Sabtu, 31 Maret 2012

Sirkus Kratos


 "You do it to yourself, you do, and that's what really hurts."

(Just, Radiohead)

Tidak ada yang spektakuler dari apa yang terjadi kemarin, semuanya sudah bisa saya tebak, bahkan jauh-jauh hari sebelumnya karena tidak ada yang berubah dari manusia Indonesia. Begitu pun dengan skeptisisme saya yang terutama ditujukan kepada generasi penerus bangsa, atau yang dengan kehormatan mendapat sebutan sebagai agen perubahan, dan sehari-harinya hidup sebagai mahasiswa, baik yang diamini oleh mereka sendiri ataupun yang tidak.

Semuanya berawal dari berita yang begitu memanjakan mata dan telinga di sepanjang hari dan kemudian bagaimana rentetan berita tersebut memelintir perasaan saya sebagai orang yang menjulurkan lidah kepada pemerintah (atau kepada segala bentuk otoritas di Negara ini, sebagai bentuk dari empati yang bisa saya berikan) dan sekarang ditambah dengan acungan kepalan tangan saya kepada mahasiswa. Segala bentuk kekerasan, penghancuran, dan anarkisme yang mereka tunjukkan benar-benar membuat mata ini kelilipan berkali-kali. Mereka turun ke jalan, berarak-arakan, berteriak di depan megaphone, dan semuanya terlihat seperti performance art yang penuh dengan simbol-simbol tidak penting. Jika saya jurinya saya akan mengacungkan papan nilai di atas 7 untuk aksi dan di bawah 4 untuk substansi.

Yah, sebenarnya mereka bebas bertindak apapun. Tapi yang saya garisbawahi adalah ketika mereka muncul sebagai ikon yang mewakili rakyat. Siapa yang melegitimasi status tersebut? Terutama lagu untuk mahasiswa zaman sekarang, pemuda-pemudi zaman sekarang, benang apa yang menghubungkan mereka dengan rakyat sementara mereka dengan seenaknya merusak dan membakar fasilitas umum, dengan pelampiasan yang berlebihan  (dan terjustifikasi oleh momen), dengan cara yang barbar dan mengesampingkan intelektualitas yang sejatinya menjadi sikap yang mampu dihormati oleh kalangan lain? Lucu sekali, bagaimana bisa penyumbang presentase terbanyak di angka seks di luar nikah, pelaku aborsi, pengakses situs porno, penikmat obat terlarang, penghuni aktif dunia maya, target pasar peradaban konsumtif, dan pembaca buku yang pasif, merasa mampu mewakili suara rakyat Indonesia dengan demonstrasi yang tak terarah dan terkonsep dengan baik. Harus diakui bahwa zaman sekarang mahasiswa bermental hedonis lebihbanyak jumlahnya daripada yang memiliki idealisme tertentu, sehingga jika kita melihat mahasiswa mulai turun ke jalan, tidak ada perubahan yang bisa diharapkan selain status online mereka.

Memang penilaian ini tidak bisa dilepaskan dari citra yang ditampilkan oleh media (terutama pemilik medianya), saya tidak menampik bahwa ada juga sebagian lain dari mahasiswa yang menyalurkan aspirasinya dengan cara yang patut dicontoh, namun faktanya adalah sebagian besar demonstrasi berakhir ricuh dan di mana ada kericuhan di situ ada mahasiswa. Dan dari cara-cara yang mereka tunjukan itu, saya jadi yakin bahwa mahasiswa sekarang akan lebih fasih untuk menyuarakan kegalauan kehidupan percintaan pribadinya ketimbang menyuarakan hal yang lebih “berat” dan berkontribusi untuk mendandani wajah pribadi. Tidak seperti dulu lagi. 

Lalu televisi menayangkan siaran langsung di ruang rapat dewan. Dari performance art, pertunjukan berubah menjadi sirkus. Ah, terlalu banyak dan terlalu familiar jika harus saya kemukakan semuanya, saya hanya akan mencatat satu hal, bahwa hujan interupsi adalah polusi suara paling maksimal yang tidak bisa saya tolerir. Dan lagi-lagi interupsi itu pun mengatasnamakan suara rakyat.
 
Cara mereka bersidang memberi contoh yang kurang tepat bagi rakyat mengenai bagaimana proses pengambilan keputusan yang menyangkut hajat hidup orang banyak dan masa depan Negara diambil. Perilaku seperti itu di peradaban modern sekarang tentunya bisa digolongkan sebagai tindakan pre-historis yang membuat saya merasa dikibuli karena kalau memang demikian caranya berpendapat (dengan tidak mengindahkan nilai-nilai etika bermusyawarah dan perilaku disiplin yang mencerminkan kehormatan seseorang) maka untuk apa perlu diadakan kampanye dan pemilihan wakil rakyat, toh siapapun yang terpilih dan duduk di ruang rapat pasti hasilnya akan sama saja, intelek atau tidak.

Di ruang itu semuanya bobrok dan saya tidak melihat apapun yang dilakukan atas nama rakyat, semuanya murni terselip kepentingan politik baik yang terlihat maupun tidak. Bagi saya, para anggota dewan, wakil-wakil rakyat, atau fraksi-fraksi yang hadir di sana bicara mewakili rakyat, sebaiknya mereka semua duduk dulu bersama rakyat di luar sana dan bicara mengenai kontribusi, saya yakin rakyat akan mendengarkan dengan sepenuh hati dan tanpa interupsi. 

Momen demonstrasi ini memberikan sebuah kesimpulan bahwa saat ini, jangan mudah untuk mempercayai demonstran, wakil rakyat, atau pemerintah, tapi justru ini merupakan momen yang tepat bagi kita semua untuk mulai mempercayai diri kita masing-masing, mempercayai kemampuan kita, suara kita, hati kita, jiwa kita, Tuhan kita dan segala hal yang ada pada diri kita. Terlalu lama kita menutup diri dari diri kita sendiri dan lebih suka untuk menggantungkan semuanya untuk diwujudkan oleh tangan-tangan yang lain sedangkan kita sendiri memiliki tangan. Ini adalah saat yang tepat untuk percaya bahwa takdir, nasib, peradaban, dan masa depan hanya bisa dirubah oleh diri kita sendiri (jika kita mau) maka tidak ada salahnya memberi diri kita kesempatan lagi, dan lagi, dan lagi, dan lagi, sampai kita menyerah terhadap diri kita sendiri. Dan itu saat kita mati.

3 komentar:

  1. ya
    ngga ada yang berubah selain status online tak penting

    BalasHapus
  2. we better change our heads instead

    BalasHapus
    Balasan
    1. why cant I post a comment? anyone would give a help?

      Hapus