari karya yang telah mereka buat. Mungkin kini mereka tengah bersembunyi, menyendiri, bermimpi, melamun, dan menanti waktunya untuk keluar. Mungkin kini mereka hanya bisa diam dan duduk namun membuka lebar kedua matanya untuk mengamati, mengawasi, melihat jauh ke menembus ke dalam pori-pori kehidupan yang berotasi di sekitarnya. Mungkin mereka sedang mempersiapkan kemunculannya agar dapat mencuri perhatian banyak orang. Mungkin “mereka” justru ada di dalam diri kita semua, tinggal bagaimana caranya kita menemukan dan meraihnya.

“…or is this just going to be another malarkey.”

3 komentar:

  1. Saya seratus persen setuju dengan pikiran anda!

    Kalo lo baca Kompas kemaren soal jajak pendapat pemuda Indonesia, Kompas menyimpulkan generasi kita adalah generasi Apolitis yang Optimis.
    Lalu gw baca tulisan lo. Connected.

    Jadi sekarang apa? Mungkin gw termasuk golongan yang udah ga tahu mau ngapain karena uda sakit kepala duluan membayangkan masa depan yang sepertinya akan hancur berantakan. Ga berani keluar zona nyaman, karena measa ga akan ada artinya. hal terbaik yang paling mungkin dilakukan adalah mencoba tetap waras. Itu pun susah..

    Hahaha..

    Nice writing Kra, ntar gw publish via facebook ya :p menyebar mime :D

    BalasHapus
  2. haha makasih git...
    hmm mungkin kita harus sering2 bertanya "what defines ourself?" biar tau apa yg harus dikerjain.

    BalasHapus
  3. kra, ada 10 komentar mengenai tulisan anda di facebook. hayo.. gimana liatnya?
    :p

    BalasHapus