"Our true nationality is mankind!"
(H. G. Wells)
Kepada Ibu Pertiwi di Tempat,
Ibu, aku ingin mengadu. Setelah selama 23 tahun berada di pelukan Ibu, disuapi dan dimandikan, sekarang aku berani mengaku bahwa aku mungkin telah berubah menjadi anak durhaka. Atau secara lebih halus Ibu mungkin lebih suka menyebutku pengkhianat bermuka tebal. Orang lain bahkan telah memberiku julukan kapitalis berbulu domba. Apapun itu, mungkin Ibu mau mendengar semacam pengakuan dosaku ini dulu sebelum menyimpulkan hendak memanggilku apa.
Aku telah jemu Ibu. Dan kalau ingin tahu, rasa inilah yang mesti dijadikan terdakwa utama yang harus bertanggungjawab seandainya hubungan kita merenggang nantinya. Kejemuan ini Bu, terasa begitu kuat dan kentara di dadaku. Dada yang dulu selalu kubusungkan di hadapanmu dan kembang kempis saat menyanyikan lagu kebangsaan di upacara bendera kini tak lagi bergetar saat namamu kusebut. Di sisi lain,aku merasa rasa hormatku terhadap Ibu perlahan meluntur dan menguap ke langit tropis saat perut Ibu semakin membengkak hanya untuk menghisap paras wajahmu yang tadinya sempat kukira elok. Beginilah Bu, aku begitu jemu menatap wajah keriputmu
Ketika aku mulai dewasa dan memutuskan untuk berjalan di atas kaki sendiri dengan kesediaan untuk menanggung resiko apapun, aku pergi ke berbagai tempat, Bu. Awalnya hanya untuk bertamasya. Memperhatikan langit memancarkan gradasi warna yang belum pernah kulihat sebelumnya. Menginjak pasir-pasir lembut, merasakannya memijiti bagian kakiku yang terbawah. Menghanyutkan diri dalam masifnya limpahan zat cair yang tidak hanya menyegarkan tapi juga menerjang pikiranku dalam deru ombak yang ditiup oleh angin yang terasa baru. Atau merasakan nikmatnya menyantap buah-buahan yang lahir dari pohon-pohon kokoh nan kekar di atas tanah yang rajin ditaburi sinar matahari abadi. Sampai akhirnya, sampailah aku ke tempat yang akan mengubah ketetapan hatiku selama ini. Aku mendaki sebuah gunung tinggi Bu,menjejakkan kaki di puncaknya dan dari sana, aku melihat semuanya, termasuk Ibu yang sedang asyik meringkuk. Seketika itu aku bertanya dalam hati, kenapa Ibu tampak begitu jauh dari yang lain dan kenapa Ibu tidak pernah bisa bersikap bahagia seperti yang lainnya? Aku pikir Ibu sudah ditinggalkan.
Lalu kemudian aku bingung Bu, ketika turun dari tempat itu dan beranjak kembali ke pangkuanmu. Kepala ini dipenuhi oleh pertanyaan-pertanyaan yang tidak mengijinkan aku untuk tidur nyenyak. Ketika melihat wajah Ibu, kepalaku rasanya ingin meledak karena diterjang oleh banyak tanda tanya sehingga aku merasa pening. Perasaanku runtuh dibombardir oleh imaji kemegahan dan cahaya terang yang kudapat dari masa plesiran itu. Keindahan tersebut membangkitkan memoriku dengan nyata bahwa aku pernah merasa sakit hati, dikecewakan, bahkan diabaikan oleh Ibu. Aku berdiri di depan cermin dan melihat bahwa cintaku pada Ibu mewujud menjadi ketundukan terhadap rasa lapar yang terus merongrong perut Ibu. Seketika aku merasa terlupakan karena Ibu selalu ingin terpuaskan. Kalau boleh melakukan pembelaan, sebenarnya akulah yang pertama kali dikhianati Ibu dan kini aku bereaksi.
Tempat ini sudah mati, usang, kehilangan arwahnya, tidak ada lagi yang ingat di mana kotak harapan dan mimpi disimpan, dan sudah lama aku tidak mendengar suara musik yang dimainkan. Awalnya aku merasa bersalah saat mempertanyakan rasa cintaku pada Ibu, aku resah seperti seorang pria yang tengah merencanakan perselingkuhan. Namun kemudian, berangsur-angsur rasa cintaku meredup. Aku mendapati bahwa cinta ini yang telah kutujukan padamu adalah sebuah kesalahan. Aku mencintai hal lain Ibu, yang lebih besar dan lebih hidup, lebih berperasaan dan lebih memiliki gairah, dan lebih penting lagi membuatku merasa lengkap sebagai seorang manusia.
Bukan hanya sekali aku berlabuh ke tempat-tempat baru itu. Daya tariknya menciptakan medan magnet di sekitar ruang hatiku sedangkan gema suaranya menembus ruang kedap suara dalam jiwa. Aku merasakan kebebasan, meliuk-liuk dalam genggamanku dan menggodaku untuk mengejar-ngejarnya. Mereka sama sepertiku, mereka adalah para anak-anak dari Ibu-Ibu yang lain yang juga disapih dan disusui saat bayi dan kini tumbuh bersama-sama menciptakan dunia yang baru. Aku disambut oleh mereka dengan seolah-olah aku adalah teman masa kecil yang sudah lama tidak bertemu, aku diperlakukan layaknya saudara kandung, mereka semua tampak saling mencintai dan Ibu-Ibu mereka pun selalu bahagia dibuatnya.
Aku heran dan mencari tahu karena tak pernah Aku mendapati keadaan seperti demikian berlangsung dalam waktuku. Aku bergaul di dalamnya, mendengar dan memperhatikan mereka. Belajar cara mereka mencintai dan memiliki satu sama lain. Dan barulah ketika aku kembali ke tempat Ibu aku melihat bahwa selama ini, kami, anak-anak Ibu, telah terlalu keras berupaya untuk mencintai Ibu bahkan sampai menggantungkan hidupnya padamu hanya untuk memanen kekecewaan. Entah kenapa, bagi kami, Ibu tampak begitu tinggi dan tidak terjangkau, duduk di singgasana keramat dikelilingi upeti bahkan sesajen, dan keangkuhan melapisi wajahmu menghilangkan jejak senyum yang kami yakini pernah kami lihat dulu. Engkau begitu terhormat dengan pancaran mata garudamu yang tajam serta kain sutra halus yang membingkai tubuhmu. Belum lagi kulitmu yang halus dengan aromanya yang terkesan asing namun begitu membuai bulu-bulu hidung kami. Di situlah Bu, di atas singgasana yang didahului oleh undak-undak dan lantai marmer di bawahnya di mana kami biasa berlutut, di situlah Ibu berada, jauh dan tinggi.
Aku ingin berontak karena selama ini aku tidak mengerti bagaimana caranya untuk berteriak di kedua telingamu. Aku tidak mengerti dengan kenapa aku harus menengadahkan wajah lalu hormat pada kibaran bendera merah-putihmu di tiang pancang. Aku tidak menikmati kemeriahan dan keriuhan dari hari 17 Agustus yang ramai itu. Aku tidak dapat memahami esensi dari semboyan yang tersampir di antara kaki garuda di atas dinding itu. Aku tidak mampu merasakan kekuatan dan getaran di balik kata “Merdeka” yang selalu kami teriakkan untuk membangkitkan semangat. Setelah aku berjalan-jalan, tidak lagi aku merasakan semua itu sama seperti kala Ibu mengajarkannya padaku saat kecil.
Kini perasaanku berubah, rasa cintaku bergeser. Rasa ini sekarang tumbuh di antara sesamaku. Aku melihat teman-temanku, sesama anak-anak Ibu,yang dibesarkan dengan cara yang beda-beda, dari mereka-lah timbul sebentuk gejolak baru yang selama ini membisu atau mungkin terbungkam oleh kebesaran Ibu. Aku mengerti raut wajah mereka yang terang saat tersenyum dan redup saat bersedih. Aku mengerti kenapa mereka meneteskan air mata saat mereka harus pasrah pada roda jaman dengan kedua telapak tangan yang membuka untuk memalingkan harapan ke langit. Aku merasakan keringat yang mencair dan otot yang menegang di kaki dalam letih sehabis menyusuri jalan nasib penuh kerikil berserakan. Aku mengerti bagaimana cara mereka tertawa dalam keramaian atau sembunyi untuk mengobati perihnya hari-hari keterabaian. Aku membaur bersama mereka untuk semakin menyadari bahwa darah kita sama, warna tulang kita sama, bahkan udara yang kita hirup adalah sama. Kepada mereka Ibu, aku menyadari cintaku harus tertuju.
Engkau kini tinggal nama, sosok besar yang melahirkan aku, dengan segala kebesaran dan puja-puji yang tidak lebih dari sekedar persembahan tanpa makna. Namun mereka, teman-temanku, anak-anakmu, anak-anak yang lain, umat manusia, adalah tempatku mengabdi mulai saat ini. Maafkan aku karena tidak lagi mempercayaimu. Dan aku akan senang mendengarmu berteriak mencaci-maki sesudah membaca surat ini saat Engkau bangun nanti. Saat Engkau bangun nanti. Nanti. Saat Engkau telah puas dengan tidurmu yang nyenyak.
Salam jauh dari anakmu yang tidak tahu diuntung.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar