Sabtu, 26 September 2009

un train appelé tendance

"He who marches out of step,
hears another drums."

(One Flew Over The Cuckoo's Nest, Ken Kesey)
Satu lagi hasil perenungan yang muncul dari dalam kamar mandi di tengah malam bahwa saya, Ikra Amesta, adalah orang yang selalu ketinggalan, ditinggalkan, atau malah meninggalkan sebuah kereta ekspres bernama trend. Hmm, entah bagaimana harus menanggapi ini. Apakah harus dengan kecewa, sedih, bangga, sombong, tidak peduli, atau justru malah mengasihani diri sendiri? Entahlah yang jelas sepertinya saya sudah terbiasa dengan duduk menyaksikan tiap trend yang datang dan pergi lalu bersikap seolah tak terjadi apa-apa.

Mungkin dimulai dari sejak saya kecil dulu, waktu dunia di sekitar saya tengah keranjingan video game. Tiap hari anak-anak di lingkungan rumah membicarakan Sega dan Nintendo. Saya sendiri butuh waktu untuk akhirnya paham maksud perkataan mereka. Memang menyenangkan ketika pertama kalinya memainkan permainan ini di rumah teman saya, tapi lama-lama saya merasa terlalu bosan dengan duduk di lantai dan menatap layar TV berjam-jam. Belum lagi jari-jari saya juga selalu pegal-pegal. Dan dari situ saya merasa bahwa energi anak kecil saya menuntut saya untuk selalu berlari, panas-panasan, bergulingan di rumput, berloncatan dan sebagainya asalkan bukan hanya duduk. Maka saya memilih untuk bermain bola saja. Memang teman-teman yang lain masih gemar bermain video game tapi saya tidak lagi tertarik dan selalu memaksa mereka untuk bermain bola (dan selalu berhasil) dengan ekspresi yang menunjukkan bahwa inilah yang harus dilakukan oleh seorang laki-laki. Ditambah lagi dengan fakta kedua orangtua saya tidak membelikan saya video game yang menegaskan bahwa saya tak akan melewati hari tanpa bermain bola.

Lalu di kemudian hari ketika datang ke ruang kelas SD, salah seorang teman dikerumuni oleh beberapa anak. Dia duduk di kursi menggenggam sebuah alat kecil seukuran telur ayam yang disebut Tamagotchi. Tentu saja awalnya saya merasa terpesona. Konsep alat ini adalah memelihara hewan peliharaan digital dari masih bayi hingga besar. Kita harus memberinya makan, memeriksa kesehatannya, mengajaknya bermain, bla bla bla, dan tentu saja tidak secara harfiah dilakukan. Hari demi hari berlalu dan hampir semua anak SD tempat saya sekolah mulai keranjingan, terutama yang perempuan. Tiap kali istirahat, tiap jam, tiap waktu mereka memeriksa Tamagotchi-nya untuk melihat kondisi hewan peliharaan mereka. Saya mencoba alat itu (dengan meminjam, tentunya) dan ternyata asyik juga. Tapi tidak terlalu larut menikmatinya karena bagi saya bermain bola jauh lebih menyenangkan. Ibu saya sempat menawarkan untuk membeli alat itu, tapi di lingkungan rumah saya, yang berbeda kondisi sosialnya dengan lingkungan SD saya, teman-teman masih menunjukkan bahwa mereka masih bisa bersenang-senang tanpa Tamagotchi selama masih ada lapangan rumput dan bola. Dan saya juga merasakan hal yang sama, jadi ya sudah lah…

Masuk ke jaman SMP, muncul video game baru bernama Playstation dengan grafis yang lebih bagus dari produk sejenis sebelumnya serta permainan yang lebih interaktif. Di sekeliling say a bermunculan tempat-tempat rental Playstation. Satu per satu teman say amulai meninggalkan semangat bermain bola mereka dan beralih pada joystick. Saya dan mereka pernah beberapa kali menghabiskan waktu di tempat rental mencoba beberapa game yang ada. Yah menyenangkan. Sampai di satu titik saya, entah kenapa, merasa tidak terlalu menikmatinya dan kegiatan ini cukup boros juga. Saya tidak lagi antusias ketika teman-teman saya mengajak pergi ke tempat rental. Saya lebih suka membicarakan skor-skor liga Eropa bersama mereka daripada mendengarkan tetek-bengek Winning Eleven. Mungkin karena awalnya saya sudah meninggalkan Sega dan Nintendo sehingga kemunculan Playstation ini walaupun lebih canggih dari keduanya tetap saja tidak membuat saya tertarik. Dan memang teman-teman saya yang lain toh lebih terlihat senang saat bermain bola di lapangan berpasir atau bergelantungan bersama-sama di pintu angkot daripada sibuk bermain “PS”.

Di awal tahun 2000-an saya duduk di bangku SMA. Kali ini yang jadi pusat perhatian adalah handphone. Booming-nya sudah mulai terasa di jaman SMP ketika banyak para pekerja kantoran mulai memanfaatkan teknologi ini. Sampai akhirnya popularitasnya mulai merembet ke kalangan remaja. Bisa dilihat teman-teman saya yang sibuk menelepon (entahlah, orang penting mungkin), mengetik SMS dengan sangat cepat, mengganti ringtone, membeli pulsa, memilah-milih operator, membicarakan model keluaran terbaru, berfoto ria (dengan pose kepala dimiringkan), bermain game, mengganti casing tiap bulan, dan sebangsanya. Saya ketinggalan dalam hal ini karena saya merasa belum terlalu membutuhkannya. Barulah di saat semua teman-teman say a punya handphone akhirnya saya memilikinya juga. Tapi bahkan sampai sekarang saya masih tidak terlalu membutuhkannya. Dari sejak awal saya punya hingga saat ini saya selalu menyetel HP saya dalam kondisi silent karena percaya atau tidak, say a suka sedikit paranoid atau kaget kalau mendengarnya berdering. Tapi yang jelas saya masih bisa menggunakan HP sesuai dengan hakikatnya yaitu untuk menelepon dan mengirim SMS, tidak mengambil “takdir” alat lain seperti kamera, radio, PC, CD player, dan lain-lain.

Memasuki pertengahan millennium, internet mulai menyebar luas dan cepat. Gelombang informatika mengendalikan dunia. Dan perkenalkanlah superstar saat itu, Friendster! Masih mengambil setting waktu di masa SMA, nama yang satu ini bukanlah benda yang bisa dipegang, digenggam, dibawa-bawa, atau dimasukkan ke dalam saku celana, karena semuanya hanya ada di dunia maya. Ya, ini mungkin situs jejaring sosial yang pertama say a tahu. Berbeda dengan trend lainnya yang saya alami, kali ini saya tidak pernah mencobanya lebih dahulu. Memang teman-teman say a membicarakan Friendster dan dari mereka saya kurang-lebih tahu “benda” apa itu serta fungsinya. Tapi saya sama sekali tidak mengerti di mana daya tariknya. Lagipula saat itu saya bergaul dengan teman-teman yang juga tidak begitu peduli dengan fungsi internet sehingga saya dengan mudah mengenyahkan Friendster dari kepala saya. Trend yang satu ini sama sekali tak berbekas, hilang begitu saja. Sama seperti sekarang di saat hampir tidak ada lagi orang yang membicarakan tentangnya.

Di pertengahan tahun 2000-an sampai menjelang akhir, masa-masa kuliah lebih banyak menawarkan trend yang datang dan pergi. Dunia teknologi informasi berkembang sangat pesat dan berhasil melahirkan produk-produk mutakhir yang semakin kecil, serba guna, praktis, dan memiliki nilai prestise tersendiri. Jadi ada sedikit pergeseran antara nilai guna dari suatu produk atau jasa dengan gengsi yang melekat padanya. Maka tidak heran kalau saya makin ketinggalan dengan kereta trend ini. Saya tidak ingat urutan kemunculannya, yang jelas saya ketinggalan masa-masa i-pod, wi-fi, facebook, blackberry, hingga yang baru, twitter. Mereka semua melewati saya begitu saja. Kemunculan mereka yang begitu sering semakin membuat saya tidak peduli, karena memang saya tidak peduli, maksudnya saya masih bisa menikmati hidup saya dengan cara sendiri.

“Apatisme” ini timbul ketika akhirnya saya menemukan dunia saya lewat musik, buku, dan film. Saya harus berterimakasih pada tempat saya berkuliah yang telah membuat saya merasa sedikit tidak betah dan mati rasa sehingga akhirnya menemukan pelarian yang membuat saya merasa nyaman dan begitu “terisi”. Berada di sana membuat saya tidak terlalu peduli dengan apa yang berlalu-lalang di dunia jaman sekarang. Kadang-kadang merasa seperti “orang asing” juga sih tapi kalau itu memang bukan “dunia” saya ya mau diapakan lagi? Saya bahkan tidak punya laptop sampai di tingkat akhir kuliah saya sementara teman-teman yang lain punya soalnya saya masih merasa belum butuh dan terlalu repot harus bawa-bawa laptop kemana-mana. Padahal ayah saya sudah memberi sinyal untuk membelikan laptp dari dulu. Yah beginilah, lagi-lagi tertinggal trend karena memang belum datang kebutuhan akan hal itu.

Ambil contoh begini saja, orang-orang mulai hidup di dunia Facebook dan jaman sekarang itu sudah menjadi hal yang begitu penting. Memang untuk beberapa orang kebutuhan silaturahmi dalam tingakt saling sapa-menyapa lewat tulisan menjadi semacam kebudayaan sosial baru yang sifatnya disadari atau tidak sedikit mengikat. Jaringannya begitu luas sampai ke orang-orang yang sudah lama tidak diketahui kabarnya. Tapi saya tidak terlalu memusingkan dengan silaturahmi atau kabar teman-teman saya terdahulu, karena malas juga kalau harus mengetahui apa yang mereka lakukan satu per satu. Saya tidak terlalu ingin tahu. Lagipula tidak ada untungnya juga buat saya. Saya juga selama ini masih bisa berteman dengan baik dengan mereka. Mungkin nanti ketika satu-satunya alat komunikasi di dunia ini adalah Facebook saya baru terpikir untuk membuka account di sana. Hidup saya juga baik-baik saja sampai sekarang, tanpa merasa kekurangan atau kehilangan apapun.

Dan kali ini muncul Twitter. Okelah Facebook sebagai ajang silaturahmi, tapi Twitter? Menurut saya tidak terlalu penting. Malah semakin menghilangkan batas privasi seseorang dan semakin menonjolkan narsisme. Apa pentingnya memberi tahu orang banyak apa yang sedang dimakan saat ini, baju apa yang sedang dipakai, atau apa yang sedang dilihat? Semakin aneh saja ketika banyak orang-orang yang justru menggandrungi hal ini. Saya rasa untuk yang ini saya tidak akan mengikuti kereta trend itu lagi karena sifatnya justru yang semakin tidak jelas.

Itulah kurang lebih sepenggal kisah saya yang dijauhi oleh trend. Saya yang meninggalkan trend atau trend yang meninggalkan saya tergantung sudut pandang yang diambil. Tapi satu hal pasti, saya tidak meninggalkan hidup saya atau dunia saya. Saya tetap berada di dalamnya tanpa harus terombang-ambing oleh ketidak jelasan kesana-kemari dan itu menurut saya cukup nyaman. Saya tidak perlu merasa gelisah atau terburu-buru mengikuti kereta trend itu pergi tapi bisa menyikapinya dengan lebih sabar dan santai. Lagipula saya juga tidak merasa harus selalu mengikuti apa yang orang-orang lakukan. Ini mungkin yang jadi alasan kenapa ketika dunia musik menegeluarkan produk CD sampai produk mp3 yang bisa di-download saya masih suka mengoleksi kaset. Saya harap sampai sepuluh tahun ke depan masih ada yang menjual tape buat memutar kaset.

2 komentar:

  1. hmm jiwa 'hemat'nya udah muncul dari kecil ternyata. ahuahahahhahahahahahahhahaha
    dasar KOdok ngePET. hihi

    kalo twitter aku juga ga setuju. ga penting abiiis laaah itu, hahaha

    remind me about friendster thing, i had a story about it. hehe

    BalasHapus
  2. sepakat sama lw kra dalam hampir semua itu...karena gw juga entah ketinggalan atau memang ditinggalkan dengan bahasa lw. hampir sama masa anak2 kita ternyata...hanya beda kota dan kesukaan terhadap bola. gw cuma suka main doang(lebih ketinggalan dari lw kan?hahaha)

    tapi soal laptop,itu memang tergantung kebutuhan,bukan merupakan trend menurut gw,,,so santai aja soal yg ini mah

    anyway,nice blog do you have
    -ditot-

    BalasHapus