Senin, 10 Mei 2010

Banksy, Himself


"The greatest crimes in the world are not commited by people breaking the rules but by people following the rules. It's people who follow orders that drop bombs and massacre village."

(Banksy)
Abad 21 telah sampai di edisinya yang kesepuluh. Satu dekade baru saja terlewati dan edisi baru sepuluh tahun mendatang telah membentang di depan lengkap dengan karpet merah yang siap diinjak oleh kaki-kaki dan langkah-langkah perubahan dan inovasi. Sepuluh tahun belakangan telah begitu banyak melahirkan sejarah baru, peristiwa yang tidak terlupakan, dan pergeseran nilai budaya serta peradaban yang berubah bentuk secepat koneksi internet. Internet sendiri merupakan satu kata yang telah menikmati peran sebagai “Tuhan manusia modern” selama ini. Sementara kata-kata lain yang menghiasi etalasae yang sama diantaranya adalah WTC, Guantanamo, Global Warming, teroris, Osama, Obama, krisis global, American Idol, reality show, SMS, Blackberry, dan Paris Hilton. Dan bagaimana cara mengeja semuanya? Mari kita mengeja satu dekade terakhir dari awal millennium ini dengan B-A-N-K-S-Y. Banksy!


Banksy bukan hanya sebuah nama tapi juga bisa diartikan sebagai semacam identitas moral anonim dari segala kecacatan hasil persalinan globalisasi dan kapitalisme dunia. Banksy bukan hanya sosok seorang laki-laki, tapi sebuah antitesis dari dunia citra atau imej yang lengkap dengan benteng pertahanan berupa penutup kepala serta keenggannannya untuk difoto, dipublikasikan, atau diketahui wajahnya. Banksy bukan hanya karya seni jalanan tapi adalah karya seni dalam fungsi teratasnya sebagai media komunikasi yang menampilkan potret (yang harfiah maupun metaforis) realita kehidupan yang telah selama ini terhapus di jalanan oleh jembatan, beton, dan gedung tinggi. Banksy adalah suara dari ruang bawah tanah di Bristol, Inggris yang mewujud dalam entitas baru —karya visual, vandalisme, corat-coret, apapun namanya— yang dalam diam dan ketersembunyiannya lantang meneriakkan keretakan pada tembok-tembok peradaban modern.


Sebagai seorang seniman jalanan, Banksy telah mengangkat grafiti dari sebuah lukisan dinding yang dilewati ribuan mobil di jalan raya setiap harinya menjadi sebuah provokasi yang membuat orang-orang berhenti untuk melihatnya dengan disertai kerutan di kening, kekaguman, senyum kecil, tawa, dan bahkan renungan. Padatnya pengunjung dalam sebuah pameran karya-karya Banksy yang baru-baru ini digelar membuktikan nilai semprotan catnya telah bisa disamaratakan dengan sapuan kuas di atas kanvas. Dia mewarnai karyanya dalam palet anti-perang, anti-kapitalisme, anti-kekuasaan, dan anti-kemapanan yang dipadupadankan dengan campuran cat kreatifitas, selera humor, dan satir tajam. Pada satu titik, Banksy adalah inspirasi bahwa suatu visi disertai pesan sosial yang kuat dapat menjadi amunisi propaganda yang handal bagi jiwa manusia; dan seni adalah senjata yang dapat dengan tepat menembakannya ke sana, apapun bentuknya.


Grafiti Banksy, berikut karya lukis dan seni patungnya, kurang lebih memberikan petunjuk dari mana atau apa yang menyebabkan sosok ini muncul. Ia menyampaikan kegelisahan atas konsep kenyamanan yang telah diakui luas, kesedihan atas kegembiraan yang sifatnya komunal, komedi atas aib dalam sistem norma masyarakat umum, di mana di dalamnya setiap orang dapat merasakan napas protes yang ia hembuskan dengan berat. Banksy adalah produk cacat dari era globalisasi. Seperti kita, ia muncul di atas dunia yang dipenuhi oleh billboard, di mana uang menjelma menjadi substansi utama dalam setiap aspek kehidupan, di mana uang seolah-olah daratan yang luas dan setiap orang adalah Christopher Columbus dalam kapalnya masing-masing, di mana mall adalah gereja, brand adalah pendeta, dan berbelanja adalah bentuk ritual agama, era di saat terorisme dan perang bergantian mengisi berita di ruang keluarga hingga akhirnya semuanya menjadi biasa saja, saat-saat ketika privasi —seperti keperawanan— tidak lagi memiliki makna yang subtil, sebuah periode di mana kapitalisme telah bertransformasi dan beradaptasi sedemikian rupa untuk dengan pelan-pelan merasuki sela-sela kepala manusia lewat konsep sederhana berupa kesejahteraan, keuntungan, dan kesuksesan kalau tidak mau disebut kekikiran. Dunia yang seperti itulah yang tercetak di dalam kepala Banksy sampai akhirnya ia tuangkan lewat grafiti untuk membuat orang-orang akhirnya berada pada suatu kondisi kesadaran yang baru.


Kehebatan Banksy, selain dari karya-karyanya, adalah ia tidak bisa dihentikan. Sebagian besar karyanya harus melalui perdebatan panjang di tubuh dinas tata kota setempat untuk membersihkannya karena dianggap merusak pemandangan namun pada akhirnya Banksy-lah yang menang. Seperti hantu, karyanya muncul begitu saja di suatu pagi. Ia selalu berhasil lolos dari mata penegak hukum yang sepertinya sangat gemas untuk membuatnya tertangkap basah. Tapi keberhasilan Banksy adalah dengan membuat orang yang awam sekalipun atau bahkan hukum untuk bisa menerima coretannya sebagai karya seni yang patut diapresiasi. Mungkin karena kekuatan pesan pada setiap karyanya yang begitu ‘menyentil’ atau mungkin karena Banksy telah sukses membuka mata setiap orang untuk memahami diri mereka sendiri.


Dalam dunia seni lukis, bisa jadi Banksy adalah Andy Warhol-nya generasi sekarang. Tidak diragukan lagi ia memiliki pengaruh yang besar dalam pop art secara global. Untuk urusan pemberontakan —terutama jiwa anti-kapitalisnya— Banksy dengan street art-nya bisa berada dalam satu kelas bersama Michael Moore dengan film dokumenternya atau Noam Chomsky dengan tulisan-tulisannya. Mereka, lewat medianya masing-masing, sama-sama memiliki kefasihan dalam memprovokasi massa. Mungkin terlalu cepat, tapi Banksy memiliki kesamaan dengan Che Guevara (dan bisa jadi ia juga mengidolakannya) dalam hal gerilya serta misi yang ia usung atas nama setiap aksinya (termasuk di antaranya ‘mengacak-acak’ museum Louvre dan mempertanyakan harga dari sebuah karya seni) walaupun ia masih belum terlalu frontal dibandingkan pendahulunya itu. Yang jelas Banksy membawakan suara perubahan di tangannya yang mungkin efeknya akan terus berlanjut di sepuluh tahun mendatang. Banksy tidak hanya seorang seniman tapi juga seorang anti-hero lengkap dengan aura misteri yang ia lahirkan di sekeliling dirinya. Sebuah hadiah yang berharga bagi dunia di mana kehidupan telah dijalankan secara mekanis, dunia yang ia namai ‘One Nation Under CCTV’. Dan seperti para orang berpengaruh lainnya, ia juga mengawali semuanya dengan ide sederhana, yang tentu saja dengan tanpa kehilangan sentuhan selera humornya:

"Some people become cops because they want to make the world a better place. Some people become vandals because they want to make the world a better looking place."

Selanjutnya, apa lagi?

4 komentar:

  1. informatif kra, inspiratif juga. kra beneran deh, lo harus nulis di kompasiana. they need to know your writings.. :D

    BalasHapus
  2. setuju git. dimana pun lah, biarkan org2 baca tulisan2 maneh kra, jgn kita2 aja yg nikmatin

    BalasHapus