Senin, 07 September 2009

Auferstehung

"The image is one thing and the human being is another.
It's very hard to live up to an image."


(Elvis Presley)

Waktu saya merasa tidak ingin cepat-cepat tidur lalu menyalakan TV dan menonton acara bincang-bincang bersama seorang tokoh agama Islam ternama di tanah air, saya berasumsi bahwa tayangan ini hanya akan berisi khotbah-khotbah puritan, dogmatis, petuah-petuah “bijak” tentang sikap (kalau tidak mau disebut konsep mental pesimistis)pasrah dan menunggu. Ya pasrah terhadap dunia dan menunggu kehidupan akhirat. Apalagi narasumbernya adalah KH. Abdullah Gymnastiar, atau lebih akrab dengan sapaan Aa Gym, seorang tokoh yang telah lama dikenal sebagai seorang kyai yang tampil dalam “kemasan” public figure yang menurut saya membuyarkan nilai-nilai antara “kemurnian” (dalam ajaran agama) dan “kepalsuan” (dalam image).

Namun ternyata saya salah. Aa Gym yang tampil saat itu adalah seorang kyai yang tidak lagi membonceng popularitas namun tampil dalam sosok yang lebih bersahaja yaitu seorang manusia biasa, seorang manusia yang telah melakukan kesalahan lalu dengan gagahnya mengakui kesalahan tersebut sambil terus berusaha memperbaikinya. Ia bukan lagi seorang dengan sorban kebesarannya yang berdiri di atas mimbar dan secara disadari atau tidak pelan-pelan “diperkosa” oleh banyaknya sorot kamera. Bisa say a katakan Aa Gym yang sekarang terlihat lebih “besar” karena lebih banyak terbungkus oleh “isi” ketimbang “sorban”-nya itu.

Apa sebenarnya yang menjadi titik balik Aa Gym? Kasus poligami? Menurut saya memang tema yang satu itulah yang mengawali semuanya, atau kalau mau diperhalus lagi, telah menyadarkannya. Jujur saja saya tidak terlalu mempermasalahkan poligami. Bukan berarti saya mendukungnya, saya justru menentang konsep tersebut. Tapi bukan berarti saya harus menghakimi Aa Gym, malah saya mengharagai keputusannya itu karena itulah hidupnya. Ia mempercayai sesuatu dan menjalani kehidupan sesuai dengan apa yang ia percaya itu dengan sungguh-sungguh (sementara kebanyakan manusia merasa lebih aman dengan berpegang pada prinsip kehidupan yang umum. Tidak sadarkah mereka bahwa itu semua telah usang?). Masalahnya adalah timbulnya efek bumerang. Aa Gym tidak lagi memiliki dirinya sendiri tapi juga dimiliki oleh khalayak ramai. Publik telah terlalu “mabuk” terhadap sosok Aa Gym dan mulai membuat persepsi terhadap dirinya dalam image yang sangat berat, yaitu kesempurnaan. Sehingga ketika masalah poligami ini muncul entah kenapa para penggemarnya (bukan pengikutnya) merasa telah dikhanati. Padahal Aa Gym tidak mengkhianati siapapun namun yang terjadi adalah para penggemar tersebut dikhianati oleh image Aa Gym yang mereka buat sendiri. Dan perlahan, tembok besar fame & fortune itu pun runtuh.

Inilah yang saya sukai darinya pada acara TV kemarin, bahwa ia tetap berpegang pada prinsipnya dan tidak menyesali poligaminya namun secara lebih bijak menatap ke belakang dan menyadari bahwa kesalahan yang terjadi terletak pada posisinya sebagai seorang “superstar”. Dakwah yang dulu ia sampaikan hanyalah menjadi bahan bakar agar ia bisa melesat tinggi ke puncak ketenaran yang baru ketika ia meluncur turun, ia tahu bahwa ia telah membohongi dirinya sendiri. Ia menyampaikannya dengan nada yakin di acara kemarin bahwa tujuan dakwah seharusnya hanya satu yaitu Allah, bukan yang lain (sentilan yang tepat bagi para ustadz-ustadz lain yang sifat kemunculannya cenderung musiman).

Yang membuat saya semakin simpatik adalah Aa Gym yang sekarang nampak lebih “materialis”, dalam artian apa yang ia ucapakan adalah cerminan kehidupan manusia di dunia tanpa banyak memasukkan unsur-unsur yang sifatnya “khayali” mengenai surga dan sebagainya. Bisa jadi ini semua adalah refleksi dari apa yang telah ia alami dalam kapasitasnya sebagai manusia biasa, yang tiba-tiba harus melewati tudingan, kritikan, cemoohan, cacian, dan sindiran namun berhasil bangkit dengan sikap: “Untuk apa kita menyandarkan hidup pada perkataan manusia? Hidup itu adalah melakukan sesuatu yang diridhoi Allah lalu berusaha untuk selalu menjadi lebih baik.” Ignorance is Bliss! Terlihat sekali bahwa ia tidak lagi peduli dengan image dan tetek-bengek lainnya.

Apa yang terjadi pada Aa Gym adalah sebuah pelajaran hidup yang nyata. Tidak ada yang abadi dan tidak ada yang sempurna. Maka keberanian dan kebijaksanaan adalah modal terbaik dalam melewati hidup ini. Apa yang ia katakan mengenai 3M (Mulai dari diri sendiri, Mulai dari hal yang kecil, Mulai dari sekarang) tidak lagi berupa jargon “jualan” namun menjadi lebih sahih karena Aa Gym telah membuktikannya sendiri. Ia juga membuktikan bahwa kemuliaan hidup di dunia tidak kalah pentingnya dari melakukan ibadah samawi yang cenderung berorientasi pada kehidupan akhirat. Saya menaruh hormat padanya. Terlebih lagi saat ia menutup acara tersebut dengan mengatakan:

“Kita ini, manusia, adalah mahluk yang menjijikan. Tidak usah merasa terhormat, karena Allah masih terlalu baik dengan menyembunyikan semua aib dan kesalahan kita dari semua orang.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar