Minggu, 11 Juli 2010

Menjelang Subuh

"Life is the art of drawing without an eraser."

(John W. Gardner)


 Mungkin ini masalah persepsi yang harus diuji lebih lanjut, atau dikait-kaitkan dengan studi antropologi, antropometri, sosiologi, psikoanalisis, dan ilmu-ilmu tentang manusia lainnya; tapi saya merasa bahwa perbedaan yang kentara antara saat-saat menunggu sesuatu dengan momen ketika sesuatu yang ditunggu itu akhirnya datang adalah justru dalam ‘menunggu’ itulah perasaan-perasaan yang diharapkan itu hadir, sedangkan setelahnya perasaan tersebut lepas, terbang, lalu hilang. Menunggu, walaupun pada kenyataannya adalah aktifitas pasif yang cenderung membosankan, namun pada prinsipnya merupakan kata kerja yang berarti memenjarakan, menyimpan, mengumpulkan, mengawetkan dalam kotak aneka hasrat, harapan, mimpi, angan-angan, lamunan, multirupa keinginan yang sifatnya murni, tumbuh, dan belum tercemar oleh realita. Maka proses ini juga memiliki ruang dan dimensinya sendiri yang terpisah dengan ruang dan dimensi ketika penantian itu berakhir atau ketika perasaan yang tertahan itu akhirnya lenyap. Ketika istri Odysseus dalam puisi karya Homer menunggu suaminya untuk pulang selama bertahun-tahun, dalam penantian itulah ia benar-benar merasakan perasaan ‘tertinggi’ terhadap suaminya yang mana justru akan dengan mudah menghilang jika keduanya bertemu suatu kali. Menunggu dengan sendirinya saya pahami sebagai aktifitas interior manusia di mana sebenarnya kita sedang mempermainkan perasaan kita. Perasaan cemas atau was-was lahir dari ‘kelihaian’ kita dalam mencocokkan setiap kemungkinan dari realita yang ada dengan perangkat ekspektasi yang telah membekali pikiran kita yang kemudian meleset, tidak sesuai, berbeda. Secara tidak sadar, manusia mengakui bahwa bagaimanapun juga kenyataan tidak akan pernah seperti yang dibayangkan; perasaan was-was itulah manifestasinya.  Hidup ini bisa jadi adalah rangkaian proses menunggu yang terus-menerus. Kita terikat ke dalam sebuah sistem yang diatur oleh kekuatan maha hebat (kehendak Tuhan, atau mungkin, perjanjian antar-galaksi, keduanya) di mana ‘menunggu’ adalah hal prinsipil yang harus terjadi pada manusia dalam kaitannya utnuk menanggapi hal prinsipil lainnya yang dimiliki manusia, yaitu kehendak bebas. Apa yang selalu dialami oleh Nobita dan Aladdin tentu saja bertentangan dengan aturan main dari hidup, sampai kapanpun. Apa jadinya bila di dalam hidup kita tidak memiliki sesuatu yang ditunggu-tunggu? Apakah hidup akan tetap memiliki makna? Ataukah setiap insan akan tetap memiliki hidup? Mungkin inilah yang saya dan teman saya rasakan tiga hari lalu ketika ngobrol-ngobrol saat makan siang tentang masa depan (“Setelah ini apa?” “Mau ngapain?” “Apa lagi?”) yaitu gelisah dan was-was untuk menunggu ‘yang akan datang’ itu datang. Tapi apa? Itulah masalahnya. Karena kegelisahan dan ke-was-was-an ini terasa begitu nyata ini berarti dalam ‘menunggu’ itu kita benar-benar berharap bahwa kenyataan akan sesuai dengan yang kita dambakan. Mungkin, mungkin, mungkin...
***
Saat Peter Pan (yang asli, tokoh fiktif karangan J.M. Barrie, bukan yang lain, bukan juga yang itu, tapi yang ini!) diberi titel sebagai ‘The Boy Who Wouldn’t Grow Up’ saya mengernyitkan dahi mempertanyakan maksud dari kalimat itu. Saat itu saya masih kecil, usia SD, dan saya selalu mendamba untuk memiliki kumis-janggut, badan yang tinggi-besar, memakai stelan jas dan kopor ke kantor, menyetir mobil sendiri, bebricara dengan suara berat, minum kopi, merokok, menonton TV sampai larut malam, tidur larut malam, memiliki dompet sendiri berisi uang, memakai sepatu boot, celana jeans, jam tangan, wangi-wangian, berbicara fasih dalam bahasa Inggris, membaca buku tebal selain dari buku komik dan terlihat begitu antusias saat membacanya, dan yang pasti, bisa melawan saat sang Ibu marah. Jadi apa yang salah dengan Peter Pan?
Wajar menginginkan cepat dewasa. Bagi anak kecil. Saat itu. Saya mungkin masih terlalu naif untuk bisa memaknai masa kecil dengan segala perangkat kebebasannya dan bermainnya yang kurang-lebih amat menyenangkan. Dan pastinya masih terlalu bodoh untuk menyangka bahwa selamanya akan seperti saat itu. Maka akhirnya suatu malam si Peter Pan ini datang lewat jendela kamar tidur saya dan dia bilang ‘That’s why I never want to grow up one day, y’know wha’ i mean eh?’ Lalu menghilang begitu saja seperti gas yang keluar dari bokong.
Tidak ada pengumuman, pemberitahuan, atau alarm yang menandakan kedewasaan. Setiap orang punya waktunya masing-masing dan caranya sendiri-sendiri. Yang jelas mereka bisa mendadak tahu bahwa mereka sekarang telah dewasa. Bukan karena faktor umur atau sejauh mana tingkat pendidikan yang sedang ditempuh atau jumlah botol minuman keras yang sudah habis ditenggak. Tapi karena entah bagaimana pada suatu saat dalam hidupnya seseorang berpikir dan percaya bahwa dirinya sekarang sedang terpasang di mode dewasa dan harus berperan sebagai orang dewasa mulai sejak itu. Jelas ini adalah siklus hidup manusia yang tidak bisa dihindari jadi hapuslah ide mengenai mesin waktu apapun.
Ada sesuatu yang terasa begitu meresahkan ketika saya akhirnya sependapat dengan Peter Pan (atau mungkin pengarangnya, yang secuil kisah hidupnya saya intip di film Finding Neverland). Menjadi dewasa sepertinya adalah momok yang menakutkan; transisi yang datang terlalu cepat dan tak pernah mengizinkan untuk mengambil jalan putar-balik. Tiba-tiba saya sudah di sini ditemani berbagai macam kebingungan yang sebagian besar keluar dari sifat kepolosan pribadi yang dikikis habis. Bukan tentang masalah masa depan, komitmen, tanggung jawab, idealisme, pernikahan, pekerjaan, dan mencari nafkah tapi masalah yang menghampiri saya adalah hal yang prinsipil, yaitu mengenai konsep kedewasaan itu sendiri yang celakanya telah menguasai otak sampai ke setiap pori-porinya. Celakanya demikian. Atau mungkin, justru untungnya. ???
Adalah sebuah keadaan pikiran, sesuatu yang secara tidak sadar diimani dalam hati, sebuah kemampuan untuk mempersepsikan apa yang ‘baik’ dan ‘salah’ yang selain membuat saya merasa telah dewasa juga mengganggu diri ini dalam kaitannya sebagai individu dalam kehidupan. Ini berhubungan dengan ketenangan diri yang tiba-tiba terusik ketika saya merasa mampu membedakan yang ‘benar’ dan ‘salah’ sejelas membedakan susunan huruf dalam ‘keledai’ dan ‘kedelai’. Inilah momen itu. Kesulitan yang saya rasakan adalah ketika kemampuan ini secara tegas menyiratkan salam perpisahan terhadap lengangnya pagar pembatas antara dua entitas tersebut. Keadaan di mana ‘benar’ dan ‘salah’ terlihat seperti Thomson dan Thompson dari seri komik Tintin, sekarang telah berlalu, diganti dengan sifat ketelanjangannya yang membuat saya akan lebih mudah berprasangka, mengkotak-kotakkan, membenci, diskriminasi, intimidasi, merendahkan, meninggikan, menilai, melabeli, dan semuanya berlangsung secara subjektif. Hidup jadi berubah, cara pandang dan pemandangannya tak lagi sama. Rasanya seperti kebanggaan yang dirasakan saat kecil sehabis menggambar sebuah lukisan di atas kertas, sebuah pemandangan desa atau kebun binatang, mengagumi hasil karya itu, membingkainya, menaruhnya di dinding kamar lalu saat terbangun di esok pagi, setelah melihatnya lagi kamu menyadari bahwa lukisan di dinding itu tidak sebagus yang dikira, ada sapuan kuas yang tidak rapi, perpaduan warna yang buruk, serta bentuk-bentuk yang tidak sesuai, sehingga nilai lukisan itu di matamu tidak lagi seperti yang dulu; ada penyesalan karena menyadari semua itu. Rasanya persis demikian.
Konsepsi ini membuahkan suatu sikap atau karakter diri sebagai salah satu modal utama manusia. Masalahnya yang lain adalah bahwa hal ‘benar’ dan ‘salah’ ini tidak memiliki bentuk atau nilai yang absolut. Hal ini bukanlah rumus matematik yang eksak. Artinya adalah bahwa setiap manusia memiliki aturan dan batasannya masing-masing mengenai ‘benar’ dan ‘salah’ yang takarannya selalu serupa tapi tak sama antar yang lainnya. Dalam kehidupan bermasyarakat sendiri dapat terlihat dengan jelas bahwa penilaian antara ‘benar’ dan ‘salah’ ini diambil berdasarkan kesepakatan umum alias suara terbanyak walaupun sebenarnya tidak pernah dilakukan voting secara fisik. Dengan ini lahirlah norma-norma, aturan-aturan, undang-undang, atau bahkan sistem kepercayaan baru. Kuantitas menjadi hakim yang dengan sahih menentukan suatu nilai atau pakem. Di satu sisi ini menjadi sistem kontrol yang katakanlah sukses membangun peradaban manusia. Di sisi lain ini menjadi penyebab lahirnya para pemberontak,pembangkang, revolusioner, pionir, para eksentrik yang merasa tidak cocok dengan sistem tersebut lalu berusaha merubah dan membangun peradaban yang berbeda. Mungkin terlalu megah untuk menyebutnya peradaban, lebih sederhana dalam hal ini dijabarkan sebagai pemikiran, ideologi, filosofi, gaya hidup, atau bisa juga sistem politik.
Pengetahuan mengenai ‘benar’ dan ‘salah’ ini (yang secara kebetulan bisa juga dianalogikan dengan buah pengetahuan yang dilahap oleh Adam yang menyebabkannya diusir dari nirwana) membelalakkan mata saya untuk dapat dengan jelas melihat ketidaksempurnaan dari manusia (walaupun penciptaannya adalah sebuah kesempurnaan, menurut saya). Inilah saatnya saya meluncur dengan roket masuk ke dunia setelah sebelumnya menghabiskan waktu di tempat di mana tak ada yang perlu dihiraukan. Pendaratannya tidak mulus namun saya berhasil menapakkan kaki di atas tanah, rerumputan, aspal, dan keramik. Dengan pengetahuan itu di kepala saya, maka berinteraksi, bersosialisasi, berkomunikasi, dan berhubungan dengan manusia adalah seni berkompromi yang harus dikuasai di mana di dalamnya termasuk cara untuk mempertahankan diri, meraih kemenangan, dan mengalah. Tidak ada lagi jalan mundur jadi Peter Pan telah menang. Medannya sudah jelas terbentang dan saya sudah masuk lalu menunggu sampai berkarat; entah dengan gelisah terus-menerus, dengan congkak, atau dengan mengambil resiko sebanyak-banyaknya.
Bisa jadi inilah yang saya dan teman saya rasakan tiga hari lalu ketika ngobrol-ngobrol saat makan siang tentang masa depan (“Setelah ini apa?” “Mau ngapain?” “Apa lagi?”) yaitu berusaha menerima kenyataan bahwa Peter Pan adalah omong kosong dan memilih antara yang ‘benar’ dan ‘salah’ adalah permainan baru yang harus dimainkan. Kita sama-sama pemain baru di dalam panggung yang telah terbentuk sedemikian rupa dengan aturan mainnya yang baku dan kita berada di sisi lain yang kebingungan dan bertanya. Karena kita selalu mencari cara untuk bisa berkompromi. Mungkin, mungkin, mungkin...
***
“Saya gak sedang menghindar dan sepintar-pintarnya saya pun tetap saja itu gak mungkin dihindari. Apa yang sedang saya bicarakan ini? Waktu? Kesempatan? Pilihan? Bagi saya semuanya sama. Semuanya adalah dalangnya. Sebut saya sok suci, sok idealis, sok pintar; apapun asalkan jangan memanggil saya tolol, karena bukan itu yang saya tuju. Yang jelas saya kecewa. Khawatir. Prihatin. Bahkan geram sampai-sampai mengharapkan sebuah bom atom! Sekeliling kita adalah jin-jin laknat pencuri mimpi yang gemar menukar semuanya dengan realita yang banal, sempit, dan singkat. Hawa-hawa mereka tercium sedalam saya menarik napas maka ijinkan saya untuk melubangi paru-paru ini agar saya terlepas dari polusi itu, agar mereka berhenti menjejali kepala saya dengan zat-zat melenakan, agar saya bisa mengklaim untuk menjadi yang sok suci diantara yang lainnya. Lalu apa saya takut? Saya harap tidak. Mungkin sedikit gatal-gatal. Alergi. Teriritasi.  Dan senyum sumringah saya selalu tersungging kala otak kotor ini membayangkan semuanya terbungkam, tebujur kaku, pecah menjadi serpihan-serpihan yang nantinya terpajang di etalase museum. Saya begitu menginginkan bahwa semua ini akan cepat usang dan berganti yang baru, yang lebih baik. Hancur remuk lah. Rata dengan tanah. Meringkuk enam kaki di bawah tanah. Hilang, tidak semua, tapi bisa disebut hilang. Lenyap. Raib. Wuuuss! Karena semakin lama semakin terasa meyesakkan di dada. Hantu-hantu itu menghimpit saya dengan berat badannya dan tipu muslihat yang membuat mulutku mencair. Berbisik di kedua telinga dengan rayuan gombal. Bujukan-bujukan kering yang membasahi tiap ornamen di dalam nurani. Saya telah jenuh. Saya ingin langit dipenuhi dengan ide dan mimpi. Sehingga tidak ada lagi orang yang mati berkeliaran di bawahnya.”   

***

Saat tiga hari yang lalu saya dan teman saya ngobrol-ngobrol waktu makan siang tentang masa depan (“Setelah ini apa?” “Mau ngapain?” “Apa lagi?”) dari bibirnya meluncur sebuah pernyataan yang berbalut kengerian kira-kira seperti ini: “Saya punya mimpi dalam hidup ini, tapi saya nggak mau cuma hidup dengan mimpi!”
            Terpikir juga bahwa yang dia bilang ada benarnya. Orang-orang sering menyebut dalam hidup ini harus punya mimpi sebagai bahan bakar dalam menjalani kehidupan. Orang-orang sering menyebut bahwa kita harus memiliki mimpi yang tinggi, mulia, dan bermanfaat bagi kita maupun orang banyak. Orang-orang bilang bahwa selama masih ada mimpi, harapan masih tetap ada. Banyak sekali yang orang-orang katakan tentang mimpi ini yang maksudnya adalah menyarankan kita untuk berani bermimpi. Dan tentu saja usaha dalam meraih mimpi itu juga menjadi pertimbangan utama dalam bermimpi.
            Tapi apa memang mimpi yang diperlukan? Terlepas dari usaha yang ditempuh, banyak sekali orang yang merasa mimpinya hancur, berhenti di tengah jalan, atau hilang ditelan bumi. Bahkan bermimpi itu mudah sekali dan seringkali kadarnya seperti dalam dunia fantasi atau dunia sihir di mana kemustahilan dan logika adalah irasional. Kadang-kadang tidak masuk akal juga ketika mengartikan mimpi sebagai bagian dari kesuksesan (dalam berbagai perspketif) lalu menuduh orang-orang miskin yang melarat sebagai orang yang tidak punya mimpi. Padahal saya berani bertaruh bahwa di dalam benaknya mereka melihat diri mereka tengah berleha-leha di sofa empuk di dalam rumah istana sambil dikipasi oleh para pembantu rumah tangga. Ini mengherankan saya karena saya tahu semua orang pasti punya mimpi, namun tidak semua berhasil dengan mimpinya. Memang ada aspek usaha atau action dalam hal ini tapi kali ini saya ingin menyoroti mimpi itu sendiri; apakah penting? Se-signifikan itu dalam hidup manusia? Apakah memang semuanya berawal dari sana?
            Bagi saya, mimpi adalah hal yang rentan. Tidak terlalu signifikan. Dan sifat kerentanannya ini membuatnya dengan mudah tercampur dengan lamunan, proyeksi dari film, buku, atau majalah, euforia, sehingga tidak jarang mengawang-awang, melenceng dari rel. Pendapat saya adalah, apa yang harus dimiliki tiap manusia untuk terus bertahan hidup, untuk terus bersemangat dan optimis, untuk terus merasa kuat, maka yang diperlukan adalah: rasa ingin tahu.
            Manusia adalah mahluk pembelajar dan selama kita memahami hakikat ini maka manusia akan bisa mencapai kondisi manusia yang utuh. Rasa ingin tahu adalah mesin yang pas bagi manusia dalam menjalankan hidup, memaknai dirinya, serta mencapai tujuan hidupnya. Inilah senjata yang tidak akan kehabisan peluru dalam menghadapi perang apapun dalam hidup. Inilah senjata sejati yang akan menghasilkan ide serta aksi yang nyata dengan kekuatan ‘menggerakkan’ yang lebih dahsyat. Mungkin orang-orang sebaiknya merubah paradigma mereka mengenai mimpi untuk menggantinya dengan rasa ingin tahu.
            Saya bukan orang yang tidak menghargai mimpi, yang saya tulis di sini adalah mengenai masalah takaran. Mimpi adalah mengenai hasil akhir sedangkan rasa ingin tahu adalah mengenai cara, proses, dan jalan yang akan dilalui menuju garis finish. Tidak ada salahnya bermimpi, namun yang perlu diperhatikan adalah bahwa efeknya tidak terlalu efektif dan efisien. Rasa ingin tahu-lah yang membangun peradaban manusia, mimpi membuat orang tertidur dan tersenyum sendiri.
            Selesai!

2 komentar:

  1. tulisan disini kbanyakan membeberkan hal2 yg jarang dipikirkan org2, jadi utk itu thanks atas bacaan yg mmbuat otak saya benar2 berpikir, meskipun saya harus membacanya dua kali.

    mengenai kedewasaan, justru yg plg sering saya pikirkan + bikin saya bingung adalah tentang [I]masa depan, komitmen, tanggung jawab, idealisme, pernikahan, pekerjaan, dan mencari nafkah[/I] itu sendiri. smua itu membuat saya bener2 takut utk direnungi tp tetap saja otak liar ini selalu membayangkannya.

    mengenai mimpi dan lainnya saya gak bisa komentar, dan kyanya saya harus memikirkannya dgn cara pandang penulis.

    BalasHapus
  2. forever young i want to be forever young..

    BalasHapus