Jumat, 30 Maret 2012

April Datang


 "As a nation of free men, we will live forever or die by suicide."


(Abraham Lincoln)

Kita menginginkan revolusi, kita tidak akan mendapatkan revolusi. Penyakit aslinya sudah tertanam di dalam DNA kita, mental, dan jiwa yang ditempa selama 3.5 abad dan 66 tahun sesudahnya. Apa yang kita mau adalah penebusan, yang besar-besaran, untuk menagih hutang-hutang dari dunia. Dan kebebasan. Tapi sekali budak tetaplah budak. Setidaknya, sebelum memberi kita kebebasan, beritahu kita apa itu kebebasan. Lucu sekali, karena dari rekaman sejarah, kebebasan kita hanya sebatas untuk memilih dua hal, antara menerima apa adanya atau melawan sampai momen perlawanan itu menguap dan kemudian kembali lagi ke kondisi sebelumnya, berangsur-angsur. Karena sepertinya ada hal lain yang perlu kita ketahui di samping kebebasan; cara menggunakan kekuasaan. Karena sebagai mantan budak, kita hanya tahu bagaimana cara mantan tuan dan nyonya kita menggunakan kekuasaan atas kita. Dan itu adalah sejauh mana kita mengerti tentang kekuasaan; kemarin, sekarang, dan besok.

Maka seperti bumi yang terus berputar, begitu pun takdir kita semua.

Mungkin kita berbagi udara yang sama, di bawah langit yang sama. Tapi kita sudah terlalu lama tercerai-berai. Masalahnya adalah kita tidak lagi punya musuh bersama. Satu musuh yang mana kita akan rela mencurahkan segala waktu, tenaga, dan pikiran untuk mengalahkan. Musuh, yang dalam menghadapinya, kita berbagi kasih sayang dan menjalin cinta. Musuh yang berdiri tegak membentang membelakangi masa depan kita. Musuh yang merepresentasikan hutang milik kita, penebusan kita, semua yang telah diambil. Bisakah sekarang kita duduk dan memikirkan siapa/apa yang layak untuk dijadikan musuh dan menyimpulkan dari sana apa yang bisa terjadi pada kita di waktu yang akan datang?

Atau mungkin kita harus sedikit membalikkan kepala kita, sedikit berputar, atau membiarkannya menggantung melawan gravitasi; dan dari posisi itu, coba berpikir bagaimana jika tidak ada lagi yang disebut negara, tidak pernah ada  selain emblem di atas dada dan bendera. Merasakan untuk pertama kalinya, sejak bayi, menjadi manusia seutuhnya, telanjang, dan menjadi wakil dari peradaban anak-cucu-cicit Adam di dunia, di tempat penebusan sang kakek moyang atas pembangkangannya terhadap Tuhan. Menjadi manusia yang tidak dibingkai oleh batas-batas pemerintahan, menjadi manusia yang menyadari dirinya sebagai bagian dari kemanusiaan yang luas dan tanpa batas, dari mulai sejarah masa lalu hingga nanti datangnya kiamat yang telah diramalkan. Untuk menghargai diri sendiri sebagai aktor utama tanpa naskah, dengan banyak kamera di sekeliling, dan dunia menunggu kita untuk berimprovisasi.

Dan bisa jadi apa yang dimaksud dengan kebebasan itu adalah bentuk-bentuk improvisasi yang dilakukan untuk bisa terus-menerus menemukan peran terbaik yang bisa kita mainkan di sini, untuk para penonton sekalian. Kalau begitu, kedengarannya kebebasan berbagi pohon keluarga yang sama dengan kontribusi. Dan jika dua-duanya berada di satu ruangan, mungkin kita akan melihat sosok kekuasaan sejati yang layak untuk dibayar dengan tekuk lutut.
 
Jadi, siapa yang memiliki takdir kita lagi? Atau kepada siapa kali ini itu akan diserahkan dengan cuma-cuma?

2 komentar:

  1. someone said writings are writer's food. don't spread negative writings as you don't wanna give bad meals to others. haha but i agree with you to be frank, we have the same pessimistic

    BalasHapus
  2. nice thought, but this time i just happen to serve meal with extra chili pepper to others. Yeah, how can we not be pessimistic about this country?

    BalasHapus