Selasa, 12 Oktober 2010

Kerumunan


"My body is a cage, that keeps me from dancing with the one I love, but my mind holds the key." 

(My Body is A Cage, Arcade Fire)

“I’m on my time with everyone. I have very bad posture.” Kurt Cobain membuka lagu Pennyroyal Tea dengan sapaan depresif-nya yang khas. Selayang pandang, dapat ditarik kesimpulan bahwa keresahan yang meliputi karier artistiknya yang singkat (termasuk di dalamnya adiksi terhadap heroin dan keinginan terpendam untuk bunuh diri) itu adalah tentang bagaimana sang superstar berusaha untuk memposisikan dirinya di tengah kerumunan. Memang bukan hanya sekali ia menyelipkan lirik yang bertendensi pada beratnya beban pencitraan yang ia rasakan yang selalu membuatnya merasa harus menjadi seseorang di luar dirinya, seperti ketika ia bernyanyi “She eyes me like a pisces when I am weak” dalam Heart-Shaped Box, sebuah deklamasi kerendah-dirian yang tersirat secara lugas dari getaran suaranya yang senyap. Saya menangkap kesan bahwa Kurt adalah sosok yang senantiasa berjuang untuk mampu “berada di tengah orang-orang” dan bagi saya, isu semacam ini sifatnya kontradikif karena berada di persimpangan antara “menerima orang lain (lingkungan ekstrinsik)” dan sebaliknya, “diterima oleh orang lain.” Dua opsi inilah yang selalu membawa saya pada tingkat kegelisahan tertentu setiap kali berada di kerumunan, tentang menentukan orientasi.

Tanggal 10 bulan 10 tahun 10, saya berada di tengah kerumunan. Pasar seni ITB, lebih tepat dinamai pasar manusia, tampak bagi saya merupakan sebuah event bergengsi yang entah kenapa kala itu makna dan tujuannya semula seperti telah bergeser dari ajang apresiasi terhadap berbagai bentuk karya seni karya anak bangsa menjadi seni untuk mengumpulkan manusia dalam satu tempat dan satu waktu. Bisa jadi ini sebagai salah satu bukti peran media informasi dalam era modern sebagai bentuk pemasaran yang baru, murah, efektif, dan massal. Selain sukses seharian memacetkan kota Bandung, saya sendiri tidak tahu apakah acara tersebut tergolong sukses bagi deretan panitia, pengisi acara, sponsor, atau mungkin para pengunjung. Keberadaan saya di sana, yang kira-kira hampir satu jam saja, secara pribadi merupakan sebuah perenungan eksistensialisme tentang tuntutan peran sebagai mahluk sosial dalam kondisi yang pasif atau justru asosial yaitu berinteraksi dengan ratusan manusia lain yang tidak dikenal. Situasi yang dikenal dengan frase kesepian di tengah keramaian.

Ada dorongan untuk bersembunyi atau menciptakan dinding pembatas terhadap spesies saya di sana. Ada kegugupan interior yang lahir ketika melihat kepala-kepala manusia bergerak-gerak dengan intensitasnya masing-masing. Ada keinginan untuk menjadi bunglon dan membaur bersama semua orang tapi timbul pertanyaan baru: terhadap apa saya hendak bersembunyi? Bukankah di tengah keramaian itu juga sudah merupakan tempat persembunyian yang paling bagus? Yang nyata dari keresahan itu adalah keberadaan diri sebagai individu yang merasa seolah-olah “berbeda” dari orang lain dan oleh karenanya menginginkan “ruang khusus” yang bisa jadi terpisah dari realita, dan saya tidak bisa menemukannya di antara desak-desakan dan suara-suara berisik di sekitar. Reaksi saya lebih kepada pengisolasian diri imajiner di mana saya mencoba membayangkan orang-orang itu berada di dalam film era Nazi, Schindler’s List karya Steven Spielberg, sebagai barisan orang-orang Yahudi yang berjalan menuju kamar uap untuk penghabisan yang mengerikan. Sinisme memang tidak henti-hentinya menghampiri kepala saya waktu itu.

Di dalam atmosfer yang ramai seperti itu, tidak butuh waktu lama bagi saya untuk segera memahami bahwa manusia bukan mahluk yang (sepenuhnya) bebas. Kita semua terikat oleh aturan alam semesta dan nilai-nilai subjektif dari manusia lainnya. Hal yang kedua itu memberikan kontribusi terbesar bagi saya untuk merasa “terpenjara” dalam keramaian. Kekuatannya terbilang intens yang membuat gerak-gerik saya seperti dibatasi dan semakin saya berusaha untuk acuh tak acuh justru malah semakin membuat saya terserap ke dalam energi prasangka dari luar yang membesar. Saya masih terlalu waras untuk bisa bertingkah seperti Diogenes, yang salah satu idenya tentang kebebasan manusia adalah dengan bermasturbasi dan buang air besar di depan umum, tapi di sisi lain saya seperti berhasrat sekali untuk melepaskan jiwa saya ke tempat lain dan hanya meninggalkan raga/tubuh/badan saya saja di sana.

Kenyamanan saya memang agak terganggu karena perhatian saya kebanyakan teralihkan dengan melihat wajah-wajah asing yang berlalu-lalang. Dan tubuh sebagai penjara adalah tentang bagaimana saya berusaha untuk beradaptasi dengan menghilangkan faktor kegugupan di dalam pikiran yang memilah-milah persona yang bisa saya tampilkan. Di titik ini, saya mengamini teori psikolog Albert Ellis bahwa saya adalah seorang neurotik yang dalam melangsungkan hidupnya selalu terarahkan untuk menerapkan ide-ide irasional seperi salah satunya “lingkungan harus menerima saya atau saya akan menderita.” Betapa risihnya memendam jalan pikiran seperti itu sepanjang waktu.

Saya tidak berhenti pada kesimpulan menyalahkan diri pribadi atau menyadari bahwa ada yang salah dengan saya. Saya justru memahami bahwa saya lebih merasa nyaman di luar kerumunan dan keramaian, dan bagi saya itu tidak bisa digeneralisasi sebagai suatu sikap yang menyimpang dari pemenuhan takdir atas manusia sebagai mahluk sosial. Dalam berinteraksi saya lebih menyukai hubungan pribadi dengan teman dekat atau anggota keluarga ketimbang hubungan yang mengambang dengan orang banyak. Tapi harus diakui bahwa sikap mental saya memang sedikit cacat. Kerumunan bukanlah hal yang tepat bagi saya untuk mendefinisikan diri atau menegaskan eksistensi saya sebagai manusia, atau mungkin,saya masih berproses untuk melewati itu semua.

Erik Erikson pernah menjelaskan bahwa pada tahap usia 20-an (pemuda), krisis psikososial yang dihadapi manusia adalah “Intimasi vs Isolasi” yang bertujuan untuk menemukan jati diri dalam diri orang lain. Tujuan itu, menurut saya, akan tercapai ketika akhirnya tubuh ini “menyatu” dengan jiwa, tidak lagi menjadikannya sebagai kurungan. Dan akhir hayat Kurt Cobain adalah salah satu contoh ketika jiwa dipaksa untuk keluar dari tubuh.

Dengan peluru yang menembus kepala, ia terbang menuju nirwana. Dengan demikian, bukankah itu artinya sebuah pernyataan kalah terhadap hidup? Sayang sekali.

4 komentar:

  1. eng.. kalah menang kan relatif..

    BalasHapus
  2. @gita: kalo menurut aku sih kalah itu harga mati git untuk bunuh diri..

    @ikra: at least we could enjoy p-project performance :p on that day

    BalasHapus
  3. ikra, saya gak nyangka ini kamu ckck

    sofie s

    BalasHapus