Selasa, 05 Oktober 2010

Terima Kasih dalam Huruf Kapital 'T' dan 'K'


"If  the only prayer you say in your life is 'Thank You', that would suffice."

(Meister Eckhart)

Saya terkesima, ketika di permulaan malam beberapa hari yang lalu saya mendapati diri tengah mengantri di depan kasir di dalam sebuah toko buku di Bandung. Di depan saya, berdiri seorang ibu yang tengah menyaksikan petugas kasir mencatat harga buku-buku yang dibeli olehnya. Ibu itu tidak sendirian, ia ditemani oleh dua orang anaknya, kakak-beradik, keduanya perempuan dan keduanya masih kecil, sang kakak mungkin duduk di kelas 2 SD sementara usia adiknya berada di antara usia pra-sekolah dan TK nol kecil. Sekian detik lewat, proses transaksi berhasil dirampungkan lalu akhirnya si ibu menerima buku-bukunya itu tersimpan di dalam kantong plastik bergambar logo toko buku dan langsung menyerahkannya pada si adik. Kedua anak itu tampak senang dan saya menyaksikan si ibu dengan raut bahagia dihiasi senyum, berujar tanpa ragu: “Alhamdulillah.” Kembali lagi ke awal paragraf, saya terkesima.

Perasaan yang terkumpul di dalam hati saya bukanlah sebuah kekaguman atas ucapan “Alhamdulillah” semata. Tapi lebih jauh lagi, adalah tentang bagaimana si ibu tadi mengucapkan kata tersebut lengkap dengan mimik muka yang menampilkan ekspresi syukur yang tulus, kelegaan menyejukkan yang membuat saya ingin menekan tombol rewind. Di satu sisi, itu menjadi semacam tonjokan bagi saya yang termasuk orang yang menghargai pentingnya buku ─bukan karena harganya atau tampilan fisiknya─ sebagai produk budaya yang menandakan peradaban manusia, tak pernah sekalipun mengingat terucap rasa syukur sehabis melakukan transaksi di kasir, atau sehabis menutup lembar terakhir di buku, padahal saya menyadari benar apa yang saya dapatkan dari buku. Maka setelah ibu itu pergi dan giliran saya menerima bingkisan kantung plastik dari penjaga kasir, saya mengucapkan “Alhamdulillah” di dalam hati dengan ekspresi tingkat pemula.

Momen tersebut telah menyeret saya ke dalam pergumulan yang lain, yang bisa saja disebut melebar ke mana-mana tapi berinti pada satu titik yang sama. Beberapa hari setelah itu, entah kenapa saya berpikir bahwa Tuhan pada dasarnya adalah konsep”manipulasi” pikiran manusia terhadap kekuatan dahsyat yang absolut yang mana manusia merasa aman dengan mempercayai-Nya. Bukan, ini bukan cara saya menunjukkan iman atheis karena saya sangat mempercayai keberadaan Tuhan. Tapi pernyataan tersebut lahir dari perenungan jika saya bertanya pada 100 orang tentang apa itu Tuhan bagi mereka, maka bukan tidak mungkin saya akan mendapat 100 jawaban yang berbeda yang masing-masing menyiratkan versi Tuhan yang pas, sesuai dengan kriteria tiap orang. Sehingga imej Tuhan adalah sebuah proyeksi dari seseorang yang sifatnya tentu saja personal dan ini mempengaruhi tindak-tanduk orang tersebut terhadap Tuhan-Nya itu, Tuhan yang ia percayai dalam wujud-Nya, sifat-Nya, karakter-Nya, dan bahkan kekuasaan-Nya. Orang pesimis percaya bahwa bencana alam adalah tindakan Tuhan dalam kemurkaannya yang maha hebat atas dosa-dosa yang diperbuat, sedangkan orang optimis percaya bahwa bencana yang menimpa dirinya adalah bentuk kasih sayang Tuhan yang Maha Pengasih yang sedang menguji kesabarannya demi meraih kemuliaan yang lebih tinggi. Keduanya tidak salah. Dalam kitab suci Tuhan pernah diceritakan murka terhadap manusia (banjir Nuh yang melegenda itu) dan bukan rahasia umum bila Tuhan memiliki kadar kasih sayang yang tak terhingga untuk mahluk-mahluk-Nya. Siapa itu Tuhan bergantung pada siapa yang mengatakan apa tentang Tuhan.

Lalu di manakah peran si ibu tadi dalam tulisan ini? Saya berpikir bahwa bagaimana seseorang “memperlakukan” Tuhan mencerminkan apa yang dia percaya tentang-Nya dan ini menjelaskan secara langsung hubungan vertikal antara manusia dan Tuhan. Ketika saya menjalankan ibadah muslim seperti sholat 5 kali sehari, puasa, berdoa, atau melantunkan zikir di dalam hati, saya menyadari bahwa hubungan vertikal saya adalah tentang menyembah Dia yang di atas sana. Dalam sholat saya tunduk dan bersujud, dalam puasa saya melemahkan diri, dan dalam doa saya merasa pasrah atas Tuhan yang Maha Besar, yang mampu merubah manusia menjadi cecurut dan juga sebaliknya. Saya adalah serpihan debu mikroskopik yang sangat sangat kecil dan tidak berdaya. Rapuh, telanjang, dan mudah pecah-belah. Saya memandang Tuhan persis seperti yang dikemukakan oleh Sigmund Freud, sebagai refleksi sosok ayah yang ideal dengan perangkat maskulinitasnya. Saya menjalani ibadah tersebut dalam kepatuhan yang khidmat sampai akhirnya semuanya menjadi rangkaian rutinitas yang digerakkan oleh mekanisme terpogram yang tidak berubah. Saya merasakan kejenuhan, kemalasan, dan terlebih lagi, perasaan kosong dalam setiap kegiatan ibadah yang saya dirikan. Saya merasakan proses sembah-menyembah yang saya jalani telah memposisikan Tuhan sebagai seorang raja adidaya, pemimpin segala pemimpin, komandan terhormat, zat yang selalu mempertontonkan “ke-Maha-Besar-an-nya” setiap waktu, dan entah kenapa itu semua membuat saya gerah. Ketundukan saya tidak beralasan dan saya mulai bertanya kenapa Tuhan merasa perlu untuk terus “menakut-nakuti” saya dengan kekuasaannya hanya untuk membuat saya menyatakan iman pada-Nya? Bukankah itu yang juga dilakukan oleh Hitler? Stalin? Darth Vader? Bahkan Fir’aun?

Dan di sinilah si ibu tadi berperan. Ketika ia mengucapakan kalimat syukur itu, saya terkesima, dan di bawah pancaran lampu neon yang menaburi kepala saya, saya mendapat pencerahan bahwa hubungan antara manusia dan Tuhan bukan lagi sebuah konsep kepatuhan atau ketertundukan tanpa syarat, bukan sebuah pertalian keimanan yang diikat dengan sumpah “Aku beriman” atau “Aku berjanji”, melainkan dengan “Aku bersyukur”, “Aku berterimakasih”, atau “Alhamdulillah”; sebuah proses bersyukur tanpa henti sepanjang hayat. Kalau boleh berimajinasi, ketika seseorang bersumpah dengan mengucap “Aku berjanji”, yang terpancar di wajahnya adalah semacam raut ketegasan nan serius akan sebuah komitmen yang tinggi, sedangkan raut wajah yang mengucap “Aku bersyukur” adalah sebuah senyum ikhlas penuh kasih sayang, persis seperti ekspresi yang dipertontonkan si ibu tersebut. Dan menurut saya, tidak ada yang lebih menyejukkan selain kenikmatan menyebut nama Tuhan dengan senyum ketimbang menyebut-Nya dengan getaran ketakutan khas manusia inferior. Sudut pandang saya terhadap Tuhan berubah dan ini membantu saya untuk mengenang masa lalu yang telah saya lalui, yang dalam tawa maupun kesedihan yang terkandung di dalamnya, mampu membangkitkan perasaan syukur karena telah melalui semuanya itu.

Tulisan ini tidak saya maksudkan untuk diutarakan dalam perspektif seorang muslim walaupun berangkat dari kata “Alhamdulillah”, namun secara lebih luas saya mengemukakan bahwa hubungan manusia dengan Tuhan bukanlah hubungan timbal-balik macam korporasi atau hubungan antara yang lemah dan yang kuat yang berlandaskan pada perintah dan larangan semata dengan pahala dan dosa sebagai konsekuensinya, melainkan sebuah seni perilaku dalam memaknai keindahan yang ada di mana Tuhan berperan sebagai si pemberi sedangkan manusia sebagai si penerima, dan akan terus seperti demikian sepanjang masa, oleh karenanya berterimakasihlah. Perasaan tersebut bagi saya telah mereduksi rasa ketakutan berlebihan atau semacam neurotik yang tidak hanya tertuju pada Tuhan saja tetapi juga pada kehidupan saya sehari-hari karena terpatri di dalam kepala potongan trailer berjudul Surga di Kanan, Neraka di Kiri. Kepatuhan yang ditimbulkan dari rasa takut membuat saya tidak mampu merasakan hidup yang seutuhnya karena terbatasi oleh regulasi dan rambu-rambu yang mengikat kuat. Dengan cara bersyukur, yang saya rasakan dalam hidup adalah keterbukaan untuk memandang sesuatu dari sisi baik dan buruknya dikaitkan dengan manfaatnya bagi kehidupan saya. Dengan sikap ini, berarti saya menetapkan value pada diri saya sendiri yang didasarkan pada apa yang Tuhan telah berikan pada saya. Saya berpendapat bahwa ketika Ibrahim menghancurkan berhala-berhala di kotanya yang ia hancurkan bukanlah wujud berhala tersebut yang dianggap sebagai bentuk penghinaan terhadap Tuhan, melainkan konsep penyembahan itu sendiri yang terkesan seperti interaksi antara budak dan raja. Sehingga jaman sekarang, saya mengatakan bahwa kepatuhan semacam ini walaupun dilakukan terhadap Tuhan yang diperkenalkan Ibrahim, adalah sebuah bentuk pemberhalaan jenis baru karena makna Tuhan telah dibiaskan dengan penguasa. Pemberhalaan semacam inilah yang membuat manusia melakukan teror terhadap manusia lain yang mereka pikir tidak disukai oleh Tuhan-nya. Bom sana, bom sini. Ledakan di mana-mana sambil mengagungkan kebesaran Tuhan. Mengerikan sekaligus menyedihkan.

Saya akui ini membuat hubungan saya dengan Tuhan tidak lagi terlalu kompleks. Dia sebagai yang tidak terjangkau tidak lagi menjejali kepala saya. Suatu hari, mungkin saya bisa mengucapkan dengan ketulusan yang sama dengan ibu itu kata “Alhamdulillah” atas apa yang telah terjadi dalam hidup. Menjadi orang yang merasa paling berbahagia dalam hidup merupakan salah satu cita-cita yang paling luhur, bukan?

4 komentar:

  1. Pemberhalaan Tuhan. Manusia bermain Tuhan.
    Halo Ikra. Hehehe.

    BalasHapus
  2. Halo Ikra.. :p hehe..
    Kompleks kra.. baru baca blog mu... kompleks...
    Overall gw setuju, tiap orang punya persepsi masing-masing dalam pencariannya mencari Tuhan..
    bukannya di Islam konsep pencarian "Tuhan" dijadikan open-question, tiap orang harus merenungkan sendiri.. dapet poin 1 bila perenungan itu salah, dapet poin 2 bila perenungan itu benar, dan dapet poin 0 bila tidak merenungkan sama sekali.. (bener ga sih? haha)...

    BalasHapus
  3. Wah malahan saya baru tahu tuh yang tentang poin2 itu, menarik juga :} makasih udah mampir yah bos!

    BalasHapus