"Fear the time when Manself will not suffer and die for a concept, for this one quality is the foundation of Manself, and this one quality is man, distinctive in the universe."
(The Grapes of Wrath, John Steinbeck)
Menurut opini subjektif saya, tidak ada yang menyamai Kid A. Sepanjang dekade 2000-an —di mana ass dan bitch disulap menjadi mantra dalam lirik, radio menjual “dirinya” seperti tunasusila, toko-toko musik gulung tikar, solois perempuan bernyanyi dalam gerakan semi-striptease, dan Justin Bieber menyulut reaksi ala Beatlemania para remaja generasi social network— album keempat, atau mungkin kelima, dari Radiohead itu seolah-olah sebuah ereksi di pagi hari. Walau sayangnya ereksi yang satu ini terperangkap di balik balutan celana dalam. Single-nya tidak masuk radio, video klip-nya menghilang dengan cepat, dan siapa pula yang berpikir untuk menyenandungkannya?
Menurut opini subjektif saya, Kid A, dalam kapasitasnya sebagai karya seni layak menyematkan predikat sebagai “peubah”. Seperti saat Bob Dylan mengganti gitar kopongnya dengan gitar elektrik dan menyebarkan protes setelahnya, atau The Beatles dalam Sgt. Peppers Lonely Hearts Club Band yang mendefinisikan eksistensi flower generation, atau Dark Side of the Moon–nya Pink Floyd yang menyuarakan keresahan berbagi kehidupan di dalam dunia yang modern atau yang telah di-modern-kan, atau ketika Ramones dan Sex Pistols muncul masing-masing di US dan UK merembes ke kepala para anak muda dengan menumpang kata anarki, atau menetesnya embrio baru generasi 90-an saat video Smells Like Teen Spirit dari Nirvana diputar berulang-ulang di MTV. Seharusnya, Kid A juga punya aspek historis seperti itu. Kurang-lebih. Tapi apa yang ditawarkan oleh album itu?
Menurut opini subjektif saya, kemuraman. Beberapa lagunya bahkan terdengar seperti direkam di dalam kastil-kastil tua berhantu di pinggiran Inggris atau jalanan berkabut di tengah malam yang sepi. “Everything in Its Right Place”, salah satu lagu di dalamnya, mendefinisikan arti kata kedamaian bagi saya. Elegi 10 lagu dari sekumpulan orang-orang penderita neurosis yang semakin merasuki telinga saya semakin membangkitkan perasaan untuk benci diri sendiri. Struktur lagunya kompleks, beberapa seperti menjelaskan terjebak di situasi tanpa jalan keluar, bahkan semacam paranoia tak terkendali, semakin jelaslah mengapa stasiun-stasiun radio menjauh.
Tapi ini cocok sekali. Entah karena saya terpengaruh oleh sesuatu, yang pasti di jaman sekarang rasa-rasanya perasaan “benci diri sendiri” perlu ditambahkan sebagai perangkat sosial seseorang di era millennium. Dulu, seperti yang disampaikan oleh trio Warkop DKI bahwa tertawalah sebelum tawa itu dilarang, tapi yang terjadi kemudian adalah terlalu banyak yang ditertawakan sehingga rasa malu, aib, dosa, dengan sendirinya bermetamorfosis menjadi semacam hiburan yang harus dinikmati sebelum telat. Sudah tidak punya malu, apalah yang harus diharapkan. Kalau diteoritisasikan (mungkin) dengan kebencian yang serta-merta menyorot diri sendiri semuanya akan (kembali) berada di tempatnya masing-masing.
Satu hal yang saya suka dari musik rock, adalah caranya berkembang mengikuti zaman, dinamis, berdaya magis, dan yang paling membahayakan, provokatif.
Menurut opini subjektif saya, dalam urusan tersebut, tidak ada yang menyamai Kid A di sepanjang tahun 2000. Yah, subjektif.
***
Gosip. Infotainment. Mengupas tuntas setajam silet. Negara saya, di Indonesia, apa yang terjadi sama persis dengan konsep acara gosip tersebut. Membesar-besarkan remah-remah. Junk news. Nada suara Fenny Rose yang dramatis itu akan lebih cocok bila dia menggunakannya dalam acara penyelamatan 33 penambang di Cile atau mungkin di masa lalu, saat kapal Titanic menubruk gunung es. Terkesan horror, menegangkan serta mengintimidasi. Saya tidak mengerti dengan ide di balik itu. Malah semakin lama membuat saya terkekeh-kekeh mendengarnya. Apa yang begitu dramatis dari nama seseorang yang diperoleh dari mimpi? Apa yang begitu dramatis dari mencampuri urusan orang lain sehingga perlu diberitakan? Dalam 10 tahun terakhir ini tidak ada yang begitu dramatis dari dunia hiburan di Indonesia. Hanya masalah yang sama yang datang dan pergi dan pelakunya yang juga datang dan pergi. Tidak ada yang menarik. Jarang ada gagasan-gagasan atau pergerakan yang dramatis yang setidaknya sedikit mengubah arah negeri ini dari tebing air terjun yang deras. Berita video seks, berita perkelahian, berita pertikaian, berita pengadilan, berita orang ketiga, berita para pesohor yang sedang berlibur, berita rumah baru mereka yang dipenuhi kekayaan seorang maharaja. Dramatis.
Inspiratif? Tanda tanya.
Atau mungkin juga sentimen saya ini adalah faktor turunan dari ayah saya. Seperti beberapa waktu yang lalu saat sedang makan malam di mana siaran berita yang menanyangkan sosok Mbah Maridjan yang meninggal dalam posisi bersujud, dia berkomentar, “Kasihan Mbah Maridjan. Terikat oleh tugas yang tidak jelas. Lebih baik kalau dia meninggal karena membantu warga mengungsi.”
Saya tidak berkomentar apa-apa. Melanjutkan makan. Lagipula tidak baik berbicara di saat mulut penuh.
Kepala saya pun dihinggapi oleh kata juru kunci.
***
Saya sedang membaca buku sekarang. Judulnya The White Tiger, karangan Aravind Adiga, pemenang Man Booker Prize tahun 2008. Belum tamat. Saya baru sampai di bab ketika si narator menjalani hidup sebagai seorang sopir di kota besar di India, meninggalkan desa kumuhnya. Perasaan saya dipenuhi rasa jijik, masam, dan terperangah saat membaca latar kehidupan si tokoh utama ini, yang nantinya menjadi entrepreneur sukses di Bangalore; betapa India adalah negara yang busuk.
Di desa: tiang listrik tidak berfungsi, keran air rusak, kerbau, ayam-ayam, segerombolan babi, tuan tanah berkuasa penuh, sekolah ditempati oleh guru tukang korupsi, tidak ada muridnya yang bisa membaca, anak-anak berhenti sekolah untuk memecah-mecah batu bara, orang-orang tua penyakitan, anak muda diharuskan menikah agar mendatangkan rejeki, penduduknya dipilihkan hak suaranya dalam pemilu, semuanya menjalani takdir dalam lingkatan setan.
Saat dia menjadi sopir di kota, ia bersaing dengan pembantu lainnya untuk mendapatkan hati sang majikan, dipaksa oleh keluarganya untuk selalu mengirimkan gajinya ke desa, dipaksa untuk mengaku bersalah atas kesalahan majikannya yang menabrak seorang gelandangan saat menyetir sambil mabuk, keluar-masuk mengantar majikannya menyogok pemerintah, privasi tidak dihargai, dipermainkan majikannya sendiri untuk mengeja kata pizza (dia mengatakan piJJa), kepatuhan tanpa kompromi terhadap “kasta” atas, nasibnya seperti terkurung, dijejali dalam kandang ayam yang sempit.
Demokrasi di India, menurutnya, adalah sebuah omong kosong besar.
Muram. Seperti tanpa masa depan. Dog eats dog. Yang kaya semakin kaya, yang miskin semakin miskin. Saya belum selesai membacanya.
Tapi, halaman demi halaman, menit demi menit, entah kenapa saya merasa begitu familiar dengan India dan nasib narator di buku tersebut.
Saya berasumsi bahwa ada alasan bagus kenapa buku ini diterjemahkan dalam bahasa Indonesia. Diterbitkan di negeri ini. Dijejerkan di toko-toko buku. Membaca cerita di dalamnya tidak seperti membuka wawasan baru terhadap kondisi di belahan dunia lain. Familiar. Yang jelas saya tidak pernah tinggal di India atau menonton film Bollywood. Kecuali secuil saja. Mungkin India adalah saudara jauh kita juga.
Busuk.
Demokrasi.
Sialan!
Kra, maksud judulnya apaan?
BalasHapushaha, nama makanan dari India. Disebut-sebut di novel The White Tiger.
BalasHapus